Masukan nama pengguna
Lily selalu menjadi sosok yang berbeda di sekolah. Wajah cantiknya yang pucat, dipadukan dengan kecerdasan di atas rata-rata, membuatnya tampak tak terjangkau oleh siswa-siswa lainnya. Sayangnya, bukannya kagum atau menghormatinya, teman-teman sekelas justru melihatnya sebagai ancaman. Mereka merasa tertutupi oleh pesona dan prestasinya. Di antara mereka, ada sekelompok siswi populer yang paling membenci Lily, dipimpin oleh seorang gadis bernama Siska.
Siska dan gengnya, yang terdiri dari empat gadis lain, memandang Lily dengan iri yang membara. Lily selalu mendapatkan perhatian dari guru-guru, dan sering kali memonopoli pujian atas pencapaian akademiknya. Namun, bukan hanya kecerdasannya yang menjadi sumber kecemburuan Siska. Ada satu lagi hal yang membuat darah Siska mendidih: Renald, ketua OSIS yang tampan dan idola seluruh sekolah, tampaknya juga tertarik pada Lily.
Lily, dengan semua sikap introvertnya, tidak pernah menyatakan perasaannya pada siapa pun, tapi jauh di dalam hatinya, dia mengagumi Renald. Sosok Renald yang karismatik, cerdas, dan baik hati membuat Lily merasa seolah-olah hanya dengan memandangnya, dia bisa melupakan semua masalahnya.
Namun, Siska melihat pandangan-pandangan sekilas Lily terhadap Renald, dan hal itu memperburuk kebenciannya. Suatu hari, ketika sore menjelang dan sekolah mulai sepi, Siska dan gengnya memutuskan untuk memberikan "pelajaran" pada Lily. Saat itu, Lily tengah berada di perpustakaan, sibuk membaca buku, tak menyadari bahwa malapetaka sedang menunggunya.
Ketika Lily hendak pulang, Siska dan teman-temannya menghadangnya di koridor yang sepi.
“Lily, mau ke mana?” Siska tersenyum licik, dengan tatapan sinis yang tajam.
Lily yang terkejut hanya bisa mundur perlahan. “Aku... aku hanya mau pulang.”
“Oh, tidak. Kamu belum bisa pulang,” kata Siska dengan suara yang manis namun mengancam. Dengan satu gerakan cepat, mereka menarik Lily menuju gudang sekolah yang terletak di belakang gedung tua yang sudah jarang digunakan.
Gudang itu sudah lama dianggap sebagai tempat angker. Banyak cerita yang beredar tentang kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi di sana, mulai dari suara-suara langkah kaki di malam hari hingga penampakan sosok-sosok misterius. Siska dan teman-temannya tidak peduli dengan cerita-cerita itu. Bagi mereka, mengurung Lily di sana adalah cara sempurna untuk mengajarinya bahwa dia tidak diinginkan di sekolah itu.
Mereka mendorong Lily masuk ke dalam gudang, menutup pintu keras-keras, dan menguncinya dari luar.
“Tunggu sampai ada yang menemukamu besok pagi,” kata Siska di sela-sela tawa liciknya. Mereka meninggalkan Lily di dalam kegelapan, terjebak sendirian.
Lily yang ketakutan memukul-mukul pintu dan berteriak, namun tak ada satu pun orang di sekolah yang mendengar. Sekolah sudah sepi, dan malam mulai menjelang. Suasana di dalam gudang sangat mencekam. Ruangan itu dipenuhi rak-rak tua yang berdebu, perabotan rusak, dan bau kelembapan yang pekat. Jantung Lily berdetak cepat, peluh dingin membasahi tubuhnya. Dia berusaha untuk tetap tenang, namun suasana menyeramkan di sekitar membuat pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan menakutkan.
Saat malam semakin larut, Lily mulai mendengar suara-suara aneh. Langkah kaki di lantai kayu yang berderak, napas panjang yang berat, dan sesekali, bisikan halus yang menyebut namanya. "Liiily... Liiily..." Suara itu terasa dekat, seakan-akan ada sesuatu yang bergerak di antara bayangan.
Ketakutan Lily mencapai puncaknya ketika tiba-tiba ada suara keras dari sudut ruangan. Sesosok bayangan hitam besar melintas di hadapannya, melayang dengan cepat. Lily berteriak histeris dan mundur hingga terjatuh ke lantai. Sosok itu bergerak semakin dekat, hingga wajahnya yang menyeramkan tampak jelas dalam kegelapan. Mata merah menyala, kulit pucat seperti mayat, dan senyuman yang bengkok, mengerikan.
Lily merasa dirinya hampir pingsan saat sosok itu mendekat, namun tiba-tiba, sebuah tangan kuat menariknya mundur. "Jangan takut, aku di sini untuk menolongmu," bisik sebuah suara tenang di telinganya.
