Masukan nama pengguna
"Yaasiin .... Wal qur-aanil hakim .... Innaka laminal mursaliin ..."
Suara itu lagi-lagi terdengar dari ujung lorong rumah sakit. Selepas Isya, selama Ramadan, beberapa orang suster sering melihat seorang laki-laki berjaket bomber membacakan ayat suci Al-qur'an. Ingin rasanya kedua kaki melangkah menghampirinya. Ingin rasanya kedua mata ini mengetahui siapa gerangan si pengalun ayat suci Al-qur'an itu. Jika diberi kesempatan, ingin pula rasanya mulut ini melontarkan ucapan terima kasih.
"Papa? Mau ke mana?" Aryo Suryaatmaja merasa tangannya ditarik oleh seseorang. Begitu dia melirik sikutnya, genggaman tangan anak semata wayangnya yang kemarin baru lulus SD sudah melingkar.
"Papa dengar suara itu lagi." Aryo memandang istrinya yang sudah tak sadarkan diri di atas ranjang. Dari ujung kepala sampai ujung kaki sang istri menempel berbagai alat medis. Sudah dua minggu lamanya, wanita berkepala botak itu dirawat di ruang steril khusus karena penyakit kanker payudara stadium empat. Selama itu pula, sekali-sekali, Aryo mendengar alunan surat Yaasin yang disinyalir berasal dari ujung lorong rumah sakit. Jaraknya memang tak dekat. Namun, entah mengapa, dia merasa sayup-sayup mendengarnya.
Aryo keluar dari ruang steril dengan sebelumnya melepaskan pakaian medis khusus berwarna hijau. Di saat itulah, dia langsung memergoki seseorang sedang bersandar di dinding lorong rumah sakit yang tak jauh dari pintu ruang steril. Dia mencoba mendekati dan saat itulah orang itu menyudahi bacaannya.
"Fatir?" Aryo membetulkan letak kaca matanya, menguji apakah penglihatannya benar.
"Eh, Aryo?" seorang berjaket bomber dan bertopi simbol Nike itu memasukkan buku doa yang barusan dibacanya ke dalam saku jaketnya.
Aryo menunjuk ragu, "Jadi kamu yang selama ini membaca Yasin?"
"Maaf," laki-laki bernama Fatir itu tersenyum sendu, "tapi hanya hal ini yang bisa saya berikan kepada Lena. Hmm maksudnya, dalam taraf sesama saudara muslim."
"Te .... rima kasih ...." merasa terharu, Aryo menepuk bahu Fatir. Benar kata Fatir barusan, dia adalah saudara sesama muslim bagi Aryo dan Lena.
YASIN UNTUK SANG MANTAN
Dua minggu sebelumnya ....
"Dua puluh ribu untuk salad pastanya, Pak. Ada lagi?"
"Udah itu aja. Bayarnya pakai uang pas, ya?"
Kisah berawal di kantin rumah sakit tempat istriku melahirkan beberapa hari kemarin. Sehabis shalat jumat, aku membeli semangkuk salad pasta kesukaan istriku di kantin rumah sakit. Tiba-tiba, seorang laki-laki berkacamata yang sepertinya tak asing bagi kedua mataku berjalan melewati kantin. Rasa penasaran mulai timbul ketika kedua matanya juga agak lama memperhatikanku. Sambil terus melangkah, dahinya berkerut. Apakah dia juga sedang berusaha mengingatku?
Sayangnya, benakku sepertinya tak mengingat apapun.
Baru saja aku meraih kantong karton berisi salad pasta dan berbalik menuju lift, kulihat laki-laki berkaca mata itu menghilang di balik lorong rumah sakit bagian penyakit dalam. Kedua kakiku ingin sekali menyusulnya. Sayangnya, dering telepon genggam menyelamatkanku dari lamunan panjang dari masa lalu. Valerie Pramana, istriku yang beberapa hari lalu melahirkan anak kembar laki-laki kami menelepon. Pasti dia ingin menanyakan soal salad-nya. Padahal sudah melahirkan, tetapi masih saja ngidam.
"Mas Fatir Sayaaang, kok lama banget?" suara istriku terdengar dari speaker ponsel.
"Halo, Sayangku? Iya. Ini aku mau ke atas. Udah beli salad-nya." Kupencet tombol lift untuk membawaku ke lantai atas. Tak berapa lama, pintu lift terbuka. Aku pun masuk dan siap membawakan makanan kesukaan istriku tercinta.
Sesampainya di lantai ruang inap istriku, aku melangkahkan kaki menuju kamar paling pojok. Di sanalah istriku tercinta dirawat setelah melahirkan. Karena kemarin aku melihatnya secara langsung, aku merasa lebih menyayangi dan mencintai dirinya yang sudah banyak berkorban itu.
