Masukan nama pengguna
Bab 1: Kedatangan
Bosan adalah musuh terberat bagi Nara, seorang mahasiswi psikologi yang jenuh dengan rutinitas. Kuliah, perpustakaan, tugas, dan tumpukan buku tebal yang sama setiap harinya menciptakan sebuah siklus yang terasa seperti fotokopi dari hari sebelumnya. Ia mendambakan sesuatu yang baru, tantangan yang menguji naluri, dan pengalaman yang keluar dari zona nyamannya. Ketika Profesor Harsono, dosennya yang sudah tua dan bijaksana, menawarinya sebuah pekerjaan yang terdengar aneh, Nara langsung menerimanya tanpa ragu.
Pekerjaan itu adalah menginventarisir dan mengorganisir dokumen-dokumen kuno milik sebuah keluarga kaya raya yang sudah lama tidak berpenghuni. Rumah tua itu terletak di sebuah kota kecil, jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Menurut Profesor Harsono, keluarga Aksara, nama keluarga pemilik rumah itu, adalah salah satu keluarga terkaya di kota itu, namun mereka semua telah pindah ke luar negeri, meninggalkan rumah tua itu terbengkalai. Sebagai imbalannya, Nara akan mendapatkan bayaran yang jauh lebih tinggi dari pekerjaan paruh waktu biasanya, dan ia bisa menggunakan pengalaman itu untuk tesisnya tentang psikologi lingkungan dan pengaruhnya terhadap emosi manusia.
Dengan tas ransel yang berisi beberapa pakaian, buku, dan laptop, Nara tiba di depan rumah tua itu. Ia tertegun. Gerbang besi yang tinggi dan berkarat berdiri tegak, diselimuti oleh tanaman rambat yang menjalar. Di balik gerbang itu, sebuah rumah tua bergaya kolonial berdiri megah, namun tampak suram. Catnya mengelupas, jendelanya kusam, dan sebagian gentingnya terlihat hancur. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, dengan ranting-rantingnya yang kurus dan telanjang, seolah-olah menjadi penjaga abadi rumah itu. Sebuah hawa dingin dan berat langsung menyergap Nara begitu ia melangkah mendekat.
Sesuai instruksi, Nara menelepon Aksara, pemilik rumah yang masih sesekali menengok rumah ini. Pria itu mengangkat telepon dengan suara serak dan pelan, seperti bisikan dari balik kubur. Ia menyuruh Nara untuk menunggu di gerbang. Tak lama kemudian, gerbang besi itu terbuka dengan suara berdecit yang menyeramkan. Nara melangkah masuk, merasakan sensasi dingin menjalar di punggungnya. Jantungnya berdebar kencang, sebuah firasat buruk yang ia coba abaikan.
Aksara adalah pria paruh baya yang bertubuh kurus. Rambutnya yang menipis menutupi sebagian wajahnya yang dipenuhi kerutan. Yang paling aneh dari dirinya adalah matanya yang tampak kosong, seperti mata boneka porselen, tanpa ekspresi. Ia mengenakan setelan jas hitam yang tampak lusuh dan kebesaran. Tanpa banyak bicara, ia mengantar Nara masuk ke dalam rumah. Langkahnya nyaris tak terdengar, seolah ia melayang di atas lantai.
Aroma apak, debu, dan kayu lapuk langsung menyergap indra penciuman Nara. Lantai kayu berdecit di bawah setiap langkah kaki mereka. Ruangan-ruangan gelap dan kosong, sebagian besar ditutupi oleh kain putih yang berdebu. Aksara menunjuk sebuah kamar di lantai dua sebagai kamar Nara. Kamar itu kecil, dengan jendela yang menghadap ke kebun belakang yang rimbun. Nara meletakkan ranselnya dan mencoba menyalakan lampu, namun tak ada aliran listrik. Aksara hanya memberinya sebuah lilin dan korek api, lalu menghilang begitu saja, meninggalkan Nara sendirian.
Nara mulai bekerja. Ia pergi ke ruang kerja di lantai bawah. Ruangan itu dipenuhi dengan tumpukan dokumen yang menggunung. Ada surat-surat, catatan keuangan, buku harian, dan banyak lagi. Nara mulai menyusunnya berdasarkan tanggal dan jenis dokumen. Saat ia melakukannya, ia merasakan sensasi aneh. Ada perasaan bahwa ada yang mengawasinya, seolah-olah ada mata tak terlihat yang terus menatapnya dari balik kegelapan. Ia menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdetak kencang, namun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah imajinasinya.
Malam tiba, dan suasana rumah itu menjadi semakin mencekam. Suara angin yang berhembus melalui celah-celah jendela terdengar seperti bisikan. Nara menyalakan lilin, dan bayangan-bayangan menari-nari di dinding, membuat segalanya tampak lebih menyeramkan. Ia merasa kedinginan, bukan karena suhu udara, melainkan karena perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di loteng. Langkah itu lambat, berat, dan seolah-olah menyeret sesuatu. Nara membeku di tempatnya. Ia menunggu, tetapi suara itu tidak datang lagi.
Nara mencoba menenangkan dirinya. Mungkin itu hanya tikus, atau mungkin angin yang memainkan trik. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia tidak sendirian. Ia merasa ada sesuatu yang bersembunyi di dalam rumah ini, dan ia harus mencari tahu apa itu. Sebuah rasa penasaran yang dibalut ketakutan mulai tumbuh dalam dirinya.
