Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,220
Jurit Malam Di Perumahan Setan
Horor

Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, hutan di sekitar perkemahan tampak memeluk erat suasana mencekam. Sebuah acara jurit malam yang seharusnya menantang nyali, kini berubah menjadi kisah horor bagi tiga remaja putri yang tertinggal dari kelompok mereka. Kamila, Safa, dan Novelia saling berpandangan, tersesat di tengah hutan yang sepi, hanya ditemani bayang-bayang pohon yang tinggi menjulang.

"Ini semua gara-gara Safa! Kalau saja dia tidak lamban, kita pasti sudah sampai!" seru Novelia, suaranya penuh rasa jengkel.

Safa hanya diam, wajahnya pucat. Kamila menoleh ke arah Novelia dan membela temannya, "Jangan begitu, Vel. Kita sahabat, bagaimanapun juga kita harus bersama. Ini bukan salah Safa."

Namun, suasana semakin tegang. Di tengah perdebatan itu, tanpa peringatan, Safa tiba-tiba terjatuh, tubuhnya kaku. Matanya terbuka lebar, tetapi tatapannya kosong. Kemudian, dengan gerakan cepat dan kasar, Safa berdiri dan mulai berlari kencang ke arah sebuah bangunan tua di tepi jalan yang mereka lewati.

"Safa!" teriak Kamila panik, langsung berlari mengejarnya. Namun, Novelia tetap berdiri di tempat, wajahnya penuh ketakutan.

"Daripada masuk ke tempat angker begitu, lebih baik aku di sini," gumam Novelia, bergidik ngeri melihat bangunan tua peninggalan zaman Belanda yang berdiri di sana, seperti raksasa bisu yang menanti mangsanya.

Kamila berlari sekuat tenaga, mengikuti jejak Safa yang menghilang ke dalam bangunan tua. Begitu memasuki pintu yang hampir roboh, suasana dingin langsung menyergapnya. Bau apek dan lembab memenuhi udara, sementara cahaya bulan samar-samar menembus celah-celah dinding yang rapuh. Kamila menahan napas, berusaha meredakan gemuruh di dadanya.

Di sudut ruangan yang gelap, Kamila menemukan Safa. Gadis itu meringkuk di lantai, tubuhnya gemetar. Dia menunjuk ke arah sebuah ruangan di ujung bangunan dengan wajah penuh ketakutan.

Kamila berjongkok, mencoba menenangkan temannya. "Safa, tenang. Kita harus keluar dari sini."

Namun, Safa terus meronta. Dia mulai berteriak keras, suaranya nyaring menggema di dalam bangunan kosong itu, membuat bulu kuduk Kamila berdiri. "Dia di sana... dia ada di sana!" Safa terus meracau tanpa henti, menunjuk ke ruangan gelap itu.

Kamila berusaha menarik Safa keluar, tetapi tenaganya tidak cukup. Safa terlalu ketakutan dan terus melawan, membuat Kamila kewalahan. Dalam keputusasaannya, Kamila mulai membaca doa-doa yang dia tahu, berharap dapat mengusir rasa takut dan sesuatu yang mungkin merasuki tubuh Safa.

Tiba-tiba, sebuah sentuhan ringan di pundaknya membuat Kamila melompat kaget. Dia menoleh dan melihat seorang perempuan tua berdiri di belakangnya. Wajahnya penuh keriput, rambutnya kusut, dan pakaiannya lusuh.

"Jangan takut, Nak," kata perempuan tua itu dengan suara serak namun lembut. "Namaku Mbah Kasmulik. Kamu tidak sendirian."

Kamila hampir berteriak, tetapi perempuan tua itu menenangkannya. "Bangunan ini adalah rumahku. Apa yang terjadi pada temanmu bukan hal yang aneh di sini."

Mbah Kasmulik berjalan mendekat ke Safa, yang masih terus berteriak histeris. Perempuan tua itu menatap Kamila dan berkata, "Temanmu kerasukan. Tapi tenang, aku bisa membantunya."

Kamila hanya bisa terdiam, terlalu kaget dan bingung untuk mengatakan apa-apa. Mbah Kasmulik menutup mata dan mulai berkomat-kamit, melafalkan mantra yang tak dimengerti Kamila. Perlahan, Safa mulai tenang. Tubuhnya yang semula kaku kini menjadi lemas, napasnya tersengal, dan ia mulai menangis.