"Ini saladnya. Aku suapin aja biar tangan kamu nggak kotor kalau nanti nyusuin." Kududuk di samping ranjang Valerie sambil menyodorkan sesendok salad ke mulutnya. Dosakah jika aku baru mengingat perutku keroncongan sekali? Aku baru ingat kalau semalam tak sahur. Sehabis lembur mengoreksi berbagai laporan dari para anak buah di kantor, aku terbangun ketika adzan subuh berkumandang. Sial sekali.
"Biar aku aja yang suapin Mama." Gwen, putri sulung kami yang kini duduk di kelas tiga SD berharap aku memberikan salad kepadanya. Kami berdua memang sering berkompetisi memberikan perhatian kepada Valerie. Tentunya kompetisi yang dimaksud berkonotasi positif.
"Sudah. Biar Papa saja. Kamu siap-siap saja. Sebentar lagi berangkat les ngaji, kan?"
"Aaah." Gwen kembali duduk di sofa dengan perasaan jengkel. Dia langsung siap-siap mengenakan kerudung untuk berangkat les mengaji di rumah.
"Gwen Sayang, jangan cemberut begitu mukanya. Cantiknya jadi hilang." Valerie mengingatkan Gwen. Setelah itu, rupanya dia beralih memperhatikanku, "Mas Fatir, ada yang lagi kamu pikirin, ya?" Dia tiba-tiba menyentuh pipiku. Dia memang betul-betul soulmate-ku. Aku tak perlu cerita apa-apa, tetapi dia sudah tahu kalau ada yang mengganjal di pikiranku.
"Tadi," sudah kebiasaan bagi kami untuk saling terbuka satu sama lain, "aku kayaknya lihat orang yang sepertinya aku kenal."
"Siapa?" Valerie mengerutkan dahi.
"Justru itu yang jadi pikiran," anggukku, "aku nggak ingat sama sekali."
"Coba diingat-ingat. Klien kamu? Rekan kerja? atau teman organisasi akuntanmu?"
Aku terus-terusan menggeleng, "Kayaknya bukan orang yang aku temui di kantor."
"Anaknya teman almarhum papa kamu? Atau teman mama?"
"Bukan." Aku terus menggelengkan kepala.
"Tetangga? Teman sekolah? Teman kuliah?"
"Mungkin."
"Atau mungkin, " Valerie tak menyerah. "Pikiran kamu aja yang kayaknya kenal."
"Tapi, orang itu juga lihatin aku lama banget, Val. Berarti kan kenal?" Aku ngotot.
Sambil mengangkat bahu, Valerie hanya menghela napas.
***
"Dua puluh ribu untuk salad pastanya, Pak. Ada lagi?"
"Udah itu aja. Bayarnya pakai uang pas, ya?"
Entah Tuhan ingin berkata apa. Malamnya, selepas shalat tarawih di musola rumah sakit, aku kembali membeli makanan kesukaan istriku di kantin rumah sakit. Di sanalah, lagi-lagi aku melihat laki-laki berkaca mata itu.
"Iya, Tante. Aryo terus sabar dan meminta petunjuk Allah," sambil duduk seorang diri di suatu meja, laki-laki berkaca mata itu terisak-isak.
"Aryo? Oh!" mengetahui nama laki-laki itu, kedua mata dan pikiranku sekejap kompak dan menyusun suatu kesimpulan. Dilihat secara seksama, aku ternyata kenal siapa dia. Dia adalah Aryo Suryaatmaja, mantan ketua BEM ketika aku kuliah dulu. Sekaligus, suami dari Lena Aprindina, mantan kekasihku.
Mendengar nama dan memperhatikan sosoknya membuat pikiranku berselancar ke masa silam. Aku sendiri baru ingat jika rentetan kejadian ini pernah terjadi. Selama ini kelihatannya tak menguak di benak, tetapi rupanya tersimpan dengan baik di relung hati.
"Mencintaimu .... Seumur hidupku .... selamanya .... Kau tetap milikku ...."
Lena Aprindina, primadona angkatan '99 fakultas ekonomi yang menerima cintaku saat kami berdua menonton konser Krisdayanti di Senayan pada tahun 2001. Mana mungkin aku melupakannya. Sejak malam itu, dia resmi menjadi kekasihku.
Pulang dari konser itu, hujan turun lebat sekali. Vespaku sempat mogok di depan halte bus. Bermodalkan jaket kulitku, Lena memayungi dirinya dan juga diriku yang sedang jongkok mengotak-atik mesin motor. Kilat menyambar dan udara dingin sekali.