Bab 2: Kejanggalan Dimulai
Nara tidak bisa tidur. Suara-suara aneh terus mengganggunya sepanjang malam. Terkadang terdengar seperti gesekan, terkadang seperti bisikan pelan yang sulit diurai. Nara mencoba menutup telinganya dengan bantal, namun suara itu tetap menembus, seolah-olah berbisik langsung ke dalam kepalanya. Pagi harinya, Nara bangun dengan mata sembab. Ia merasa lelah, bukan karena kurang tidur, melainkan karena energi dari rumah itu yang begitu berat.
Di meja kerja, di antara tumpukan dokumen yang ia susun kemarin, Nara menemukan sebuah buku harian tua yang terselip. Sampulnya terbuat dari kulit yang sudah lapuk, dengan halaman-halaman yang menguning. Nara membukanya, dan menemukan tulisan tangan yang indah dan rapi. Di halaman pertama, tertulis nama Laras. Nara merasa ada daya tarik aneh dari buku harian ini, seolah ia dipanggil untuk membacanya.
Nara mulai membaca buku harian itu. Laras adalah seorang gadis muda yang tinggal di rumah itu puluhan tahun yang lalu. Kisah-kisah yang ia tuliskan terasa sangat akrab bagi Nara. Laras menceritakan kehidupannya yang tertekan, ia merasa terkurung di dalam rumah itu, seolah-olah ia tidak memiliki kebebasan. Ia juga sering mendengar suara-suara aneh di malam hari, merasakan kehadiran yang mengawasinya, dan merasa tidak aman di rumahnya sendiri.
Saat Nara membaca, ia merasa ada yang janggal dari buku harian itu. Tulisannya penuh dengan ketakutan, namun Laras tidak pernah menjelaskan secara rinci apa yang ia takuti. Ia hanya menyebutkan, "ada sesuatu yang mengawasiku" atau "mereka tidak akan melepaskanku". Nara menyadari bahwa kata-kata Laras adalah cerminan dari perasaannya saat ini.
Di tengah-tengah membaca, Nara merasa seperti ada bayangan yang melintas di balik jendela. Ia menoleh, namun hanya melihat kehampaan. Jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba menenangkan dirinya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanya ilusi. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan takut yang semakin menjadi-jadi.
Malam harinya, teror meningkat. Nara mendengar suara tangisan dari lantai atas. Tangisan itu lembut dan menyayat hati, seperti suara anak kecil yang ketakutan. Nara memutuskan untuk naik ke atas, dan ia menuju ke loteng. Di sana, ia melihat sebuah kamar yang tidak berpenghuni, namun di sudut ruangan, ia melihat sebuah ayunan bayi yang berayun pelan. Jantung Nara berdebar kencang. Ia tahu ayunan itu tidak mungkin berayun dengan sendirinya.
Nara kembali ke kamarnya dengan ketakutan. Ia mengambil buku harian Laras, dan mulai membaca lagi. Di halaman terakhir, Laras menulis, "mereka tidak akan pernah melepaskanku...mereka ingin aku tetap di sini bersamanya". Tiba-tiba, Nara mendengar suara bisikan dari balik pintu kamarnya. Bisikan itu memanggil namanya, berulang-ulang, "Nara...Nara...". Nara membeku di tempatnya. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia menyadari ia tidak lagi sendirian. Ia mendengar suara bisikan dari seluruh penjuru rumah. Bisikan-bisikan itu seolah-olah datang dari setiap sudut ruangan, dari setiap celah di dinding. Bisikan-bisikan itu menyuruhnya untuk tinggal, untuk tidak pergi. Nara merasa kepalanya berputar. Ia menyadari, Laras bukan satu-satunya yang terperangkap di sini. Ia juga.
Nara mencoba untuk tetap tenang. Ia berpikir, mungkin suara-suara itu hanya halusinasi. Tetapi, saat ia melihat keluar jendela, ia melihat sosok Aksara sedang berdiri di kebun belakang, memandang ke arah jendelanya dengan senyum tipis di bibirnya. Senyum itu tidak tampak ramah, melainkan menyeramkan. Seolah-olah ia sedang menikmati ketakutan Nara.
Malam itu, Nara tidak bisa memejamkan mata. Ia terus memikirkan Aksara, buku harian Laras, dan semua kejadian aneh yang ia alami. Ia merasa ada benang merah yang menghubungkan semuanya, dan ia harus menemukan benang merah itu sebelum semuanya terlambat. Ia menyadari, pekerjaan ini jauh lebih dari sekadar menginventarisir dokumen. Ini adalah sebuah permainan, dan ia adalah tikus yang terjebak di dalamnya.
Bab 3: Teror dari Masa Lalu
Keesokan paginya, Nara terbangun dengan perasaan yang campur aduk antara ketakutan dan penasaran. Pengalaman semalam di mana ia melihat Aksara tersenyum penuh arti sambil mengawasinya, menguatkan dugaannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan pria itu dan rumah ini. Alih-alih pergi, ia justru semakin terdorong untuk mengungkap misteri yang menyelimuti tempat ini.
Nara kembali ke ruang kerja dan mencari buku harian Laras. Ia merasa ada petunjuk penting yang terlewatkan. Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman-halaman yang lusuh dan kembali menyelami kegelapan masa lalu Laras. Gadis itu menulis tentang bagaimana ia merasa terperangkap, tentang ketakutan yang tak bernama yang terus menghantuinya. Ia sering menyebutkan "Bayangan itu", sosok yang selalu mengawasinya dari sudut ruangan atau dari balik jendela.
