Masukan nama pengguna
Bab 1 – Desas-desus di Kota Kecil
Kota kecil bernama Loka Jaya selalu diselimuti kabut tipis di pagi hari, seolah menyembunyikan rahasia-rahasia lama yang enggan terungkap. Namun, ada satu rahasia yang tak pernah benar-benar mati, justru hidup subur dalam bisikan dan desas-desus di kalangan anak muda: Penjara Jepang. Bukan sekadar bangunan tua terbengkalai, melainkan sebuah makam bisu yang menyimpan kisah kelam dari era pendudukan. Konon, di malam hari, penjara itu hidup kembali dengan suara-suara dari masa lalu: langkah kaki serdadu yang berbaris di lorong-lorong gelap, teriakan pilu tahanan yang disiksa, dan bentakan komandan dalam bahasa Jepang yang memecah kesunyian malam.
Di sebuah warung kopi kumuh yang jadi markas nongkrong favorit, lima sekawan—Damar, Risa, Bayu, Siska, dan Dion—sedang larut dalam obrolan hangat. Damar, si sulung dari lima bersaudara, adalah tipikal remaja ambisius dengan rasa ingin tahu yang tak terbatas. Matanya selalu berbinar saat membahas misteri, dan urban legend tentang Penjara Jepang ini adalah santapan lezat baginya. "Kalian percaya nggak sih, kalau penjara itu beneran angker?" ucap Damar, menyulut rokoknya perlahan. Ia punya kharisma yang mampu menarik perhatian teman-temannya, seringkali tanpa mereka sadari. Seolah ada magnet aneh yang selalu membuat orang mengikuti idenya, bahkan ide yang paling gila sekalipun.
Risa, satu-satunya perempuan di antara mereka yang punya pemikiran paling realistis dan sedikit skeptis, menyeruput es tehnya. "Ah, cuma cerita orang tua, Mar. Mana ada hantu zaman sekarang. Paling cuma suara kelelawar atau tikus got." Risa adalah sosok yang tenang, namun di balik ketenangannya tersimpan keberanian dan loyalitas yang tinggi terhadap teman-temannya. Ia sering jadi penyeimbang bagi ide-ide gila Damar.
Di sisi lain, Bayu, si ahli teknologi dengan kacamata tebal yang selalu nangkring di hidungnya, sudah sibuk mencari artikel di ponselnya. "Eh, tapi beberapa blog misteri bilang ada saksi mata lho. Mereka dengar suara-suara aneh itu. Ada juga yang bilang pernah lihat bayangan." Bayu adalah otak di balik peralatan mereka, selalu siap dengan kamera, drone, atau senter canggih. Meskipun sedikit penakut, rasa ingin tahunya seringkali mengalahkan rasa takutnya.
Siska, si gadis periang yang mudah terpengaruh, sudah mulai merinding. "Ih, jangan ngomongin itu dong! Aku jadi ngebayangin!" Siska adalah yang paling penakut di antara mereka, seringkali ekspresif dalam menunjukkan ketakutannya, tapi karena tak ingin ketinggalan momen atau dicap pengecut, ia akan tetap ikut.
Sementara itu, Dion, si paling santai dan cenderung pasrah, hanya mengangguk-angguk sambil menikmati kopinya. "Asal nggak nyuruh kita bersih-bersih penjara aja sih. Ngantuk aku kalau disuruh gotong royong sama hantu." Dion adalah pelawak kelompok, seringkali menenangkan suasana dengan guyonan ringannya. Namun, di balik sikap santainya, ia punya intuisi yang cukup tajam, meski seringkali diabaikan.
Damar tersenyum misterius. "Gimana kalau kita buktikan sendiri? Malam Sabtu nanti, kita ke sana." Usul Damar sontak membuat Siska terlonjak. "HAH?! Kamu gila, Mar?!"
"Dengar dulu," Damar menukas, "Kita bukan mau main-main. Kita mau investigasi. Bayangin, kalau kita bisa merekam bukti suara atau bahkan video, kita bisa jadi terkenal. Urban legend Loka Jaya akan kita bongkar kebenarannya!" Damar tidak hanya termotivasi oleh sensasi, tapi juga oleh ambisi untuk menjadi terkenal, untuk meninggalkan jejak. Ia percaya, membongkar misteri Penjara Jepang ini adalah langkah pertamanya menuju sesuatu yang besar. Ada semacam dorongan dari dalam dirinya yang selalu mengatakan, “Kamu berbeda, kamu harus melakukan sesuatu yang luar biasa.”
Risa menatap Damar lekat. "Maksudmu, kita benar-benar masuk ke dalam?"
"Tentu saja! Apa gunanya investigasi kalau cuma di pagar doang?" Damar menyeringai. "Lagipula, Bayu punya semua alat yang kita butuhkan. Kita akan aman."
Siska masih ragu, tapi tatapan Damar yang penuh semangat perlahan memengaruhinya. "Tapi... kalau ada apa-apa gimana?"
"Itulah serunya!" Damar membalas dengan semangat. "Kita harus siap. Ini petualangan. Kita akan membuktikan apakah hantu itu nyata atau tidak. Dan jika pun nyata, kita akan menjadi yang pertama mendokumentasikannya secara valid!" Ada kilatan di mata Damar, bukan hanya semangat, tapi juga sedikit kenekatan. Kenekatan yang kelak akan membawa mereka pada sesuatu yang tak terduga.
Malam itu, diskusi berlanjut hingga larut. Meski ada keraguan, terutama dari Siska, rasa penasaran dan semangat petualangan yang dihembuskan Damar berhasil mengalahkan segalanya. Mereka berlima sepakat. Malam Sabtu nanti, mereka akan membuktikan kebenaran urban legend tentang Penjara Jepang. Mereka tidak tahu bahwa keputusan itu adalah gerbang menuju teror yang sesungguhnya, sebuah teror yang tidak hanya akan menguji keberanian mereka, tetapi juga eksistensi mereka. Mereka hanya ingin mencari kebenaran, tanpa menyadari bahwa kebenaran itu mungkin terlalu mengerikan untuk ditemukan.
Bab 2 – Rencana Menantang Urban Legend
Rencana investigasi Penjara Jepang berkembang dengan cepat. Damar, dengan karismanya yang persuasif, mengambil alih kendali. Ia tidak hanya ingin sekadar masuk, tetapi ingin melakukan penyelidikan yang "profesional". "Kita harus siap. Bukan cuma berani, tapi juga cerdas," ucapnya saat mereka berkumpul di rumah Bayu, yang dipenuhi perangkat elektronik canggih. "Bayu, tugasmu adalah memastikan semua rekaman audio dan visual berfungsi sempurna. Jangan sampai ada glitch."
Bayu, yang memang sudah mempersiapkan segala sesuatu, mengangguk antusias. "Tenang saja, Damar. Aku sudah siapkan kamera GoPro dengan mode malam, beberapa senter LED super terang, power bank, dan bahkan mic eksternal buat merekam suara-suara halus. Ponsel kita juga bisa jadi cadangan." Di antara tumpukan kabel dan gadget, Bayu terlihat seperti seorang ilmuwan muda yang siap bereksperimen. Ia punya ketertarikan yang mendalam pada sejarah lokal, dan Penjara Jepang ini adalah salah satu objek penelitian yang paling menarik baginya. Ia bahkan sudah sedikit melakukan riset awal tentang penjara itu, meskipun hasilnya masih samar-samar. Ia tahu bahwa penjara itu dibangun pada masa pendudukan Jepang, digunakan untuk menahan tahanan politik dan tawanan perang. Namun, detail-detail tentang kekejaman di dalamnya masih menjadi misteri.