Safa menatap Kamila dengan tatapan bingung, "Apa yang terjadi? Kenapa aku di sini?"

Kamila menghela napas lega. "Kau tadi kerasukan, Fa."

Mbah Kasmulik tersenyum lembut, "Temanmu diikuti oleh anakku. Ia sering menjaga orang-orang yang tersesat agar tidak masuk ke dalam perumahan setan yang ada di dekat sini. Namun, kali ini ia terlalu kuat, dan merasuki temanmu."

Kamila merasa merinding mendengar penjelasan itu, tetapi ia bersyukur Safa telah kembali sadar. Namun, mendadak dia teringat pada Novelia yang masih di luar.

"Mbah, teman kami satu lagi ada di luar. Kami harus segera menjemputnya," kata Kamila cemas.

Mbah Kasmulik menggeleng pelan. "Jangan ke sana sekarang, Nak. Bahaya. Sebaiknya kalian pulang dulu. Temanmu mungkin sedang menghadapi sesuatu yang lain. Besok pagi, baru kita cari dia."

Kamila ragu, tetapi ketika mencoba menghubungi Novelia, tidak ada jawaban. Ia dan Safa akhirnya memutuskan untuk memanggil kakak pembina dan segera dijemput.

---

Sementara itu, di luar bangunan, Novelia masih menunggu, merengut sendirian. Rasa kesal dan takut bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Dari kejauhan, seorang pemuda melambaikan tangan ke arahnya. Novelia menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih jelas. Wajahnya seketika berubah senang. Itu adalah Enzo, ketua OSIS yang dia sukai sejak lama.

"Enzo?" gumam Novelia tak percaya. Dia merasa lega melihat sosok yang dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, Novelia berjalan menghampiri Enzo yang berdiri di dekat perumahan terbengkalai itu.

"Sedang apa kamu di sini, Nov? Kamu tidak takut?" tanya Enzo dengan senyum menawan, membuat jantung Novelia berdegup kencang.

"Tentu saja aku takut. Aku tertinggal dari kelompokku," jawab Novelia sambil tersenyum malu.

"Kalau begitu, ikut aku. Aku akan membantumu kembali," kata Enzo sambil berjalan perlahan ke dalam perumahan terbengkalai.

Novelia menurut, meskipun hatinya mulai merasa aneh. Setiap langkah yang diambil Enzo tampak semakin jauh dari kenyataan, dan suara langkahnya seperti menghilang. Hingga akhirnya, Enzo berhenti di depan salah satu bangunan yang paling gelap di sudut perumahan itu.

Namun, saat Novelia mendekati pintu bangunan tersebut, Enzo berbalik. Wajahnya yang tampan berubah menjadi pucat, matanya kosong, dan senyumnya menyeramkan. Novelia tersentak, tubuhnya kaku, dan jeritannya terhenti di tenggorokan.

---

Keesokan paginya, Kamila dan Safa bersama para guru serta kakak pembina menyusuri lokasi tempat hilangnya Novelia. Matahari sudah mulai meninggi, tetapi hawa dingin dari malam sebelumnya masih terasa.

"Bangunan tua itu... di mana?" Kamila bergumam. Ia mencari-cari, tetapi tidak ada jejak bangunan tua peninggalan zaman Belanda yang semalam mereka masuki. Yang ada hanyalah reruntuhan perumahan yang tidak pernah selesai dibangun.

Salah satu pembina tiba-tiba berteriak, "Kami menemukan Novelia!"

Kamila dan Safa berlari ke arah sumber suara. Di salah satu rumah yang hampir rubuh, mereka melihat Novelia duduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Matanya menatap kosong ke depan, mulutnya komat-kamit, seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat.

"Dia... dia ada di sana," bisik Novelia dengan suara serak, menunjuk ke arah yang tidak jelas. Kamila tersentak mendengar suara temannya, mengingat Safa yang semalam melakukan hal serupa.

Novelia menangis dan berteriak seperti orang gila, tak lagi mengenali Kamila maupun Safa. Para guru segera membawanya pergi, tetapi Kamila tahu, Novelia tak akan pernah sama lagi.

Saat rombongan itu meninggalkan perumahan terbengkalai, Kamila menoleh sekali lagi ke belakang. Tak ada lagi bangunan tua yang ia ingat dari malam sebelumnya. Hanya puing-puing dan reruntuhan yang

kini sunyi, menyimpan rahasia gelap yang tak pernah benar-benar terungkap.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)