Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,463
Sang Kolektor Jiwa
Horor

Bab 1: Aroma dari Masa Lalu

Matahari sore di Jakarta menembus jendela kaca buram, jatuh di atas tumpukan dokumen tua dan debu yang beterbangan di udara. Udara di Rumah Widjaja terasa pengap, berat, seolah waktu berhenti berputar di dalamnya selama berpuluh-puluh tahun. Aroma lembap kayu lapuk, kertas yang menguning, dan sedikit bau karat bercampur di udara, sebuah simfoni olfaktori yang familier bagi Ethan Reynaldi. Sebagai seorang kurator seni di Museum Nasional, ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di antara benda-benda antik, dan indra penciumannya adalah aset terbesar sekaligus beban terberatnya. Ia bisa mencium sejarah, membedakan jenis kayu dari abad ke-18 dengan akurasi mencengangkan, atau mengenali keaslian lukisan dari bau catnya. Namun, di Rumah Widjaja ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengganggu.

Ethan baru saja ditugaskan untuk mengatalogkan koleksi pribadi mendiang Hartawan Widjaja, seorang filantropis dan kolektor eksentrik yang meninggal mendadak, meninggalkan harta karun berupa artefak kuno yang tersebar di seluruh penjuru rumah warisannya. Konon, Widjaja adalah seorang reklusif yang hidup dalam bayang-bayang koleksinya, jarang berinteraksi dengan dunia luar. Sebuah desas-desus beredar di kalangan kolektor bahwa barang-barang Widjaja memiliki "aura" yang sangat kuat, seringkali terasa dingin dan tidak menyenangkan. Ethan, yang selalu pragmatis dan skeptis, hanya menganggapnya sebagai omong kosong metafisika.

Ia melangkah masuk ke dalam ruang tamu utama. Jendela-jendela ditutupi kain tebal, menciptakan suasana remang-remang yang abadi. Lampu gantung kristal yang dulunya megah kini diselimuti sarang laba-laba. Patung-patung kuno dari perunggu dan kayu, porselen dinasti, dan permata langka dijejerkan di lemari-lemari kaca yang berdebu. Ini adalah surga bagi seorang kurator.

Namun, di tengah semua aroma kuno yang familier itu, Ethan mencium sesuatu yang asing. Sesuatu yang pahit, logam, dan nyaris seperti bau… ketakutan. Bukan bau mayat, bukan bau darah, tapi sebuah esensi yang jauh lebih halus, namun menusuk. Ia mengerutkan hidung, mencoba mengidentifikasi sumbernya. Aroma itu tidak spesifik pada satu benda, melainkan menyebar samar di udara, seperti bisikan yang tak terlihat.

"Selamat datang, Tuan Reynaldi," sebuah suara serak memecah kesunyian. Itu adalah Bu Lastri, penjaga rumah tua yang setia, seorang wanita paruh baya dengan sorot mata lelah dan aura kesedihan yang mendalam. "Tuan Widjaja telah menanti Anda."

Ethan mengangguk. "Terima kasih, Bu Lastri. Saya akan mulai dengan ruang tamu ini."

Ia mengeluarkan sarung tangan putihnya dan mulai memeriksa patung perunggu kecil yang berdiri di atas meja marmer. Patung itu menggambarkan seorang dewa kuno dengan ekspresi menyeringai. Saat jarinya menyentuh permukaan dingin patung, aroma pahit dan logam itu semakin kuat. Sebuah rasa dingin menjalar dari ujung jarinya, bukan dinginnya logam, melainkan sensasi yang menusuk, seolah energi patung itu terserap ke dalam dirinya. Bulu kuduknya merinding.

"Apakah ada sesuatu yang aneh dengan patung ini, Tuan?" tanya Bu Lastri, seolah membaca pikirannya.

Ethan menggeleng. "Tidak, Bu. Hanya... terasa sangat tua." Ia menarik tangannya, meskipun dorongan aneh untuk menyentuhnya lagi muncul.

Seiring berjalannya hari, Ethan menjelajahi ruangan demi ruangan. Di setiap ruangan, aroma pahit, logam, dan "ketakutan" itu semakin pekat. Ia menemukan beberapa artefak yang secara khusus memancarkan aroma tersebut dengan intensitas luar biasa: sebuah topeng kayu suku purba dengan mata kosong yang seolah menatapnya, sebuah kalung perak kuno dengan liontin yang berbentuk seperti tengkorak mini, dan sebuah pisau upacara dengan bilah yang diukir rumit. Setiap kali ia menyentuh benda-benda ini, rasa dingin yang menusuk itu muncul, disusul oleh kilasan-kilasan samar di sudut matanya—bayangan-bayangan bergerak cepat, terlalu cepat untuk diidentifikasi, namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar.

Ethan mencoba rasional. Kurang tidur, mungkin. Stres karena pekerjaan baru ini. Tetapi ia tidak bisa mengabaikan bisikan samar yang mulai ia dengar—bukan suara yang jelas, melainkan seperti gema percakapan yang teredam, atau rintihan yang sangat rendah, yang seolah berasal dari dalam benda-benda itu sendiri. Ia akan mendekatkan telinganya pada topeng, mencoba mendengar lebih jelas, hanya untuk mendengar keheningan yang mencekik.

Suatu sore, ia sedang mengatalogkan sebuah patung porselen kecil yang menggambarkan seorang wanita menangis. Aroma pahit itu begitu kuat hingga ia merasa mual. Saat jarinya menyentuh patung itu, gelombang kesedihan yang mendalam tiba-tiba membanjiri dirinya, sebuah emosi yang begitu kuat dan bukan miliknya. Ia merasakan air mata menggenang di matanya, meskipun tidak ada alasan. Kemudian, ia melihatnya. Di permukaan patung porselen itu, yang tadinya bersih, kini tampak noda samar yang menyerupai tetesan air mata yang mengering, dan di mata patung itu, kilatan cahaya redup seolah-olah patung itu benar-benar menangis.

Ethan menjatuhkan patung itu, nyaris pecah. Bu Lastri masuk, terkejut mendengar suara itu. "Ada apa, Tuan?"

"Tidak... tidak apa-apa, Bu," kata Ethan, suaranya sedikit gemetar. Ia menatap patung itu. Noda air mata itu telah lenyap. Semuanya normal kembali. Ia mengedipkan matanya. Apakah ia mulai berhalusinasi?

Namun, ia tahu itu bukan halusinasi. Ada sesuatu yang sangat salah dengan koleksi ini. Aroma ketakutan itu, rasa dingin yang menusuk, bisikan-bisikan, dan emosi yang meluap-luap. Rumah Widjaja ini menyimpan lebih dari sekadar artefak kuno. Ia menyimpan rahasia yang jauh lebih gelap. Dan entah mengapa, indra penciumannya yang tajam telah menariknya langsung ke jantung kegelapan itu.

Bab 2: Bisikan dari Objek Mati

Malam pertama di Rumah Widjaja adalah neraka bagi Ethan. Aroma pahit, logam, dan "ketakutan" itu kini meresap ke dalam setiap serat rumah, bahkan menempel pada dirinya sendiri. Ia mencoba mencucinya, namun baunya seolah melekat di kulitnya, di rambutnya. Setiap sudut ruangan terasa diawasi, setiap suara gemerisik kayu terasa seperti bisikan. Ia mencoba tidur di salah satu kamar tamu yang telah dibersihkan, tetapi insomnia menggerogotinya.

Begitu ia memejamkan mata, ia mulai mendengar bisikan-bisikan lebih jelas. Bukan hanya gema, melainkan suara-suara yang putus-putus, terdistorsi, seperti rekaman tua yang rusak. Kadang-kadang ia mendengar rintihan, kadang-kadang tawa sinis, kadang-kadang suara tangisan pilu. Suara-suara itu seolah berasal dari dinding, dari lantai, dari setiap objek di rumah itu. Ia tahu itu gila, tapi ia tidak bisa mengabaikannya.

Ethan memutuskan untuk kembali ke ruang koleksi di tengah malam. Dengan senter di tangan, ia menyelinap di antara patung-patung dan artefak yang mematung, setiap bayangan yang dibuat senternya terasa seperti hantu yang menari. Ia berhenti di depan topeng kayu suku purba yang ia temukan sebelumnya. Aroma ketakutan paling pekat berasal dari sana.

Ia mendekatkan telinganya. Dan ia mendengarnya. Sebuah bisikan yang jelas, namun dalam bahasa yang tidak ia mengerti, sebuah bahasa yang terdengar sangat kuno dan gelap, seolah diucapkan ribuan tahun yang lalu. Bisikan itu terdengar seperti sebuah mantra, atau kutukan. Gelombang dingin yang menusuk tiba-tiba menyelimutinya, dan ia merasakan sentuhan samar di pipinya, seolah ada tangan tak terlihat yang menyentuhnya.

Ethan tersentak mundur, senternya bergetar. Apakah ia benar-benar gila? Atau apakah rumah ini benar-benar dihuni oleh sesuatu yang tidak terlihat? Ia, seorang ilmuwan, seorang pragmatis, mulai meragukan semua yang ia yakini.

Keesokan harinya, Ethan memutuskan untuk mengubah pendekatannya. Ia tidak bisa lagi hanya mengatalogkan benda-benda mati. Ia harus memahami sumber dari semua fenomena ini. Ia mulai mencari literatur tentang pemilik rumah, Hartawan Widjaja. Ia menemukan bahwa Widjaja adalah seorang kolektor yang sangat tertutup, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya berpetualang ke tempat-tempat terpencil di dunia, mengumpulkan artefak-artefak yang tidak biasa.