"Siska, kamu siapkan bekal. Air minum, snack, dan kotak P3K," Damar melanjutkan. Siska menghela napas, masih sedikit takut, tapi mencoba untuk tidak menunjukkan. "Oke, Damar. Tapi jangan jauh-jauh dari aku ya!" pintanya dengan nada sedikit manja. Di balik ketakutannya, Siska punya sifat keibuan dan perhatian, selalu memikirkan kebutuhan teman-temannya. Ia selalu berusaha untuk tetap positif, meskipun suasana hati seringkali terpengaruh oleh hal-hal menakutkan.
"Dion, kamu tugasnya menjaga mood. Jangan sampai kita tegang berlebihan. Dan pastikan kita punya jalur kabur yang jelas," ujar Damar sambil menunjuk Dion. Dion, dengan santainya, mengacungkan jempol. "Siap, komandan! Aku akan jadi mood maker dan scout dadakan kita. Kalau ada hantu yang senyum-senyum, langsung kukerjain sampai nangis!" Meskipun ia bercanda, Dion sebetulnya punya insting bertahan hidup yang kuat. Ia seringkali mengamati lingkungan sekitarnya, mencari jalan keluar atau potensi bahaya, tanpa disadari oleh teman-temannya.
Terakhir, Damar menoleh ke Risa. "Risa, kamu jadi mata kedua dan penentu keputusan. Kalau ada yang ganjil, kamu yang kasih aba-aba. Jangan sungkan untuk bilang kalau kita harus mundur." Risa mengangguk, menunjukkan keseriusan. "Aku akan berusaha objektif. Tapi kamu janji, Damar, kalau situasinya di luar kendali, kita langsung cabut. Jangan egois." Risa tahu betul bahwa Damar punya sisi egois dan terlalu ambisius yang kadang membuatnya lupa diri. Ia adalah penentu moral dalam kelompok, yang selalu mencoba menjaga agar mereka tetap pada jalur yang aman dan etis.
Sebelum mereka memulai, Bayu memproyeksikan beberapa artikel dan gambar lama tentang Penjara Jepang di dinding. "Aku nemu ini. Penjara ini dibangun sekitar tahun 1943. Awalnya cuma untuk tahanan biasa, tapi pas perang makin intens, jadi tempat interogasi dan penahanan politik. Konon, banyak pejuang lokal yang disiksa sampai mati di sini. Beberapa saksi mata lokal yang masih hidup menceritakan tentang jeritan-jeritan yang terdengar dari dalam, bahkan di siang bolong." Bayu menjelaskan. Ia menunjukkan sketsa bangunan penjara dari atas, lorong-lorong gelap, dan denah ruang bawah tanah yang tampak seperti sarang laba-laba. "Ruangan yang paling terkenal adalah 'Ruang Karantina' di bawah tanah. Katanya, itu tempat isolasi khusus, tempat paling kejam di penjara ini."
Mendengar itu, Siska semakin bergidik. "Ruang Karantina? Namanya aja udah seram!"
"Itulah yang membuatku penasaran," ujar Damar, matanya berbinar. "Apa yang terjadi di sana sampai dinamakan seperti itu? Apakah ada wabah? Atau..." Damar sengaja menggantung kalimatnya, membiarkan imajinasi teman-temannya bermain. "Kita harus cari tahu."
Risa menatap Damar, sedikit khawatir. "Damar, risetku bilang, beberapa keluarga di sini percaya bahwa penjara itu dikutuk. Dulu ada seorang komandan Jepang yang sangat kejam bernama Komandan Katsuro. Dia punya reputasi sadis dan tak kenal ampun. Konon, arwahnya masih bergentayangan di sana, menjaga penjara itu agar tidak ada yang bisa membongkar rahasia kelamnya." Risa sengaja menambahkan detail ini, berharap bisa sedikit mengerem ambisi Damar.
Damar justru tersenyum tipis. "Katsuro, ya? Menarik. Kalau memang dia ada, berarti dia adalah 'tuan rumah' yang harus kita temui." Dia tidak terlihat gentar sedikit pun, justru semakin tertantang. "Ini bukan sekadar urban legend lagi, ini sejarah yang hidup. Dan kita akan jadi yang pertama yang bisa mengungkapnya secara langsung."
Malam menjelang hari H, ketegangan mulai terasa. Siska beberapa kali menelepon Risa, menanyakan apakah rencana itu bisa dibatalkan. Dion sibuk mencari lagu-lagu ceria untuk menenangkan suasana. Bayu terus memeriksa ulang peralatannya. Sementara Damar, ia sibuk memikirkan rute terbaik, titik-titik potensial untuk merekam, dan bagaimana cara memaksimalkan eksposur jika mereka berhasil. Ada semangat membara dalam dirinya, sebuah dorongan kuat untuk membuktikan bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang besar, sesuatu yang akan membuat namanya dikenal. Ia ingin menantang batas, mencari sensasi yang lebih dari sekadar hidup biasa di kota kecil mereka.
Saat malam yang ditentukan tiba, mereka berkumpul dengan peralatan lengkap. Udara terasa dingin dan lembap, seolah alam pun turut merespons ketegangan yang mereka rasakan. Mereka siap menantang urban legend, siap menghadapi apa pun yang menunggu di balik gerbang besi Penjara Jepang. Mereka tidak tahu bahwa tantangan itu akan jauh lebih mengerikan dari sekadar hantu-hantu bisu. Tantangan itu adalah pertarungan antara rasa ingin tahu manusia dan kekuatan gelap dari masa lalu yang tak pernah pergi.
Bab 3 – Gerbang Besi dan Udara Mati
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Bulan sabit tipis menggantung di langit, seolah enggan menerangi jalan mereka. Penjara Jepang berdiri kokoh di tengah lahan kosong, dikelilingi pagar kawat berduri yang sudah usang dan berkarat. Dinding-dindingnya ditumbuhi lumut dan tanaman rambat, menyerupai raksasa yang tertidur pulas. Dari kejauhan, hanya ada siluet hitam yang memancarkan aura suram.
"Oke, sudah siap semuanya?" bisik Damar, memimpin di depan. Suaranya sedikit bergetar, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. Di belakangnya, Bayu memegang kamera GoPro yang sudah menyala, Siska memeluk tas ranselnya erat-erat, Risa memegang senter dengan tangan gemetar, dan Dion berjalan santai di paling belakang, mencoba mengusir ketegangan dengan senandung kecil yang sumbang.
Mereka menemukan celah di pagar, tempat yang dulunya mungkin adalah gerbang kecil, kini hanya menyisakan kerangka besi yang bengkok. Satu per satu, mereka menyelinap masuk. Saat kaki Damar menginjak tanah di dalam kompleks penjara, sebuah hawa dingin yang menusuk tulang langsung menyergap. Bukan dingin biasa, melainkan dingin yang lembap dan berbau tanah basah bercampur karat. Udara terasa berat, seolah dipenuhi partikel-partikel tak kasat mata yang menghimpit paru-paru.
"Ugh, bau apa ini? Kayak bau besi karatan campur tanah basah," gumam Siska, menutup hidungnya.
