Masukan nama pengguna
Asih, Si Gadis Malang
Asih masih ingat bagaimana hangatnya pelukan ibunya saat malam menjelang, sebelum ia tertidur. Hangat dan penuh kasih sayang. Ketika ibunya masih ada, dunia Asih terasa sempurna, meskipun sederhana. Saat Asih berumur empat tahun, dunia kecilnya berubah drastis. Ibunya meninggal setelah lama sakit. Dalam usia yang begitu muda, Asih tiba-tiba harus menghadapi dunia sendirian.
Di kampung tempat ia tinggal, tak banyak orang yang memerhatikan Asih. Setelah kepergian ibunya, ayahnya tak pernah kembali. Ayahnya sudah lama pergi bekerja di luar kota, namun tak pernah memberikan kabar. Sejak saat itu, Asih hidup sebatang kara. Tak ada saudara yang datang, tak ada kerabat yang peduli.
Satu-satunya sosok yang masih peduli adalah seorang nenek tua yang tinggal di sebelah rumahnya. Nenek itu sering memberi Asih makanan. Kadang-kadang, nenek juga memanggil Asih untuk membantu pekerjaan rumah kecil, seperti menyapu halaman atau mengambil air. Meski Asih masih terlalu kecil, nenek itu menyayangi Asih seperti cucunya sendiri.
“Nenek, kenapa ibu pergi?” tanya Asih suatu hari dengan suara lirih, matanya yang besar dan bulat menatap nenek dengan penuh rasa ingin tahu.
Nenek itu terdiam sejenak, mengelus lembut kepala Asih yang kusut, "Ibumu sekarang sudah di tempat yang lebih baik, Sayang. Dia melihatmu dari sana, menjaga dirimu."
Asih tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia merasa tenang dengan jawaban nenek. Setiap hari dia datang ke rumah nenek untuk makan. Nenek selalu berbagi apa yang dia miliki, meskipun nenek itu sendiri tidak kaya. Mereka sering makan nasi dengan sayur dari kebun kecil nenek atau ikan asin yang dibeli dari pedagang di pasar. Meski serba pas-pasan, Asih merasa aman bersama nenek.
Namun, suatu hari, kehidupan Asih berubah lagi. Nenek yang selama ini menjadi sandaran hidup Asih jatuh sakit. Usianya yang tua membuat tubuhnya semakin lemah dari hari ke hari. Asih, yang tak mengerti banyak tentang penyakit, hanya bisa melihat neneknya terbaring di tempat tidur. Suatu pagi, ketika Asih datang ke rumah nenek, ia menemukan nenek telah meninggal.
---
Asih berdiri di depan rumah nenek dengan bingung. Orang-orang datang, mengurus jenazah nenek, tapi tidak ada satu pun yang menghampiri Asih. Gadis kecil itu berdiri mematung, bingung harus berbuat apa. Sejak saat itu, Asih benar-benar hidup sendirian. Tak ada lagi yang memanggilnya untuk makan, tak ada lagi yang membantunya mengikat rambut atau menenangkannya saat malam terasa dingin dan sepi.
Awalnya, Asih bertahan dengan sisa makanan yang ada di rumahnya. Tapi persediaan itu cepat habis. Perutnya sering kali keroncongan, dan dia hanya bisa meneguk air untuk mengisi kekosongan. Tak ada orang yang menanyakan kabarnya, tak ada yang datang menawarkan bantuan.
Ketua RT, yang seharusnya mengetahui keadaan warganya, tampak tak peduli. Seolah-olah Asih tak terlihat di mata orang-orang. Tidak ada bantuan yang datang, tidak ada yang bertanya apa yang ia butuhkan.
Suatu sore, ketika rasa lapar semakin tak tertahankan, Asih memberanikan diri untuk pergi ke pasar. Dengan langkah kecil dan lemah, Asih berjalan menuju pasar yang tak jauh dari rumahnya. Pasar itu ramai, penuh dengan suara pedagang yang menawarkan dagangannya dan orang-orang yang sibuk berbelanja. Namun, bagi Asih, tempat itu penuh dengan harapan. Harapan untuk menemukan sisa-sisa makanan yang mungkin bisa mengganjal perutnya.