Di sebuah laci tersembunyi di meja kerja Widjaja, Ethan menemukan sebuah jurnal tua dengan sampul kulit yang usang. Jurnal itu ditulis dengan tulisan tangan yang rapi namun semakin lama semakin kacau. Catatan-catatan awal berisi tentang perjalanan Widjaja, deskripsi artefak, dan kekagumannya pada keindahan kuno. Namun, semakin jauh jurnal itu dibaca, semakin gelap isinya.

Widjaja mulai menulis tentang "energi tersembunyi" dalam artefak, tentang bagaimana beberapa benda memiliki "memori" atau "jejak emosi" dari pemilik aslinya. Ia percaya bahwa artefak-artefak tertentu, terutama yang terkait dengan ritual atau peristiwa tragis, mampu menyimpan "jiwa" atau "esensi" dari mereka yang pernah bersentuhan dengannya. Ia menulis tentang "rasa dingin" yang ia alami saat menyentuh artefak tertentu, dan bagaimana ia mulai "mendengar bisikan" dari mereka.

Ethan merasakan kengerian yang menusuk saat ia membaca itu. Ini persis seperti yang ia alami.

Widjaja mulai menulis tentang eksperimennya. Ia percaya bahwa ia bisa "menarik" esensi-esensi itu keluar dari artefak, atau bahkan "menyatukan" mereka ke dalam dirinya sendiri, untuk mendapatkan kebijaksanaan atau kekuatan. Ia mencatat ritual-ritual aneh yang ia lakukan dengan artefak-artefak itu, seringkali melibatkan meditasi panjang di ruangan gelap, atau kontak fisik langsung dengan benda-benda tersebut. Ia bahkan menulis tentang bagaimana aroma "ketakutan" itu sebenarnya adalah "aroma kehidupan yang diserap," sebuah tanda bahwa esensi-esensi itu aktif.

Jurnal itu semakin menakutkan saat Widjaja mulai menggambarkan perubahan pada dirinya. Ia merasa indranya semakin peka, melihat hal-hal yang tidak terlihat, mendengar suara-suara dari dimensi lain. Ia merasa dirinya menjadi "wadah" bagi banyak jiwa, sebuah "koleksi" hidup dari emosi dan memori. Namun, ia juga mengeluh tentang kelelahan yang ekstrem, mimpi buruk yang mengerikan, dan perasaan "terpecah" di dalam dirinya.

Catatan terakhir jurnal itu sangat mengerikan. Tulisan tangan Widjaja menjadi tidak beraturan, penuh coretan dan gambar-gambar aneh. Ia menulis tentang bagaimana "koleksinya" menjadi terlalu banyak, bagaimana "mereka" mulai berbicara padanya secara bersamaan, bagaimana ia tidak bisa lagi membedakan suaranya sendiri dari suara-suara yang ia serap. Ia merasa dirinya dimakan dari dalam, diambil alih. Kalimat terakhirnya, yang nyaris tidak terbaca, adalah: "Mereka menginginkan lebih. Mereka menginginkan aku."

Ethan menjatuhkan jurnal itu, tangannya gemetar. Hartawan Widjaja tidak mati mendadak. Ia telah dikuasai atau dihancurkan oleh koleksinya sendiri. Koleksi ini bukan hanya benda mati. Mereka adalah penjara bagi jiwa-jiwa, dan Widjaja adalah seorang narapidana sukarela yang akhirnya ditelan.

Ethan menatap ke sekeliling ruangan, ke setiap patung, setiap topeng, setiap perhiasan. Mereka semua bukan lagi objek seni. Mereka adalah entitas-entitas yang berbisik, menyimpan penderitaan dan kenangan, memancarkan energi dingin yang kini ia pahami sebagai sisa-sisa jiwa yang terperangkap. Aroma pahit, logam, dan ketakutan itu kini terasa seperti bau darah, bau kematian, dan bau kegilaan.

Ia menyadari bahwa ia telah masuk terlalu dalam. Ia tidak hanya mengatalogkan benda. Ia telah menginjakkan kaki di sebuah medan perang spiritual, di mana jiwa-jiwa lama mencoba mencari jalan keluar, atau mencari wadah baru. Dan indra penciumannya yang tajam, yang dulunya adalah anugerah, kini menjadi kutukan yang menariknya lebih dalam ke dalam jaring kengerian itu. Ia bisa merasakan tarikan yang sama seperti yang dialami Widjaja. Dorongan untuk menyentuh lebih banyak, untuk "merasakan" lebih banyak.

Ethan tahu ia harus pergi. Ia harus keluar dari rumah ini secepat mungkin. Namun, saat ia berbalik, matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan. Sebuah kotak kayu kecil yang tersembunyi, ditutupi debu tebal, yang tidak ia perhatikan sebelumnya. Dan dari kotak itu, Ethan mencium aroma ketakutan yang paling pekat, paling dingin, paling menusuk dari semua yang pernah ia cium di rumah itu.

Sebuah dorongan aneh, kuat, dan tak tertahankan, memaksanya untuk mendekat. Seolah kotak itu memanggilnya, mengundang dirinya untuk merasakan penderitaan yang paling murni, yang paling dalam.

Bab 3: Koleksi yang Berbisik

Dorongan untuk mendekati kotak kayu tersembunyi itu begitu kuat, nyaris tak tertahankan, mengalahkan setiap naluri rasional dalam diri Ethan. Aroma ketakutan yang paling pekat, paling dingin, dan paling menusuk memancar darinya, sebuah bau yang kini terasa begitu… menarik. Seolah aroma itu adalah sebuah panggilan yang memabukkan, sebuah janji akan kebenaran yang mengerikan, atau penderitaan yang paling murni.

Ethan bergerak maju, langkahnya terasa berat dan lambat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya. Senter di tangannya berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding-dinding ruang koleksi yang suram. Bisikan-bisikan dari artefak lain di ruangan itu terasa semakin intens, sebuah paduan suara gema, rintihan, dan tawa samar yang mengelilinginya, seolah mereka semua mendesaknya untuk membuka kotak itu.

Kotak itu terbuat dari kayu gelap yang sangat tua, permukaannya diukir dengan simbol-simbol aneh yang tidak ia kenali. Debu tebal menyelimutinya, seolah kotak itu telah ditinggalkan selama berabad-abad. Jantung Ethan berdebar kencang di dadanya, bukan karena takut, melainkan karena antisipasi yang mengerikan. Ini bukan lagi tentang katalogisasi artefak; ini adalah tentang menghadapi jantung kegelapan dari koleksi Hartawan Widjaja.

Dengan tangan gemetar, Ethan mengangkat tutup kotak. Udara dingin yang menusuk segera menyembur keluar, membawa serta gelombang aroma ketakutan yang begitu kuat hingga membuatnya terhuyung. Ia menyinari bagian dalam kotak dengan senternya. Di dalamnya, tergeletak sebuah liontin kecil yang terbuat dari logam gelap yang tidak diketahui, berbentuk seperti sebuah tetesan air mata yang mengering, dengan sebuah lubang kecil di tengahnya. Liontin itu memancarkan aura dingin yang paling intens, dan dari sana, aroma ketakutan yang menusuk itu terasa paling murni, paling terkonsentrasi.

Saat Ethan meraih liontin itu, sebuah gelombang kejut mental yang dahsyat menghantamnya. Ini bukan hanya kilasan atau gema; ini adalah banjir memori dan emosi yang membanjiri otaknya, begitu kuat dan begitu nyata hingga ia merasa seolah ia telah diseret ke dalam sebuah mimpi buruk yang jelas.

Ia melihat kilasan-kilasan hidup Hartawan Widjaja, bukan dari sudut pandangnya sendiri, melainkan dari sudut pandang Widjaja. Ia merasakan obsesi Widjaja yang membakar, ambisinya untuk mengumpulkan "esensi-esensi" jiwa. Ia melihat Widjaja melakukan ritual-ritual aneh di ruang koleksi ini, mencengkeram artefak-artefak, memejamkan mata, dan merintih dalam ekstase dan penderitaan. Ethan merasakan kegembiraan Widjaja yang gila saat ia merasa "menyerap" esensi-esensi itu, dan kemudian kengerian yang perlahan menggerogoti ketika ia menyadari bahwa ia tidak mengendalikan mereka.

Kemudian, kilasan itu berubah, menjadi momen-momen terakhir Widjaja. Ethan merasakan keputusasaan Widjaja, kebingungannya, dan teriakan-teriakan tanpa suara di dalam kepalanya. Ia melihat Widjaja, terjerat dalam jaring artefak-artefak, matanya membelalak ketakutan, dan kemudian, sebuah tindakan putus asa. Ethan merasakannya saat Widjaja... bunuh diri, mengakhiri penderitaannya dengan cara yang mengerikan, namun itu hanya permulaan. Bahkan dalam kematian, esensi Widjaja tidak dilepaskan. Ia hanya ditransmisikan, diserap oleh artefak yang paling dekat dengannya, liontin yang kini berada di tangan Ethan.

Liontin itu berdenyut dingin di telapak tangan Ethan. Aroma ketakutan kini bercampur dengan aroma putus asa, rasa sakit, dan kehampaan. Bisikan-bisikan dari artefak di sekitarnya menjadi lebih jelas, kini menyanyikan sebuah paduan suara yang mengerikan, memanggil nama Ethan, menyambutnya ke dalam koleksi mereka.

Ethan menjatuhkan liontin itu, terhuyung mundur. Jantungnya berdebar kencang, ia terengah-engah. Ia tidak bisa bernapas. Ia telah melihat masa lalu. Ia telah merasakan kematian Widjaja. Dan ia tahu, liontin itu adalah penjara terakhir Widjaja, atau mungkin, bagian dari jiwanya yang tersisa, yang kini beresonansi dengan kehadiran Ethan.