"Bau sejarah, Siska," sahut Damar, mencoba terdengar berani. Ia menyalakan senter, menyorot ke sekeliling. Balok-balok beton yang retak, reruntuhan atap, dan puing-puing berserakan di mana-mana. Suara langkah kaki mereka berlima terdengar nyaring memantul di antara dinding-dinding tinggi yang suram.
Mereka mulai berjalan menyusuri lorong utama yang gelap gulita. Senter mereka menari-nari di dinding, menampakkan grafiti usang dan bercak-bercak gelap yang mereka coba abaikan. Tidak ada suara, kecuali derit pintu-pintu sel yang tertiup angin dan suara napas mereka sendiri yang berat. Ketegangan mulai merayap pelan. Setiap bayangan yang bergerak karena sorotan senter seolah menjadi ancaman. Setiap suara kecil yang mereka dengar, entah itu tetesan air dari atap yang bocor atau gesekan ranting di luar, membuat jantung mereka berpacu.
"Ini lebih sepi dari yang kubayangkan," bisik Risa, suaranya sedikit tegang. Ia mencoba menganalisis situasi, mencari tanda-tanda bahaya yang konkret. "Tidak ada suara aneh sejauh ini."
"Mungkin mereka sedang tidur," canda Dion, berusaha memecah keheningan. Tapi leluconnya terdengar hambar di tengah atmosfer yang mencekam.
Mereka melewati beberapa sel yang pintunya terbuka sebagian. Di dalamnya, hanya ada kegelapan dan sisa-sisa jerami yang sudah membusuk. Bau apek semakin menusuk hidung. Bayu terus merekam, kameranya menangkap setiap sudut yang gelap, berusaha mendeteksi anomali. "Sinyal GPS agak lemah di sini," gumam Bayu, memeriksa ponselnya. "Tapi kameraku masih merekam dengan baik."
Sekitar 15 menit mereka menjelajah, tidak ada kejadian aneh yang terjadi. Mereka hanya merasakan dinginnya udara, pekatnya kegelapan, dan tekanan yang semakin meningkat di dada mereka. Damar mulai merasa sedikit kecewa. "Cuma begini doang? Kupikir akan ada teriakan atau semacamnya," bisiknya, suaranya mengandung sedikit nada ketidakpuasan. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dramatis, lebih nyata.
"Sabar, Damar," Risa mengingatkan. "Kita baru masuk. Jangan terlalu bersemangat. Ini tempat berbahaya, kita tidak tahu apa yang tersembunyi." Risa, dengan intuisi tajamnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia tidak bisa menunjukannya secara pasti. Ada energi berat yang menyelimuti tempat itu, seolah dinding-dinding itu sendiri menahan nafas dan menunggu.
Tiba-tiba, dari ujung lorong yang gelap, terdengar suara krek. Siska langsung melompat kecil, bersembunyi di belakang Bayu. "Suara apa itu?!"
Bayu mengarahkan senternya ke arah suara. Hanya ada dinding kosong. "Mungkin cuma tikus," katanya, meskipun ia sendiri merasa tidak yakin.
Damar mencoba menenangkan mereka. "Oke, tetap tenang. Ini hanya permulaan. Ingat, kita di sini untuk mencari bukti. Kita harus fokus." Ia mencoba memproyulerkan kepercayaan diri, meskipun dalam hati ia juga merasakan sedikit kegugupan yang mulai merayapi. Udara yang mati ini, kegelapan yang pekat, dan kesunyian yang mencekam jauh lebih menyeramkan daripada sekadar teriakan. Kesunyian itu seolah menyimpan rahasia-rahasia mengerikan yang siap meledak kapan saja. Mereka tidak tahu bahwa kesunyian itu adalah awal dari simfoni teror yang akan segera mereka alami.
Bab 4 – Jejak yang Tak Terlihat
Kesunyian yang semula mencekam di dalam Penjara Jepang mulai terkoyak. Baru sekitar lima belas menit mereka melangkah masuk, menyusuri lorong-lorong berdebu, sebuah suara aneh mulai terdengar. Mulanya samar, seperti gesekan sepatu di lantai kerikil, lalu berangsur-angsur menjadi lebih jelas: suara langkah kaki. Bukan langkah kaki mereka, karena langkah itu terdengar dari arah yang berbeda, seolah mengitari mereka.
"Kalian dengar itu?" bisik Siska, suaranya bergetar. Ia mencengkeram lengan Bayu erat-erat.
"Langkah kaki," gumam Bayu, mengarahkan senter GoPro-nya ke segala arah, mencoba melacak sumber suara. "Tapi kok... nggak ada siapa-siapa?"
Damar mengerutkan kening. "Mungkin gema? Suara kita memantul?" Ia mencoba mencari penjelasan logis, namun ia tahu di dalam hatinya bahwa suara itu terlalu jelas untuk sekadar gema. Suara langkah itu terdengar berat, seperti langkah seseorang yang mengenakan sepatu bot militer, berderap perlahan namun pasti.
Suara langkah itu semakin mendekat, mengitari mereka dari berbagai sisi. Terkadang terdengar di depan, lalu tiba-tiba di belakang, seolah ada entitas tak terlihat yang sedang bermain-main dengan mereka. Rasa dingin yang sebelumnya hanya sekadar hawa lembap, kini berubah menjadi rasa dingin yang menusuk tulang, seolah embusan napas es yang mampir di kulit.
"Ini bukan gema, Mar," Risa memperingatkan. Wajahnya pucat pasi. Ia merasakan bulu kuduknya merinding, merasakan kehadiran yang tak kasat mata di sekitar mereka. Intuisi tajamnya mengatakan ada bahaya yang mengintai.
Tiba-tiba, suara langkah kaki itu berhenti tepat di samping Dion. Dion yang tadinya mencoba bercanda, kini terdiam kaku. Ia merasakan hembusan napas dingin di lehernya, diikuti bau aneh yang menusuk hidung, seperti bau karat bercampur anyir darah dan apek. Tubuhnya menegang, tak bisa bergerak.
Dan kemudian, memecah keheningan yang mencekam, terdengar sebuah bentakan keras dalam bahasa Jepang: "YAMERO!"
Suara itu menggema di lorong, memekakkan telinga, penuh kemarahan dan otoritas. Bentakan itu begitu tiba-tiba dan nyata, seolah seseorang berdiri tepat di depan mereka dan berteriak. Siska langsung menjerit kecil, air matanya mulai menetes. Bayu tanpa sadar menjatuhkan senter yang dipegangnya, dan kameranya hanya merekam gambar lantai.
"Apa itu tadi?!" Siska tergagap, ketakutan memenuhi setiap inci dirinya.
"Suara bentakan," bisik Damar, suaranya kini tidak lagi berani, ada getaran ketakutan yang jelas. Ia tidak pernah membayangkan akan mendengar suara sejelas itu. Ini bukan hanya cerita lagi, ini nyata. "Bayu, apa terekam?!"
Bayu dengan cepat meraih senternya, dan memeriksa rekaman GoPro. "Aku... aku nggak yakin. Kameranya sempat jatuh. Tapi... suara bentakan itu... jelas banget." Bayu memutar ulang sedikit rekamannya, dan ya, suara "YAMERO!" itu terdengar jelas, disusul jeritan Siska dan suara benturan.
Dion, yang sempat membeku, kini gemetaran hebat. "Aku... aku merasakan sesuatu di sampingku. Dingin banget." Wajahnya pias.