"Lena," aku mendongak ke atas, kuperhatikan wajah cantiknya yang dibingkai rambut pendek shaggy yang waktu itu trend, "Aku bayar kamu naik taksi mau, nggak? Vespanya nggak bisa jalan. Aku nggak enak sama Papa kamu di rumah kalau kamu pulang telat."
Lena melirik jam tangan yang kuharap anti air, "Sekarang sudah mau jam satu pagi. Apa kata Papa kalau aku pulang naik taksi sendirian?"
"Kalau kamu naik Vespa, kamu bisa kehujanan."
"Udah nggak apa-apa. Yang penting pulangnya sama kamu." Lena bersikeras.
Di malam itu, aku jadi bersikeras ingin cepat-cepat berhasil membetulkan Vespaku. Ungkapan Lena bahwa dia tak ingin meninggalkanku sendirian di sini kuyakini sebagai dorongan berharga. Sayangnya, berkali-kali aku menyalakan mesin Vespa, hanya kegagalan yang kutemui.
"Tin! Tin!"
"Eh, Lena, ya?!" deru mesin mobil yang diikuti dengan teriakan seseorang kudengar tiba-tiba. Sebuah mobil Pajero berhenti di seberang jalan. Wajah Aryo Suryaatmaja, salah satu senior di kampus kami sekaligus ketua BEM muncul di jendela pintu mobil. Mengapa dia ada di sini? Apakah dia juga menonton konser Krisdayanti? Atau sengaja membututi Lena yang memang ditaksirnya sejak lama?
"Ngapain Lena kehujanan begitu?" lanjut Aryo. "Ikut aku aja, yuk. Naik mobil. Daripada naik Vespa? Kehujanan nanti kamu."
"Nggak apa-apa kok. Aku mau nemenin Fatir. Vespanya mogok."
Jantungku berdetak kencang. Aku merasa kejujuran Lena kepada Aryo mengenai Vespaku adalah sebuah kekuranganku di depan Aryo. Padahal dalam misi memperebutkan hati Lena, Aryo adalah pesaing terberatku.
"Heh, apa? Mogok?" Kulihat sekilas ada senyum meledek di raut Aryo.
Lena sendiri lebih memilih diam setelah itu.
Saat aku mengembalikan fokusku untuk membetulkan mesin Vespa, kedua telingaku mendengar suara pintu mobil dibuka. Dengan cara berjalan yang meyakinkan, Aryo rupanya keluar dari mobil dan membuka sebuah payung besar. Dipayungilah Lena yang walaupun berlindung di balik jaketku, sudah terlanjur basah kuyup dan kedinginan.
"Hangatkan badan kamu dulu di mobilku, ya?" tawar Aryo begitu lembut. "Atau aku antar kamu pulang?"
"Aku nggak mau ninggalin Fatir sendirian di sini. Kamu pulang saja duluan." kaki kiri Lena sedikit menyenggolku. Bukan menendang. Dia hanya butuh suatu kata yang keluar dari mulutku. Dia harap, kata-kataku ini bisa mengenyahkan Aryo dari sini. Salah satunya mungkin menegaskan kalau mulai malam ini, aku adalah kekasih Lena.
Anehnya, bukannya berani mengakui sebagai kekasih Lena, aku malah diam membisu. Aku merasa tak pantas disebut sebagai kekasih Lena. Mana ada kekasih yang membiarkan orang yang dicintainya menggigil kedinginan?
"Fatir?" Lena kembali menyenggolku dengan kakinya.
Jiwa laki-lakiku seolah ditelan oleh pengakuanku bahwa Aryo lebih unggul. Memang ada benarnya juga kalau Lena tak boleh terus berada di sini. Nanti dia kedinginan dan bisa sakit.
"Ayo, Lena." Aryo sudah berani menggenggam tangan Lena. "Nanti kamu sakit."
Tanganku yang sedang mengutak-atik mesin Vespa gemetaran. Meski tak mampu memberikan hal yang terbaik bagi Lena, aku juga tak suka melihat Aryo mendekati Lena. Aku terpanggil untuk melindungi perasaan cinta Lena kepadaku.
"Aryo, biarkan Lena di sini." Aku bangkit tiba-tiba.
"Eh, lo siapanya Lena?" Aryo memincingkan mata.
"Fatir pacar gue," Lena berani memproklamirkan. Dia lirik kedua mataku, berharap aku juga menekankan hal yang sama kepada Aryo.
"Apa? Fatir ini pacar kamu?" Aryo memperhatikanku dari atas ke bawah. "Hoh. Oke," tampaknya ada kata yang tertahan di benaknya. Prediksiku kata-kata yang tertahan itu bersifat meremehkan.
"Oke kalau begitu." Aryo tersenyum kecut. Dia memutuskan untuk hengkang dari halte bus. Langkah kakinya menuju mobil cepat sekali.