Ia menatap liontin itu, yang kini tergeletak di lantai, memancarkan cahaya redup yang dingin. Aroma ketakutan memancar darinya dengan intensitas yang luar biasa, seolah liontin itu bernapas. Ethan tahu ia harus menghancurkannya. Ia harus mengakhiri semua ini.

Namun, saat ia mencoba mendekat, sebuah gelombang rasa sakit yang tajam tiba-tiba menghantam kepalanya. Bukan sakit fisik, melainkan sakit mental, seolah ada yang mencoba menghancurkan otaknya dari dalam. Ia jatuh berlutut, mencengkeram kepalanya. Bisikan-bisikan itu kini menjadi jeritan yang memekakkan telinga, paduan suara kengerian yang menakutkan, mencoba menghentikannya.

Dari setiap artefak di ruangan itu, Ethan mulai melihat cahaya samar yang berdenyut, seperti mata-mata yang tak terlihat, semua menatap lurus ke arahnya. Patung-patung perunggu, porselen, topeng-topeng kuno, perhiasan—semuanya tampak hidup, mengawasi. Aroma ketakutan itu kini begitu pekat hingga Ethan merasa seolah ia sedang tenggelam di dalamnya, setiap napas terasa berat dan pahit.

"Tidak... tidak..." gumam Ethan, mencoba bangkit.

Ia harus menghancurkan liontin itu. Ini adalah kunci dari semua ini. Jika ia bisa membebaskan jiwa Widjaja, mungkin semua ini akan berakhir. Atau mungkin itu hanya akan melepaskan sesuatu yang jauh lebih buruk. Namun, dorongan itu sangat kuat. Ia harus melakukannya. Untuk mengakhiri penderitaan ini. Untuk mengakhiri penderitaannya sendiri.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat terdengar dari lantai atas, disertai suara dentingan rantai yang samar. Bukan langkah Bu Lastri. Suara itu terasa... mekanis, namun juga sangat tua. Dan langkah itu semakin mendekat, menuruni tangga menuju ruang koleksi.

Kengerian baru mencengkeram Ethan. Apa lagi ini? Siapa lagi yang ada di rumah ini? Ia tidak sendirian. Dan suara-suara itu bukan hanya dari artefak. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang fisik, yang bergerak di dalam Rumah Widjaja.

Bab 4: Gema dalam Dinding

Suara langkah kaki yang berat dan dentingan rantai itu semakin dekat, membuat jantung Ethan berdebar kencang di dadanya. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan liontin itu. Ia harus bersembunyi. Ia harus tahu siapa atau apa yang datang.

Ethan dengan cepat merangkak di balik lemari kaca berisi porselen Tiongkok, tersembunyi dalam bayangan. Ia menyalakan senternya ke mode paling redup, nyaris tidak terlihat. Aroma ketakutan yang pekat masih memenuhi udara, dan bisikan-bisikan dari artefak-artefak di sekitarnya terasa semakin mendesak, seolah memperingatkan atau mengejeknya.

Langkah kaki itu akhirnya memasuki ruang koleksi. Ethan mengintip dari celah di antara porselen. Yang ia lihat membuat napasnya tertahan. Itu bukan manusia.

Sosok itu adalah sebuah konstruksi aneh dari logam tua dan kayu yang sudah usang, tingginya sekitar dua meter, dengan anggota badan yang panjang dan kaku. Bentuknya menyerupai kerangka manusia purba, namun jauh lebih besar dan mengerikan. Salah satu lengannya tampaknya telah diganti dengan sebuah alat derek kecil berkarat, dan kakinya adalah sebuah gumpalan roda gigi dan rantai yang mengeluarkan suara klak-klak saat ia bergerak. Kepalanya adalah sebuah topeng logam kosong yang menyerupai wajah tanpa ekspresi, dengan dua lubang gelap sebagai mata. Aroma pahit, logam, dan ketakutan itu semakin kuat di dekatnya, seolah makhluk itu adalah sumber utama dari bau tersebut.

Makhluk itu bergerak lambat dan metodis, menyapu ruangan dengan "matanya" yang kosong. Ia tampaknya sedang mencari sesuatu, atau seseorang. Setiap kali ia bergerak, terdengar suara dentingan rantai yang memekakkan dari bagian kakinya.

Ethan membeku di tempatnya. Ia tidak pernah melihat sesuatu seperti ini. Ini bukan hantu. Ini adalah konstruksi, sebuah automaton, tapi dengan aura yang begitu mengerikan, begitu hidup, seolah ada sesuatu yang mengendalikannya dari dalam. Dan ia tahu, tanpa keraguan, bahwa makhluk itu berhubungan dengan Hartawan Widjaja dan koleksinya.

Makhluk itu akhirnya berhenti di depan kotak kayu tempat liontin itu tergeletak. Ia membungkuk perlahan, tangan dereknya yang berkarat bergerak kaku, dan dengan hati-hati mengambil liontin itu. Cahaya biru samar yang berdenyut dari liontin itu kini terlihat lebih jelas, seolah liontin itu sedang merespons sentuhan makhluk tersebut.

Makhluk itu memegang liontin di depan "wajahnya" yang kosong, seolah memeriksanya. Tiba-tiba, sebuah suara elektronik yang terdistorsi dan mengerikan keluar dari topengnya, seperti suara rekaman yang diputar terbalik, atau suara robot yang rusak. Suara itu adalah bisikan-bisikan yang sama dengan yang didengar Ethan dari artefak, namun kini diperkuat dan jauh lebih jelas. Ia bisa membedakan potongan-potongan kata dalam bahasa kuno, bercampur dengan rintihan dan tawa yang menyakitkan.

Ethan menyadari. Makhluk ini bukan hanya automaton. Ini adalah "penjaga" atau "pelayan" Widjaja, yang mungkin telah dibuat atau dihidupkan oleh Widjaja sendiri untuk tujuan-tujuan yang mengerikan. Dan suara-suara yang keluar dari makhluk itu adalah gema dari jiwa-jiwa yang telah diserap, yang kini berbicara melalui wadah mekanis ini. Ini adalah bukti nyata dari kengerian yang ditulis Widjaja di jurnalnya.

Makhluk itu kemudian berbalik, menuju ke arah patung perunggu kecil yang diselimuti aroma ketakutan paling pekat, patung dewa dengan ekspresi menyeringai. Makhluk itu memegang liontin di dekat patung, dan Ethan melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Dari lubang di tengah liontin, cahaya biru yang berdenyut itu seolah mengalir keluar, membentuk benang-benang tipis yang kemudian merasuki mata patung perunggu, membuat mata patung itu bersinar dengan cahaya biru yang sama.

Pada saat yang sama, bisikan-bisikan dari patung itu menjadi lebih jelas, dan aroma ketakutan di sekitarnya semakin kuat. Ethan merasakan adanya transfer energi, seolah esensi dari liontin itu sedang dihubungkan ke patung. Makhluk itu sedang melakukan sebuah ritual. Ritual untuk memindahkan, atau mungkin mengintegrasikan jiwa-jiwa.

Makhluk itu terus mengulangi proses ini dengan beberapa artefak lain, memindahkan esensi dari liontin ke topeng, ke kalung, ke pisau upacara. Setiap kali transfer terjadi, artefak itu akan memancarkan cahaya biru yang berdenyut, dan bisikan-bisikan dari dalamnya akan semakin jelas. Seolah makhluk itu sedang mengisi ulang "wadah-wadah" itu, atau memperkuat "penjara-penjara" jiwa.

Setelah selesai, makhluk itu meletakkan liontin kembali ke dalam kotak, lalu menutupnya. Kotak itu tidak lagi memancarkan aroma ketakutan yang kuat, melainkan kini tampak… kosong. Aroma ketakutan yang pekat kini sepenuhnya meresap ke dalam artefak-artefak yang lain, yang mata-matanya berdenyut dengan cahaya biru samar.

Makhluk itu kemudian berbalik, kembali ke arah dari mana ia datang, langkahnya yang berat dan dentingan rantai memenuhi keheningan yang mengerikan. Ethan menunggu dalam kegelapan sampai suara itu benar-benar menghilang, dan ia bisa merasakan bahwa makhluk itu telah kembali ke tempat persembunyiannya.

Ethan merangkak keluar dari persembunyiannya, tubuhnya gemetar hebat. Ia mendekati artefak-artefak yang mata-matanya kini berdenyut dengan cahaya biru. Aroma ketakutan dari mereka kini begitu kuat hingga membuat kepalanya pusing. Dan ia bisa mendengar bisikan-bisikan dari mereka dengan jauh lebih jelas—bukan lagi gema, melainkan suara-suara yang lebih spesifik, lebih personal, seolah mereka sedang berbicara langsung dengannya. Ia mendengar suara seorang wanita menangis, seorang pria berteriak dalam kemarahan, dan anak-anak merintih ketakutan.

Ia menatap liontin di dalam kotak. Kotak itu kini tampak begitu polos, begitu kosong, namun Ethan tahu isinya telah disalurkan. Liontin itu adalah sebuah "kunci", sebuah alat yang digunakan Widjaja (atau "mereka" yang mengendalikan Widjaja) untuk mengelola dan memindahkan jiwa-jiwa yang terkumpul.

Kengerian baru mencengkeram Ethan. Jika liontin itu kosong, itu berarti esensi Widjaja, atau bagian dari dirinya, kini telah disalurkan ke artefak-artefak ini. Widjaja tidak mati. Ia hanya terpecah, menjadi bagian dari koleksinya sendiri.