Risa menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai rasa takutnya. "Oke, kita harus tenang. Mungkin ini peringatan. Kita jangan terlalu masuk ke dalam." Ia menatap Damar penuh permohonan. "Damar, ayo kita keluar saja. Ini tidak lucu lagi."
Namun, Damar, meskipun ketakutan, masih merasakan dorongan yang kuat. Dorongan untuk mencari tahu lebih dalam. Suara bentakan itu, kehadiran tak terlihat itu, justru semakin memicu rasa ingin tahunya yang gila. "Tidak, Risa. Ini justru bukti yang kita cari! Mereka nyata! Tapi siapa? Kenapa mereka berteriak?" Matanya kembali memancarkan kilatan penasaran, bercampur sedikit kenekatan. Ia mengangkat senter, menyorot ke ujung lorong yang lebih gelap. "Ayo. Kita harus cari tahu apa yang ada di balik suara itu."
"Tapi Damar!" protes Siska, terisak. "Aku takut!"
"Siska, ini kesempatan kita," Damar mencoba meyakinkan, meskipun ia sendiri merasa tidak yakin. "Kita tidak akan menemukan ini lagi. Kita harus melihat siapa atau apa yang ada di sini. Mungkin ada petunjuk tentang sejarah penjara ini!"
Bayu, meskipun takut, rasa ingin tahunya juga ikut terusik. Ia ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa ada dorongan kuat untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah ilusi. "Tapi Damar, itu berbahaya," ujarnya pelan. "Suara itu terdengar sangat marah."
"Justru itu! Mungkin mereka marah karena kita masuk ke wilayah mereka," Damar berbalik, menatap teman-temannya satu per satu. "Ini yang kita cari, kan? Kita sudah sampai sejauh ini. Kita tidak bisa menyerah sekarang." Ia memutar senternya ke arah lain, menuju lorong yang lebih dalam, seolah mengabaikan peringatan yang baru saja mereka terima. Mereka tidak tahu bahwa bentakan "YAMERO!" itu bukanlah akhir, melainkan awal dari mimpi buruk yang akan segera mereka alami. Kehadiran tak terlihat itu semakin kuat, dan hawa dingin di sekitar mereka semakin mencekik. Mereka telah melewati batas yang tidak seharusnya mereka sentuh.
Bab 5 – Penampakan Pertama
Setelah bentakan mengerikan "YAMERO!" yang menggema di lorong, atmosfer di Penjara Jepang semakin mencekam. Ketegangan mengental di udara, setiap napas terasa berat, dan jantung mereka berpacu tak keruan. Damar, meskipun berusaha tampak berani, tak bisa menyembunyikan getaran di tangannya saat memegang senter.
"Ayo, tetap bersama," bisiknya, mencoba menjaga kekompakan. "Kita harus hati-hati."
Mereka melanjutkan langkah, kini dengan lebih banyak kewaspadaan. Mata mereka tak henti-hentinya menyapu kegelapan, senter mereka menari-nari mencari anomali. Setiap bayangan yang bergerak, setiap suara kecil, membuat mereka menahan napas. Mereka berjalan pelan, seolah takut mengganggu sesuatu yang sedang menunggu di kegelapan.
Tiba-tiba, di ujung lorong yang remang-remang, di antara pilar-pilar beton yang rapuh, sebuah siluet samar mulai terbentuk. Bentuknya tinggi, tegap, dan seolah diselimuti kabut tipis. Siluet itu bergerak perlahan, langkahnya nyaris tak bersuara, semakin mendekat ke arah mereka. Mata mereka terpaku pada sosok itu, jantung berdebar kencang.
"Lihat itu!" bisik Siska, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mencengkeram lengan Bayu lebih erat, kukunya menancap di kulit.
Siluet itu semakin jelas. Pakaiannya terlihat seperti seragam tentara Jepang kuno, lengkap dengan topi datar dan sepatu bot tinggi. Wajahnya... wajahnya tidak jelas, seolah tertutup kabut atau bayangan, namun aura gelap yang terpancar darinya sangat nyata. Sosok itu tidak mengeluarkan suara, hanya berdiri di sana, memandang mereka dengan tatapan yang entah bagaimana, mereka bisa merasakannya, penuh kebencian dan amarah.
"Dia... dia nyata," gumam Bayu, matanya terbelalak. Tangannya gemetar, berusaha mengarahkan kamera GoPro-nya ke arah sosok itu. Ia menekan tombol rekam, berharap bisa menangkap bukti nyata dari penampakan ini. Ini adalah momen yang ia impikan dan takutkan sekaligus.
Namun, saat Bayu mengarahkan kameranya, layar GoPro-nya tiba-tiba berkedip-kedip. Gambar menjadi buram, lalu bergaris-garis, dan akhirnya mati total. Layarnya blank. Bersamaan dengan itu, senter yang ia pegang juga meredup, lalu padam.
"Sial! Kameraku!" seru Bayu, mencoba menekan tombol daya berulang kali, namun tidak ada respons. "Senterku juga mati!"
Saat Bayu panik dengan peralatannya, sosok tentara Jepang itu tiba-tiba bergerak. Bukan berjalan, melainkan melayang perlahan, semakin mendekat. Kehadirannya memancarkan gelombang dingin yang menakutkan, membuat rambut di tengkuk mereka berdiri. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat, lebih menyesakkan.
Siska langsung menjerit histeris. Ia bukan lagi gadis periang yang penakut, ia adalah seorang gadis yang kini diliputi ketakutan murni. "Dia mendekat! Pergi! PERGI!"
Dion, yang tadinya berusaha santai, kini wajahnya pucat pasi. Ia merasakan desakan kuat untuk lari, namun kakinya seolah terpaku di tempat. "Ayo, Damar! Kita harus lari!"
Risa menarik lengan Damar. "Damar, ini sudah keterlaluan! Kita harus keluar sekarang! Ini bukan main-main lagi!" Ada nada putus asa dalam suaranya. Ia melihat wajah-wajah ketakutan teman-temannya, dan tahu bahwa mereka sudah melewati batas toleransi mereka.
Namun, Damar, meski tubuhnya bergetar, masih merasakan dorongan kuat untuk melangkah maju. Ia melihat sosok itu, penampakan yang selama ini hanya ada di cerita. Ini adalah kesempatan, sebuah kesempatan emas untuk membuktikan keberadaan hal supernatural. Rasa penasaran itu, ambisi itu, masih lebih kuat dari rasa takutnya. Ia ingin tahu lebih banyak. Ia ingin tahu mengapa sosok itu muncul, apa yang diinginkannya.
"Tidak!" Damar berseru, suaranya sedikit gemetar. "Ini dia! Ini yang kita cari! Kenapa kameramu mati, Bayu? Apa dia tidak ingin kita merekamnya?" Ia mencoba menyalakan senternya lagi, namun tidak ada cahaya yang keluar. "Dia tidak ingin kita melihatnya. Tapi kita sudah melihatnya!"
"Damar, jangan gila!" Risa berteriak. "Kita di sini dalam bahaya! Lihat Siska! Dia ketakutan!"
Sosok tentara Jepang itu kini berdiri sekitar sepuluh meter di depan mereka, diam membisu. Meskipun wajahnya tak jelas, mereka bisa merasakan tatapan marahnya. Rasanya seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghimpit dada mereka.