Lily menoleh dan melihat seorang pemuda berdiri di sampingnya. Wajahnya teduh, meski tampak sedikit pucat, dan matanya memancarkan ketenangan yang misterius. “Kita harus segera keluar dari sini,” katanya lagi.
Lily, masih gemetar, hanya bisa mengangguk. Pemuda itu membimbingnya ke arah pintu belakang gudang yang entah bagaimana bisa terbuka. Dengan cepat mereka berlari keluar dari gedung tua tersebut. Pemuda itu memegang erat tangannya, memimpin Lily melalui lorong-lorong sekolah yang gelap hingga akhirnya mereka mencapai gerbang. Di luar, udara malam terasa lebih dingin, namun Lily bisa bernapas lega.
“Kau... siapa?” tanya Lily dengan suara parau, masih terkejut oleh semua yang baru saja terjadi.
Pemuda itu tersenyum samar. “Hanya seseorang yang peduli padamu.” Dengan kata-kata itu, dia memutar tubuhnya dan berjalan menjauh, menghilang dalam kegelapan malam tanpa meninggalkan jejak.
Lily tidak sempat mengucapkan terima kasih atau bertanya lebih lanjut. Dia hanya berdiri di sana, merasa bingung namun bersyukur, sebelum akhirnya pulang ke rumahnya dengan tubuh yang masih gemetar.
---
Keesokan harinya, Lily kembali ke sekolah dengan satu tujuan dalam pikirannya: menemukan pemuda yang telah menyelamatkannya. Dia mencoba mencari di antara siswa-siswa yang lewat, bahkan menyusuri setiap koridor dan ruang kelas. Tapi anehnya, tidak ada satu pun siswa yang mengenali pemuda yang dia gambarkan.
Lily tidak menyerah. Dia memutuskan untuk bertanya kepada penjaga sekolah dan staf lainnya, namun hasilnya nihil. Tidak ada yang tahu siapa pemuda itu. Rasa penasaran Lily semakin besar. Siapa yang telah menolongnya malam itu? Apakah dia benar-benar nyata, atau hanya imajinasinya belaka?
Ketika Lily hampir menyerah, dia bertemu dengan seorang guru tua, Pak Budi, yang mengajar sejarah sekolah. Guru itu mendengarkan cerita Lily dengan seksama, lalu menatapnya dengan tatapan serius.
“Kau bilang pemuda itu memiliki wajah pucat dan mata yang teduh?” tanya Pak Budi dengan nada pelan.
Lily mengangguk. “Iya, dan dia... dia muncul begitu saja di gudang malam itu.”
Pak Budi terdiam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. Akhirnya, dia berkata dengan nada rendah, “Lily, ada sesuatu yang perlu kau ketahui. Sepuluh tahun yang lalu, ada seorang siswa yang bunuh diri di sekolah ini. Namanya Arman. Dia dikenal sebagai siswa yang pendiam dan pintar, tapi dia juga sering di-bully oleh teman-temannya. Suatu malam, dia ditemukan tewas di gudang tua, tempat yang kau sebutkan.”
Lily merasakan darahnya membeku. "B-bunuh diri?"
Pak Budi mengangguk pelan. “Ya, dan sejak saat itu, banyak yang mengatakan bahwa arwahnya sering terlihat di sekitar gudang. Beberapa percaya bahwa dia masih berkeliaran, menunggu untuk membantu mereka yang mengalami nasib serupa.”
Kata-kata Pak Budi bergema di pikiran Lily. Apakah pemuda yang menolongnya malam itu adalah Arman? Apakah dia telah diselamatkan oleh roh seorang siswa yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu?
Kejadian malam itu terlalu nyata untuk dianggap hanya sebagai imajinasi. Lily merasa jantungnya berdegup lebih kencang saat memikirkan kemungkinan bahwa dia telah berhadapan dengan sosok dari alam lain. Pikirannya mulai berputar, dihantui oleh perasaan campur aduk antara ketakutan dan rasa terima kasih.
Sejak kejadian itu, Lily merasa bahwa sekolah bukan lagi tempat yang aman baginya. Kengerian yang dia alami di gudang dan fakta bahwa pemuda misterius itu adalah arwah seseorang yang bunuh diri membuat Lily memutuskan sesuatu yang tak terhindarkan. Dia tak ingin terjebak lebih lama di tempat ini, di mana kenangan buruk dan sosok-sosok dari masa lalu berkeliaran.
Akhirnya, dengan hati yang berat namun yakin, Lily memutuskan untuk pindah sekolah. Dia ingin melupakan semua yang terjadi di tempat ini, melupakan Siska, g
engnya, dan pemuda misterius yang telah menyelamatkan hidupnya.