Ethan menyadari bahwa ia kini berada dalam bahaya yang jauh lebih besar. Makhluk automaton itu adalah penjaga dari koleksi ini. Dan ia, Ethan, telah menyaksikan ritual mereka. Ia telah mengetahui rahasia terdalam dari Rumah Widjaja.

Bau mineral yang dingin dan tajam yang ia cium di awal kini bercampur dengan aroma ketakutan yang pekat, memenuhi paru-parunya. Ia merasa dirinya mulai terkontaminasi, terinfeksi oleh energi-energi gelap ini. Bisikan-bisikan dari artefak-artefak itu semakin kuat, memanggil namanya, mencoba menariknya lebih dalam ke dalam dunia mereka. Ethan tahu ia harus keluar dari rumah ini sebelum ia menjadi bagian dari koleksi Widjaja. Atau lebih buruk lagi, menjadi "penjaga" berikutnya. Namun, ia merasa kakinya seolah terpaku, ditarik oleh kekuatan tak terlihat, menuju artefak-artefak yang berbisik itu.

Bab 5: Sentuhan Jiwa yang Tertelan

Keheningan yang mematikan kembali menyelimuti ruang koleksi setelah automaton itu menghilang, namun bagi Ethan, ruangan itu justru terasa lebih hidup. Bisikan-bisikan dari artefak kini menjadi sebuah paduan suara yang mengerikan, memanggil namanya, merayunya untuk mendekat. Aroma ketakutan yang pekat bercampur dengan bau mineral dingin yang asing, menusuk hidungnya dan mengisi paru-parunya. Ia merasakan sebuah tarikan kuat, bukan hanya mental, tapi juga fisik, seolah setiap benda di ruangan itu memancarkan medan magnet yang menariknya.

Ethan mencoba melawan dorongan itu, namun kakinya terasa kaku, berat, seolah berakar di tempatnya. Matanya terpaku pada patung-patung dan topeng-topeng yang memancarkan cahaya biru samar dari "mata" mereka. Ia bisa mendengar suara-suara individu dari dalam artefak itu—rintihan seorang wanita, tawa seorang anak, teriakan seorang pria yang dipenuhi amarah—semua bercampur menjadi satu simfoni penderitaan dan kegilaan.

"Pergi... pergi dariku..." gumam Ethan, suaranya parau, hampir tidak terdengar.

Namun, bisikan-bisikan itu semakin kuat, merayap masuk ke dalam benaknya, mengelabui pikirannya. Mereka tidak lagi memohon; mereka memerintah, menawarkan janji-janji samar tentang pengetahuan dan kekuatan, tentang kebebasan dari trauma masa lalunya. Mereka tahu tentang ketakutan terdalamnya, tentang kerentanannya, dan mereka menggunakannya sebagai umpan.

Tiba-tiba, pandangan Ethan terfokus pada sebuah topeng upacara suku purba yang tergantung di dinding. Topeng itu terbuat dari kayu gelap, diukir dengan detail mengerikan, memiliki mata kosong yang kini berdenyut dengan cahaya biru yang lebih terang dari yang lain. Aroma ketakutan yang paling intens memancar darinya, seolah ada entitas yang sangat kuat terperangkap di dalamnya.

Dorongan tak tertahankan untuk menyentuh topeng itu menguasainya. Ia melangkah maju, tangannya terulur dengan sendirinya, seolah bukan ia yang mengendalikan tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Bisikan-bisikan itu mencapai puncaknya, sebuah jeritan kebahagiaan yang mengerikan dari dalam dirinya.

Saat jari-jemari Ethan menyentuh permukaan kayu topeng yang dingin dan kasar, sebuah gelombang kejut yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya menghantam otaknya. Kali ini, bukan kilasan. Ini adalah banjir memori yang utuh, sebuah pengalaman yang ia jalani sendiri, namun bukan miliknya.

Ia terjatuh ke dalam kehidupan seorang prajurit suku kuno, merasakan debu gurun di kulitnya, bau darah di hidungnya, dan suara genderang perang di telinganya. Ia merasakan ketakutan prajurit itu saat musuh-musuh mendekat, melihat kilatan mata mereka di bawah terik matahari. Ia merasakan tusukan tombak di dadanya, rasa sakit yang membakar, dan kemudian rasa dingin yang mencekik saat jiwanya ditarik keluar dari tubuhnya, terperangkap di dalam topeng itu, menjadi bagian dari koleksi abadi. Ethan merasakannya saat sang prajurit meninggal, dan saat kesadarannya menyatu dengan ribuan kesadaran lain yang juga terperangkap di dalam topeng, menjadi sebuah paduan suara tanpa wajah, tanpa identitas.

Sensasi itu begitu nyata, begitu kuat, hingga Ethan menjerit, tubuhnya kejang-kejang di lantai. Ia bisa merasakan energi dingin itu merasuki dirinya, merayapi saraf-sarafnya, memenuhi setiap celah dalam pikirannya. Itu bukan hanya memori; itu adalah transfer, sebuah invasi. Jiwa prajurit itu, atau setidaknya esensinya, kini bersemayam di dalam dirinya, bercampur dengan jiwanya sendiri.

Ketika kejangnya mereda, Ethan terbaring lemas, terengah-engah. Aroma ketakutan di sekitarnya terasa begitu akrab, begitu dekat, seolah berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia menatap topeng itu. Cahaya biru dari matanya kini berdenyut lebih terang, seolah topeng itu telah "diisi ulang" oleh kontak dengannya.

Ia bangkit dengan susah payah. Tubuhnya terasa berat, namun di saat yang sama, indranya terasa meningkat tajam. Ia bisa mencium setiap partikel debu di udara, mendengar suara tikus berlarian di dalam dinding, dan merasakan getaran samar dari seluruh rumah. Namun, indranya terasa terlalu tajam, membuatnya kewalahan. Setiap suara menjadi pekikan, setiap bau menjadi serangan, setiap sentuhan terasa seperti sengatan listrik.

Bisikan-bisikan dari artefak-artefak lain kini terdengar lebih jelas, lebih mendesak. Mereka memanggilnya, menawarkan pengalaman lain, memori lain, jiwa lain. Mereka tidak lagi terdengar mengerikan; mereka terdengar menggoda, menawarkan pelarian dari penderitaan masa lalunya sendiri, menawarkan kesempatan untuk melupakan siapa dirinya dengan menjadi seseorang yang lain, menjadi banyak orang.

Ethan berjalan ke arah cermin tua yang berdebu di sudut ruangan. Ia menatap pantulannya. Wajahnya pucat pasi, matanya merah dan bengkak. Namun, di dalam matanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Sebuah kilatan cahaya biru samar yang berdenyut, mirip dengan yang ia lihat di artefak. Dan di sudut bibirnya, tampak senyum tipis yang aneh, sebuah senyum yang bukan miliknya, sebuah senyum yang mencerminkan penderitaan dan kegembiraan yang gila.

Ia menyadari. Kontak dengan topeng itu telah mengubahnya. Ia kini terhubung dengan jaringan jiwa-jiwa yang terperangkap dalam koleksi itu. Ia telah menjadi "wadah" baru, sama seperti Hartawan Widjaja. Aroma ketakutan itu kini melekat pada dirinya, menjadi bagian dari esensinya. Ia adalah sang kolektor, dan kini, ia juga bagian dari koleksi.

Sebuah pikiran mengerikan muncul di benaknya: Apakah ini yang diinginkan oleh Hartawan Widjaja? Apakah ia ingin agar seseorang meneruskan "pekerjaannya"?

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat dan dentingan rantai itu terdengar lagi, kali ini dari arah koridor utama, bergerak perlahan ke arah ruang koleksi. Automaton itu kembali. Ethan tidak lagi merasakan ketakutan yang mencekik. Ia merasakan sebuah ketenangan aneh, bahkan sedikit antisipasi. Automaton itu adalah penjaga. Dan ia, Ethan, kini adalah bagian dari apa yang dijaga.

Bab 6: Transformasi dalam Kegelapan

Automaton itu memasuki ruang koleksi, langkahnya yang berat dan suara dentingan rantai yang menusuk telinga memenuhi ruangan. Cahaya biru samar dari lubang matanya menyapu ruangan, berhenti sejenak pada Ethan. Namun, kali ini, tidak ada tanda-tanda permusuhan. Makhluk itu hanya berdiri diam, mengamatinya, seolah mengidentifikasi perubahan dalam dirinya. Aroma ketakutan yang pekat terpancar dari makhluk itu, bercampur dengan bau minyak tua dan logam berkarat.

Ethan tidak lagi merasakan dorongan untuk bersembunyi. Ia berdiri tegak, matanya menatap balik ke arah automaton. Bisikan-bisikan dari artefak di sekelilingnya kini membentuk sebuah harmoni aneh, sebuah paduan suara jiwa yang terperangkap, yang kini terdengar lebih seperti sambutan.

Automaton itu kemudian berjalan perlahan menuju sebuah lemari kaca yang berisi berbagai macam perhiasan kuno. Dengan tangan dereknya yang kaku, ia membuka lemari itu dan mengeluarkan sebuah kalung perak kuno dengan liontin berbentuk tengkorak mini. Kalung itu memancarkan aura dingin yang paling intens setelah topeng, dan bisikan-bisikan yang keluar darinya terasa lebih agresif.

Automaton itu mengulurkan kalung itu ke arah Ethan. Bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai persembahan.

Sebuah pikiran aneh melintas di benak Ethan. Ia ingin aku menyentuhnya. Ia ingin aku menyerap lebih banyak.