Aku dan Lena tergerak untuk saling memandang.
"Hmmpf. Hahaha," awalnya menahan tawa. Lama-lama, aku dan Lena tertawa sendiri.
"Makasih, ya," kuhentikan tawaku dan mengucapkan terima kasih kepadanya, "maaf, ya," lalu ditutup dengan kata maaf.
"Maaf?" tentu saja Lena bingung dengan pernyataan maafku.
Kusunggingkan senyum kepadanya. Tentu saja aku merasa bersalah. Namun, mana mungkin aku mengaku bahwa hatiku terbebani karena merasa tak mampu memberikan yang terbaik untuk Lena?
***
"Valerie, Sayang. Ini salad pasta buat kamu." Kuletakkan kantong karton berisi salad pasta di samping ranjang rumah sakit.
"Kamu kok lama?" sebenarnya Valerie kesal, tetapi dia menunjukkan kepada suaminya dengan ekspresi manja.
"Maaf, Sayang. Aku ketemu orang berkaca mata itu lagi. Aku ingat sekarang dia siapa. Dia itu....," seolah pita suaraku tercekat. Kata "Aryo" tak terlontar dari mulut.
"Dia itu, siapa?" Valerie mengernyitkan dahi, menunggu jawabanku.
"Dia itu," bola mataku berputar-putar, "ah nggak penting!" kusudahi saja ceritaku dan berniat menyuapi istriku lagi.
"Kamu kenapa, Sayang?" rasa ingin tahu Valerie kuterima sebagai ungkapan rasa khawatir. "Kayaknya orang berkaca mata itu menguasai pikiranmu banget."
Kutatap mata Valerie yang kutahu tak bisa dibohongi. Dengan berat hati, kugelengkan kepalaku, lalu kukecup keningnya. "Aku enggak mikir apa-apa."
Valerie meletakkan kedua tangannya di kedua pipiku. Sambil tersenyum penuh pengertian, dia berkata, "Aku percaya sama kamu, Sayang," katanya.
Kubalas saja semua bentuk perhatian istriku tercinta ini dengan dekapan erat.
***
Keesokan harinya, aku berniat berbuka puasa seorang diri lagi di kantin rumah sakit. Kelihatannya, sore ini adalah hari terakhirku berbuka puasa di sini. Esok hari, Valerie dan kedua bayi kembar kami sudah boleh pulang.
"Pesen salad pasta lagi, Pak?" tanya penjaga kantin rumah sakit sambil tersenyum.
Kutunjuk beberapa lauk di balik kaca konter nasi rames. "Makan nasi aja, deh. Pakek tongkol dan bayam, ya. Cemilannya kurma. Minumnya teh manis dan air putih aja."
"Jadi salad pasta enggak, Pak?"
"Boleh, deh," untuk lebih menyenangkan hati Valerie yang besok sudah pulang ke rumah, lebih baik kubeli saja makanan kesukaannya di kantin rumah sakit ini.
Sambil menunggu hidangan berbuka puasaku tersaji di atas meja, aku duduk di salah satu meja yang masih kosong. Kurasa bukan suatu kebetulan. Di meja yang berada tepat di hadapanku, kulihat Aryo sedang duduk sambil menelepon seseorang. Sama seperti kemarin. Dia menangis.
"Mohon .... doa, ya, Bang," suara Aryo terbata-bata, "udah Bang. Kankernya sudah diangkat, tapi kondisi Lena menurun. Kata dokter, sekarang hanya tergantung alat."
"Hah?" Mataku terbelalak. Aku yakin barusan tak salah mendengar.
"Makasih, Bang. Makasih. Waalaikumsalam," Aryo menutup telepon. Air matanya menetes begitu deras. Sampai-sampai, kaca matanya dia lepas dan dia geletakkan begitu saja di atas meja.
Dengan tingkat keberanian yang sebenarnya masih tanggung, aku memberanikan diri untuk mendekati Aryo. Kuharap dia tidak lupa denganku. Hampir lima belas tahun tak bertemu bukanlah masa yang sebentar.
"Permisi," aku berdiri di hadapan Aryo.
Aryo masih sibuk menyeka air mata.
Kucoba untuk mengencangkan suara, "Ehem, permisi Aryo?"
"Eh?" Mendengar namanya dipanggil, Aryo mengangkat kepala dan menatapku sekilas. Dia sedikit mengernyitkan dahi, mencoba meraba-raba siapa gerangan orang yang kini ada di hadapannya. Aku yakin sekali jika dia sebenarnya mengenalku, tetapi mungkin tidak langsung ingat siapa namaku.
Aku menunjuk diriku sendiri, "Ini Fatir. Masih inget, nggak?"
