Masukan nama pengguna
Emak tidak marah ketika bawang putih yang kami tanam dicabuti segerombolan orang bertera pribumi. Padahal, tanaman itu, bagian tengah daunnya sudah tampak menguning bahkan cenderung cokelat. Dia telah siap panen. Tapi, ketika orang-orang itu berteriak, sambil menunjuk-nunjuk pakai telunjuk ke arahku, wajah Emak berubah tegang. Otot marahnya muncul, tertahan gerakan yang tak bisa lepas hingga hanya mengeluarkan serak. Dan dengan teriakan, tanpa menggunakan jari penunjuk arah, dia membalas: anakku bukan anjing!
Seharusnya, hari itu adalah waktu yang tepat untuk bersuka. Benar-benar masa yang tepat untuk memanen. Agen yang telah siap membeli seluruh bawang putih di lahan yang tak lebih dari satu rante itupun sudah menanti aba-aba memasuki kebun. Tapi saat itulah, segerombolan orang datang mendadak. Bersepeda motor. Ada pula yang duduk beramai-ramai di mobil dengan bak terbuka. Mereka langsung masuk ke kebun. Memamerkan parang-parang tajam dan muka seram. Agen menghindar. Aku dan Emak tanpa gerak.
Otomatis mereka mencabuti bawang-bawang itu. Mereka kutip hasil panen itu. Mereka lemparkan masuk ke dalam mobil pikap. Mereka terus berteriak agar kami diam. Emak diam. Aku berontak!
“Diam kau anak anjing!”
Itulah kalimat yang membuat Emak menangis. Melawan dan marah. “Anakku bukan anjing!”
“Kalau mamaknya anjing, anaknya juga anjing!”
Aku semakin berontak sampai berhasil memukul jatuh satu orang. Tapi, rekannya sigap. Tanganku diparang. Darah mengucur deras. Emak lemas.
“Harusnya kau tak melawan, Anjing!”
Mereka berhasil. Pergi sambil membawa semua hasil kebun. Tak ada yang tersisa kecuali kerepotan Emak yang memaksa agen untuk mengantarkan aku ke Balai Pengobatan. Tanganku tak putus, namun lukanya sangat dalam. Harus dijahit.
“Harusnya Kakak bayar dulu mereka. Sekarang semuanya rugi kan? Aku pun rugi, sudah tak dapat bawang, harus mengantar orang sakit pula. Untung gak mati!”
“Kenapa kami harus bayar untuk hasil yang kami peroleh sendiri, di tanah yang kami garap sendiri.”
“Kakak tetap dianggap pendatang, mereka warga asli, kenapa Kakak tak sadar juga?”
“Pendatang dari mana? Iya, kalau kakekku yang terpaksa ke sini karena bekerja di perkebunan saat usianya masih belasan. Tapi, dia sudah dimakamkan di sini. Bapakku pun lahir di sini. Mati juga di sini. Aku? Lahir di sini dan akan mati di sini. Suamiku bahkan penduduk asli!”
“Tapi Abang sudah mati, Kak ....”
“Tanah yang kami garap ini kan atas namanya. Anakku itu laki-laki, berarti tanah ini juga turun ke dia?”
“Masalahnya Kakak belum mati ....”
“Apa aku harus mati biar anakku tidak dibilang anjing?”
Agen tak menjawab. Dia lebih memilih beranjak meninggalkan Balai Pengobatan. Emak berpaling dan menggiringku pulang ke rumah. Kami berjalan cepat. Tanganku yang sakit tergoyang-goyang hingga nyeri mengemuka. Aku tahan. Aku tak mau meringis meski jalan menuju rumah masih sangat jauh. Balai Pengobatan ini di induk kecamatan, sementara rumah kami berada di pinggir, masuk ke dalam lahan yang sebelumnya milik perkebunan negara, meski tidak berdampingan namun masih satu kawasan dengan ladang bawang kami yang baru saja dirampok.
