Masukan nama pengguna
Kelas 3 IPS 2 SMA Nusa Bakti, 13 Januari. 06.45 AM.
“Upik! Masih kecil aja kayak upil?! Huakakakakakakak!” ledek Ringgo begitu Upik sampai di pintu kelas. Mendengar olokan itu, tentu saja mulut kecil Upik langsung menggerutu penuh emosi. Padahal hari masih pagi. Bel masuk saja belum berdering. Namun, suasana hati Upik sudah buruk. Dalam hatinya, cewek berambut keriting ini berdoa : O Tuhan... Kapan Ringgo akan berhenti meledekku?
Ini semua gara–gara tinggi badanku yang tak bertambah sejak kelas 1 SMP! Upik yang malang. Meskipun usianya sudah 17 tahun, tinggi badannya masih bertengger di angka 145 cm. Benar–benar mungil kan?
Berbeda dengan Ringgo. Semakin hari badan cowok botak itu semakin meninggi. Saat ini, tinggi badan cowok menyebalkan, sok cakep, sok populer, sok pinter dan sok asik itu sudah mencapai 179 cm. Maka dari itu, ia senang sekali meledek Upik habis–habisan.
Sialnya, selama tiga tahun berturut-turut, mereka selalu sekelas. Bagi Upik, tiga tahun ini adalah neraka dunia. Sedangkan bagi Ringgo, tiga tahun ini adalah hiburannya selama di sekolah. Dengan meledek Upik, suasana hatinya yang kalut berubah bahagia.
Lain halnya dengan teman–teman lain. Melihat Upik dan Ringgo saling meledek, kejar–kejaran dan pukul–pukulan, mereka merasa sedang menonton film kartun Tom dan Jerry secara langsung. Tentu saja yang berperan sebagai Jerry adalah Upik.
“Makanya, maen basket dong biar tinggi!” sambil mencerca, Ringgo mengukur tinggi badan Upik dengan cara mensejajarkan tubuhnya di samping Upik. Ya ampun! Upik hanya setinggi dadanya.
“Dasar bawel lo!” Upik memukul badan Ringgo dengan gulungan karton tebal yang tergeletak di atas meja guru. Sayangnya, pukulannya itu tak mengenai sasaran. Secepat kilat, Ringgo menghindar dan berlari keluar kelas. Peperangan pun dimulai!
Di sepanjang koridor lantai satu, Upik mengambil langkah seribu mengejar Ringgo. Karena semua ruang kelas tiga berada di koridor ini, sorakan dan teriakan teman–teman seangkatan terdengar di telinga Upik. Namun, cewek mungil ini tak peduli. Ia terus mengayunkan kakinya memburu musuh bebuyutannya.
“Upik Upil! Kejar gue dong! Pelan amat sih larinya?! Langkahnya pendek-pendek sih!” Ringgo terus berlari sambil memanas-manasi Upik.
“Ringgo! Awas lo!” Upik menambah kecepatannya. Namun, Ringgo tak terkejar. Cepat sekali ia berlari. Sialnya, pagi ini Upik belum sarapan. Badannya jadi lemas dan tak kuat berlari lebih cepat lagi.
“KRING!” Bel masuk berdering. Karena keberadaan Ringgo tak jelas di depan mata beloknya, Upik memutuskan untuk kembali ke kelasnya, kelas 3 IPS 2 yang terletak di ujung lorong. Untuk sampai di kelas bercat dinding biru itu, tentu saja ia harus melewati koridor yang masih dipenuhi oleh anak–anak basket yang pasti akan menertawakannya. Kasihan...
***
Keesokan harinya, Upik datang lebih pagi. Ia juga sudah sarapan dan minum susu. Hari ini akhirnya ayah memberikan uang jajan bulanan kepadanya. Karena hal–hal yang menyenangkan terjadi di awal harinya, ia tampak lebih bersemangat. Dari turun angkot sampai masuk kelas, bibirnya terus menyimpul ceria. Suasana hatinya benar–benar berbanding terbalik seperti kemarin.
Sayangnya, energi positifnya hanya bertahan sesaat. Lagi–lagi, Ringgo membuatnya naik pitam.
“Upik! Masih kecil aja kayak upil?! Wakaka….” Ledek Ringgo begitu Upik sampai di kelas.
Dengan semangat 45, Upik beranjak dari tempat duduk dan menghampiri Ringgo. “Nyebelin!” Ia berusaha memukul Ringgo dengan gulungan karton yang ia temukan di meja guru. Namun, Ringgo menghindar dan berlari keluar kelas. Mereka pun kejar–kejaran lagi.