Tiba-tiba, sebuah halaman menarik perhatian Nara. Laras menceritakan sebuah mimpi buruk yang berulang. Dalam mimpi itu, ia melihat bayangan hitam mendekatinya, memanggil namanya dengan suara serak yang sama persis seperti Aksara. Nara merasa seluruh tubuhnya merinding. Firasatnya semakin kuat. Buku harian ini bukan hanya sekadar catatan harian, tetapi juga sebuah surat peringatan dari masa lalu.
Saat Nara sedang membaca, Aksara muncul tiba-tiba. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Nara dengan tatapan kosong. Nara terkejut, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba menyembunyikan buku harian itu, namun Aksara sudah melihatnya.
"Apa yang kau baca?" tanyanya dengan suara serak.
"Hanya... dokumen lama," jawab Nara, mencoba bersikap tenang.
Aksara tidak menjawab. Ia hanya terus menatap Nara dengan tatapan yang sulit diartikan. Senyum tipis, nyaris tak terlihat, muncul di bibirnya. Nara merasa sangat tidak nyaman. Ada sesuatu yang aneh dari cara Aksara memandangnya, seolah-olah ia melihat orang lain, bukan Nara.
"Apakah kau... menyukai rumah ini?" tanya Aksara, memecah keheningan yang panjang.
"Rumah ini... unik," jawab Nara, hati-hati.
"Dia menyukainya," bisik Aksara pelan, matanya menerawang jauh. "Dia suka berada di sini. Bersamaku."
Nara tidak mengerti siapa yang Aksara maksud. Apakah "dia" adalah Laras? Nara berusaha mengorek informasi lebih dalam. "Siapa yang Anda maksud? Laras?"
Seketika, senyum di wajah Aksara menghilang. Tatapannya menjadi tajam, dingin, dan menusuk. "Jangan sebut nama itu," desisnya. "Jangan pernah lagi."
Nara terdiam, ketakutan. Ia menyadari ia telah menyentuh sesuatu yang sangat sensitif. Setelah itu, Aksara pergi, meninggalkan Nara dalam kebingungan dan ketakutan yang semakin besar. Nara yakin, Aksara memiliki rahasia gelap yang berhubungan dengan Laras.
Nara kembali membaca buku harian itu dengan lebih teliti. Ia mencari detail-detail kecil yang mungkin terlewat. Di salah satu halaman, Laras menceritakan bagaimana ia sering bermain petak umpet dengan "Bayangan itu", yang ia sebut sebagai "Teman Imut". Nara merasa mual. Laras menyebut sosok menyeramkan itu "Teman Imut"? Apakah gadis itu sudah gila karena tertekan? Atau adakah makna lain di balik kata-kata itu?
Malam itu, Nara mendengar suara bisikan lagi. Namun, kali ini bisikan itu terdengar lebih jelas. Bisikan itu bukan hanya memanggil namanya, tetapi juga membacakan kalimat-kalimat dari buku harian Laras. Nara terkejut. Bagaimana mungkin? Ia menoleh ke arah jendela, dan ia melihat Aksara sedang berdiri di sana, memegang buku harian Laras, dan matanya menatap tajam ke arahnya. Ia sedang membaca buku harian Laras, seolah-olah ia tahu persis di mana Nara berada. Ia melihat ekspresi aneh di wajah Aksara. Senyumnya lebar, tetapi matanya kosong. Ia terlihat seperti seorang pria yang telah kehilangan akal sehatnya, seperti seorang psikopat.
Nara merasa ketakutan luar biasa. Ia menyadari ia tidak hanya berhadapan dengan hantu atau kekuatan supranatural, tetapi juga dengan seorang pria yang berbahaya. Nara menyadari ia tidak aman di rumah ini. Ia harus segera pergi.
Bab 4: Rahasia yang Terungkap
Malam itu, Nara tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk pergi. Pagi-pagi sekali, ia mengemas barang-barangnya dan bergegas menuju pintu depan. Namun, betapa terkejutnya ia, pintu depan terkunci rapat. Ia mencoba memutar kenopnya, namun tidak ada hasil. Ia panik, mencoba membuka jendela, tetapi jendela-jendela itu juga terkunci rapat dari luar. Nara menyadari, ia terperangkap di dalam rumah ini.
Nara berteriak memanggil Aksara, tetapi tidak ada jawaban. Rumah itu terasa sunyi, dingin, dan mematikan. Nara mulai panik. Ia berlari dari satu pintu ke pintu lain, dari satu jendela ke jendela lain, tetapi semua pintu dan jendela terkunci. Ia merasa putus asa.
Saat ia sedang panik, matanya menangkap sesuatu. Di atas meja ruang tamu, terdapat sebuah foto keluarga yang lain. Foto itu baru. Di dalamnya, terlihat seorang wanita paruh baya dengan senyum yang dipaksakan, Aksara yang terlihat lebih tua dan kurus, dan di sampingnya, seorang anak perempuan kecil dengan wajah pucat dan mata ketakutan. Anak perempuan itu memegang sebuah boneka porselen tua, dan boneka itu memiliki mata yang sama persis dengan mata Aksara: kosong, tanpa ekspresi.