"Fatir?" dengan gerakan yang begitu perlahan, Aryo beranjak dari kursi. "Fatir?" telunjuknya mengacung kepadaku.
"Iya," kucoba menyunggingkan senyum kecil.
"Fatiiiiiiir! Lenaaaa, Fatir! Lenaaa!" seolah tak peduli dengan sekeliling, Aryo memelukku dengan begitu kencang. Tangisnya meledak.
"Ya, Aryo! Sabar," aku merasa ada air mata yang mengambang di kedua mataku. Walaupun Aryo sudah menangis kencang begini, aku tetap berharap bahwa aku salah dengar perihal Lena yang terkena kanker.
"Lena kena kankeeer, Fatir. Kan .... ker," sehabis berteriak, suara Aryo hampir habis. Tentu saja, kini hatiku tak bisa mengelak. Lena, wanita yang pernah aku cintai di masa lalu kini memang sedang berjuang melawan penyakit ganas itu.
"Sekarang, Lena, di mana?" suaraku jadi bergetar.
"Di ruang khusus," Aryo terus menyeka air matanya dengan tissue.
"Oh," aku merasa betul-betul mati gaya, tetapi sebenarnya begitu besar perhatian dan empatiku saat ini. Karena aku percaya bahwa di dunia ini tak ada yang kebetulan, aku merasa Allah sudah menggariskan pertemuanku dengan Aryo. Mumpung ada kesempatan, aku jadi berpikir ingin bertemu Lena. "A .... pa boleh dijenguk?" nada bicaraku tentu saja penuh keraguan.
Tak kuduga sebelumnya jika keragu-raguanku ini disambut anggukan kepala yang cepat dari Aryo. "Mari, biar saya antarkan,"
Kulempar pandanganku ke meja makan. Seorang pramusaji kantin sudah menghidangkan makanan berbuka puasa yang tadi kupesan. Kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul enam kurang lima menit. Sekitar dua sampai tiga menit lagi akan tiba waktu berbuka puasa. "Mbak, maaf, Mbak. Makanannya bisa dibungkus?" aku sadar jika diriku sudah lama menahan lapar dan dahaga. Namun, mendengar kondisi Lena, seolah perutku sudah kenyang sendiri.
Akhirnya, ketika aku mengikuti Aryo menuju ruang steril, aku mendengar adzan berkumandang dari televisi di suatu sudut rumah sakit. Aku segera membaca doa berbuka dan membatalkannya dengan meneguk air mineral.
"Mau batalin dulu?" sebenarnya, aku membeli sekotak jus mangga untuk diriku berbuka puasa. Namun, melihat Aryo yang sedang was-was, bahkan dia sendiri lupa untuk berbuka puasa, aku jadi tergerak untuk memberikan minuman ini kepadanya.
"Nggak usah, Tir. Saya ada minum, kok," Aryo mengangkat tangannya. Cara berjalannya yang cepat dan langkahnya yang lebar membuatku harus menyesuaikan ritme berjalannya.
"Oh, oke," aku menganggukan kepala seraya tersenyum sedikit.
Kami berdua pun tiba di depan lift. Aryo langsung menekan tombol bersimbol tanda panah ke atas dan pintu lift pun terbuka setelah berapa lama. Karena sedang jam berbuka puasa, mungkin jadi tak banyak orang berwara-wiri. Kondisi lift yang kami naiki kosong melompong. Akhirnya, kami pun cepat sampai di ruang steril Lena.
"Haaah!" Sampai di depan pintu ruang steril, Aryo tak langsung membuka pintu. Dia sempat menghentikan langkah dan menghela napas begitu panjang. Kedua tangannya sempat menutup wajahnya dalam sepersekian detik. Mulutnya komat-kamit. Tampak ada doa-doa yang dia lirihkan.
Begitu pintu dibuka oleh Aryo, aku pun langsung memasuki ruang steril. Kedatangan kami disambut oleh seorang suster bermasker yang meminta kami berdua untuk mengenakan pakaian khusus berwarna hijau dan bermasker. Jaket dan makanan yang kubawa diharuskan ditinggalkan sebelum memasuki ruang inti.
"Mari, Tir," setelah selesai mengenakan pakaian medis berwarna hijau ini, Aryo kembali memanduku menuju ruang steril, tempat Lena dirawat.
"Oke, Yo," sambil melafalkan Al-Fatihah di dalam hati, aku mengikuti langkah Aryo memasuki ruang steril. Begitu aku memasukinya, sekejap tubuhku lemas dan sebongkah kesedihan mengoyak perasaan.
Lena ....
Sungguh untuk saat ini, aku benar-benar tak dapat memercayai apa yang aku lihat.