Di sepanjang koridor lantai satu, seperti biasa, teman-teman tim basket Ringgo menertawakan Upik dengan berlebihan.
Namun Upik cuek saja. Ia terus berkonsentrasi mengejar Ringgo. Kali ini ia sudah sarapan, sehingga ia bisa berlari lebih cepat dari kemarin.
“KRING!” Bel masuk berdering. Upik mengacuhkannya dan terus mengejar Ringgo. Padahal, beberapa sorakan sudah menganggu telinganya.
Karena Upik tak juga menyerah, Ringgo mulai kewalahan. Sampai akhirnya, cowok itu duduk beristirahat di kursi taman. Menyadari Ringgo sedang lengah, Upik segera menghampirinya dan mendaratkan gulungan karton ke badan cowok blagu itu. Upik sungguh gelap mata. Pikirannya, mumpung Ringgo berada di dalam genggamannya.
“Ampun Upik. Sakit!” pintanya kesakitan. Matanya yang menyipit menyorot dalam ke arah mata Upik.
Selagi memandangi mata Ringgo, tiba-tiba suatu perasaan asing menyergap Upik. Entah mengapa, saat ini, wajah Ringgo terlihat menarik di pandangannya.
Sepertinya, Upik mulai jatuh cinta kepada Ringgo.
********
Keesokan harinya, Ringgo tetap saja meledek Upik. Rupanya, kejadian di taman kemarin tidak membuatnya jera. Mulut besarnya masih terus berkoar meledek Upik. Kejar–kejaran kembali terjadi. Mereka terus berlari–larian sampai ke taman sekolah.
Selama kejar-kejaran, Ringgo berkali-kali menengok ke belakang dan berteriak-teriak, “Lelet! Langkahnya pendek-pendek sih.” Anehnya, hal ini justru membuat emosi Upik melemah. Senyuman Ringgo hari ini begitu renyah dan menawan di matanya. Sejenak energi asing itu menguak lagi ke permukaan hati.
Kacau! Pikir Upik. Jangan sampai perasaan macam ini tumbuh. Mana mungkin aku suka sama cowok selengean kayak Ringgo begitu?!
Karena kecapean, Ringgo memutuskan untuk duduk di kursi taman. Nafasnya ngos-ngosan. Melihat hal ini, Upik segera memukul tangan kanannya dengan diktat pelajaran yang digenggamnya dan….
“AUW! Sakit! Ini bekas cedera abis tanding kemaren tahu!” Ringgo refleks mengusap-usap sikut kanannya. Tidak tahu kenapa, Upik berubah empati padanya.
“Eh sakit ya Ringgo?! Ma, maaf ya?” Upik duduk di samping kirinya.
Ringgo tak menjawab. Mati gue! Batin Upik Kelihatannya ia kesakitan banget.
“Ma, mau ke UKS?” tanya Upik gugup.
“Upik.... Upik...” Ringgo mengadahkan kepalanya dan menggeleng “Lo care banget sih sama gue. Gue jadi merasa bersalah karena selama ini jahat ama lo terus.”
Sontak, bulu kuduk Upik merinding. Bagai disambar petir, dada Upik langsung panas. Saat ini, kedua pipinya tengah merona.
“Pik, kok muka lo jadi merah?” tanya Ringgo yang ternyata menyadari tingkah Upik yang aneh. Upik jadi gugup. Suasana berubah melankolis.
“Ah, masa sih?” hanya itu jawaban yang bisa Upik lontarkan padanya.
“Ka, kalo mukanya merah begitu,....” Ringgo perlahan berdiri dengan mimik wajah merintih. Detakan jantung Upik semakin kencang. Apa Ringgo akan memujinya kali ini?
“KRING!” bel masuk berdering kencang. Ringgo tak sempat melanjutkan ucapannya. Ia segera berlari menuju kelas. Kira-kira ia ingin ngomong apa ya? Upik penasaran.
*********
Hari ini tanggal 13 Juni. Seminggu lagi acara kelulusan SMA akan diadakan di gedung serbaguna samping bangunan sekolah. Di kelas 3 IPS 2, banyak sekali anak–anak yang berencana untuk berkuliah di luar negeri. Salah satunya adalah Ringgo. Rencananya, ia akan kuliah di Singapore.
Berarti, Upik akan berpisah dengan Ringgo. Cewek bertubuh mungil ini sudah mantap untuk berkuliah di Jakarta, tak kemana–mana.
