Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,070
Elara
Horor

Langit sore di pinggiran kota itu berwarna keemasan, seakan matahari sedang berusaha memberi salam terakhir sebelum menghilang di balik bukit rendah. Jalanan menuju Panti Jompo “Senja Abadi” sepi, hanya sesekali terdengar suara burung murai dan deru sepeda motor dari kejauhan. Di ujung jalan beraspal yang mulai retak-retak, berdirilah bangunan tua tiga lantai berwarna krem pucat, dengan jendela-jendela besar yang tirainya selalu setengah tertutup. Papan nama di gerbang besinya sudah mulai pudar catnya, tapi tulisan “Senja Abadi” masih terbaca jelas.


Elara berdiri di depan gerbang itu. Angin sore meniup pelan rambut hitamnya yang panjang, tergerai di bahu. Seragam putih yang ia kenakan tampak rapi, tanpa satu pun lipatan yang salah. Di tangannya, ia membawa tas jinjing hitam berisi dokumen dan beberapa alat medis pribadi. Di wajahnya, senyum hangat terukir — senyum yang bisa membuat siapa pun merasa nyaman hanya dalam hitungan detik.


Senyum itu adalah senjata.

Ia melangkah masuk dengan langkah ringan, seolah-olah tempat ini sudah menjadi rumahnya. Aroma khas panti langsung menyambutnya: campuran antiseptik, kapur barus, dan samar-samar bau obat-obatan. Lantai keramik putih memantulkan cahaya lampu neon yang agak redup. Lorong utama membentang lurus, dengan pintu-pintu kamar di kanan dan kiri. Setiap pintu memiliki papan kecil bertuliskan nama penghuni.


Seorang wanita paruh baya berseragam biru muda menyambutnya di meja resepsionis. “Oh, ini pasti perawat baru itu ya?” suaranya ramah, tapi matanya sedikit lelah.


Elara mengangguk, memperkenalkan diri, “Ya, saya Elara. Mulai hari ini saya akan membantu di sini.”


Wanita itu tersenyum tipis. “Saya Bu Ratna, kepala perawat di Senja Abadi. Nanti saya kenalkan ke semua orang.” Ia memandang Elara dari ujung kaki sampai ujung rambut, seolah menilai kemampuan hanya dari penampilan. “Kamu kelihatan cekatan. Semoga betah, ya. Di sini kerjanya nggak mudah, tapi kalau hati kita ada di tempat yang benar, semua bisa dilewati.”


Elara tersenyum lagi. “Tentu saja, Bu.”


Namun, jauh di balik senyum itu, pikirannya dingin, terukur. Hati di tempat yang benar? Ia hampir tertawa. Dalam pengalamannya, orang-orang yang terlalu percaya pada niat baik sering kali menjadi mangsa termudah.


Bu Ratna mengajak Elara berkeliling. Mereka melewati ruang makan — ruangan besar dengan meja panjang dan kursi-kursi yang sebagian sudah usang. Beberapa penghuni duduk di sana, mengobrol pelan atau sekadar menatap kosong ke jendela. Ada yang tersenyum melihat Elara, ada pula yang tidak bereaksi sama sekali.


“Yang di pojok itu, Pak Surya. Usianya 84 tahun, dulunya guru matematika,” jelas Bu Ratna sambil menunjuk seorang pria tua kurus dengan kacamata tebal. “Dia suka bercerita, tapi kadang topiknya meloncat-loncat. Kalau di sebelahnya itu, Bu Rini, penyuka tanaman, tapi sejak stroke tahun lalu, jarang mau keluar kamar.”


Elara mencatat semua nama dan kebiasaan di kepalanya. Informasi kecil seperti ini adalah emas — terutama untuk orang yang tahu bagaimana memanfaatkannya.


Mereka berlanjut ke lantai dua, tempat sebagian besar penghuni yang butuh perawatan lebih intens. Lorong di sini lebih sunyi, hanya terdengar bunyi mesin oksigen dari salah satu kamar. Bau obat lebih pekat, bercampur aroma lotion dan minyak kayu putih.