***
Bunyi alat pendeteksi detak jantung dan tekanan darah menghantui pendengaran. Penglihatanku kini juga sedang berusaha menerima kenyataan. Aku hampir tak mengenali wanita kurus berkepala botak yang kini terbaring tak berdaya di ranjang ruangan steril, di hadapanku. Mulutnya menganga dan dimasuki sebuah selang intubasi untuk membantu pernapasan. Begitu juga dengan hidungnya. Ada sebuah selang pengantar makanan cair yang belakangan kuketahui menyambung ke lambung selaku organ pencernaan. Jangankan nikmat menyantap hidangan lezat, nikmat mengecap makanan melalui lidah ataupun nikmat mengunyah tekstur makanan dengan gigi tak lagi dirasa olehnya. Kedua tangannya yang penuh lilitan alat dan infus juga kuperhatikan. Ada juga selang dari balik selimut yang menyambung ke sebuah alat yang diletakkan di kolong ranjang. Kemungkinan fungsi alat itu sebagai alat bantu buang air pasien. Singkat kata kusimpulkan, seluruh organ di dalam tubuhnya sudah tak bekerja secara maksimal.
"Ya Allah. Lena?" aku lupa kapan terakhir aku menangis. Namun yang jelas, air mataku kini deras mengalir dari mata ke pipi. Tak pernah terbayangkan di pikiranku bahwa primadona penuh senyum yang pernah kucintai ini berada dalam kondisi seperti ini. "Ya Allaaaah," kugenggam tangan kanan Lena yang rasanya tinggal tulang dan kulit. Kutempelkan tangan itu di dahiku.
Hampir lima belas tahun tanpa pertemuan. Ketika Allah menghendaki pertemuan di antara kami, mengapa dalam keadaan seperti ini? Aku sungguh berharap mukjizat datang sekarang juga. Dalam tangis, kuharap kedua mata Lena yang terpejam dan direkatkan plester putih itu terbuka perlahan. Kemudian, mungkin canda tawa bisa menyeruak di ruangan steril ini.
"Mo .... hon, doanya .... Tir," suara serak Aryo adalah satu-satunya unsur yang kudengar selain bunyi alat detak jantung milik Lena. Dia bersandar pada dinding dan menutup wajahnya dengan tangan kanan yang sikutnya ditopang oleh tangan kirinya yang dilipat di pinggang. Hatiku saat ini sudah bukan lagi bagaikan terkoyak, tetapi sudah teriris-iris. Sekarang juga kupanjatkan doa agar kesembuhan segera menyapa Lena.
"Pasti," dengan suara yang tak kalah gemetaran menahan isak, aku menganggukan kepala.
***
"Fatir, skripsi kamu harus selesai tahun ini. Kamu harus jadi sarjana yang banggain Mama dan Papa kamu," dibarengi dengan suara langkah kakiku yang mengarungi lorong rumah sakit, benakku terus menyuarakan kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan Lena di masa silam. Seandainya dia bisa melihatku menjadi akuntan sukses seperti sekarang ini, tanpa malu-malu aku ingin berteriak di hadapannya bahwa kesuksesan ini mungkin berkatnya yang dahulu selalu memberi semangat. Setiap pertemuan pasti sudah digariskan oleh Allah.
"Fatir, kamu kok belum nyari pekerjaan? Katanya kamu mau ngelamar aku? Tapi, kamu harus punya pekerjaan tetap dulu."
Hampir lima belas tahun berlalu rupanya tak membuatku melupakan suaranya, apalagi menghapus tatapan mata penuh kekhawatirannya dari benakku. Aku sendiri sudah tahu apa yang akan terjadi setelah Lena menanyakan kapan aku bisa melamarnya waktu itu.
"Aku nggak bisa nunggu lama. Kamu masih ingat Aryo? Kemarin dia ke rumah dan ngobrol panjang lebar sama Papa dan Mama. Sekarang dia kerja di kantor pajak."
Baru kusadari bahwa ternyata ada luka yang rasa sakitnya berkali-kali lipat dari rasanya takut ditinggalkan.
"Fatir, malam minggu kemarin Aryo datang ke rumah lagi. Kamu belum juga dapat kerjaan? Fatir, kata Papa, Aryo berniat melamarku."
Luka perih itu baru aku rasakan hari ini.
"Siapa perempuan yang kemarin jalan-jalan sama kamu di Mall? Fatir, kamu selingkuh, ya?" suara Lena dari masa lalu masih saja diputar oleh benakku. Sepintas, aku ingat makan malam terakhirku bersama Lena.
Sosok wanita yang dilihat Lena bersamaku di mall itu tentu saja Valerie. Saat itu, dia adalah satu-satunya kawan yang memahami keterpurukanku yang hampir setahun menjadi pengangguran. Aku mengenalnya ketika sama-sama menjadi pelamar kerja di sebuah perusahaan audit. Kami berdua memang tak berjodoh karir dengan perusahaan audit tersebut, tetapi kami berdua malah berjodoh untuk menikah dan berkeluarga.