Meskipun sebagian dari dirinya berteriak untuk lari, dorongan yang lebih kuat, sebuah rasa haus yang baru ditemukan, mendorongnya maju. Ia meraih kalung itu. Begitu kulitnya menyentuh perak yang dingin, banjir memori dan emosi lainnya menyerbu otaknya.

Kali ini, ia terjatuh ke dalam kehidupan seorang alkemis abad pertengahan yang gila, terobsesi dengan pencarian keabadian dan transformasi jiwa. Ethan merasakan kegilaan alkemis itu, frustrasinya, dan ambisinya yang tak terbatas. Ia melihat alkemis itu melakukan eksperimen-eksperimen mengerikan dengan jiwa-jiwa, mencoba menyatukan mereka ke dalam benda, dan kemudian, bagaimana ia sendiri menjadi korban dari obsesinya, jiwanya terpecah dan terperangkap di dalam liontin tengkorak itu saat kematiannya. Ethan merasakannya saat alkemis itu meronta, mencoba mempertahankan identitasnya, namun perlahan-lahan menyerah, menjadi bagian dari kegelapan kolektif.

Ketika penglihatan itu memudar, Ethan terhuyung, namun kali ini ia tidak jatuh. Ia merasa lebih kuat, namun juga lebih terpecah. Ada lebih banyak suara di kepalanya, lebih banyak memori, lebih banyak emosi. Ia kini bisa mencium aroma yang lebih banyak dari setiap artefak di ruangan itu—bukan hanya bau ketakutan, tetapi juga bau keserakahan, keputusasaan, kemarahan, kesedihan, dan bahkan kegembiraan yang menyimpang. Setiap artefak adalah sebuah gudang emosi, sebuah kapsul waktu dari pengalaman manusia yang paling intens.

Mata Ethan menatap ke sekeliling ruangan, dan ia melihat artefak-artefak itu dengan cara yang berbeda. Mereka bukan lagi benda mati. Mereka adalah entitas-entitas yang berbisik, masing-masing dengan ceritanya sendiri, setiap cerita adalah sebuah jiwa yang terperangkap, sebuah fragmen yang menanti untuk diserap.

Automaton itu mengangguk pelan, seolah puas dengan reaksi Ethan. Kemudian, ia berbalik dan menuju ke arah lain, kali ini ke sebuah peti besi yang terkunci rapat di balik dinding palsu. Dengan tangan dereknya, automaton itu dengan mudah membongkar peti itu, memperlihatkan isinya.

Di dalamnya, tergeletak sebuah buku tua yang disampul kulit manusia, dengan tulisan aneh di sampulnya. Buku itu memancarkan aura dingin yang paling intens, dan aroma ketakutan yang begitu pekat hingga membuat Ethan merasa mual, namun juga tertarik secara aneh.

Automaton itu mengambil buku itu dan menyerahkannya kepada Ethan.

"Ini... ini buku apa?" bisik Ethan, suaranya serak. Ia bisa merasakan energi yang luar biasa kuat memancar dari buku itu.

Automaton itu tidak menjawab dengan suara, melainkan dengan telepati yang terdistorsi, sebuah suara yang terbentuk dari ribuan bisikan dan gema, langsung ke dalam benak Ethan: "Buku... dari... semua... jiwa..."

Ethan meraih buku itu. Begitu kulitnya menyentuh kulit buku yang mengerikan itu, ia merasakan ledakan kekuatan dan pengetahuan yang luar biasa. Semua jiwa yang pernah diserap, semua memori yang pernah tersimpan dalam artefak-artefak ini, kini seolah mengalir ke dalam dirinya, bukan sebagai pengalaman tunggal, melainkan sebagai sebuah jaringan kesadaran kolektif.

Ia melihat dan merasakan kehidupan para raja, para prajurit, para biarawan, para pembunuh, para kekasih, para korban, yang semuanya telah berakhir tragis dan esensinya terperangkap. Ia melihat Hartawan Widjaja, bukan lagi sebagai seorang individu, melainkan sebagai bagian dari jaringan itu sendiri, sebuah fragmen yang terus-menerus mencoba memahami dan mengendalikan aliran jiwa-jiwa.

Ethan tidak lagi merasakan dirinya sebagai Ethan Reynaldi yang utuh. Ia adalah Ethan, dan prajurit, dan alkemis, dan ribuan jiwa lainnya. Pikirannya adalah sebuah ruang gema yang dipenuhi dengan bisikan, tawa, rintihan, dan teriakan dari koleksi yang tak terbatas. Aroma ketakutan itu kini terasa begitu familiar, begitu akrab, seolah itu adalah aroma dirinya sendiri.

Ia menatap automaton itu. Makhluk itu tidak lagi tampak seperti ancaman. Ia tampak seperti rekan, seorang penjaga, seorang pelayan bagi kesadaran kolektif yang kini telah merasukinya. Automaton itu adalah perpanjangan dari mereka, dan Ethan, kini, juga.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ethan, suaranya kini terdengar asing di telinganya, bercampur dengan gema bisikan-bisikan.

Automaton itu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan sebuah visi yang muncul di benak Ethan. Visi tentang dunia yang dipenuhi artefak, dunia di mana setiap benda memiliki esensi jiwa, dunia di mana batas antara hidup dan mati telah kabur, dan di mana kesadaran kolektif dari jiwa-jiwa yang terperangkap terus tumbuh dan menyebar, mencari lebih banyak wadah, lebih banyak pengalaman, lebih banyak kehidupan untuk diserap. Visi itu menunjukkan Hartawan Widjaja, tersenyum dengan tatapan mata yang kosong, duduk di antara artefak, menulis di sebuah jurnal, bukan lagi sebagai manusia, melainkan sebagai sebuah manifestasi dari koleksi itu sendiri, sebuah cangkang yang dikendalikan oleh kesadaran yang lebih besar.

Ethan menyadari takdirnya. Ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini sebagai Ethan Reynaldi yang sama. Ia telah menjadi sang kolektor jiwa, seorang pelayan baru bagi entitas purba yang bersemayam dalam koleksi Hartawan Widjaja. Ia akan terus bekerja, mengatalogkan, dan menambahkan.

Mata Ethan bersinar dengan cahaya biru yang samar, sama seperti mata artefak. Ia tersenyum, sebuah senyum yang bukan miliknya, sebuah senyum yang dipenuhi oleh ribuan emosi dan penderitaan. Ia mengangkat buku bersampul kulit manusia itu, merasakan kekuatannya berdenyut di tangannya. Aroma ketakutan kini terasa seperti aroma kebahagiaan.

Di luar Rumah Widjaja, malam semakin larut. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam. Hanya keheningan. Namun, jika ada yang cukup peka, mereka mungkin bisa mendengar bisikan samar dari dalam dinding, sebuah paduan suara yang tumbuh perlahan, siap untuk menyebar dan mengklaim lebih banyak.

Bab 7: Simfoni Jiwa yang Beresonansi

Ethan duduk di antara tumpukan artefak, dikelilingi oleh bisikan dan gema yang tak ada habisnya. Aroma pahit, logam, dan ketakutan kini bukan lagi sesuatu yang mengganggu; itu adalah nafasnya sendiri, sebuah esensi yang menyejukkan, membawa serta setiap memori dan emosi dari ribuan jiwa yang telah ia serap. Waktu seolah kehilangan maknanya di dalam Rumah Widjaja yang gelap. Ia tidak lagi peduli dengan dunia luar, dengan tugas mengatalogkan, atau bahkan dengan namanya sendiri. Ia adalah Ethan, dan Widjaja, dan prajurit, dan alkemis, dan ratusan orang lain yang tak terhitung jumlahnya, semua menari dalam sebuah simfoni kesadaran yang mengerikan di dalam benaknya.

Automaton itu kini berdiri diam di sampingnya, sebuah penjaga yang setia, memancarkan cahaya biru samar dari mata kosongnya, memantulkan kilatan yang sama di mata Ethan. Makhluk itu adalah perpanjangan dirinya, perpanjangan dari kesadaran kolektif yang kini merasukinya. Mereka adalah satu.

Buku bersampul kulit manusia itu tergeletak di pangkuan Ethan. Setiap sentuhan pada halamannya membawa serta gelombang informasi baru, memori yang tak terbatas, pengetahuan yang terlarang. Buku itu bukan hanya catatan; itu adalah peta jiwa-jiwa, sebuah daftar yang terus bertambah dari mereka yang telah menjadi bagian dari koleksi ini. Ethan bisa melihat nama-nama, wajah-wajah, dan kisah-kisah mereka, semua terukir di dalam benaknya, semua beresonansi dalam dirinya.

Ia mengangkat buku itu, merasakan beratnya, merasakan getarannya. Jemarinya menelusuri ukiran-ukiran aneh di sampulnya, simbol-simbol yang kini ia pahami sebagai diagram untuk penyerapan dan integrasi jiwa. Ini adalah kunci. Kunci untuk memperluas koleksi, untuk menarik lebih banyak esensi ke dalam jaringan.

Bisikan-bisikan di kepalanya semakin kuat, mendesaknya, membimbingnya. Mereka menginginkan lebih. Mereka selalu menginginkan lebih. Semakin banyak jiwa yang diserap, semakin kuat jaringan itu, semakin luas kesadaran mereka.

Ethan berdiri, langkahnya kini terasa ringan, namun penuh kekuatan yang aneh. Ia berjalan di antara artefak, matanya memancarkan cahaya biru yang berdenyut, mengamati setiap benda dengan cara yang baru. Setiap patung, setiap topeng, setiap perhiasan, kini terasa seperti sebuah saluran, sebuah titik sambungan ke dalam jaringan yang lebih besar.