“Kamar 207, itu Bu Sri,” kata Bu Ratna sambil berhenti di depan sebuah pintu. “Beliau punya demensia. Kadang suka berhalusinasi, bilang melihat anaknya atau mendengar suara-suara. Kalau sedang begitu, jangan dibantah terlalu keras. Dengarkan saja, lalu alihkan perhatiannya.”


Elara mengangguk, menyimpan informasi itu. Demensia... halusinasi... Itu berarti apa pun yang Bu Sri katakan nanti, orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai omong kosong. Situasi yang sangat... menguntungkan.


Mereka masuk. Bu Sri duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar ke taman kecil. Rambutnya putih seperti kapas, kulitnya keriput tapi matanya masih memancarkan sisa-sisa kecerdasan masa lalu. Ia menoleh ketika mendengar suara langkah.


“Ini perawat baru, Bu,” ujar Bu Ratna. “Namanya Elara.”


Bu Sri menatap lama, lalu tersenyum samar. “Kamu... mirip sekali sama adikku waktu muda.”


“Oh ya? Wah, saya jadi senang mendengarnya,” balas Elara, mendekat sambil berjongkok di samping kursi. “Namanya siapa, Bu?”


“Ratih... dia sudah lama pergi, tapi kadang datang menemuiku di sini,” jawab Bu Sri pelan, suaranya seperti sedang bercerita rahasia.


Elara pura-pura terkejut. “Wah, hebat sekali. Mungkin nanti saya bisa dengar ceritanya ya, Bu.”


Bu Sri mengangguk, lalu kembali menatap keluar jendela.


Setelah itu, tur dilanjutkan ke ruang obat, dapur, dan halaman belakang. Di halaman, beberapa penghuni duduk di kursi rotan, menikmati udara sore. Seorang pria gemuk tertawa terbahak-bahak sendirian, sementara seorang wanita muda—mungkin relawan—membacakan koran untuk seorang nenek.


Elara mengamati semuanya. Ia memperhatikan letak kamera CCTV, jalur yang sering dilalui staf, dan tempat-tempat sepi yang jarang dijaga. Matanya merekam semua detail itu tanpa terlihat mencurigakan.


Menjelang malam, Elara mulai ikut membantu. Ia mendorong kursi roda, membagikan obat, bahkan mengusap punggung seorang nenek yang batuk-batuk. Setiap gerakannya lembut, setiap ucapannya menenangkan. Semua orang mulai menyukai perawat baru ini.


Dan itu adalah bagian termudah dari rencananya.


Malam pertama Elara di Panti Jompo “Senja Abadi” diwarnai suara-suara kecil yang hanya terdengar jika seseorang cukup peka: bunyi detik jam dinding di ruang perawat, dengungan lampu neon, dan langkah kaki ringan dari penghuni yang tidak bisa tidur. Di luar jendela, lampu jalan memancarkan cahaya kuning pucat yang jatuh miring di lantai, menciptakan bayangan panjang di dinding.


Shift malam selalu dijalani oleh dua orang perawat: satu di meja perawat, satu lagi berkeliling. Malam itu, Elara mendapat giliran berkeliling. Ia membawa clipboard berisi daftar penghuni yang harus diperiksa.


Lorong lantai dua lengang. Sesekali ia berhenti di depan pintu, mengintip sedikit untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Di kamar 204, seorang pria tua terlelap dengan mulut terbuka. Di 205, terdengar suara mendengkur berat. Saat tiba di kamar 207—kamar Bu Sri—ia mengetuk pelan.


“Masuk,” suara rapuh itu terdengar dari dalam.


Elara mendorong pintu. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya lampu tidur di meja kecil. Bu Sri duduk di tempat tidur, selimutnya tersampir di pangkuan. Tatapannya agak kosong, tapi ada kegelisahan di matanya.


“Tidak bisa tidur, Bu?” tanya Elara sambil mendekat.