"Kamu nggak jelas Fatir. Kuharap kamu mengerti kalau aku menerima lamaran Aryo."
"Silakan," jawaban santaiku ketika itu jauh dari jiwa seorang laki-laki. Tamparan keras di pipi langsung kudapatkan dari Lena. Mungkin pada saat itu, dia masih berharap untuk diperjuangkan. Habis, mau bagaimana lagi? Laki-laki paling tak bisa didesak untuk melakukan sesuatu yang bukan berasal dari keputusan penuhnya.
"Pengecut! Tukang selingkuh!" teriakan-teriakan Lena kepadaku waktu itu rasanya memang pantas jika dilihat dari sudut pandangnya. Aku terkesan tak memperjuangkan cintanya. Namun, aku hanya manusia biasa. Aku juga punya cerita yang harus kutulis. Terlebih lagi jika itu bukan sebuah pernikahan. Semoga caraku melepasnya ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawabku bahwa ada seorang lain yang lebih pantas mempersuntingnya dibanding aku.
"Mas Fatir, telepon aku kok nggak kamu angkat? Aku mau nitip salad pasta," begitu kubuka pintu ruang inap istriku, Valerie sudah memborbadirku dengan pertanyaan. Lantaran memperhatikan wajah lesuku, mimik kencang Valerie melunak. "Kamu kenapa, Sayang?" dia merasa saat ini aku membutuhkan dirinya. Perlahan, dia berusaha bangkit dari ranjang rumah sakit dan mendekati suaminya yang berdiri di ambang pintu.
"Val," bisikku lirih, "Tadi aku ketemu Aryo."
"Aryo?" sepertinya, Valerie lupa dengan nama Aryo. Apa boleh buat? Seingatku, aku hanya menceritakan perihal Aryo ketika laki-laki itu akhirnya menikah dengan Lena, mantan kekasihku.
"Suaminya Lena."
"Oooh," ekspresi ingin tahu Valerie berubah menjadi sedikit curiga, "Mas Fatir ketemu juga sama Lena? Hmm... Lena ini maksudnya Lena mantan kamu itu, kan?"
"Lenaaaaa," tak menjawab pertanyaan Valerie, aku malah mendekap erat istri tercintaku. Awalnya Valerie tak membalas pelukanku, mungkin masih dihadang kebingungan. Sampai akhirnya, masih dalam keadaan memeluknya, aku berkata, "Badannya sudah dipenuhi alat di ruang steril. Sudah kurus sekali karena digrogoti kanker."
"Hah? Lena kena kanker?" Valerie yang semula mungkin sedikit cemburu langsung melepas pelukanku dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.
Sambil terisak, aku mengangguk, "Aku baru ingat kalau laki-laki berkaca mata yang kemarin aku lihat itu Aryo."
Buku Yasin 40 hari mengenang kepergian almarhum Papa yang tergeletak di atas meja samping ranjang Valerie menarik perhatian. Sekelabat, aku punya usulan.
Kuraih Buku Yasin bersampul hijau itu dengan keadaan masih menyeka air mata.
Ketika pikiranku sedang kalang kabut, Valerie mengusap punggungku dan menunjuk Buku Yasin. Katanya, "Tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain memberinya doa. Kalau perlu setiap hari."
Sebuah ide terangkai di benakku. "Setiap hari? Kamu nggak marah?" tanyaku kepada Valerie.
"Buat apa marah? Hak kamu sebagai orang yang pernah mengenal baik dirinya untuk mendoakannya."
Dikuasai rasa haru, kupeluk erat Valerie. Aku masih melanjutkan tangisku saat ini. Sebenarnya selain menangisi kondisi Lena, aku juga menangisi bagaimana Aryo dan juga keluarga Lena menghadapi semua ini. Aku masih berharap kedua mata Lena terbuka sesaat. Aku ingin mengucapkan terima kasih dan maaf sekaligus padanya.
***
"Yaaasssiiin." Sudah dua minggu belakangan, seorang pria membaca ayat suci Al-qur'an sambil bersandar di dinding rumah sakit. Para suster yakin betul bahwa istri dari pria itu tak lagi berstatuskan sebagai pasien di rumah sakit ini. Ibu Valerie Pranama sudah pulang ke rumah dalam keadaan sehat bersama kedua bayi kembarnya.
Jadi, siapa kira-kira pria yang tengah mengaji di lorong rumah sakit itu?
Siapa lagi kalau bukan aku, Fatir Pranama?