“Aku tahu siapa mereka, Mak, biar kubalas ....”
“Untuk apa?” balas Emak sambil terus berjalan cepat. Beberapa warga yang melintas dan menegur hanya dia jawab dengan senyum. Pun, ketika beberapa warga yang menahan laju kami untuk sekadar menanyakan soal tanganku atau tentang kabar yang telah tersiar soal perampokan itu, Emak hanya tersenyum tanpa menjawab.
“Tak ada gunanya, Nak. Besok kita tanam lagi bawang itu.”
“Kita lapor polisi, Mak.”
“Tak ada gunanya. Besok kita tanam lagi bawang itu. Kalau mereka rampok lagi, kita tanam lagi!”
“Dulu saat Bapak masih hidup, mereka tak pernah ganggu ....”
“Makanya, kita tanam lagi!”
Bapak tidak dibunuh. Dia meninggal dengan wajar. Dia sakit beberapa bulan hingga kemudian menghembuskan napas terakhirnya di pembaringan. Di samping Emak yang tidur. Aku pun sedang tidur di kamar sebelah. Sebuah kematian yang wajar. Tenang dan tanpa hiruk pikuk. Tapi, kabar yang beredar cukup menyesakkan. Bapak dikatakan mati karena terlalu banyak makan bawang putih. Dan itu semua, kata mereka, karena Emak. Harusnya, kalau memang Bapak mati karena masakan yang dibuat Emak, aku juga akan mati. Tapi tidak, aku tidak mati, meski setiap hari makananku adalah apa yang dimasak Emak.
“Sudah kebiasaan, Nak, bawang putih memang menjadi bahan wajib dalam keluarga kami,” itu kata Emak ketika kutanyakan kenapa dia selalu memakai bawang putih lebih banyak dari bawang merah. Sesuatu yang aneh karena kebiasaan di kawasan kami, memasak itu harus lebih banyak menggunakan bawang merah dibanding bawang putih. Misalnya untuk sambal, ketika menggunakan enam siung bawang merah maka bawang putihnya cukup satu atau dua siung. Begitulah perbandingannya. Tapi Emak berbeda, dia lebih banyak menggunakan bawang putih daripada bawang merah. Bahkan, untuk bawang goreng pun dia menggunakan bawang putih dan bukan bawang merah seperti kebanyakan orang.
“Kita tinggal di negara yang warganya dipaksa untuk bodoh. Dibodohi terus sampai kita tak sadar. Bawang putih itu penting dalam masakan dan stoknya harus terjaga, makanya kita disuruh pakai sedikit saja. Dikatakanlah bawang merah lebih penting. Dan, kita percaya. Lalu, mereka yang kaya-kaya itulah yang menikmati bawang putih. Seperti sapi, kita dipuji karena bisa menciptakan sop tulang atau soto babat atau sate usus atau apalah. Padahal, bagian itu adalah sisa-sisa. Nah, daging hasnya untuk siapa? Mereka kan?” tambah Emak.
Emak memang terpelajar. Bapak bersyukur mendapatkannya. Bapak dan Emak itu bak tanah dan langit. Bapak hitam, Emak putih. Bapak bermata lebar, Emak bermata sipit. Bapak orang yang sejak lahir dan besar hidup dalam dunia perkebunan, Emak perdagangan. Kakek Bapak dulunya orang kantoran namun beralih menjadi pekerja kebun sejak tembakau mendunia, kakek Emak adalah buruh tembakau yang kemudian beralih jadi pedagang karena melihat celah yang lebih menguntungkan. Takdir jumpakan mereka dalam sebuah pertemuan yang sulit diterima akal. Bapak yang jadi tokoh pemuda meminta sumbangan, Emak yang pedagang jadi pendonor. Lalu mereka jatuh cinta, menikah, dan pindah ke Lahan Garapan yang kepemilikannya masih patut dipertanyakan: kabarnya milik Sultan, lalu disewa Belanda, hingga dikuasai negara. Mereka bangun rumah di petak yang tak jauh dari lahan untuk kebun. Emak meninggalkan keluarganya. Putus hubungan dengan orangtua dan kakak atau adiknya.