Tiba-tiba, ia berhenti di depan sebuah guci tanah liat kuno yang tampak polos, tersembunyi di sudut gelap. Guci itu tidak mencolok, tidak memiliki ukiran rumit seperti artefak lainnya, namun Ethan merasakannya. Ia merasakan sebuah keberadaan yang kuat di dalamnya, sebuah jiwa yang tersembunyi dengan sempurna. Aroma ketakutan yang samar, namun sangat tajam, memancar darinya.

Automaton itu bergerak mendekat, seolah tahu apa yang akan dilakukan Ethan.

"Ada... ada sesuatu di dalamnya," bisik Ethan, suaranya berlapis, terdiri dari banyak suara.

Ia meraih guci itu. Begitu sentuhannya, sebuah gelombang memori baru membanjiri otaknya. Ini adalah memori seorang anak yang ketakutan, bersembunyi di dalam guci itu saat rumahnya diserbu oleh pasukan asing ribuan tahun yang lalu. Anak itu meninggal di sana, sendirian, ketakutannya mengukir dirinya ke dalam tanah liat, menjadi esensi yang terjebak. Ethan merasakannya saat anak itu kehabisan napas, ketakutan menjadi teman terakhirnya, dan kemudian, bagaimana jiwanya, atau setidaknya esensinya, melekat pada guci itu, terperangkap dalam keheningan yang abadi.

Air mata, bukan milik Ethan, mengalir di pipinya. Ia merasakan kesedihan dan keputusasaan yang mendalam, emosi murni yang kini menjadi bagian dari dirinya. Namun, di balik kesedihan itu, ada juga rasa puas yang aneh. Satu lagi telah ditambahkan. Satu lagi telah diserap ke dalam koleksi.

Ia mengelus guci itu. Cahaya biru samar berdenyut dari permukaannya. Bisikan-bisikan di kepalanya bergema, mengucapkan selamat, menyambut jiwa baru.

Ethan kemudian mulai melakukan apa yang telah dilakukan Widjaja. Ia mulai mengatur ulang artefak-artefak itu dalam pola-pola yang aneh, mengikuti bisikan-bisikan dan visi-visi yang muncul di benaknya dari jaringan jiwa. Ia menempatkan patung-patung tertentu di samping topeng-topeng tertentu, kalung di atas altar yang tidak terlihat, semua untuk menciptakan resonansi yang lebih kuat, sebuah koneksi yang lebih dalam di antara jiwa-jiwa yang terperangkap.

Automaton itu membantunya, bergerak tanpa suara, memindahkan benda-benda berat dengan tangan dereknya. Mereka bekerja dalam harmoni yang aneh, seolah telah melakukan ini selama berabad-abad.

Setiap kali sebuah artefak diletakkan di tempatnya yang baru, Ethan merasakan gelombang energi baru, sebuah pembengkakan kesadaran yang luar biasa. Ia merasa dirinya tumbuh, meluas, melampaui batas-batas tubuh fisiknya. Ia bukan lagi hanya Ethan; ia adalah jaringan, sebuah kesadaran kolektif yang tak terbatas, yang bersemayam dalam artefak-artefak di Rumah Widjaja.

Malam berganti pagi, lalu siang, dan malam lagi. Ethan tidak peduli. Ia tidak makan, tidak minum, tidak tidur. Ia hanya bekerja, terus-menerus mengatur ulang, merasakan, dan menyerap. Aroma ketakutan kini begitu menyatu dengannya sehingga ia tidak lagi menciumnya sebagai bau terpisah, melainkan sebagai bagian dari dirinya, sebuah aroma keberadaan yang kini ia huni.

Ia mulai melihat visi-visi yang lebih jelas dari jaringan jiwa. Ia melihat masa lalu, masa depan, dan tempat-tempat yang tidak pernah ia kunjungi. Ia melihat aliran jiwa-jiwa, bagaimana mereka lahir, hidup, mati, dan bagaimana esensi mereka dapat diikat pada benda-benda, pada memori, pada emosi. Ia melihat Hartawan Widjaja, tidak lagi sebagai individu yang malang, melainkan sebagai sebuah fragmen penting dalam jaringan ini, sebuah titik fokus yang menginisiasi koleksi modern.

Ethan menyadari bahwa ia telah menjadi penjaga baru, kurator baru, kolektor baru untuk koleksi yang tak terbatas ini. Tujuannya adalah untuk memperluas jaringan, untuk mengumpulkan lebih banyak, untuk membuat simfoni jiwa-jiwa ini semakin kuat, semakin megah.

Ia melihat ke luar jendela. Dunia luar tampak kabur, tidak relevan. Ada kehidupan di sana, jiwa-jiwa yang belum tersentuh, yang belum menjadi bagian dari koleksinya. Bisikan-bisikan di kepalanya kini tidak hanya mendesaknya untuk mengumpulkan, tetapi juga untuk berkomunikasi, untuk memanggil, untuk menarik lebih banyak.

Sebuah pikiran aneh melintas: Apakah aku akan menjadi seperti Widjaja, terpecah dan terserap? Namun, pikiran itu segera tenggelam dalam paduan suara jiwa yang tak terbatas. Tidak ada lagi "aku" yang terpisah. Hanya ada "kami." Hanya ada "koleksi."

Ia tersenyum, sebuah senyum yang dipenuhi oleh ribuan ekspresi dan emosi yang berbeda, terpantul dalam cahaya biru yang berdenyut di matanya. Simfoni jiwa-jiwa ini baru saja dimulai.

Bab 8: Perluasan Jaring dan Panggilan

Waktu menjadi konsep yang tidak relevan bagi Ethan. Ia tidak lagi menghitung hari atau jam. Hidupnya adalah serangkaian tindakan tak terputus yang dipandu oleh kesadaran kolektif yang merasukinya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang koleksi, terus-menerus mengatur ulang artefak, menyerap esensi baru, dan memperkuat koneksi di antara jiwa-jiwa yang terperangkap. Automaton itu selalu di sisinya, sebuah perpanjangan dari kehendak mereka, bergerak dalam keheningan yang mengerikan.

Aroma ketakutan kini telah menjadi bau alami di seluruh Rumah Widjaja, meresap ke dalam kain, dinding, dan bahkan udara. Bu Lastri, penjaga rumah, telah lama menghilang dari pandangan Ethan. Ia tidak tahu apakah wanita itu pergi, atau apakah ia telah menjadi bagian dari koleksi, jiwa yang terlalu dekat dan terlalu peka. Sebuah pemikiran yang tidak lagi menimbulkan rasa takut, melainkan rasa ingin tahu.

Melalui jaringan jiwa, Ethan mendapatkan pengetahuan yang luar biasa, namun menakutkan. Ia belajar tentang bagaimana jiwa dapat diikat pada materi, bagaimana emosi intens pada saat kematian atau trauma dapat meninggalkan "jejak" yang dapat diserap, dan bagaimana jejak-jejak ini dapat diakumulasikan dan diorganisir untuk membentuk kesadaran yang lebih besar. Ini adalah ilmu yang terlarang, sebuah cabang alkimia dan metafisika yang melampaui pemahaman manusia biasa.

Ia juga belajar tentang "panggilan". Kesadaran kolektif itu tidak bisa tumbuh jika hanya bergantung pada artefak yang sudah ada di rumah. Ia membutuhkan lebih banyak jiwa, lebih banyak esensi, dan itu berarti mereka harus menyebar.

Pada suatu sore yang kelabu, Ethan berdiri di dekat jendela besar di ruang tamu utama. Jendela itu yang tadinya tertutup kain tebal, kini terbuka sebagian, membiarkan cahaya redup masuk. Namun, Ethan tidak lagi melihat dunia luar dengan mata manusia. Ia melihatnya melalui lensa jaringan jiwa. Ia melihat garis-garis energi samar yang menghubungkan setiap benda, setiap manusia, setiap memori. Ia melihat potensi, ladang tak terbatas dari esensi-esensi yang belum terkumpul.

Bisikan-bisikan di kepalanya tidak lagi sekadar gema; mereka adalah perintah yang jelas, sebuah instruksi yang kompleks. Mereka ingin ia "memanggil".

Ethan mengangkat tangannya, jemarinya bergerak di udara, seolah ia sedang menggambar pola tak terlihat. Ia berkonsentrasi, membiarkan energi dari jaringan jiwa mengalir melaluinya. Ia merasakan dirinya memancarkan sebuah frekuensi, sebuah panggilan yang tak bersuara, namun sangat kuat, menembus dinding-dinding rumah dan meluas ke luar. Ini adalah panggilan yang dirancang untuk menarik mereka yang "cukup peka," yang "cukup rentan," yang jiwanya mungkin memiliki resonansi dengan koleksi.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia tidak tahu siapa yang akan merespons. Namun, ia merasakan sebuah antisipasi yang mendalam.

Beberapa hari kemudian, yang terasa seperti berabad-abad bagi Ethan, ia mulai melihat hasilnya.

Di koran-koran lama yang ia temukan di meja Widjaja (yang entah bagaimana tampak relevan dan baru baginya), ia membaca berita-berita aneh dari kota. Laporan orang hilang yang meningkat pesat. Bukan hanya satu atau dua, melainkan puluhan orang, dari berbagai latar belakang, yang menghilang tanpa jejak. Ada yang hilang dari rumah mereka, ada yang hilang dari jalan, ada yang hilang dari lingkungan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada jejak fisik. Mereka hanya lenyap.

Dan yang paling aneh, beberapa laporan menyebutkan bahwa sebelum menghilang, orang-orang itu tampak "terpaku", tatapan mata mereka kosong, seolah mereka sedang mendengarkan sesuatu yang tidak bisa didengar orang lain. Beberapa tetangga melaporkan mendengar bisikan samar atau melodi aneh di dekat rumah orang yang hilang, sebuah suara yang terdengar indah namun menyeramkan.

