Masukan nama pengguna
"DOR!" Darah makelar itu muncrat ke kontainer pelabuhan ujung kota. Sulit kupercaya apa yang kulihat. Namun, hati ini masih bertoleransi karena semuanya dilakukan oleh rekan kekasihku.
Bukan kekasihku.
Untuk sementara waktu, biarlah aku menghibur diriku sendiri dengan pernyataan seperti ini.
Meskipun, seseorang yang kuharapkan seharusnya tak diam di tengah situasi ini hanya dapat membetulkan kaca matanya.
Angin malam hanya satu-satunya saksi mata selain diriku. Bulan purnama yang benderang di atas langit sana tampaknya enggan diminta terlibat. Seolah, dia tak ingin nama baiknya dipertaruhkan.
Masih dalam keadaan duduk di boncengan motor seseorang yang tadi membetulkan kaca matanya, badanku langsung gemetaran. Gerakan ini sepertinya terpantau oleh seorang berkaca mata itu. Anehnya, keberadaannya membuatku lupa jika beberapa jengkal dari posisiku berada saat ini terdapat raga tak bernyawa.
Seorang berkaca mata itu menoleh ke arahku. Mimik wajahnya masih meneduhkan. Dia tak berubah dari sosok yang kukenal selama ini. Hanya lokasi dan situasinya saja yang berbeda.
Bagiku, dia masih merupakan laki-laki yang selalu memberiku bunga setiap bulan. Mengajakku tertawa setiap saat. Menyanyikan lagu cinta untukku dengan gitar akustik kesayangannya. Meneleponku setiap pagi hanya untuk mengingatkan dan menyemangati kegiatanku.
Aku juga tak akan melupakan saat dia kutemani dua kali sebagai pendamping wisuda saat acara kelulusannya di universitas terbaik negeri ini. Kedua pencapaiannya itu menyandang nilai terbaik seangkatan. Dia juga selalu memuji setiap masakan yang kubuatkan, tetapi protes setiap kali terlalu pedas. Aku tak menyangka ... Malam ini, dia ... Menembak orang di depanku.
Uh maksudku, rekannya!
Ya! Rekan dari kekasihku yang menembakkan kepala pria tua malang itu.
Mari pura-pura tidak tahu siapa yang menyuruh menembak!
"Sepertinya, kedepannya akan sangat bahaya untukmu! Aku minta maaf karena sudah gagal menutupinya di hadapanmu!" Itulah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebelum akhirnya polisi datang dan mengamankanku. Aku pun dipulangkan kepada orang tuaku dan dilindungi sebagai saksi kunci.
Sedangkan dia?
Atau rekannya?
Bagai pesulap yang mudah mengelabui pandangan khalayak, dia pun seperti itu.
Sejak kepergiannya, dia hanya meneleponku dua minggu sekali dan mengatakan, "I love you," dengan nomor telepon berbeda-beda. Lebih membingungkannya lagi, kode areanya pun diketahui berbeda.
"Sayang, I lov~,"
TUUUUUT!
Tanpa menunggu jawabanku, panggilan telepon ditutup olehnya. Lalu biasanya, tak berapa lama, polisi datang merebut ponselku. Siklusnya selalu begini. Namun, kekasihku itu selalu lihai. Kata polisi, dia selalu tak ada di lokasi pencarian saat menghubungiku.
Salahkah aku jika membelanya dalam hati jika dibandingkan dengan pengejaran para petugas berwajib itu?
Karena aku percaya ... Otak encernya akan selalu melindunginya.
"Tapi tak mengapa kalau di suatu hari nanti, ada laki-laki lain yang kau suka dan kau memilihnya sebagai suamimu," di suatu malam, panggilan teleponnya tumben agak lama. Aku pun bersyukur karena terbangun. "Belum ada yang berhasil membuatku jatuh cinta selain dirimu," TUUUUT! Seperti biasa, telepon dimatikan. Padahal, aku belum saja selesai merespons.
"Kode Ulan Bator! Sepertinya dia di Mongol," pada suatu siang di hari lain, tepatnya saatku menerima telepon darinya di cafe, terdengar suara polisi yang baru kusadari rupanya duduk di meja sampingku. Sudah biasa aku dibuntuti, tetapi aku masih sulit merasakan keberadaan mereka. Malah kekasihku di seberang saluran telepon ini yang tampaknya lebih menyadarinya.
"Siapa tahu dia memakai VPN! Belum tentu di Mongol!" tebak para pihak berwajib itu. Jika melihat para pihak berwajib linglung karenanya, entah mengapa aku merasa bangga.
Mungkin aku juga mulai gila.
"Mama sendiri mendoakan agar harapannya terkabul," ketika makan malam bersama Mama di rumah, lagi-lagi, aku mendengar komentar yang sama. Perutku jadi kenyang jika sudah membahas hal ini.
Aku pura-pura saja tak mengerti maksud Mama, "Harapan siapa yang terkabul, Ma?"
Sebelum menyuapkan makanan ke mulut, dengan pandangan mata yang berkaca-kaca karena seolah sudah angkat tangan dengan sikapku, Mama pun berbisik, "Harapan Kriminal Pujaanmu yang selalu kamu ceritakan itu. Kamu cerita kalau dia memintamu agar kamu mempunyai pilihan laki-laki lain sebagai suami selain dirinya, kan, Nak? Sungguh Mama doakan agar terkabul."
Uh! Aku begitu menyayangi Mama, tetapi mengapa setiap mendengar hal ini, hatiku terluka sekaligus merindukannya kembali.
Semoga, dia akan meneleponku lagi suatu hari nanti, di mana pun berada, dan kapan pun, dengan kode area berapa pun.