Karena terpengaruh komik dan drama–drama romantis Asia, Upik memberanikan diri menelepon Ringgo. Untuk apa? Tentu saja untuk menyatakan perasaannya itu.
Upik tahu jika tindakannya ini adalah tindakan bodoh. Ringgo juga pasti akan menertawakannya. Akan tetapi, Upik tak peduli. Demi perasaan tulus ini, ia akan melakukan apa saja.
Lagipula, apa salahnya mengungkapkan isi hati. Justru ia akan lebih menyesal jika Ringgo tak pernah tahu perasaannya selama ini.
“Hallo? Napa, Pik?” akhirnya, rabu sore di tengah cuaca mendung, Upik menelepon Ringgo. Suara Ringgo terdengar agak berbeda di telepon, lebih dewasa.
“Ringgo, gue mau ngomong!” ucap Upik to do point “Tapi janji dulu lo nggak bakal ngeledek gue.”
“Apaan, Pil?!”
“Terus gue harap lo nggak komentar sama pengakuan gue ini.”
“Pengakuan apa? Pengakuan kalo lo emang kecil kayak upil? Hahahaha....”
“Gue serius tau!!” bentak Upik yang membuat Ringgo terheran-heran.
Suasana hening tercipta seketika. Keberanian Upik yang tadinya sudah terbangun kini mulai menyusut. Akan tetapi, bagaimana pun juga, ia harus mengumpulkan kembali keberaniannya secepat mungkin.
Setelah menelan ludah sedikit, Upik mencoba berkata, “Gue suka sama elo.”
“Hah?! Lo bercanda, ya, Pil?” belum sedetik waktu berlalu, Ringgo sudah menganggapnya main-main.
“GUE SERIUS!” bentak Upik “Soalnya mungkin kita nggak bakal ketemu lagi. Jadi sebelum terlambat dan selagi ada kesempatan, gue mau nyatain perasaan ini.”
“Ta, tapi….”
“Thanks. Bye…” dengan tergesa–gesa, Upik menutup telepon. Sesungguhnya, ia tak meminta jawaban Ringgo. Ia hanya ingin Ringgo tahu kalau ia menyukainya.
***
Sejak kejadian itu, sampai liburan akhir tahun ajaran berakhir, Upik tak tahu kabar Ringgo lagi. Pikirannya sedang tak terpusat pada cowok itu. Saat ini, ia fokus pada universitas dan OSPEK-nya.
Namun, tiba–tiba, ada sebuah kejadian konyol menerpanya. Diantara puluhan wajah asing yang mengikuti OSPEK universitas, ada satu sosok yang ia kenal. Sekejap jantungnya langsung berdetak kencang.
“HEH UPIL! Lo masuk kampus sini juga?” teriaknya mengagetkan Upik.
“Ring... Ringgo?! Lo kuliah di sini juga? Bukannya lo kuliah di Singapore?” Upik balik tanya.
“Nggak jadi.”
“Kok nggak jadi?”
“Ya emang nggak boleh kalo nggak jadi? Yang penting gue kuliah. Emangnya elo? Elo kan harusnya masih SD.” Belum apa–apa, Ringgo sudah meledeknya lagi.
Wajah Upik memanas seketika. Ada kegembiraan yang tertahan dalam dirinya. Ia senang bukan main. Ringgo, lelaki pujaannya kini satu tempat kuliah dengan dirinya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ketakutan. Ia takut Ringgo membahas percakapan mereka di telepon beberapa waktu yang lalu.
“Ringgo, lo inget nggak pembicaraan kita di telepon waktu itu?” sehabis Ospek, Upik memberanikan diri untuk bertanya. Dugaannya mengatakan kalau Ringgo lupa dengan hal ini.
Nyatanya tidak.
“Inget,” lirik Ringgo seraya menunjukkan ekspresi wajah jahil, “Lo kenapa waktu itu, Pik? Kok bisa bilang suka sama gue? Salah minum puyer apa gimana? Beneran lo suka sama gue?” tanyanya langsung tembak membabi buta.
Upik langsung keringat dingin. Ia benar–benar menyesal menghubungi Ringgo waktu itu. Sial! Kalau tahu akan bertemu lagi, ia tak perlu repot–repot mengutarakan isi hati. Kalau kata pepatah dulu, dunia sebesar daun kelor.
Namun, kalau pepatah sekarang, mungkin lebih tepat: Dunia sebesar Upik.
Upiknya kecil, mungkin dunianya juga kecil. Kemana pun langkah pendek–pendeknya melangkah, ia selalu bertemu dengan Ringgo. Kasihan.
***