Nara menoleh ke arah Aksara yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Ia melihat ke arah boneka porselen itu dan merasa ngeri. Anak perempuan dalam foto itu, boneka itu... Aksara adalah seorang psikopat. Ia mungkin telah melakukan hal yang sama pada anak perempuan itu seperti yang ia lakukan pada Laras.
"Kau tidak akan pergi," kata Aksara dengan suara serak. "Ini rumahmu sekarang. Kau akan tinggal di sini bersamaku... seperti Laras."
Nara ketakutan. Ia menyadari Aksara menganggapnya sebagai Laras. Ia adalah korban berikutnya. Nara mulai mundur perlahan, mencari jalan keluar. Ia melihat sebuah pintu yang tampak seperti pintu gudang, dan ia mencoba membukanya. Pintu itu terbuka, dan Nara langsung masuk ke dalam.
Di dalam gudang yang gelap, Nara melihat banyak sekali boneka porselen tua. Boneka-boneka itu memiliki mata yang kosong, seperti mata Aksara. Di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara menemukan sebuah buku harian lain. Buku harian itu milik seorang gadis bernama Sari. Nara membukanya, dan ia membaca kisah Sari yang menceritakan bagaimana ia merasa terperangkap di dalam rumah ini. Sama persis seperti Laras.
Nara menemukan kebenaran yang mengerikan: Laras bukanlah satu-satunya gadis yang meninggal di rumah ini. Aksara telah membunuh gadis-gadis lain, satu per satu, dan menyimpan jasad mereka di ruang tersembunyi. Aksara bukanlah orang yang sakit jiwa karena sebuah trauma, ia adalah seorang psikopat.
Tiba-tiba, Nara mendengar suara Aksara di belakangnya. "Kau tidak akan pernah bisa pergi. Kau adalah milikku. Kau adalah bagian dari koleksiku."
Nara berbalik, dan ia melihat Aksara sedang memegang sebuah boneka porselen. Boneka itu memiliki mata yang sama persis dengan matanya. Aksara tertawa, dan tawanya terdengar seperti suara jeritan dari dalam jurang neraka. Nara menyadari, ia adalah korban berikutnya. Ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Bab 5: Terperangkap
Nara merasakan dunia berputar, bukan karena pusing, tetapi karena realitas yang baru saja ia terima terasa terlalu mengerikan untuk dicerna. Aksara bukanlah penjaga rumah yang eksentrik atau pria tua yang kesepian. Ia adalah seorang psikopat. Dan Nara, dengan segala kecerdasan dan rasa ingin tahunya, telah berjalan lurus ke dalam perangkap yang mematikan. Kata-kata Aksara menggema di telinganya, "Kau milikku sekarang. Kau adalah bagian dari koleksiku."
Keputusasaan menyergap Nara. Ia mencoba mendobrak pintu gudang dengan bahunya, namun pintu itu terlalu kokoh. Ia melihat sekeliling, mencari celah, apa pun yang bisa memberinya jalan keluar. Di tengah tumpukan boneka porselen yang memiliki mata kosong seperti mata Aksara, Nara merasa seperti dirinya sendiri adalah sebuah boneka yang menunggu untuk disimpan.
Nara kembali ke ruang kerja, jantungnya berdetak tak karuan. Ia bergegas ke jendela, berusaha membukanya. Namun, jendela itu terkunci dari luar, paku-paku besar menancap pada bingkainya. Jendela itu disegel. Nara beralih ke pintu depan, mencoba menggedornya dengan sekuat tenaga, tetapi tidak ada hasil. Ia berlari dari satu pintu ke pintu lain, dari satu jendela ke jendela lain. Semuanya terkunci, semuanya disegel. Nara benar-benar terperangkap.
Pada saat itu, ia mendengar suara langkah kaki Aksara yang mendekat. Langkah itu terdengar lambat, berat, dan penuh kepastian. Aksara tidak terburu-buru. Ia tahu Nara tidak bisa kemana-mana. Ia menikmati permainan ini. Nara panik, ia melarikan diri ke lantai dua, ke kamarnya. Ia mengunci pintu dari dalam, meskipun ia tahu itu tidak akan banyak membantu.
Nara duduk di pojok kamar, memeluk lututnya, mencoba menenangkan dirinya. Pikirannya dipenuhi dengan ketakutan. Ia memikirkan Laras, Sari, dan gadis-gadis lain yang menjadi korban Aksara. Mereka semua mengalami hal yang sama. Mereka semua terperangkap, dan tidak ada yang selamat. Nara menyadari ia sedang mengalami mimpi buruk yang tidak ada habisnya.
Tak lama kemudian, ia mendengar suara bisikan dari balik pintu. Bisikan itu memanggil namanya, "Nara...Nara..." Bisikan itu perlahan berubah menjadi suara tangisan yang menyayat hati, seperti suara Laras di buku harian itu. Tiba-tiba, suara tangisan itu berubah menjadi suara Aksara yang sedang membacakan kalimat dari buku harian Laras. "Aku merasa terkurung, tidak ada jalan keluar." Aksara tertawa, dan tawanya terdengar seperti suara jeritan dari dalam jurang neraka.
Nara merasa ngeri. Ia menyadari Aksara sedang memainkan permainan psikologis dengannya. Ia mencoba membuat Nara gila, seperti yang ia lakukan pada korban-korban sebelumnya. Nara mencoba mengabaikannya, tetapi suara itu terus menghantuinya. Ia merasa tertekan, terisolasi, dan putus asa.