“Dia datang lagi,” bisik Bu Sri.


“Siapa yang datang?”


“Ratih... dia berdiri di pojok sana, lihat.” Bu Sri menunjuk ke sudut gelap kamar.


Elara menoleh. Sudut itu kosong, hanya ada kursi dengan baju terlipat di atasnya. Ia menunduk sedikit, lalu tersenyum. “Mungkin Ratih datang untuk memastikan Ibu baik-baik saja.”


Bu Sri tersenyum tipis. “Kamu mirip dia... tapi kamu lebih... hangat.”


Elara menatapnya, senyum lembut di wajahnya. Dalam pikirannya, ia sudah melihat celah: Bu Sri percaya padanya, bahkan mungkin mulai mengasosiasikannya dengan sosok yang ia cintai. Itu berarti apa pun yang ia lakukan nanti akan lebih mudah diterima.


Ia duduk sebentar, mendengarkan cerita Bu Sri tentang masa kecilnya bersama Ratih. Elara mengangguk di waktu yang tepat, menanggapi dengan suara pelan yang menenangkan. Setelah Bu Sri terlihat lebih rileks, ia membetulkan selimutnya.


“Nanti saya bawakan air hangat, Bu, biar tidurnya nyenyak,” katanya sambil berdiri.


Ketika keluar dari kamar, langkahnya pelan tapi pikirannya sibuk. Ia membayangkan berbagai cara membuat seseorang seperti Bu Sri tenang sebelum tidur... atau sebelum tidak pernah bangun lagi. Obat penenang dosis kecil adalah pilihan yang paling “bersih”—tidak meninggalkan tanda mencolok di tubuh.


Keesokan paginya, Elara bangun lebih awal. Ia membantu di ruang makan, membagikan sarapan bubur ayam dan teh hangat. Beberapa penghuni mulai memanggil namanya, meskipun mereka baru bertemu kemarin.


“Pagi, Mbak Elara,” sapa Pak Surya dengan suara parau.


“Pagi, Pak,” jawab Elara sambil tersenyum. Ia menuangkan teh ke cangkirnya. “Bagaimana tidurnya?”


“Seperti matematika... rumit,” kata Pak Surya sambil tertawa kecil.


Elara tertawa sopan, lalu melanjutkan ke meja lain. Bu Rini, yang duduk sendirian, tampak murung.


“Buburnya nggak enak?” tanya Elara.


“Enak sih... cuma rasanya hambar kalau dimakan sendirian,” jawab Bu Rini lirih.


Elara menaruh kursi di sebelahnya. “Kalau gitu saya temani ya.”


Interaksi seperti ini adalah bagian dari permainannya: ia ingin semua orang di sini melihatnya sebagai cahaya di tengah rutinitas yang membosankan. Seseorang yang peduli. Seseorang yang mereka percayai.


Semakin besar kepercayaan, semakin kecil kecurigaan ketika sesuatu yang buruk terjadi.


Menjelang siang, Elara membantu Bu Ratna di ruang obat. Ia mencatat stok, memeriksa tanggal kedaluwarsa, dan menyiapkan obat harian. Di rak paling atas, ia melihat botol kecil berlabel alprazolam — obat penenang kuat. Tangan Elara sempat berhenti sejenak di udara. Ia membaca labelnya dengan cepat, menyimpan nama itu di kepalanya, lalu melanjutkan pekerjaan seolah tidak ada yang istimewa.


“Di sini semua obat kita catat, jangan sampai ada yang hilang,” kata Bu Ratna sambil mengisi formulir.


“Tentu, Bu. Semua harus rapi dan aman,” jawab Elara.


Namun, dalam pikirannya, ia sudah menghitung kemungkinan mengambil sedikit tanpa terdeteksi. Obat seperti ini biasanya dikemas dalam strip, dan kehilangan satu atau dua butir mungkin tidak langsung terlihat — apalagi jika stoknya banyak.