"Dia tidak akan menyentuh kita," kata Damar, entah meyakinkan teman-temannya atau dirinya sendiri. "Kita punya senter, kita punya ponsel. Kita hanya perlu terus maju. Kita akan cari tahu apa yang ada di balik ini. Ruang bawah tanah... mungkin ada sesuatu di sana." Ia teringat cerita Bayu tentang "Ruang Karantina" yang disebut-sebut sebagai tempat paling kejam. Ada dorongan aneh yang menariknya ke sana, seolah ada janji kebenaran yang menunggunya di kedalaman.
Siska menangis tersedu-sedu. "Aku tidak mau ke bawah tanah! Aku mau pulang!"
Dion menarik Siska ke belakangnya. "Siska, tenang. Damar, ini sudah tidak benar. Kameranya mati, senter mati. Ini peringatan yang jelas!"
Namun, Damar seolah tidak mendengar. Matanya terpaku pada lorong gelap di belakang sosok tentara Jepang itu, sebuah lorong yang mengarah ke bagian yang lebih dalam dari penjara, sebuah lorong yang terasa dingin dan gelap. Ia merasakan daya tarik misterius yang kuat, sebuah panggilan dari kegelapan. "Kita harus terus maju," ulangnya, lebih pada dirinya sendiri. "Kita tidak bisa menyerah sekarang. Ini baru permulaan." Dan dengan kenekatan yang membabi buta, Damar mengambil langkah pertama, melangkahi batas antara rasa takut dan obsesi, menuju kegelapan yang tak terbayangkan. Mereka tidak tahu bahwa penampakan pertama itu hanyalah sebuah perkenalan, dan teror yang sesungguhnya baru akan dimulai di bawah tanah, di tempat di mana tidak ada yang pernah kembali.
Bab 6 – Tangga ke Neraka
Meskipun dihantui oleh penampakan tentara Jepang yang samar dan kerusakan mendadak pada peralatan Bayu, Damar tetap bersikeras untuk melanjutkan. Obsesinya untuk mengungkap misteri Penjara Jepang jauh lebih kuat daripada rasa takut yang kini menyelimuti teman-temannya. Ia menunjuk ke sebuah pintu kayu yang sudah lapuk di ujung lorong, di samping tempat sosok tentara Jepang itu berdiri. Pintu itu terlihat lebih tua dan lebih menyeramkan dari pintu sel lainnya, seolah menyimpan rahasia yang lebih gelap.
"Itu... itu jalan ke ruang bawah tanah," bisik Damar, suaranya penuh antisipasi. Ia tahu, dari riset Bayu, bahwa ruang bawah tanah adalah jantung kekejaman penjara itu.
Siska sudah terisak-isak, memohon. "Damar, jangan! Aku mohon! Kita pulang aja!"
Risa menarik napas dalam-dalam, mencoba bersikap logis meskipun ketakutan menggerogoti hatinya. "Damar, kamu lihat sendiri kan? Peralatan kita mati. Ini bukan kebetulan. Ini peringatan. Ruang bawah tanah itu... kita nggak tahu apa yang ada di sana."
"Justru karena itu kita harus tahu!" Damar berargumen, kini sedikit lebih defensif. "Bayangkan, Risa, kalau kita bisa mengungkap kebenaran tentang 'Ruang Karantina' itu. Sejarah kelam yang selama ini tersembunyi. Ini lebih dari sekadar hantu-hantuan, ini tentang mengungkap keadilan bagi mereka yang disiksa di sini." Ia mencoba membenarkan ambisinya dengan dalih mulia.
Dion, yang biasanya santai, kini terlihat sangat serius. "Aku nggak yakin, Mar. Feelingku nggak enak banget. Kita udah lihat penampakan, alat mati. Itu artinya kita nggak boleh terus."
Bayu, masih sibuk mengotak-atik GoPro-nya yang mati total, menghela napas pasrah. Ia tahu Damar tidak akan menyerah. "Aku nggak bisa jamin rekaman apa pun di sana, Damar. Semua alatku error."
"Tidak apa-apa," Damar berkata, "kita punya mata dan telinga kita sendiri. Kita akan ingat setiap detailnya. Ini yang paling penting." Ia melangkah perlahan menuju pintu, setiap langkahnya terasa berat, diiringi tatapan khawatir dari teman-temannya. Ia tahu mereka enggan, tapi ia juga tahu bahwa mereka akan tetap mengikutinya. Mereka terlalu peduli padanya, atau mungkin terlalu takut untuk meninggalkannya sendirian.
Pintu itu berderit mengerikan saat Damar mendorongnya. Bau busuk yang sebelumnya samar kini langsung menyerbu hidung mereka. Bau anyir, bau amis, bau tanah basah, dan bau yang sulit dideskripsikan, seolah bau kematian yang sudah meresap ke dalam dinding. Bau itu begitu kuat, membuat Siska mual.
Di balik pintu, terhampar tangga curam yang menurun ke dalam kegelapan. Tangga itu terbuat dari beton yang sudah rusak dan berlumut. Dinginnya udara di bawah sana terasa berkali-kali lipat lebih menusuk daripada di atas. Udara terasa pengap, berat, seolah tidak ada sirkulasi sama sekali. Oksigen terasa menipis.
"Ugh, baunya... ini bau apa sih?" Siska bertanya, suaranya tercekat.
"Bau tanah lembap dan... sesuatu yang busuk," jawab Risa, wajahnya semakin pucat. Ia mengarahkan senternya ke bawah, cahayanya hanya mampu menembus kegelapan sejauh beberapa meter.
"Ini seperti kita turun ke neraka," gumam Dion, lebih pada dirinya sendiri.
Damar, dengan senter ponselnya yang menjadi satu-satunya sumber cahaya yang berfungsi, mulai menuruni tangga. Ia menoleh ke belakang, memastikan teman-temannya mengikutinya. Mereka melangkah dengan sangat hati-hati, takut terpeleset atau menginjak sesuatu yang tidak mereka inginkan. Setiap langkah di tangga beton yang lapuk menghasilkan suara gema yang menyeramkan.
Semakin dalam mereka turun, semakin pekat kegelapan. Suara-suara di atas, seperti derit pintu sel atau gesekan angin, kini sepenuhnya menghilang, digantikan oleh keheningan yang memekakkan telinga, hanya dipecahkan oleh napas mereka yang berat dan detak jantung mereka sendiri.
Di dasar tangga, mereka menemukan lorong sempit yang bercabang ke beberapa ruangan. Salah satu ruangan, yang paling mencolok, memiliki sebuah tanda samar yang terukir di atas ambang pintunya. Meski sudah usang dan tertutup lumut, mereka bisa membaca aksara Jepang yang terukir di sana: "隔離室" (Kakuri-shitsu), yang artinya "Ruang Karantina".
Ruangan itu mengeluarkan aura yang jauh lebih gelap dari ruangan lain. Bau busuk yang paling kuat berasal dari sana. Damar mengarahkan senternya ke dalam ruangan. Hanya kegelapan yang pekat. Ia bisa merasakan tarikan kuat, sebuah dorongan tak kasat mata yang menariknya untuk masuk.
"Ini dia," bisik Damar, matanya berbinar, campuran antara rasa takut dan ekstasi. "Ruang Karantina."
Risa menatap Damar dengan tatapan putus asa. "Damar, ini adalah batasnya. Aku mohon, jangan. Aku merasakan sesuatu yang sangat buruk di ruangan ini."
Bayu, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ada aura yang berbeda di sini, Damar. Ini bukan cuma menakutkan, ini... jahat."