Nara melihat ke arah jendela. Ia melihat Aksara sedang berdiri di kebun belakang, mengawasinya. Ekspresi wajahnya kosong, namun senyumnya penuh arti. Ia mengangkat sebuah buku harian, buku harian Laras, dan memegangnya erat-erat, seolah-olah ia memegang sebuah trofi. Nara menyadari, ia bukan hanya berhadapan dengan seorang pembunuh, tetapi juga seorang kolektor. Aksara mengumpulkan cerita-cerita korban-korbannya, ia mengumpulkan keputusasaan dan ketakutan mereka, dan ia menjadikannya sebuah trofi.
Nara merasa mual. Ia menyadari ia adalah trofi berikutnya. Ia adalah boneka porselen berikutnya yang akan disimpan Aksara di gudang. Ia harus keluar dari rumah ini, apa pun yang terjadi.
Bab 6: Permainan Kucing dan Tikus
Malam itu, Nara tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk melarikan diri, apa pun risikonya. Ia mengambil sebuah lampu senter dari tasnya dan berjalan perlahan keluar kamar. Lorong di luar gelap dan sunyi, hanya diterangi oleh cahaya rembulan samar dari jendela. Nara berjalan perlahan menuruni tangga, setiap langkahnya terasa berat.
Ketika ia mencapai lantai bawah, ia melihat sebuah pintu yang tidak ia perhatikan sebelumnya. Pintu itu berada di bawah tangga, tampak seperti pintu ruang bawah tanah. Nara merasa ada harapan. Ia mencoba membukanya, namun pintu itu terkunci. Ia mencoba mencari kunci di sekitar ruangan, namun tidak menemukannya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki Aksara yang mendekat. Langkah itu terdengar dari lantai dua, dan ia tahu Aksara sedang mencarinya. Nara panik. Ia bersembunyi di balik sebuah kain putih besar yang menutupi sebuah sofa tua. Ia menahan napas, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara apa pun.
Aksara berjalan perlahan menuruni tangga, dan ia berhenti tepat di depan tempat Nara bersembunyi. Nara bisa melihat kakinya dari bawah kain putih itu. Aksara berhenti, dan ia tidak bergerak. Nara merasa jantungnya akan meledak. Ia mendengar suara Aksara berbicara, "Kau dimana, sayang? Ayo keluar. Aku ingin bermain denganmu."
Aksara berjalan perlahan, ia menyentuh setiap kain putih yang menutupi perabotan tua. Setiap sentuhan Aksara membuat Nara semakin ketakutan. Ia merasa seperti tikus yang sedang diburu oleh seekor kucing. Ia melihat Aksara sedang mendekat ke arahnya, dan ia menyadari ia tidak punya banyak waktu.
Nara memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya. Ia berlari sekuat tenaga menuju dapur, dan ia mengambil sebuah pisau besar. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri, tetapi ia bisa melawan. Ia harus melawan.
Aksara tertawa saat melihat Nara memegang pisau. "Kau ingin bermain, ya? Baiklah. Aku suka permainan ini."
Aksara berjalan perlahan ke arah Nara. Nara berteriak, dan ia mencoba menusuk Aksara dengan pisau. Namun, Aksara dengan mudah menghindari serangannya. Ia terlalu cepat. Aksara menarik pisau dari tangan Nara, dan ia membuangnya. Ia tersenyum, dan ia memandangi Nara dengan tatapan yang penuh kepuasan.
"Kau tidak bisa melarikan diri," katanya dengan suara serak. "Ini rumahmu sekarang. Kau akan tinggal di sini bersamaku... seperti Laras."
Aksara menarik Nara ke arahnya, dan ia memeluknya erat-erat. Nara merasa tercekik, dan ia berusaha melepaskan diri. Namun, Aksara terlalu kuat. Ia merasakan napas dingin Aksara di lehernya. Nara berteriak, namun suaranya tidak keluar.
Nara merasakan dirinya ditarik ke lantai atas, ke sebuah ruangan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di dalam ruangan itu, Nara melihat banyak boneka porselen tua, dan di tengah-tengah boneka-boneka itu, ia melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil, seperti tempat tidur anak-anak. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Aksara keluar dari ruangan itu dan mengunci pintu dari luar. Nara sendirian, terkurung di dalam ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Ia melihat ke arah jendela, dan ia melihat kegelapan yang menyelimutinya. Ia menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara.
Bab 7: Titik Balik
Nara tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain keputusasaan. Kamar itu, yang dipenuhi dengan boneka porselen, terasa seperti kuburan hidup. Di setiap sudut, di setiap rak, berdirilah boneka-boneka dengan mata kosong, boneka-boneka yang dulunya adalah gadis-gadis muda dengan mimpi dan harapan. Sekarang, mereka hanyalah cerminan dari kegilaan Aksara. Nara melihat boneka-boneka itu, dan ia merasa mereka sedang mengawasinya, seolah-olah mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap, menunggu Nara untuk bergabung dengan mereka.
Nara mencoba berteriak, tetapi suaranya tercekat. Ia mencoba menangis, tetapi air matanya tidak keluar. Ia hanya bisa duduk di tempat tidur yang berukuran kecil itu, memeluk lututnya, dan merasakan kegelapan yang menyelimutinya. Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah dorongan lain muncul. Sebuah kemarahan. Kemarahan pada Aksara, pada dirinya sendiri karena begitu naif, dan pada dunia yang membiarkan monster seperti Aksara berkeliaran. Kemarahan itu memberikan Nara kekuatan yang ia butuhkan untuk bangkit.
