Flash
Disukai
1
Dilihat
13,748
Buruh Kerja Berburu Cinta
Drama

“Pada akhirnya, kau menerima ajakanku untuk bergabung ke Serikat Kerja. Ada apa? Bukannya kau berkata tak mengapa jika hidupmu selamanya hanya melinting tembakau?” tanya Ketua Serikat Kerja Pabrik Tembakau di pinggiran kota.

“…….,” Seorang buruh wanita yang menjadi lawan bicara Ketua Serikat Kerja itu hanya bisa bungkam.

“Ada apa?” selidik Ketua Serikat Kerja, “Kau bukan tipe orang yang bisa cepat mengubah jawaban apa yang telah lama kau yakini.”

“…….,” Buruh wanita itu masih diam. Pelipisnya sudah penuh keringat di sore ini. Kipas angin lawas yang menggantung di langit-langit ruang Serikat Kerja tak mampu menyegari badan kurus kerempengnya.

Ketua Serikat Kerja itu memperhatikan Buruh Wanita itu dalam waktu yang cukup lama. Kedua mata berkaca mata tebal laki-laki itu begitu tajam memandangi. Tampaknya, dia mudah menerka apa yang ada di kepala Wanita Buruh itu.

Sampai akhirnya, Ketua Serikat Kerja itu tertarik untuk berbicara, “Alasanmu tiba-tiba ingin bergabung seperti ini, apa ada hubungannya dengan hubungan Sudrajat dengan Mbak Wiranti, anak perempuan satu-satunya Pak Soekotjo pemilik pabrik?”

DEG!

Detak jantung seolah mengagetkan seluruh organ tubuh si Wanita Buruh.

“Sudah kuperhatikan lama!” lanjut Ketua Serikat Kerja.

“Perhatikan apa?” kilah si Buruh Wanita.

Ketua Serikat Kerja menyeringai, “Jika Sudrajat mengobservasi pabrik dan memeriksa kuantitas produk, kedua matamu tak dapat berhenti memperhatikan laki-laki berambut klimis itu! Jumlah tembakau yang kau bungkus juga lebih banyak. Kulihat, kau punya semangat jika Sudrajat menghampirimu, memilin-milin tembakau di sisimu, dan berbincang denganmu! Aku yang lihat jika kedua matamu yang biasanya sayu itu penuh binaran!”

“…….,” si Buruh Wanita hanya bisa tercenung.

Ketua Serikat Kerja terus saja berbicara, “Jadi ceritanya, kau cemburu pada Sudrajat yang kini hampir setiap hari makan siang di kantin bersama Mbak Wiranti? Kuperhatikan juga, Sudrajat juga sudah tak pulang naik bis kota bersamamu. Dia dijemput Mbak Wiranti dengan mobil dan menyupiri Mbak Wiranti sampai rumahnya. Ada orang pabrik juga yang pernah bercerita padaku bahwa Sudrajat dan Mbak Wiranti berbincang di teras rumah Pak Soekotjo sampai larut. Terkadang, Pak Soekotjo juga turut berbincang dan menjanjikan Sudrajat ke jabatan baru sebagai staff di kantor pusat.”

“Itu namanya Nepotisme!” timpal si Buruh Wanita. Kedua matanya berkilat-kilat. “Mendekati Mbak Wiranti demi jabatan! Maka dari itu, aku ingin bergabung dengan Serikat Kerja untuk menyuarakan hal-hal tak baik ini!”

“Setahuku, bukan Sudrajat yang mendekati Mbak Wiranti, tetapi sebaliknya juga seperti itu. Mbak Wiranti menganggap Sudrajat pintar dan sayang jika hanya sebagai pengawas pabrik,” ungkap Ketua Serikat Kerja.

KLETEK KLETEK KLETEK, bunyi kipas angin yang menggantung di langit-langit sebenarnya sempat membuat was-was. Siapa pun pekerja di sini bisa saja membayangkan tiba-tiba saja kipas angin sejak zaman Orde Baru ini jatuh dan menimpa orang yang berada di bawahnya. Untuk kali ini, Wanita Buruh itu yang duduk tepat di bawah kipas angin itu.

Meski si Wanita Buruh itu sedang patah hati karena seorang laki-laki bernama Sudrajat, bukan berarti dia juga ingin mati detik ini juga karena perkara kipas angin.

“……,” lagi-lagi, si Buruh Wanita hanya terdiam.

Ketua Serikat Kerja menyulut tembakau. Tentu saja, tembakau ini adalah produk buatan pabrik tempatnya bekerja, “Atau bisa juga, memang keduanya saling kagum dan mendukung satu sama lain.”

BRAG!

Si Buruh Wanita tiba-tiba menggebrak meja kerja si Ketua Serikat Kerja.

“BISA DIAM TIDAK KAU?!” bisa-bisanya dan tumben-tumbennya si Buruh Wanita ini marah, “AKU TAK PEDULI DENGAN MEREKA BERDUA! AKU HANYA INGIN BERGABUNG KE SERIKAT KERJA YANG KAU BICARAKAN SEJAK KEMARIN!”

“Tapi aku berhak mengetahui motifmu!” meski tak sekeras teriakan si Buruh Wanita, Ketua Serikat Kerja juga berucap tegas, “Apakah kau bergabung memang karena kau ingin menuntut keadilan, atau hanya lantaran perasaan cemburu murahan kau itu kepada Sudrajat? Lagipula, perluas duniamu! Orang seperti Sudrajat di dunia ini tak hanya dia! Kau keluar dari pabrik ini dan masuk menjadi buruh di pabrik lain juga akan menemukan Sudrajat-Sudrajat yang lain!”

“Ya, mungkin memang seperti itu!” seru si Buruh Wanita itu, “Tapi, aku akan menemukan Mbak Wiranti-Mbak Wiranti yang lain!”

“Hahaha!” tawa Ketua Serikat Kerja.

Merasa tak dihargai, si Buruh Wanita beranjak dari kursi dan berbalik, “Ya sudah kalau kau menolakku untuk bergabung sebagai Serikat Kerja.”

“Hey! Jangan marah!” seru Ketua Serikat Kerja seraya berburu-buru mengambil formulir pendaftaran untuk calon anggota baru yang ada di hadapannya ini, “Kau boleh kok bergabung! Asal, dengan satu syarat!”

“Apa?” si Buruh Wanita kembali berbalik.

Ketua Serikat Kerja pun mendekati si Buruh Wanita, “Jauh sebelum Mbak Wiranti dekat dengan Sudrajat, sebenarnya aku sudah lama mencoba mendekati anak bungsu Pak Soekotjo itu. Sialnya, dia menghindar dan Sudrajat jauh menarik perhatiannya.”

Si Buruh Wanita mengangkat dagu, “Jadi, apa maksud kau?”

Ketua Serikat Kerja memandang ke atas, ke arah kipas angin langit-langit yang masih mengeluarkan bunyi-bunyi aneh, “Kurasa, kita bisa berkoalisi untuk menghalau nepotisme di pabrik ini.”

Sambil perlahan turut memperhatikan kipas angin yang mengantung di langit-langit ruangan Serikat Kerja, si Buruh Wanita hanya terkekeh, “Hahaha!” sambil menatap nanar tetapi angkuh, dia berkata pada Ketua Serikat Kerja, “Ternyata, kau tak jauh berbeda denganku! Namun bedanya, aku tak terlalu tertarik menanyakan motifmu menjadi Ketua Serikat Kerja!”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)