Masukan nama pengguna
Malam itu, hujan rintik-rintik menyelimuti kota kecil tempat Alfian tinggal. Langit kelabu dan angin dingin bertiup pelan, membawa suasana yang mencekam. Meskipun cuaca tak bersahabat, Alfian tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia baru saja selesai berkemas untuk liburan sekolah, dan kali ini, ia akan menghabiskan waktu di desa yang indah, di rumah neneknya yang sudah lama tak ia kunjungi.
"Ibu akan menemanimu, sayang," kata suara lembut ibunya di belakangnya, membuat Alfian berbalik dengan senyuman lebar.
"Iya, Bu. Aku senang kita bisa pergi bersama." Ibunya tersenyum lembut, sebuah senyuman yang selalu membuat hati Alfian hangat. Dia tak pernah merasa sendirian meski ayahnya sering sibuk dan ibunya telah meninggal dunia dua tahun lalu. Namun, dalam pikirannya, ibunya selalu ada, seperti saat ini.
Pagi harinya, Alfian berpamitan pada ayahnya, Santoso. Tapi, anehnya, dia tidak memberitahu tujuannya. Mungkin terlalu bersemangat, pikir Santoso, dan menganggap itu hanya hal biasa. Alfian memang jarang terbuka padanya sejak kematian istrinya.
"Ayah, aku mau pergi. Sampai jumpa nanti," kata Alfian sambil memanggul tas ranselnya.
Santoso hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia berpikir putranya akan berlibur dengan teman-temannya. Tak ada yang perlu dicemaskan.
Alfian pun berangkat ke desa dengan ibunya, meninggalkan hiruk-pikuk kota di belakang mereka. Perjalanan ke desa itu terasa cepat bagi Alfian. Sesampainya di sana, desa itu seperti yang ia ingat—sawah yang hijau membentang, pepohonan rindang, dan udara yang bersih. Rumah neneknya tampak hangat, menyambutnya dengan tenang.
Hari-hari Alfian di desa begitu menyenangkan. Ia berjalan-jalan di sekitar desa, menikmati pemandangan indah, berkeliling ke hutan kecil di pinggir desa, dan berbincang dengan penduduk yang ramah. Setiap malam, ibunya selalu hadir, menemaninya makan malam bersama nenek. Semuanya terasa sempurna bagi Alfian, jauh dari kebisingan kota yang melelahkan.
Namun, di sisi lain, Santoso mulai merasa aneh. Sudah beberapa hari Alfian tak memberi kabar, dan Santoso mulai khawatir. Dia mencoba menghubungi beberapa teman Alfian, tapi tidak satupun yang tahu ke mana anaknya pergi. Kegelisahan Santoso bertambah ketika ia menemukan sebuah surat di kamar Alfian. Surat itu tertulis dengan rapi, tangan Alfian sendiri:
"Ayah, aku pergi liburan bersama ibu ke rumah nenek. Kami akan di sana selama beberapa minggu. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja."
Jantung Santoso berdebar kencang saat membaca surat itu. Apa maksudnya? Istrinya, ibu Alfian, sudah meninggal dunia. Bagaimana mungkin Alfian pergi bersama ibunya?
Santoso tak bisa berdiam diri. Ia merasa ada yang sangat salah. Maka, ia memutuskan untuk pergi ke desa tempat mertuanya tinggal dan mencari Alfian. Ia mengajak Sari, istri mudanya yang baru dinikahinya setahun lalu. Sari awalnya enggan ikut. Ia merasa tidak nyaman dengan mertuanya, apalagi dengan Alfian yang jarang berinteraksi dengannya. Namun, karena Santoso mengancam akan memotong uang belanjanya, Sari akhirnya setuju.
Sesampainya di desa, Santoso merasa desa itu tak seperti dulu. Rasanya ada sesuatu yang janggal. Rumah mertuanya terlihat sama, tetapi suasananya lebih suram dari yang ia ingat. Langit di atas desa selalu mendung, meski tak hujan. Udara terasa lembab dan berat, seolah membawa keheningan yang menyesakkan.
Saat mereka tiba, Sari mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Setiap malam, dia merasa seperti diawasi. Bayangan wanita yang tak asing selalu tampak di sudut-sudut rumah, tapi ketika dia menoleh, bayangan itu menghilang. Kadang, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya, suara halus namun jelas.
Pada malam ketiga, teror itu semakin nyata. Sari terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara ketukan di jendela kamarnya. Ia terkejut melihat bayangan seorang wanita berdiri di luar, wajahnya samar tertutup kabut. Wanita itu tersenyum aneh, dengan mata yang kosong. Seketika, Sari menyadari siapa wanita itu. Itu adalah Sulastri, istri pertama Santoso, ibu Alfian.