Nara mulai memeriksa ruangan itu. Ia mengamati setiap detail, mencari celah, apa pun yang bisa membantunya melarikan diri. Ia melihat ke arah boneka-boneka porselen itu. Mereka semua memakai pakaian yang berbeda-beda, dan beberapa dari mereka memiliki aksesoris unik. Nara menyadari ada sesuatu yang tidak biasa pada salah satu boneka. Boneka itu memakai kalung yang sama persis dengan yang digambarkan Laras dalam buku hariannya. Nara mendekatinya dan mengambil boneka itu. Kalung itu adalah sebuah liontin kecil, dan saat ia membukanya, ia melihat sebuah surat kecil yang digulung di dalamnya.
Surat itu adalah sebuah surat permohonan dari Sari, korban Aksara yang lain, yang juga meninggalkan buku harian di gudang. Surat itu berisi permohonan bantuan, meminta siapa pun yang menemukannya untuk mencari tahu lebih banyak tentang Aksara. Sari juga menuliskan sebuah pesan rahasia, sebuah petunjuk untuk mencari sebuah ruangan tersembunyi. Ruangan itu berada di bawah lantai kayu di sudut ruangan itu, di bawah sebuah karpet tua.
Nara merasa jantungnya berdebar kencang. Ia menemukan sebuah paku besar di lantai dan menggunakannya untuk mencongkel karpet tua itu. Di bawah karpet itu, terdapat sebuah pintu kayu kecil, yang tersembunyi di bawah lantai kayu yang rapuh. Dengan tangan gemetar, Nara membuka pintu itu. Di dalamnya, ada sebuah tangga kecil yang mengarah ke sebuah ruangan bawah tanah yang gelap.
Nara turun ke ruangan bawah tanah itu, menyalakan senter, dan matanya langsung menangkap sebuah kotak besar yang terbuat dari besi. Ia mencoba membukanya, tetapi kotak itu terkunci. Nara merasa putus asa. Ia tahu pasti ada sesuatu yang penting di dalam kotak itu.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah kunci yang disembunyikan di bawah salah satu boneka porselen. Kunci itu berkarat, tetapi masih bisa digunakan. Nara mengambilnya dan mencoba membuka kotak besi itu. Kunci itu berhasil. Di dalamnya, terdapat sebuah tumpukan dokumen. Ada surat-surat lama, foto-foto, dan yang paling mengejutkan, sebuah buku harian lain. Buku harian itu milik Eva, ibu Aksara.
Nara membaca buku harian Eva dengan hati-hati. Di dalamnya, Eva menceritakan tentang Aksara kecil. Aksara adalah anak yang cerdas, tetapi ia memiliki kecenderungan yang aneh. Ia suka mengumpulkan boneka porselen dan berbicara dengan mereka seolah-olah mereka adalah teman-temannya. Eva juga menuliskan tentang bagaimana Aksara kecil sering menyakiti binatang, dan bagaimana ia tidak memiliki rasa empati.
Di dalam buku harian Eva, Nara menemukan sebuah catatan yang mengejutkan. Eva menuliskan bahwa Aksara kecil pernah membunuh seekor anak anjing kesayangannya, dan ketika ia ditanya mengapa, Aksara menjawab, "Aku ingin menjadikannya boneka." Eva juga menuliskan tentang bagaimana Aksara tumbuh menjadi pria yang dingin, manipulatif, dan mengendalikan. Ia sering mengunci Eva di dalam ruangan dan menyiksanya secara emosional.
Nara juga menemukan sebuah laporan polisi lama di dalam kotak itu. Laporan itu menjelaskan tentang kematian Eva yang mencurigakan. Laporan itu menyebutkan bahwa Eva ditemukan tewas di ruang bawah tanah, dan penyebab kematiannya tidak jelas. Nara menyadari, Aksara tidak hanya membunuh gadis-gadis muda, tetapi ia juga mungkin telah membunuh ibunya sendiri.
Nara juga menemukan sebuah laporan dari rumah sakit jiwa. Laporan itu menyebutkan bahwa Aksara pernah dirawat di rumah sakit jiwa sebagai seorang remaja. Ia didiagnosis menderita gangguan kepribadian antisosial dan kecenderungan psikopat. Namun, karena keluarga Aksara memiliki kekuasaan dan kekayaan, mereka berhasil menyembunyikan laporan itu, dan Aksara dibebaskan.
Nara merasakan sebuah gelombang kemarahan yang luar biasa. Aksara bukan hanya seorang psikopat, ia adalah produk dari sebuah keluarga yang korup. Ia telah menyembunyikan kejahatan-kejahatannya selama bertahun-tahun, dan tidak ada yang pernah tahu. Nara menyadari, ia tidak hanya berhadapan dengan Aksara, tetapi juga dengan seluruh keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Nara mengambil dokumen-dokumen itu, dan ia merasa ada sebuah tujuan baru yang ia miliki. Ia tidak hanya harus melarikan diri, tetapi ia juga harus mengungkap kebenaran yang mengerikan ini.