Sesampainya di sana, Asih melihat beberapa orang yang tengah membereskan dagangan mereka. Dia berjalan mendekati gerobak sayur yang sudah hampir kosong, berharap ada sisa sayuran yang bisa dia ambil. Namun, sebelum ia sempat memungut, seorang pedagang memarahinya.
“Hei, jangan ngambil-ngambil! Pergi sana!” teriak si pedagang, mengusir Asih seperti mengusir binatang liar.
Asih mundur dengan takut, matanya yang besar berkaca-kaca. Dia merasa tidak diinginkan di mana pun. Orang-orang di pasar berlalu lalang tanpa memperhatikan gadis kecil yang terpojok di sudut. Rasa lapar yang menusuk dan rasa takut yang semakin besar membuat Asih kehilangan harapan.
Setelah berjam-jam mengitari pasar tanpa hasil, Asih pulang dengan tangan hampa. Perutnya tetap kosong. Di rumah yang kini sunyi senyap, Asih duduk di sudut, meringkuk di atas tikar usang. Dia menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tetapi juga karena kesepian yang menyelimuti dirinya.
Hari demi hari berlalu dengan lambat. Asih tak lagi berani ke pasar. Rasa malu dan takut yang semakin besar membuatnya terkurung di rumah kecilnya. Tidak ada yang datang menanyakan keberadaannya. Orang-orang di kampung itu sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka seolah-olah lupa akan keberadaan Asih.
Ketua RT yang tinggal beberapa rumah dari Asih, tak pernah sekali pun menengok keadaannya. Orang-orang di kampung itu lebih tertarik membicarakan hal-hal lain yang menurut mereka lebih penting. Mereka tak sadar bahwa ada seorang gadis kecil yang tengah berjuang sendirian melawan rasa lapar dan kesepian di rumahnya yang sunyi.
---
Suatu pagi, seorang tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah Asih merasa ada yang aneh. Rumah Asih tampak terlalu sepi. Biasanya, meskipun tak ada suara, setidaknya dia melihat Asih duduk di depan pintu, memandangi jalanan. Tapi hari itu, rumah itu begitu sunyi.
Rasa penasaran membuat tetangga itu mendekati pintu dan memanggil, "Asih, kamu di dalam?"
Tak ada jawaban. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya dia memutuskan untuk masuk. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang dia lihat membuat jantungnya berdegup kencang. Di sudut ruangan, di atas tikar usang, tubuh kecil Asih terbaring kaku.
Gadis kecil itu telah meninggal. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus kering, tanda-tanda kelaparan yang jelas terlihat. Asih pergi dengan cara yang menyedihkan, tanpa ada yang peduli, tanpa ada yang menemani.
Berita kematian Asih segera menyebar ke seluruh kampung. Orang-orang mulai berdatangan ke rumah kecilnya, melihat dengan penuh rasa bersalah. Mereka teringat bahwa gadis kecil itu sudah lama hidup sendirian, tanpa ada orang yang benar-benar peduli. Bahkan ketua RT yang selama ini menutup mata, hanya bisa tertunduk malu.
Asih telah pergi. Hidupnya yang singkat dipenuhi oleh kesepian dan kelaparan, namun tidak ada seorang pun yang memberikan uluran tangan saat dia membutuhkannya. Kini, setelah kepergiannya, orang-orang baru menyadari betapa mereka telah mengabaikan seorang anak kecil yang seharusnya dilindungi.
---
Asih mungkin sudah tak lagi merasakan sakit dan lapar. Tapi kisah hidupnya yang tragis menjadi pengingat bagi semua orang di kampung itu. Pengingat bahwa di tengah kesibukan hidup, ada orang-orang yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang, namun sering kali terlewatkan. Asih yang kecil dan rapuh telah pergi, namun luka yang ditinggalkannya di hati mereka yang pernah mengenalnya akan selamanya ada.