Masukan nama pengguna
“Annyeonghaseyo! Kau terima tawaranku ke selatan?” Awal Oktober 1966 malam, telepon dari orang tak dikenal itu kembali menyapa. Mahasiswa teknik peraih beasiswa asal tanah air itu berharap bapak kostnya benar-benar sudah tidur. Dia tak ingin orang tua itu terbangun karena percakapan di telepon ruang televisi.
Saking ketakutannya, tangannya yang menggenggam gagang telepon jadi keringatan. “Aku hanya mahasiswa teknik yang mendapatkan beasiswa dari tanah air di utara,” jawab si mahasiswa, “Mereka seharusnya paham jika aku lebih tertarik pratikum daripada organisasi beserta pahamnya,”
“Kau ini tidak tahu, ya?! Sekarang di tanah air sedang terjadi pembersihan yang menyangkut hal itu secara besar-besaran sampai akar-akarnya! Kau memang mahasiswa teknik yang tak mengikuti organisasi dengan paham apapun, tapi universitasmu saat ini berada di negara yang satu paham dengan orang-orang yang tengah dibersihkan sampai akar-akarnya di tanah airmu itu! Makanya, kusarankan kau pindah ke selatan!”
“….,”
“Mengapa kau diam saja?!”
“A …. ku, biarkan aku ber .... pikir dulu!”
“Jangan lama berpikir! Waktu berlanjut terus! Dan aku tak dapat meneleponmu lama-lama. Takut disadap!”
Mahasiswa teknik itu menoleh perlahan ke kiri dan ke kanan. Meski yakin situasi aman, dia masih berkata dalam bisik kepada kawannya di telepon, “Me .… mangnya bagaimana caranya aku bisa pergi ke Selatan? Lalu, kalau aku benar-benar bisa sampai di selatan, akan seperti apa nantinya? Aku hanya ingin bisa pulang dan bertemu dengan ibu dan adik-adikku di tanah air!”
“Kebetulan sekali! Ada kawanku orang selatan yang menunggungmu di perbatasan sekitar jam tiga pagi! Kau tak usah khawatir! Kakeknya punya perusahaan elektronik yang bekerja sama dengan barat! Dia adalah keturunan bangsawan dinasti sebelum selatan dan utara terpisah! Kujamin kau akan aman bersama keluarga macam itu!”
“Lalu, setelah bersama keluarga selatan itu? Aku bagaimana nasibnya?”
“Bekerjalah di perusahaan elektronik itu! Aku sudah bilang pada mereka bahwa kau pintar, jadi mereka tak membutuhkan surat-surat dokumenmu. Kalau mereka menawarkan kewarganegaraan selatan, terima saja,"
"Loh? Aku kan sudah punya tanah air? Untuk apa aku berganti warga negara menjadi warga selatan?"
"Sepertinya, pembersihan di tanah airmu ini bisa sampai pencabutan kewarganegaraanmu,"
DEG!
"Menyedihkan! Padahal, aku hanya mahasiswa teknik peraih beasiswa yang kebetulan kedapatan negara belajar di utara. Mengapa semua kesialan pada saat ini menyergapku?"
"Takdir, wahai anak muda berprestasi ....!"
***
“Annyeonghaseyo!” Dini hari Oktober 1966, lampu sorot mobil menyilaukan pandang seorang mahasiswa teknik peserta beasiswa dari tanah air di utara. Mahasiswa teknik itu mengerjapkan mata karena cahaya lampu mobil itu. Kedua kakinya gemetaran karena tiba-tiba dipaksa berhenti setelah jauh melangkah sampai perbatasan.
Seorang berjas hitam dengan dasi dan sepatu pantofel itu mengangkat tangan dan menggerakkan keempat jarinya, isyarat untuk dihampiri. Mahasiswa teknik itu menoleh ke belakang. Karbon dioksida yang keluar dari lubang hidungnya membentur udara dingin perbukitan. Tak ada yang dia lihat selain pepohonan, langit tanpa bintang, dan bulan purnama benderang.
“Naik!” dengan bahasa yang tentu saja sama dengan di utara, orang selatan itu membukakan pintu belakang mobil.
Mahasiswa itu melirik ke kursi kemudi. Seorang berjas dan berdasi juga duduk di sana. Ada tindikan di alis matanya. Mahasiswa itu menelan ludah. Dia tak tahu keputusannya pada saat ini benar atau salah. Dia tak kenal orang-orang asing ini. Dia rindu ibu dan adik-adiknya di tanah air. Dia rindu dengan empal goreng dan tempe orek buatan ibunya.
Mahasiswa teknik peraih beasiswa itu menaiki mobil.
BRAG! Bunyi pintu mobil ditutup saja membuat jantungnya hampir meledak. Mahasiswa itu mengusap dada.
“Makan!” berbarengan dengan pedal gas diinjak, seorang selatan yang tadi membukakan pintu untuk si mahasiswa menyodorkan nasi yang dibungkus rumput laut. Bentuknya seperti lontong.