Ia melihat sebuah celah kecil di salah satu dinding ruangan bawah tanah itu, dan ia mencoba untuk mengintip. Di baliknya, ada sebuah lorong yang mengarah ke bagian luar rumah. Nara merasa ada harapan. Ia berusaha melebarkan celah itu dengan sebuah obeng yang ia temukan, dan ia berhasil. Ia berhasil melarikan diri dari ruangan bawah tanah itu, dan ia kembali ke lorong yang gelap dan dingin. Nara sekarang kembali bebas di dalam rumah, tetapi dengan sebuah misi baru yang berbahaya. Ia harus mencari cara untuk keluar dari rumah ini, bersama dengan semua dokumen yang ia temukan.
Bab 8: Kebenaran
Nara sekarang tahu segalanya. Ia tahu tentang Aksara, tentang kejahatan-kejahatannya, dan tentang keluarga yang menyembunyikannya. Dengan dokumen-dokumen di tangannya, Nara merasa ia memiliki sebuah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi korban yang tak berdaya. Ia akan berjuang, dan ia akan mengungkap kebenaran.
Nara berjalan perlahan menyusuri lorong, mencoba untuk tidak menimbulkan suara apa pun. Ia tahu Aksara sedang mencarinya. Ia tahu Aksara akan marah, dan ia akan menjadi lebih berbahaya. Nara harus mencari cara untuk keluar dari rumah ini, dan ia harus melakukannya sebelum Aksara menemukannya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki Aksara yang mendekat. Langkah itu terdengar dari lantai atas. Aksara sedang turun. Nara panik, ia bersembunyi di balik sebuah pintu yang terbuka, dan ia menunggu. Aksara berjalan melewati tempatnya bersembunyi, dan ia berjalan ke arah ruang kerja. Nara memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri ke dapur.
Nara mencari sebuah ponsel. Ia berharap Aksara tidak menyembunyikannya. Ia mencari di laci, di lemari, di mana-mana, namun tidak menemukannya. Aksara telah menyembunyikan semuanya. Nara merasa putus asa. Ia tidak bisa menghubungi siapa pun. Ia sendirian.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Aksara di belakangnya. "Kau dimana, sayang? Ayo keluar. Aku ingin bermain denganmu."
Suara Aksara terdengar seperti suara anak kecil yang sedang bermain, namun nada suaranya penuh dengan kegembiraan yang mengerikan. Nara berbalik, dan ia melihat Aksara sedang berdiri di ambang pintu dapur, memandangnya dengan tatapan kosong.
"Kau tahu, sayang," kata Aksara dengan suara serak, "Aku tidak suka permainan petak umpet. Aku lebih suka permainan boneka."
Nara merasa ngeri. Ia memegang dokumen-dokumen itu erat-erat, dan ia mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takutnya. Ia tahu ia harus melawan. Ia harus berani.
"Aku tahu segalanya," kata Nara, suaranya gemetar. "Aku tahu tentang Laras, Sari, dan gadis-gadis lain. Aku tahu tentang ibumu. Aku tahu tentang dirimu."
Senyum di wajah Aksara menghilang. Tatapannya menjadi dingin dan menusuk. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya dipenuhi dengan kemarahan.
"Aku adalah orang yang akan membongkar semua kejahatanmu," jawab Nara, mencoba untuk tetap tenang. "Aku memiliki semua bukti."
Aksara tertawa, dan tawanya terdengar seperti suara jeritan dari dalam jurang neraka. "Kau pikir aku peduli?" tanyanya. "Tidak ada yang akan percaya padamu. Mereka semua berpikir aku adalah pria baik-baik. Mereka semua percaya pada kebohongan yang aku buat."
Nara terkejut. Aksara tidak membantah, ia justru bangga dengan kejahatannya. "Aku akan membawanya ke polisi," kata Nara. "Aku akan menunjukkan ini semua kepada mereka."
Aksara berjalan perlahan ke arah Nara. Nara merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tahu ia telah memprovokasi Aksara, dan ia tahu ia sedang dalam bahaya besar.
"Tidak ada yang akan percaya pada gadis gila yang terperangkap di rumahku," kata Aksara, senyumnya kembali muncul. "Mereka akan berpikir kau gila. Mereka akan berpikir ini semua hanya halusinasi. Mereka akan berpikir kau adalah boneka yang rusak."
Aksara tiba di depan Nara, dan ia memegang bahunya. Nara merasa cengkeraman Aksara terlalu kuat. Ia berusaha melepaskan diri, namun tidak bisa.
"Kau tahu, sayang," kata Aksara, suaranya berbisik. "Aku tidak pernah berniat untuk membunuhmu. Aku hanya ingin kau menjadi boneka paling cantik di koleksiku. Tetapi, kau telah merusak semuanya. Kau telah membuatku marah."
Aksara menarik Nara ke arahnya, dan ia memeluknya erat-erat. Nara merasa tercekik, dan ia berusaha melepaskan diri. Namun, Aksara terlalu kuat. Nara merasakan napas dingin Aksara di lehernya. Ia berteriak, namun suaranya tidak keluar.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Bab 9: Perburuan
Teriakan Nara tercekat di tenggorokannya, berubah menjadi bisikan putus asa yang tertelan kegelapan. Aksara membaringkannya di ranjang kecil itu dengan paksa, menatapnya dengan mata kosong yang kini dipenuhi kegembiraan yang mengerikan. Di sekeliling mereka, ratusan boneka porselen seolah menjadi saksi bisu, menertawakan penderitaan Nara dengan senyum statis mereka yang dingin.