Malam kedua di panti, Elara kembali mendapat shift malam. Kali ini, suasananya lebih sunyi dari sebelumnya. Di luar, hujan gerimis turun, membuat jendela dipenuhi titik-titik air. Aroma tanah basah menyusup masuk lewat celah ventilasi.


Sekitar pukul dua dini hari, ia memutuskan memeriksa Bu Sri. Saat masuk, ia melihat wanita tua itu terjaga, menatap keluar jendela.


“Belum tidur, Bu?” tanya Elara.


“Ratih baru saja pergi,” jawab Bu Sri.


“Oh begitu... mau saya bawakan air hangat?”


Bu Sri mengangguk pelan.


Elara keluar sebentar, lalu kembali dengan gelas air. Di dapur kecil dekat ruang perawat, ia sudah menyiapkan sesuatu: air hangat yang diberi campuran dosis sangat kecil obat penenang. Tidak cukup untuk membunuh — belum — tapi cukup untuk membuat Bu Sri tertidur nyenyak dan menunjukkan bahwa ia bisa mengontrol kondisi korban.


Bu Sri menerima gelas itu, meminumnya perlahan. “Terima kasih, Ratih...” katanya pelan sebelum menutup mata.


Elara menatapnya beberapa detik, lalu menarik selimut hingga menutupi bahu wanita itu. “Selamat tidur, Bu.”


Saat keluar dari kamar, bibirnya melengkung sedikit. Langkah pertama sudah ia ambil.

Bagian ini akan membawa suasana makin tegang. Elara mulai menanamkan rasa aman pada semua orang, tapi juga diam-diam mempersiapkan momen kematian Bu Sri.


Hari-hari berikutnya berjalan mulus bagi Elara. Ia sudah hafal jadwal setiap penghuni: kapan mereka bangun, makan, tidur, bahkan kapan mereka paling sering sendirian. Ia tahu Bu Rini biasanya membaca majalah di teras pukul 9 pagi, Pak Surya sering tertidur di kursi dekat ruang TV menjelang siang, dan Bu Sri selalu duduk di dekat jendela kamar 207 menjelang senja, menatap taman seperti menunggu seseorang.


Elara tak pernah terburu-buru. Ia tahu, dalam permainan seperti ini, kesabaran adalah senjata terkuat. Terlalu cepat bergerak bisa menimbulkan gelombang yang tidak diinginkan. Terlalu lambat, ia bisa kehilangan kendali. Maka ia membungkus setiap langkahnya dengan kelembutan.


Suatu sore, hujan turun deras. Panti menjadi lebih sunyi dari biasanya, hanya suara rintik air dan gelegar petir di kejauhan. Elara duduk di meja perawat, mengisi catatan harian. Dari ujung lorong, ia melihat Pak Budi, perawat senior yang dikenal tegas, berjalan ke arahnya.


“Shift malam lagi kamu?” tanya Pak Budi.


Elara mengangguk. “Iya, Pak. Kenapa?”


Pak Budi memandangnya lama, lalu berkata pelan, “Hati-hati sama Bu Sri. Kadang dia suka bikin cerita aneh. Jangan langsung percaya.”


Elara tersenyum. “Baik, Pak. Terima kasih sarannya.”


Tapi dalam hati, ia menilai pria itu berbeda dari staf lainnya. Pandangannya tajam, seperti orang yang tidak mudah terpesona oleh senyum manis. Orang seperti ini berpotensi menjadi masalah. Ia harus memperhatikannya.


Malam itu, Elara kembali ke rutinitasnya. Saat jam menunjukkan pukul 1 pagi, ia berjalan ke dapur kecil. Tangannya sudah terbiasa meraih botol air dan mengeluarkan gelas. Dari saku seragamnya, ia mengeluarkan strip obat penenang—hasil “peminjaman” dari ruang obat dua hari lalu. Satu butir kecil ia larutkan dalam air hangat.


Di kamar 207, Bu Sri sedang terjaga, matanya sayu.


“Ratih belum datang malam ini,” gumamnya.