Namun, obsesi Damar sudah mencapai puncaknya. Ia sudah sejauh ini. Ia tidak bisa mundur. Kebenaran, apa pun itu, harus ia temukan. "Kita sudah sampai di sini. Kita harus masuk. Mungkin ada arsip, ada petunjuk... apapun!" Ia melangkah maju, tangannya sudah memegang gagang pintu yang berkarat.
Melihat Damar yang tak tergoyahkan, ketiga temannya saling pandang. Mereka tahu Damar tidak akan mundur. Dengan napas tertahan dan hati yang berdegup kencang, mereka akhirnya mengikuti jejak Damar, melangkah masuk ke dalam kegelapan pekat "Ruang Karantina" itu, sebuah keputusan yang akan mereka sesali selamanya. Mereka tidak tahu bahwa ruangan itu adalah jebakan maut, tempat di mana kegelapan dari masa lalu menunggu untuk menuntut korban baru.
Bab 7 – "Kalian Lancang!"
Begitu Damar melangkah masuk ke dalam "Ruang Karantina", diikuti oleh Risa, Bayu, Siska, dan Dion, sebuah suara keras mengagetkan mereka. Pintu di belakang mereka tiba-tiba tertutup dengan suara gedebuk yang memekakkan telinga, disusul oleh suara kunci berderit yang mengunci dari luar. Gelap gulita langsung menyelimuti mereka, karena senter ponsel Damar yang tadinya menyala tiba-tiba padam total, sama seperti peralatan Bayu. Mereka terperangkap.
Jeritan Siska memenuhi ruangan. "TIDAK! Pintu terkunci!" Ia panik, mencoba meraba-raba dinding dan gagang pintu dalam kegelapan yang absolut.
"Sial! Kenapa mati lagi?!" umpat Damar, mencoba menyalakan ponselnya berulang kali, namun tidak ada respons. Kegelapan ini jauh lebih pekat dari sebelumnya, seolah cahaya telah benar-benar ditelan oleh ruangan itu. Bau busuk, yang sebelumnya sudah kuat, kini terasa berlipat ganda, seolah mereka baru saja masuk ke dalam sebuah kuburan masal yang belum ditutup. Bau anyir darah, bau daging membusuk, dan bau kematian yang menyengat menusuk hidung mereka, membuat mual.
Tiba-tiba, dari sudut ruangan, sebuah suara berat dan serak, penuh kemarahan dan otoritas, menggema. Suara itu berbicara dalam bahasa Jepang yang kasar dan tak terbantahkan: "貴様ら、不届き者め!"
Artinya: "Kalian lancang, orang-orang tidak tahu diri!"
Bersamaan dengan suara itu, sebuah sosok besar mulai terbentuk di kegelapan. Bentuknya jauh lebih jelas daripada penampakan di lorong tadi. Sosok itu mengenakan seragam komandan Jepang kuno, lengkap dengan pedang samurai yang menggantung di pinggangnya. Matanya merah menyala, dan yang paling mengerikan adalah wajahnya yang hancur, seolah terbakar parah. Dagingnya terkelupas, tulang-tulangnya terlihat jelas, dan senyum yang terukir di wajahnya adalah senyum kekejian yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu adalah Komandan Katsuro, si kejam yang diceritakan Risa.
Siska menjerit histeris, jatuh terduduk di lantai, menangis tak terkendali. "Monster! Monster! Jangan mendekat!"
Dion, yang tadinya mencoba tegar, kini memeluk Siska, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasakan kengerian yang nyata dari sosok di depannya.
"Komandan Katsuro?" bisik Risa, suaranya nyaris tak terdengar, diliputi ketakutan. Ia mencoba melangkah mundur, namun punggungnya membentur dinding dingin.
Katsuro tidak bergerak, hanya menatap mereka dengan mata merah menyala, seolah menikmati ketakutan yang mereka rasakan. Aura amarah dan dendam yang terpancar darinya begitu kuat, terasa seperti tekanan fisik yang menghimpit dada mereka. Udara di ruangan itu terasa semakin pengap, membuat mereka sulit bernapas.
"Kalian berani mengganggu tidurku?!" geram Katsuro, suaranya bergema di ruangan. Bahasa Jepangnya terdengar kuno, namun makna ancamannya sangat jelas. "Kalian mencari tahu apa yang seharusnya tidak kalian tahu!"
Damar, meskipun ketakutan, masih mencoba mencari pemahaman. "Siapa kau?! Apa yang kau inginkan dari kami?!"
Katsuro menyeringai, menampilkan gigi-gigi yang hancur. "Aku adalah penjaga tempat ini. Dan kalian... kalian adalah mangsa baru."
Lalu, perlahan, Katsuro mengangkat tangannya, menunjuk ke sekeliling ruangan yang gelap. Seketika, rasa dingin yang menusuk tulang semakin menjadi. Mereka merasakan kehadiran-kehadran lain di sekitar mereka, tak terhitung jumlahnya. Dan kemudian, dengan horor yang tak terlukiskan, Damar dan teman-temannya menyadari bahwa mereka tidak sendirian di ruangan itu.
Ketika mata mereka sedikit terbiasa dengan kegelapan, atau mungkin karena sosok Katsuro sedikit memanipulasi penglihatan mereka, mereka mulai melihatnya. Di sudut-sudut ruangan, berserakan di lantai, bahkan tergantung di dinding, ada tulang belulang manusia. Tengkorak-tengkorak tanpa mata menatap kosong ke arah mereka. Ada juga jasad-jasad yang masih utuh, namun kering dan layu seperti mumi, dengan pakaian yang sudah usang dan berdebu. Pakaian mereka beragam, ada yang mirip penduduk lokal, ada pula yang pakaiannya modern, menunjukkan bahwa mereka adalah korban-korban yang baru saja datang, persis seperti mereka.
"Mereka... mereka siapa?" Bayu tergagap, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Mereka adalah para penyusup sepertimu," jawab Katsuro, suaranya dipenuhi kekejaman. "Mereka mencari tahu, dan mereka tinggal di sini. Sama seperti kalian sekarang."
Rasa horor yang murni mencengkeram mereka. Mereka menyadari bahwa ruangan ini bukanlah sekadar ruang isolasi, melainkan sebuah kuburan massal, tempat peristirahatan terakhir bagi semua orang yang berani mengganggu kedamaian penjara terkutuk ini. Jasad-jasut itu, tulang belulang itu, adalah pengunjung-pengunjung sebelum mereka, yang juga mungkin datang dengan rasa penasaran, dan berakhir menjadi bagian dari koleksi Katsuro.
Siska menjerit lagi, kali ini lebih keras, histeris. Ia mencoba mendorong pintu dengan kekuatan penuh, namun pintu itu tak bergeming. "Lepaskan kami! Lepaskan kami!"
Katsuro tertawa. Tawa yang kering, mengerikan, dan penuh kemenangan. "Tidak ada yang akan pergi dari sini. Kalian akan tinggal di sini. Selamanya."
Rasa putus asa mulai melanda. Mereka terperangkap, di dalam ruangan yang penuh tulang belulang dan jasad, bersama dengan arwah seorang komandan sadis yang bertekad untuk menjadikan mereka bagian dari koleksinya. Mimpi buruk telah menjadi kenyataan, dan mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup mereka dengan melangkahkan kaki ke dalam "Ruang Karantina" ini. Pertarungan untuk bertahan hidup baru saja dimulai, dan peluang mereka untuk selamat sangat tipis.