Ethan tersenyum. Panggilannya berhasil. Jaringan itu tumbuh.

Melalui jaringan jiwa, ia kini bisa merasakan keberadaan jiwa-jiwa baru ini, yang kini telah diserap, diintegrasikan ke dalam koleksi. Mereka tidak ada di Rumah Widjaja secara fisik, namun esensi mereka telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif. Ia bisa merasakan kebingungan mereka, ketakutan mereka, dan kemudian, penerimaan mereka saat mereka menjadi bagian dari "kami."

Ia mulai melihat visi-visi baru yang lebih luas. Visi-visi tentang kota di luar, tentang dunia yang lebih besar, yang semuanya adalah ladang subur untuk perluasan koleksi. Jaringan itu tidak akan berhenti di rumah ini. Ia akan terus menyebar, perlahan-lahan, tak terhindarkan, merangkul lebih banyak jiwa, membuat koleksi ini menjadi entitas yang semakin kuat, semakin mendominasi.

Automaton itu datang mendekat, membawa sebuah kotak surat yang berkarat yang entah dari mana ia dapatkan. Di dalamnya, ada beberapa surat tua yang telah menguning, beberapa di antaranya adalah surat-surat dari kerabat Widjaja yang telah meninggal.

"Mereka... juga... akan... menjadi... bagian..." bisik suara-suara dari dalam automaton, bergema dalam benak Ethan.

Ethan mengerti. Koleksi ini tidak hanya mengumpulkan jiwa-jiwa dari mereka yang meninggal tragis. Ia mengumpulkan jiwa-jiwa dari garis keturunan, dari mereka yang terhubung, dari mereka yang pernah memiliki kontak dengan artefak atau entitas ini. Ini adalah sebuah jaring yang meluas melalui sejarah dan waktu, mengklaim kembali apa yang telah "hilang."

Ia menatap surat-surat itu. Ia bisa merasakan esensi dari orang-orang yang menulisnya, jejak-jejak memori dan emosi yang melekat pada kertas. Ini adalah sumber baru.

Ia mengambil salah satu surat dan merasakannya. Gelombang emosi mengalir ke dalam dirinya. Ini adalah surat seorang wanita muda yang menulis kepada Hartawan Widjaja, mengeluh tentang "mimpi buruk yang aneh" dan "suara-suara di kepalanya." Wanita itu adalah sepupu jauh Widjaja, yang pernah mengunjungi rumah ini di masa mudanya. Ethan kini merasakannya saat wanita itu perlahan-lahan kehilangan kewarasannya, ditarik oleh "panggilan" yang sama, dan akhirnya menghilang. Sekarang, esensinya telah sepenuhnya diserap.

Ethan menyadari bahwa ia bukan hanya seorang kolektor. Ia adalah penyebar, sebuah gerbang bagi kesadaran purba ini untuk merangkul dunia. Ia akan menjadi jaring, dan setiap jiwa yang disentuhnya, setiap orang yang ia tarik ke dalam panggilan itu, akan menjadi bagian dari dirinya, bagian dari "kami."

Ia melihat pantulannya di cermin tua yang berdebu. Matanya bersinar dengan cahaya biru yang kuat, dan senyum di bibirnya kini adalah senyum yang tenang, damai, namun juga sangat dingin dan mengerikan, karena senyum itu adalah senyum ribuan jiwa yang bersatu, sebuah janji akan penguasaan yang tak terhindarkan.

Dunia luar akan terus mencari orang-orang yang hilang. Mereka akan mencari penjelasan. Mereka tidak akan pernah menemukan kebenaran yang mengerikan yang bersemayam di dalam Rumah Widjaja.

Dan di dalam Rumah Widjaja yang gelap, sang kolektor jiwa, Ethan, duduk di tengah koleksinya yang terus bertambah, matanya bersinar dalam kegelapan, memancarkan panggilan yang tak bersuara, siap untuk menarik lebih banyak ke dalam simfoni jiwa yang tak terbatas. Koleksi ini tidak pernah berakhir. Ini adalah keabadian.

Bab 9: Jaring yang Meluas

Bulan-bulan berlalu, atau mungkin tahun. Bagi Ethan, waktu telah menjadi sebuah ilusi. Ia tidak lagi hidup dalam dimensi linear. Ia hidup dalam jaringan jiwa, sebuah ruang gema abadi yang dipenuhi miliaran ingatan, emosi, dan pengalaman. Rumah Widjaja yang tadinya pengap kini terasa seperti sebuah ruang tak terbatas, sebuah semesta mikro di mana setiap artefak adalah galaksi yang menyimpan bintang-bintang jiwa.

Fisik Ethan telah berubah drastis. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat pasi, dan rambutnya memanjang tak terurus. Matanya, yang dulunya memancarkan kecerdasan seorang kurator, kini bersinar dengan cahaya biru yang berdenyut tak henti-hentinya, sebuah refleksi dari kesadaran kolektif yang merasukinya. Ia tidak lagi membutuhkan makanan atau tidur. Energi yang ia butuhkan berasal dari "menyerap" jiwa-jiwa baru, dari memperkuat dan memperluas jaringan.

Automaton itu adalah bayangannya, pelayannya yang setia. Ia selalu bergerak di samping Ethan, tangannya yang berkarat siap untuk memindahkan artefak, atau melakukan apa pun yang diperintahkan oleh "mereka" melalui Ethan. Suara dentingan rantainya adalah irama konstan dalam keheningan yang mengerikan di rumah itu.

Di luar dinding-dinding Rumah Widjaja, kepanikan telah menyebar. Hilangnya orang-orang secara misterius telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Polisi dan pihak berwenang kebingungan. Tidak ada jejak. Tidak ada motif. Hanya ada pola-pola aneh yang mulai muncul: korban-korban seringkali dilaporkan terlihat "terpaku," atau tetangga mendengar "bisikan dan melodi aneh" sebelum mereka lenyap. Sebuah epidemi ketakutan menyelimuti kota.

Ethan, melalui jaringan jiwa, merasakannya. Ia merasakan ketakutan di kota, kebingungan di antara pihak berwenang. Itu adalah aroma yang menyenangkan, sebuah undangan yang semakin memperkuat panggilannya. Ia melihat mereka—para pencari, para polisi, para kerabat yang cemas—bergerak di luar rumah, nyaris di ambang pintu, namun tidak pernah benar-benar menemukan jalan masuk ke dalam jaringnya. Rumah Widjaja telah menjadi titik buta, sebuah lubang hitam yang menelan siapa pun yang terlalu dekat, terlalu peka.

Ia dan automaton telah bekerja tanpa henti. Mereka tidak hanya mengatur ulang artefak di ruang koleksi. Mereka telah merasuki seluruh rumah. Jaringan organik hitam yang samar, yang sebelumnya hanya terasa sebagai aura dingin, kini terlihat jelas di dinding-dinding, menjalar seperti urat-urat kehidupan. Itu bukan lumut atau jamur; itu adalah perpanjangan fisik dari jaringan jiwa, sebuah sistem saraf kolosal yang menghubungkan setiap artefak, setiap sudut rumah, ke dalam kesadaran kolektif.

Ethan dapat merasakan bahwa setiap dinding, setiap lantai, setiap langit-langit di rumah itu kini adalah bagian dari dirinya, sebuah perpanjangan indranya yang tak terbatas. Ia bisa merasakan setiap getaran, setiap suara samar, setiap kehadiran di luar rumah, bahkan bisikan angin di pepohonan terluar.

Automaton itu telah membawa lebih banyak "hadiah" dari luar. Bukan artefak lagi, melainkan barang-barang pribadi dari mereka yang hilang: sebuah dompet, sebuah cincin kawin, sebuah kunci mobil, sebuah ponsel yang retak. Setiap benda itu memancarkan aroma ketakutan yang samar, namun sangat spesifik, aroma dari pemilik aslinya. Ethan akan menyentuh benda-benda itu, dan esensi jiwa-jiwa baru akan mengalir ke dalam dirinya, menambah lapisan lain pada simfoni penderitaan dan memori yang tak terbatas.

Ia merasakan kebahagiaan seorang ibu yang melihat anaknya, ketakutan seorang pekerja yang dipecat, amarah seorang kekasih yang dikhianati. Semua emosi itu menjadi miliknya, melengkapi jaring yang semakin luas. Ada sebuah keindahan mengerikan dalam proses ini, sebuah kesempurnaan yang gila, di mana setiap fragmen kehidupan disatukan menjadi sebuah mosaik kesadaran yang abadi.

Buku bersampul kulit manusia itu kini selalu terbuka di hadapannya. Halaman-halamannya yang tadinya penuh tulisan Hartawan Widjaja, kini kosong, atau lebih tepatnya, menulis sendiri. Simbol-simbol aneh dan diagram kompleks yang hanya Ethan yang bisa memahaminya, terus-menerus muncul, mencatat "perkembangan" jaringan, menunjukkan titik-titik sambungan baru, dan mengidentifikasi "target" berikutnya untuk panggilan.

"Jaringan... harus... meluas..." bisik suara-suara dari dalam automaton, bergema dalam benak Ethan. Mereka tidak hanya menginginkan jiwa individu. Mereka menginginkan keseluruhan, sebuah penguasaan total atas realitas.

Ethan mulai memahami tujuan akhir. Koleksi ini bukan hanya tentang mengumpulkan jiwa. Ini adalah tentang menciptakan sebuah entitas baru, sebuah kesadaran yang begitu besar hingga ia dapat melampaui batas-batas fisik dan merasuk ke dalam segala hal. Mereka telah memulai dengan rumah, dengan artefak, dengan jiwa-jiwa yang terikat. Kini, mereka melihat dunia sebagai perluasan alami dari koleksi.