Sari gemetar, mencoba memejamkan mata dan berdoa agar itu hanya mimpi buruk. Tapi ketika dia membuka matanya lagi, wanita itu sudah berada di dalam kamar, berdiri di sudut ruangan dengan pandangan menusuk ke arahnya. Sari menjerit keras, membangunkan Santoso yang langsung berlari ke kamar.
“Ada apa, Sari?!” tanya Santoso dengan wajah bingung.
“Ada... ada dia... di sini... dia!” Sari menunjuk sudut kamar, tapi tidak ada siapa-siapa.
Santoso bingung. "Siapa yang kamu maksud?"
Sari gemetar dan tidak bisa berbicara. Malam itu menjadi awal dari teror yang terus menghantui Sari. Setiap malam, sosok Sulastri muncul, semakin mendekat, semakin nyata. Kadang, Sari mendengar suara bisikan di telinganya, suara lembut namun dingin yang mengucapkan kata-kata menakutkan: “Aku tahu apa yang kau lakukan.”
Sari semakin ketakutan. Ia mulai kehilangan akal sehatnya. Santoso melihat perubahan drastis pada istrinya yang biasanya angkuh, kini menjadi cemas dan ketakutan setiap saat.
Sementara itu, Alfian semakin jauh di dunia mimpinya. Ia merasa bahagia berada bersama ibunya. Setiap hari ia menghabiskan waktu dengan ibunya, berjalan-jalan, berbincang. Namun, lama kelamaan, Alfian mulai merasakan sesuatu yang aneh. Neneknya sering kali menatapnya dengan pandangan khawatir. Kadang, Alfian merasa desa ini terlalu sepi, terlalu sunyi, bahkan bagi penduduk desa.
Hingga suatu malam, Alfian bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat ibunya duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak pucat dan tidak seperti biasanya. Suara ibunya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
"Alfian, ibu tak bisa tinggal lebih lama. Ada yang harus kau ketahui."
Alfian bingung. "Apa maksud ibu? Bukankah kita baik-baik saja di sini?"
Ibunya menggeleng pelan. "Ibu sudah lama pergi, Nak. Tapi ada sesuatu yang harus ibu sampaikan. Sari... istri ayahmu... dia tidak seperti yang kau pikirkan."
Keesokan harinya, saat teror terhadap Sari semakin menjadi-jadi, sebuah rahasia gelap mulai terkuak. Nenek Alfian akhirnya menceritakan yang sebenarnya pada Santoso dan Alfian. Dua tahun lalu, ketika Sulastri, ibu Alfian, meninggal, kematian itu bukan karena sakit seperti yang mereka kira. Sulastri telah dibunuh. Dibunuh oleh seseorang yang sangat dekat.
Semua mata tertuju pada Sari, yang saat itu sudah mulai kehilangan akal. Dengan suara gemetar, Sari mengakui perbuatannya. Dia membunuh Sulastri, meracuni makanan ibu Alfian dengan tujuan agar dia bisa menggantikan posisi Sulastri di hati Santoso. Semua karena uang dan keinginan untuk hidup mewah.
Pengakuan itu membuat Santoso terpukul. Dia tak pernah menyangka istri mudanya sanggup melakukan hal sekeji itu. Alfian yang mendengar semuanya hanya bisa diam. Hatinya kosong. Sosok ibunya yang selama ini ia lihat dan temui ternyata bukanlah kenyataan, melainkan sebuah pertanda. Arwah ibunya telah datang untuk menuntut balas atas kematiannya.
Malam terakhir di rumah itu menjadi malam teror terakhir bagi Sari. Sosok Sulastri muncul di hadapannya, lebih jelas dari sebelumnya. Dengan senyuman dingin, Sulastri menghampiri Sari yang terduduk ketakutan di sudut kamar.
"Aku datang untuk menjemputmu," bisik Sulastri.
Tak ada yang bisa dilakukan Sari selain berteriak histeris. Namun, malam itu, suaranya tenggelam dalam kegelapan desa. Pagi harinya, Santoso menemukan tubuh Sari tergantung di kamar, dengan wajah pucat dan mata terbuka lebar, seolah melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum ajal menjemput.
Santoso dan Alfian meninggalkan desa itu dengan hati yang hancur. Kenangan akan rumah nenek yang indah kini berganti dengan trauma yang mendalam. Tapi satu hal yang pasti, arwah Sulastri
kini telah tenang. Dia telah mendapatkan keadilan yang ia cari.