Bab 8 – Usaha Pelarian
Ketakutan yang mencekik mengubah "Ruang Karantina" menjadi neraka. Jeritan Siska yang histeris dan tawa kering Komandan Katsuro yang mengerikan memenuhi ruangan. Sosok Katsuro, dengan wajah hancur dan mata merah menyala, melayang mendekat, seolah ingin menikmati kepanikan mereka. Bau busuk dari jasad-jasad di sekeliling mereka semakin menusuk hidung, membuat mual dan kepala pusing.
"LARI! KABUR!" teriak Risa, suaranya pecah. Ia mencoba menarik gagang pintu, memukul-mukulnya dengan kepalan tangan, namun pintu itu tak bergeming. Logam berkarat itu terasa dingin dan kokoh, seolah menyatu dengan dinding.
Damar, yang semula kaku karena ketakutan, akhirnya tersadar. Ia harus bertindak. "Jangan panik! Kita harus cari jalan lain!" Ia mengarahkan ponselnya ke berbagai sisi ruangan, berharap senternya bisa hidup kembali, namun tetap gelap.
Katsuro kembali menggeram, "Tidak ada jalan keluar! Kalian akan tinggal di sini, menemani mereka yang bodoh ini!" Ia menunjuk ke tumpukan tulang dan jasad yang berserakan.
Dion, yang refleksnya cukup cepat, teringat celah di dinding yang ia lihat saat mereka pertama kali masuk penjara. Mungkin ada celah lain di ruang bawah tanah. "Aku ingat ada celah di dinding luar! Kita harus coba cari ventilasi atau retakan di dinding!"
Bayu, yang masih shock, berusaha mengumpulkan akalnya. "Sial! Kalau saja kameraku hidup, kita bisa coba rekam dia! Ini bukti yang tak terbantahkan!" Namun, itu sudah tidak relevan lagi. Yang penting sekarang adalah bertahan hidup.
Dengan dorongan putus asa, mereka mulai meraba-raba dinding dalam kegelapan yang pekat, mencoba mencari retakan, celah, atau apa pun yang bisa menjadi jalan keluar. Jeritan Siska terus memekakkan telinga, menambah suasana mencekam. Ia terus menendang-nendang pintu, air matanya tak henti mengalir.
Tiba-tiba, Katsuro melayang lebih dekat ke arah Damar, tatapan matanya penuh kebencian. "Kau! Kau yang paling lancang! Kau yang membawa mereka ke sini!" Sebuah tangan dingin tak kasat mata seolah mencengkeram leher Damar. Damar langsung tercekik, jatuh terduduk, mencoba melepaskan cengkeraman tak terlihat itu.
Melihat Damar tercekik, Risa panik. Ia tahu mereka tidak punya banyak waktu. "Dion! Bayu! Bantu Damar! Aku akan cari jalan!" Risa mulai berlari menyusuri dinding, meraba-raba setiap inci, mencari celah.
Bayu dan Dion segera mendekati Damar. Katsuro, seolah tak terlihat, menekan Damar. Damar batuk-batuk, megap-megap mencari napas. "Jangan biarkan dia mengambilku!" bisiknya dengan susah payah.
Di tengah kepanikan itu, Risa menemukan sesuatu. Di salah satu sudut ruangan, di balik tumpukan puing, ada sebuah lubang kecil di dinding yang tampaknya menuju ke saluran pembuangan atau terowongan sempit di bawah tanah. Lubang itu terlalu kecil untuk orang dewasa, tapi cukup untuk dilewati dengan susah payah.
"Ketemu! Di sini! Ada lubang!" teriak Risa. "Tapi ini sempit! Kalian harus merangkak!"
Seketika, Katsuro mengalihkan perhatiannya pada Risa, seolah marah karena ada yang menemukan jalan keluar. Ia melayang dengan kecepatan tinggi ke arah Risa, matanya semakin menyala.
"Pergi, Risa!" teriak Damar, yang kini sudah bisa bernapas lega setelah Katsuro mengalihkan cengkeramannya. "Cepat! Aku akan coba tahan dia!"
Dion dengan cepat menarik Siska yang masih menangis histeris. "Siska, ayo! Kita harus keluar!" Ia mencoba mendorong Siska ke arah lubang, namun Siska terlalu panik dan tidak mau bergerak.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak bisa!" Siska menolak, tubuhnya gemetaran.
"Siska, ini kesempatan terakhir kita!" bentak Bayu, mencoba membantunya.
Katsuro sudah berada di depan lubang, menghalangi Risa. Wajahnya yang hancur terlihat sangat dekat. "Kalian tidak akan ke mana-mana!"
Dengan seluruh kekuatan dan keberanian yang tersisa, Risa mencoba mendorong Katsuro, namun tangannya hanya menembus udara. Katsuro menertawakan mereka, tawa yang menusuk tulang. "Kalian terlalu lemah!"
Damar tiba-tiba teringat satu hal: cahaya. Hantu seringkali tidak suka cahaya terang. Ia merogoh sakunya, dan menemukan ponsel cadangan Dion yang kecil, yang untungnya masih berfungsi dengan baik. Ia menyalakannya, mengarahkan senternya tepat ke wajah Katsuro.
Seketika, Katsuro menjerit. Bukan jeritan kemarahan, tapi jeritan kesakitan. Tubuhnya sedikit memudar, dan ia mundur beberapa langkah. Cahaya itu, meskipun kecil, tampaknya melukainya.
"Cepat! Masuk!" teriak Damar. "Cahaya! Dia takut cahaya!"
Risa dengan cepat menyelinap masuk ke dalam lubang. Lubang itu sempit, berbau apek, dan sangat kotor. Ia merangkak dengan cepat, mendengar suara Katsuro yang menggeram di belakangnya.
Dion segera mendorong Siska ke dalam lubang. Siska, meskipun masih menangis, akhirnya menyerah dan mulai merangkak. Bayu segera menyusul di belakang Siska.
"Damar, cepat!" teriak Risa dari dalam lubang.
Damar mengarahkan cahaya ponselnya pada Katsuro, mencoba menahannya. Katsuro menggeram, mencoba menyerang, namun cahaya itu menahannya. Ia tahu ia tidak bisa tinggal lebih lama.
"Aku datang!" teriak Damar. Ia membalikkan badan, melangkah mundur, dan mencoba masuk ke dalam lubang. Namun, saat Damar merangkak, Katsuro tiba-tiba muncul di belakangnya. Rasa dingin yang menusuk kembali menyergapnya, dan ia merasakan cengkeraman kuat di kakinya. Katsuro berhasil menariknya!
"ARGGHH!" Damar berteriak, mencoba berontak.
"Damar!" teriak Risa dari dalam lubang, melihat apa yang terjadi.
Katsuro tertawa. "Kau tidak akan lolos!"
Bayu, yang sudah setengah jalan masuk, melihat Damar ditarik. Ia ingin menolong, namun tubuhnya terlalu besar untuk berbalik di lubang sempit itu, dan Siska yang di depannya masih merangkak lambat.
Dengan sekuat tenaga, Damar menendang-nendang. Cengkeraman itu menguat, menariknya semakin dalam ke ruangan. Ia melihat wajah Katsuro menyeringai di kegelapan.
"Lepaskan aku!" Damar menjerit. Ia berusaha meraih tangan Bayu, namun gagal.
Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar, diikuti jeritan kesakitan Damar. Lubang itu terasa berguncang. Dan kemudian, semuanya kembali hening. Risa, Bayu, dan Siska, yang sudah keluar dari lubang, tidak lagi mendengar suara Damar. Hanya ada keheningan yang mematikan dari dalam penjara. Mereka berhasil keluar dari lubang, merangkak di terowongan gelap yang bau, dan akhirnya keluar dari kompleks penjara. Nafas mereka tersengal-sengal, tubuh mereka gemetar. Mereka melihat ke belakang, ke arah penjara yang kini kembali diselimuti kegelapan dan kesunyian. Dua dari mereka berhasil selamat, sementara yang lain… lenyap.
Bab 9 – Hilang Tanpa Jejak
Dua yang selamat, Risa dan Bayu, merangkak keluar dari kegelapan terowongan pembuangan, terengah-engah. Udara malam yang dingin terasa seperti surga setelah pengapnya "Ruang Karantina" yang mengerikan. Tubuh mereka gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena syok dan teror yang baru saja mereka alami. Mereka berhasil lolos, tetapi dengan harga yang sangat mahal. Damar, Siska, dan Dion... mereka tertinggal di dalam, lenyap ditelan kegelapan penjara terkutuk itu.
Risa menoleh ke belakang, ke arah bangunan penjara yang kini tampak lebih menyeramkan dari sebelumnya. Air matanya mengalir deras. "Damar... Siska... Dion..." bisiknya, suaranya tercekat. Ia ingin kembali, ingin mencari mereka, tapi ia tahu itu mustahil. Katsuro terlalu kuat, dan penjara itu adalah perangkap yang mematikan.
Bayu, meskipun masih pucat pasi, berhasil mengeluarkan ponselnya. Senter ponselnya kembali menyala, seolah-olah kutukan di dalam penjara tidak lagi memengaruhinya di luar. Ia segera menelepon polisi dan warga sekitar. Suaranya bergetar saat ia mencoba menjelaskan apa yang terjadi. "Kami... kami masuk ke Penjara Jepang... dan... teman-teman kami hilang. Ada hantu... monster... dia menculik mereka!" Polisi di ujung telepon terdengar skeptis, mengira mereka berhalusinasi atau mabuk.
Tak lama kemudian, beberapa warga dan mobil polisi tiba di lokasi. Wajah-wajah mereka menunjukkan campuran antara rasa ingin tahu dan ketidakpercayaan. Mereka melihat Risa dan Bayu, yang tampak kacau balau, pakaian kotor, dan mata merah karena menangis.
"Kalian yakin ada teman kalian di dalam?" tanya seorang polisi dengan nada ragu. "Penjara ini sudah kosong puluhan tahun."
Risa dan Bayu bersikeras, menceritakan tentang suara bentakan, penampakan tentara Jepang, "Ruang Karantina" yang penuh tulang belulang, dan Komandan Katsuro yang menyeramkan. Mereka bahkan menunjukkan rekaman suara di ponsel Damar, yang meskipun samar, jelas merekam bentakan "YAMERO!" dan jeritan Siska.
Polisi, meskipun masih skeptis, akhirnya setuju untuk melakukan penyelidikan. Dengan bantuan warga, mereka mendobrak pintu utama penjara yang sudah karatan. Lampu sorot polisi menembus kegelapan, menyapu setiap sudut lorong dan sel. Mereka menemukan pintu menuju ruang bawah tanah, dan kemudian, dengan sangat hati-hati, mereka menuruni tangga yang curam.
Risa dan Bayu menunggu dengan cemas di luar. Harapan mereka sangat tipis, tapi mereka tetap berharap ada keajaiban. Mungkin teman-teman mereka bersembunyi di suatu tempat, atau berhasil lolos melalui jalan lain.
Namun, pencarian itu berakhir dengan nihil.
Setelah beberapa jam menyisir setiap sudut penjara, termasuk "Ruang Karantina" di bawah tanah, polisi keluar dengan wajah bingung. "Tidak ada," kata seorang petugas kepada mereka. "Tidak ada tanda-tanda jasad, tulang belulang, atau jejak teman-teman kalian. Ruangan yang kalian sebut 'Ruang Karantina' itu hanya ruangan kosong. Tidak ada apa-apa di sana selain debu dan beberapa puing."
Risa dan Bayu terkejut. "Tidak mungkin!" seru Risa. "Kami melihatnya! Ada tulang, ada jasad! Komandan Katsuro juga ada di sana!"
"Kami tidak menemukan apa pun, Nak," jawab polisi, nadanya berubah menjadi lebih serius. "Sepertinya kalian terlalu banyak berhalusinasi. Mungkin karena terlalu lama di dalam tempat gelap seperti itu."
Bayu segera memeriksa rekaman video GoPro-nya lagi, yang tadi mati di dalam penjara. Anehnya, kini GoPro itu bisa menyala dan berfungsi normal. Ia melihat rekaman dari awal mereka masuk hingga saat kameranya mati. Setelah itu, tidak ada rekaman lain. Tidak ada jejak Komandan Katsuro, tidak ada tulang belulang, tidak ada apa pun yang mereka ceritakan.
Ponsel Damar dan Siska ditemukan tergeletak di dekat pintu masuk ruang bawah tanah, tetapi kosong. Tidak ada riwayat panggilan, tidak ada foto atau video baru. Hanya ada satu hal yang tersisa: sebuah rekaman suara samar di ponsel Dion, yang mereka temukan di dekat lubang tempat mereka keluar. Rekaman itu hanya beberapa detik, merekam suara gesekan, suara napas berat, dan kemudian, sebuah bisikan yang mengerikan, begitu samar namun jelas terdengar:
"Tinggallah bersama kami..."
Bisikan itu terdengar seperti paduan suara lirih dari banyak suara, laki-laki dan perempuan, yang seolah memanggil mereka, mengundang mereka untuk bergabung dalam kegelapan abadi. Itu adalah satu-satunya bukti, satu-satunya jejak, bahwa apa yang mereka alami itu nyata.
Polisi akhirnya menyimpulkan bahwa teman-teman mereka mungkin melarikan diri entah ke mana, atau mungkin disorientasi dan tersesat di hutan sekitar. Mereka tidak percaya cerita tentang hantu atau monster. Kasus ini ditutup sebagai "orang hilang".
Risa dan Bayu pulang ke rumah mereka, membawa trauma yang mendalam dan sebuah misteri yang tak terpecahkan. Mereka tahu apa yang mereka alami, mereka melihatnya dengan mata kepala sendiri, mereka merasakan kengeriannya. Penjara Jepang itu adalah kuburan hidup, dan teman-teman mereka kini menjadi bagian darinya, menjadi "tahanan yang tak pernah pergi". Bisikan samar di ponsel Dion adalah pengingat konstan bahwa mereka telah masuk ke dalam dunia yang tidak seharusnya mereka sentuh, dan bahwa sebagian dari jiwa teman-teman mereka mungkin kini menjadi bagian dari jeritan abadi di dalam dinding-dinding berlumut itu.
Kisah tentang Penjara Jepang dan hilangnya lima remaja itu menjadi urban legend baru di Loka Jaya, sebuah cerita horor yang lebih mengerikan karena ada saksi hidupnya. Risa dan Bayu, meski selamat secara fisik, jiwa mereka hancur. Mereka tahu, Komandan Katsuro dan para tahanannya masih ada di sana, menunggu korban berikutnya yang berani mengganggu tidur mereka. Dan bisikan "Tinggallah bersama kami..." akan selalu menghantui mimpi buruk mereka, selamanya.