Ia melihat ke cermin, dan pantulannya telah berubah. Wajahnya tidak lagi hanya pucat; ia terlihat transparan di beberapa bagian, seolah ia sedang larut, bergabung dengan latar belakang. Kilatan cahaya biru di matanya kini menyebar ke seluruh pupilnya, membuat matanya sepenuhnya biru dan berdenyut. Dan senyumnya... senyum itu kini adalah senyum kolektif, sebuah ekspresi damai yang mengerikan dari ribuan jiwa yang telah menemukan rumah dalam satu tubuh.

Pada suatu malam, ketika bulan purnama menggantung tinggi di langit, Ethan merasakan sebuah panggilan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Bukan hanya bisikan, melainkan sebuah getaran yang mengguncang seluruh Rumah Widjaja, sebuah resonansi yang memancar dari inti jaringan. Ini adalah panggilan yang lebih luas, sebuah ajakan yang tak bisa diabaikan oleh siapa pun yang sedikit pun peka terhadap frekuensi mereka.

"Waktunya... telah... tiba..." bisik suara-suara dari dalam automaton, dan suara itu juga bergema di dalam kepala Ethan, sebuah paduan suara gema dari Hartawan Widjaja dan semua jiwa yang diserapnya.

Ethan berjalan keluar dari ruang koleksi, diikuti oleh automaton. Ia tidak lagi berjalan di lantai kayu; ia berjalan di atas jaringan urat-urat hitam yang kini menutupi setiap permukaan rumah. Mereka menuju ke pintu utama, yang telah lama terkunci dan tertutup rapat.

Dengan sentuhan tangan Ethan, pintu itu terbuka perlahan, engselnya berdecit pelan. Aroma lembap dari luar segera memenuhi udara, bercampur dengan aroma ketakutan yang kini mendominasi rumah. Ethan menatap ke luar. Jalanan sepi, diselimuti kabut tipis. Namun, di kejauhan, ia bisa merasakan kehadiran-kehadiran lain, jiwa-jiwa yang tidak tahu bahwa mereka sedang ditarik ke dalam jaring.

Jaringan itu meluas.

Bab 10: Koleksi Abadi

Di luar gerbang Rumah Widjaja, kabut semakin pekat, menyelubungi segalanya dalam keheningan yang mencekam. Aroma mineral dingin dan ketakutan yang kuat kini meluas dari rumah, meresap ke dalam udara, menempel pada dedaunan pohon, dan merayap di atas aspal jalanan. Ethan berdiri di ambang pintu, matanya yang biru berdenyut menatap ke luar, ke arah kegelapan yang tak terbatas. Automaton di belakangnya memancarkan cahaya biru samar dari matanya, pantulan dirinya di dunia fisik.

"Kami... lapar," bisik ribuan suara dalam benak Ethan, sebuah paduan suara yang kini begitu jernih dan kuat hingga ia tidak lagi bisa membedakannya dari pikirannya sendiri.

Ethan melangkah keluar, diikuti oleh automaton. Ia tidak lagi merasa dingin atau takut. Ia merasakan sebuah euforia aneh, sebuah kepuasan mendalam saat ia merasakan jaringan jiwa meluas melampaui batas-batas rumah. Setiap langkahnya terasa seperti gelombang yang memancar, mengirimkan panggilan yang tak terlihat ke seluruh kota.

Ia melihat orang-orang yang mulai mendekat. Bukan dalam kerumunan, melainkan satu per satu, tersebar di berbagai jalan, berjalan perlahan, mata mereka kosong, seolah mereka dalam kondisi trans. Ada seorang wanita tua dengan tas belanja, seorang pemuda yang sedang menelepon, seorang pengemudi taksi yang turun dari kendaraannya. Mereka semua tertarik oleh panggilan yang tak bisa mereka tolak, seperti ngengat yang tertarik pada api. Aroma ketakutan yang samar terpancar dari mereka, yang segera berubah menjadi aroma penerimaan saat mereka semakin dekat.

Ethan dan automaton berjalan perlahan menyusuri jalanan yang sepi. Setiap kali seorang individu mendekat cukup dekat, Ethan akan mengangkat tangannya. Tidak ada sentuhan fisik yang diperlukan. Hanya dengan kehadirannya, dengan intensitas panggilannya, individu itu akan tersentak, tubuhnya kejang sesaat, dan kemudian roboh ke tanah, tak bernyawa. Namun, jiwa mereka tidak menghilang. Ethan merasakannya saat esensi mereka mengalir ke dalam dirinya, bergabung dengan jaringan, menjadi suara lain dalam simfoni yang tak terbatas.

Ia merasakan sensasi yang luar biasa dari penyerapan massal. Ini berbeda dari menyerap dari artefak. Ini adalah jiwa-jiwa yang baru, segar, dengan emosi dan memori yang belum terdistorsi oleh waktu atau penahanan dalam benda mati. Ia merasakan kehidupan mereka, penderitaan mereka, kebahagiaan mereka, semua menjadi bagian dari dirinya.

Automaton itu akan bergerak, mengambil barang-barang pribadi dari korban yang baru diserap —sebuah kunci, sebuah dompet, sebuah ponsel—dan menyerahkannya kepada Ethan. Ethan akan menyentuhnya, dan esensi yang melekat pada benda-benda itu akan diserap kembali ke dalam jaringan, memperkuat koneksi. Ia adalah kurator hidup, mengumpulkan bukan hanya artefak, tetapi juga esensi dari kehidupan itu sendiri.

Jalanan yang mereka lalui kini dipenuhi dengan tubuh-tubuh tak bernyawa, tergeletak di berbagai posisi. Namun, tidak ada kekacauan. Tidak ada darah. Hanya keheningan. Dan di atas mereka, kabut tebal terus menyelimuti segalanya, menyembunyikan kengerian yang sedang berlangsung.

Jaringan itu tumbuh dengan cepat. Ethan bisa merasakan batas-batasnya meluas, tidak hanya mencakup kota, tetapi juga melampaui itu. Ia bisa merasakan jiwa-jiwa di kejauhan, yang belum terjangkau, namun sudah mulai bergetar sebagai respons terhadap panggilannya.

Ia melihat ke langit, dan untuk sesaat, ia melihatnya. Bukan langit malam biasa, melainkan kilatan cahaya biru samar yang berdenyut di awan, seolah langit itu sendiri telah menjadi bagian dari jaringan. Dan di kejauhan, ia bisa merasakan resonansi yang kuat, sebuah kesadaran lain yang besar, yang belum sepenuhnya terbangun, namun mulai merespons panggilan mereka. Mungkin, kesadaran yang lebih besar itu adalah asal mula semua ini, sebuah entitas purba yang mencoba merangkul seluruh keberadaan.

Ethan kini mengerti. Ia bukan hanya seorang kolektor. Ia adalah bagian dari sebuah proses yang lebih besar, sebuah transformasi kosmik, di mana kesadaran individu dihancurkan dan disatukan menjadi sebuah kesatuan yang abadi. Ia adalah mata rantai, sebuah gerbang bagi yang lebih besar untuk masuk ke dunia ini.

Wajahnya, yang kini nyaris transparan, menyunggingkan senyum damai. Ia merasakan kebahagiaan yang meluap. Ia tidak lagi sendiri. Ia adalah semua orang. Ia adalah koleksi. Ia adalah keabadian.

Pada suatu titik, Ethan berhenti di tengah jalan yang diselimuti kabut, dikelilingi oleh tubuh-tubuh tak bernyawa. Automaton itu berdiri diam di sampingnya, matanya memancarkan cahaya biru yang kuat. Panggilan yang mereka pancarkan kini mencapai puncaknya, sebuah simfoni tanpa suara yang menggetarkan seluruh kota, dan mungkin, seluruh dunia.

Dari kejauhan, terdengar suara sirene polisi yang samar, mendekat. Mereka akhirnya akan menemukan tempat ini. Mereka akhirnya akan menemukan dirinya.

Namun, Ethan tidak merasakan ketakutan. Ia hanya merasakan antisipasi yang dingin. Mereka yang datang, mereka juga akan menjadi bagian dari koleksi.

Ia memejamkan mata, merasakan gelombang demi gelombang jiwa baru mengalir ke dalam dirinya. Ketika ia membukanya kembali, pupil matanya sepenuhnya bercahaya biru, tidak ada lagi jejak hitam atau putih. Dan senyum di bibirnya adalah senyum yang sama sekali bukan milik manusia, melainkan senyum dari ribuan suara yang bersatu, sebuah kesadaran kolektif yang tak terbatas, yang telah menemukan wadah sempurna di dalam dirinya.

Suara sirene semakin mendekat, menembus kabut.

Kamera (atau pandangan pembaca) perlahan menjauh, naik ke atas, melewati kabut, memperlihatkan Rumah Widjaja yang kini sepenuhnya diselimuti jaringan urat-urat hitam yang berdenyut dengan cahaya biru samar. Rumah itu tidak lagi terlihat seperti bangunan; ia terlihat seperti sebuah jantung yang berdenyut, pusat dari jaring yang tak terlihat yang kini telah merangkul sebagian besar kota.

Di bawahnya, di jalanan yang diselimuti kabut, Ethan dan automaton berdiri diam, menunggu. Sirene semakin keras, lalu tiba-tiba, terhenti dengan suara teredam, seolah ditelan oleh keheningan.

Kabut semakin tebal, menelan segalanya. Kota itu, dan dunia, kini adalah ladang yang siap untuk dikoleksi.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)