"Kau akan sangat cantik," bisik Aksara, jemarinya yang kurus menyentuh wajah Nara. "Aku akan menjagamu. Kau tidak akan pernah merasa sakit lagi, tidak akan pernah merasa takut lagi. Kau akan tinggal di sini bersamaku, selamanya."
Nara melihat keputusasaan dalam mata Aksara, namun itu adalah keputusasaan seorang pria yang telah kehilangan akal sehatnya, bukan keputusasaan seorang pria yang sedang menderita. Aksara adalah monster yang telah menciptakan dunianya sendiri, dan Nara adalah bagian dari dunia itu.
Nara menendang perut Aksara dengan sekuat tenaga. Aksara terhuyung ke belakang, terkejut dengan perlawanan Nara. Nara memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, ia berlari ke arah pintu, tetapi pintu itu terkunci rapat. Aksara kembali berdiri, dan ia berjalan perlahan ke arah Nara.
"Kau gadis yang nakal," katanya, suaranya dipenuhi dengan amarah yang dingin. "Kau harus dihukum."
Nara melarikan diri ke sudut ruangan, ia memegang sebuah kursi kayu tua, dan ia bersiap untuk melawan. Aksara tertawa, dan tawanya terdengar seperti suara jeritan dari dalam jurang neraka. Ia menarik kursi itu dari tangan Nara, dan ia membuangnya. Ia terlalu kuat.
Aksara menarik Nara ke arahnya, dan ia memeluknya erat-erat. Nara merasa tercekik, dan ia berusaha melepaskan diri. Namun, Aksara terlalu kuat. Nara merasakan napas dingin Aksara di lehernya. Ia berteriak, namun suaranya tidak keluar.
Nara merasakan dirinya ditarik ke lorong, dan ia tahu Aksara akan membawanya ke suatu tempat. Nara tidak tahu di mana, tetapi ia tahu ia harus melarikan diri. Ia menendang Aksara lagi, dan Aksara terhuyung ke belakang. Nara memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, ia berlari ke arah tangga, dan ia menuruni tangga itu dengan cepat.
Aksara mengejarnya, dan suara langkah kakinya terdengar seperti suara guntur. Nara berlari ke arah pintu depan, namun pintu itu terkunci rapat. Ia berbalik, dan ia melihat Aksara sedang berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan tatapan kosong.
"Kau tidak akan pergi," katanya, suaranya dipenuhi dengan kemarahan. "Kau milikku."
Nara merasa ketakutan, ia berlari ke arah ruang kerja, dan ia mencoba mencari celah. Ia menemukan sebuah jendela yang tidak terkunci, dan ia mencoba membukanya. Namun, jendela itu terkunci rapat. Aksara datang ke ruang kerja, dan ia memandang Nara dengan tatapan yang mengerikan.
"Kau tidak akan lari," katanya, suaranya dipenuhi dengan amarah. "Kau akan tinggal di sini bersamaku, selamanya."
Nara merasa putus asa, ia tidak bisa melarikan diri. Ia tidak bisa melawan. Ia adalah tikus yang terjebak di dalam labirin yang mengerikan.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah obeng di atas meja, dan ia mengambilnya. Ia mencoba menusuk Aksara dengan obeng itu, tetapi Aksara dengan mudah menghindari serangannya. Ia terlalu cepat. Aksara menarik obeng itu dari tangan Nara, dan ia membuangnya. Ia tersenyum, dan ia memandangi Nara dengan tatapan yang penuh kepuasan.
"Kau tidak bisa melarikan diri," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan. "Kau adalah boneka yang rusak. Kau harus diperbaiki."
Aksara menarik Nara ke arahnya, dan ia memeluknya erat-erat. Nara merasa tercekik, dan ia berusaha melepaskan diri. Namun, Aksara terlalu kuat. Nara merasakan napas dingin Aksara di lehernya. Ia berteriak, namun suaranya tidak keluar.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Bab 10: Akhir yang Memilukan
Kegelapan menyelimuti Nara. Ia merasakan dirinya terperangkap di dalam mimpi buruk yang tidak ada habisnya. Ia tidak bisa berteriak, tidak bisa bergerak, tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa merasakan napas dingin Aksara di lehernya, dan ia hanya bisa mendengar suara bisikan yang memanggil namanya, "Nara...Nara..."
Nara merasakan sebuah sensasi aneh di tubuhnya. Ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Ia tidak bisa merasakan rasa sakit, tidak bisa merasakan rasa takut, tidak bisa merasakan apa-apa. Ia hanya bisa merasakan sebuah kekosongan yang mengerikan.
Ia melihat ke arah jendela, dan ia melihat kegelapan yang menyelimutinya. Ia menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatatan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.
Nara merasakan dirinya ditarik ke ruang bawah tanah, ke ruangan yang penuh dengan boneka-boneka porselen. Di sana, di tengah-tengah boneka-boneka itu, Nara melihat sebuah tempat tidur yang berukuran kecil. Aksara membaringkan Nara di tempat tidur itu, dan ia memandangnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Kau akan menjadi boneka paling cantik di koleksiku," katanya, suaranya dipenuhi dengan kegembiraan yang mengerikan. "Kau akan tinggal di sini, bersamaku, selamanya."
Nara menyadari, ia telah kalah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia adalah bagian dari koleksi Aksara. Ia adalah boneka yang rusak. Ia adalah bagian dari keluarga yang membiarkan monster ini berkeliaran. Dan ia tahu, ia tidak akan pernah keluar dari rumah ini hidup-hidup.