Bapak tetap jadi tokoh pemuda, Emak banting setir jadi petani. Awalnya menanam jagung. Sempat juga pepaya. Di sela itu, dia berjualan pakaian dengan sistem kredit pada tetangga. Kemudian, berjualan sarapan. Tapi, di situlah mulai muncul isu tak sedap. Masakan Emak dicurigai. Nasi gurih Emak tidak ditaburi bawang goreng yang biasa, rasanya berbeda. Ya, bawang putih!
Pamor Bapak sebagai ketua pemuda juga mulai luntur, entah sebab apa, yang jelas dia tidak dipanggil lagi dengan sebutan ‘ketua’. Penghasilannya menurun. Dia lebih banyak di rumah menemani Emak. Dan, mereka pun memutuskan mulai menanam bawang putih – sesuatu yang sangat aneh di kawasan itu – ketika harga komoditas itu sudah berada di luar nalar. Awalnya di pot di tepi rumah. Ternyata hasilnya cukup baik. Lalu, mereka pun memilih untuk menanam lebih banyak, tepatnya di kebun yang sebelumnya ditanami pepaya atau jagung. Dan, mereka berhasil. Masa tanam yang singkat, hanya 90 sampai 120 hari, menjadikan keuntungan berlipat. Lahan yang subur dan cuaca yang panas sepertinya tepat untuk perkembangan bawang putih softneck; berbentuk lebih kecil namun memiliki rasa yang lebih kuat.
Kami sudah sampai rumah. Emak menyuruhku rebahan, istrahat.
“Aku harus membalas, Mak. Aku tahu kebiasaan mereka. Nanti malam mereka pasti mabuk-mabukan karena sudah berhasil menjual bawang kita. Itulah mereka, yang maunya cuma enak-enakan, tidak mau kerja!”
“Kau bisa apa, Nak, dengan tangan yang luka itu? Paling kau hanya bisa teriak-teriak sambil mengatakan kalau kau juga putera daerah yang patut mendapat perlakuan yang sama? Lalu, mereka tertawa sambil mengatakan kau sedang menggonggong.”
“Aku bukan anjing, Mak!”
“Ya, memang bukan! Makanya Emak marah kau disebut anak anjing! Melawan mereka yang mendaku sebagai pribumi itu bukan dengan cara itu, Nak, bukan dengan menggonggong! Kita tunjukkan kalau kita sebenarnya yang pribumi, kita tanami tanah ini karena kita mencintainya!”
“Berarti kita bodoh, Mak, membiarkan yang kita tanam diambil dan dirusak mereka ....”
“Tak ada pribumi yang merusak tanah airnya. Yang merusak itu pendatang! Sudahlah, istirahat. Kirim doa untuk bapakmu, bilang padanya kalau yang dia resahkan selama ini terjawab. Mental-mental payah karena tak bisa melihat orang lain lebih baik!” balas Emak.
“Tapi, Mak ....”
“Anggap saja sebagai sedekah,” kata Emak sembari ke kamarnya.
Aku diam dan berusaha berdoa. Apa yang dibilang Emak ada benarnya, tanganku masih sakit, tak mungkin dipakai untuk berkelahi. Tapi, terdengar isak dari kamar sebelah, ya, kamar Emak. Segera aku keluar kamar, ke dapur, menjemput parang yang tak pernah lupa kuasah. Aku keluar rumah dengan mengendap. Warung tuak ujung kampung adalah tujuan.
Dalam perjalanan yang gelap, aku telah bersiap. “Lihatlah wahai gerombolan bertera pribumi, aku tidak menggonggong!”
medan johor