“…,”
Karena si mahasiswa diam, orang selatan itu membagi dua nasi berbungkus rumput laut itu dan memakan salah satunya, “Untuk apa aku meracunimu? Perusahaan elektronik keluarga kami butuh otakmu!”
“Hyung! Kita mau lewat jalan barat atau timur?!” tanya si pengemudi mobil menunjuk kedua jalan di depan. Jalan di sebelah kanan kelihatannya lebih berkelok. Jika sekarang mengarah ke selatan, berarti kanan adalah barat.
“Kanan!” seru si Hyung seraya melahap nasi rumput lautnya. Dalam bahasa sini, Hyung adalah sebutan untuk kakak laki-laki dari adik laki-lakinya.
"Baik, Hyung!" angguk si pengemudi.
“Kiri bukan pilihan lebih tepat sekarang!" lanjut si Hyung.
"Lu .... rus?" Mahasiswa teknik tanah air peraih beasiswa itu memberanikan diri untuk membagi usul, "Tak kanan dan tak kiri, pilihan ideal sekarang."
"Baik, Hyung!" seru si pengemudi seraya melirik kaca spion tengah. Mata kecilnya beradu pandang dengan mata atasannya yang bertindik.
Si Mahasiswa yang duduk di belakang tak menyadari jika yang dipanggil 'Hyung' oleh si pengemudi adalah dirinya. Apakah panggilan ini menandakan mahasiswa teknik asal tanah air ini sudah diterima sebagai keluarga? Apa pun itu, sepertinya perjalanan penuh tantangan dan keikhlasan akan dimulai.
*****
"Annyeonghaseyo! Hyung, kau sudah membaca koran hari ini?” mendekati penghujung dekade tahun sembilan puluhan, beberapa tahun kemudian, seorang dari selatan yang tiga puluh tahunan silam menjemput seorang mahasiswa teknik di perbatasan bisa dikatakan kini sudah tak muda. Rambutnya sudah beruban. Tindik di alisnya juga telah dikelilingi oleh guratan-guratan yang membuat dahi berkerut. Walaupun kondisinya sudah seperti itu, dia tak pernah bemimpi untuk melepaskan tindikan di alis mata.
Si mantan mahasiswa teknik asal tanah air yang dahulu berkuliah di utara itu menggelengkan kepala tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Rambutnya juga tak lagi hitam seperti pertama kali menginjakkan kaki di perusahaan elektronik tempatnya bekerja kini.
“Ah! Ternyata benar apa kata istrimu! Kalau sudah bekerja, kau bisa melupakan dunia luar!” seru si Orang Selatan.
Pernyataan si orang selatan itu mendorong mantan mahasiswa teknik peraih beasiswa itu berkomentar, “Sejak berpisah dengan tanah airku, aku merasa dunia luar tak menarik. Lagipula, aku sudah menata hidup di selatan selama bertahun-tahun."
“Tapi, kalau kau membaca berita dari tanah airmu ini, kurasa dunia luarmu akan kembali menarik!” terang orang selatan itu seraya melemparkann koran ke meja kerja hyung berbeda bangsanya itu.
Si mantan mahasiswa teknik asal tanah air peraih beasiswa itu melirik ke halaman koran. Memang berita yang dimaksud bukan headline, tetapi matanya langsung membelalak begitu membaca sekilas judul artikel beserta foto para mahasiswa yang tengah melakukan aksi terhadap pemerintah. Lebih tepatnya, pemerintah yang sudah berkuasa puluhan tahun.
Salahkah si mantan mahasiswa teknik asal tanah air peraih beasiswa itu, jika mengatakan bahwa berita ricuh di tanah air yang dibahas di koran itu membuatnya bahagia
"Doa Hyung terkabul,” bisik si orang selatan itu, “Hyung akan menghabiskan masa tua di tanah airnya Hyung."
"......," Derai air mata haru membasahi wajah si mantan mahasiswa teknik asal tanah air peraih beasiswa itu. Refleks, dia mendekap kencang seorang yang sudah dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri di negeri orang ini. “Akhirnyaaa! Akhirnyaaa!” seru si mantan mahasiswa itu. Meski ibu kandungnya telah berpulang dua belas tahun lalu, adik kandungnya telah menikah dengan warga asing dan tinggal di luar tanah air sejak tujuh tahun lalu, dan adiknya yang lain sudah memiliki kesibukan sendiri, dia tetap rindu dengan tanah air. Dia ingin melangkah di atas tanahnya. Dia ingin bernapas di udaranya. Dia ingin memperkenalkan kepada istri dan anaknya tentang tanah airnya. Dia sudah lahir di sana dan kelak ingin mati di sana pula.
Seperti salah satu penggalan lagu nasional, “Di sana, tempat lahir beta. Dibuai. Dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua. Sampai menutup mata.” Hanya itu keinginannya.
Dari membuka sampai menutup mata, si mantan mahasiswa asal tanah air peraih beasiswa di negeri utara itu berada di tanah air.