Hanya hal ini yang bisa kusumbangkan kepada Lena.
Tentunya tanpa sepengetahuan siapapun.
Sampai akhirnya, aku merasa ada seseorang menghampiriku. Aku pun berhenti membaca Yasin.
"Fatir?" ternyata Aryo yang menghampiriku. "Jadi kamu yang selama ini membaca Yasin di lorong ini? Bukannya istrimu sudah tak dirawat di sini?" responsnya sambil menunjukku. Mungkin dia masih tak menyangka dengan apa yang dilihat.
"Maaf," senyumku teduh, "Tapi hanya ini yang bisa saya berikan kepada Lena. Hmm.. maksudnya, dalam taraf sesama saudara muslim."
Kedua mata Aryo berkaca-kaca seketika. "Terima kasih .... Te .... rima kasih ...." merasa terharu, dia memelukku dengan kencang.
"Sadaqallah huladzim," seusai mengaji di lorong rumah sakit yang berlantai sama dengan ruang steril, aku memasukan buku Yasin ke dalam saku jaketku. Saatnya aku pulang ke rumah.
Hampir dua minggu, beginilah rutinitasku di rumah sakit sepulang dari kantor. Memang apa yang kulakukan ini tak diketahui oleh Lena. Kuharapkan, malaikat yang kini menjaganya dari tidur panjang menyampaikan bahwa ada kawan lama yang menunggu kesadarannya sambil membacakan surah Yasin.
Luar biasanya, istriku mendukung semua yang aku lakukan saat ini kepada Lena. Setiap aku sampai rumah, Valerie selalu menanyakan kondisi kesehatan Lena kepadaku. Jujur saja, aku tak bisa menjawab. Aku hanya satu kali memasuki ruang steril.
"Akhirnya, Aryo tahu kalau selama ini aku yang bacain Yasin di lorong rumah sakit buat Lena," aku melepaskan jaket, kemeja, dasi dan bergegas mandi. Valerie sudah menyiapkan air hangat untuk aku mandi.
Sampai akhirnya, ponselku berdering. Ada telepon masuk dari Aryo.
"Hai Aryo? Gue sudah sampai rumah, nih," sapaku semringah.
"Apa?!" nada riangku hilang mendadak. Ada air mata yang mendadak menagih untuk mengalir. Suatu hal yang tak kuterima ternyata memilih untuk terjadi saat ini.
"Kenapa?" ketika kututup telepon, Valerie bertanya kepadaku.
Tak kujawab pertanyaan Valerie. Bibirku kaku tiba-tiba. Jika pikiranku tak meleset, seharusnya Valerie tahu apa yang kini tengah aku hadapi.
"Kenapa?" Valerie mengguncang-guncangkan badanku. Dia ikut panik dengan apa yang kini terjadi.
"Lenaaa," sudah tak kuat membendung kesedihan, kupeluk Valerie dengan begitu kencang, "Udah nggak ada."
"Innalillahi," ketika mengerti alasanku menangis, Valerie membalas memelukku dengan begitu erat. "Kita ke rumah sakit sekarang. Aku yang antar," dia kelihatan begitu simpati.
"Nggak usah Valerie. Nggak usah. Aku bisa nyetir sendiri."
"Kamu capek, Mas Fatir. Aku aja yang nyetir, ya? Biar anak-anak sebentar sama pengasuh."
"Kamu istirahat aja Valerie. Kamu kan belum sebulan lalu melahirkan."
"Aku juga ingin mendoakan Lena dari dekat." Tak kusangka Valerie mengatakan hal ini kepadaku.
Aku pun menganggukan kepala, "Baiklah kalau memang itu mau kamu."
Ditemani tangis, kami saling berpelukan. Padahal belum sempat bersilaturahmi lagi dengan Lena, tetapi entah mengapa tangisku ini begitu dalam.
"Terima kasih, istriku," bisikku tepat di telinganya. Dia tak hanya soulmate, tetapi juga begitu menghargai masa laluku.
Masa lalu yang justru membawaku mengenal dan memiliki seorang istri sebaik Valerie.
Masa lalu yang mendorongku mengalunkan Surah Yasin di ujung lorong rumah sakit.
"Sekarang kamu mandi dulu. Aku juga siap-siap berpakaian," Valerie mengusap-usap rambutku.
Sembari menyeka air mata, aku menganggukan kepala.
Semoga apa yang kulantunkan di lorong rumah sakit selama ini dapat menjadi bekal untuk sang masa laluku yang kini menghadap-Nya.
Selamat jalan Lena.
Terima kasih atas warnamu yang tergores di kanvas kehidupanku.
Maaf atas coretan burukku di masa lalumu.
Kini, untuk kedua kalinya, saatnya aku move on ....
dari kepergianmu ....