“Mungkin dia sudah yakin Ibu baik-baik saja,” jawab Elara sambil menyerahkan gelas.


Bu Sri meminum separuhnya, lalu menarik napas panjang. “Kamu tahu... kadang aku takut tidur terlalu nyenyak.”


Elara menatapnya dengan tatapan penuh simpati palsu. “Kenapa, Bu?”


“Soalnya... aku nggak tahu apakah aku akan bangun lagi.”


Kalimat itu menggantung di udara. Bagi orang biasa, itu mungkin terdengar seperti kekhawatiran seorang lansia. Tapi bagi Elara, itu seperti undangan tak langsung. Ia tersenyum tipis. “Kalau begitu, saya pastikan tidurnya nyaman, Bu. Supaya kalaupun mimpi, mimpinya indah.”


Bu Sri hanya mengangguk, lalu meminum habis air di gelas. Beberapa menit kemudian, napasnya mulai teratur. Elara berdiri di samping tempat tidur, mengamati wajah tua itu. Bibirnya melengkung sedikit—bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang tahu persis kapan ia akan mengakhiri permainan.


Keesokan paginya, panti sibuk seperti biasa. Elara membantu di ruang makan, sementara Pak Budi mondar-mandir membawa catatan medis. Dari jauh, ia sempat melihat Pak Budi menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia membalas dengan senyum manis, seolah tak ada yang perlu dicurigai.


Menjelang sore, Elara duduk di taman bersama Bu Sri. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang segar.


“Kamu tahu, Elara... kadang aku merasa Ratih akan membawaku pergi,” kata Bu Sri tiba-tiba.


“Pergi ke mana, Bu?”


“Ke tempat yang tenang... nggak ada rasa sakit, nggak ada suara-suara aneh. Hanya damai.”


Elara menatap mata wanita tua itu. “Kalau begitu, Ibu tidak perlu takut. Kalau waktunya datang, semua akan baik-baik saja.”


Bu Sri tersenyum samar. “Kamu benar-benar seperti malaikat.”


Kalimat itu menusuk aneh di benak Elara. Malaikat? Ya, mungkin memang begitu... hanya saja, bukan malaikat yang mereka pikirkan.


Dua malam kemudian, Elara memutuskan waktunya sudah tiba. Shift malam lagi, dan kebetulan hanya ia dan satu perawat lain di meja perawat—yang terlalu sibuk mengisi laporan bulanan. Panti sunyi, semua penghuni sudah di kamar masing-masing.


Elara menuju dapur kecil. Kali ini, ia melarutkan dosis yang lebih besar. Tidak terlalu banyak—ia bukan orang ceroboh—tapi cukup untuk membuat jantung seorang wanita tua berhenti bekerja dalam tidurnya. Ia memastikan airnya hangat, lalu berjalan perlahan ke kamar 207.


Bu Sri terbangun ketika pintu dibuka. “Ratih?”


Elara mendekat, duduk di sisi tempat tidur. “Iya, Bu. Ratih datang. Membawakan air hangat supaya Ibu tidur nyenyak.”


Bu Sri tersenyum, menerima gelas itu. “Terima kasih... aku sudah lelah.”


Elara hanya menatapnya, melihat wanita itu meminum air sampai habis. Tak ada kata-kata lagi yang diperlukan. Ia membetulkan selimut, mengusap punggung Bu Sri perlahan, lalu berdiri.


“Selamat tidur, Bu.”


Ia meninggalkan kamar, menutup pintu pelan. Di lorong, suara detak jam terasa lebih keras dari biasanya. Elara berjalan kembali ke meja perawat, duduk, dan mulai menulis laporan seperti tak ada yang terjadi.


Di sini akan ada kematian Bu Sri, suasana pagi yang berubah menjadi kepanikan, serta bibit pertama kecurigaan dari Pak Budi.


Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut melalui tirai tipis jendela panti. Di lorong lantai dua, suara langkah staf mulai terdengar, diselingi bunyi troli yang membawa sarapan. Elara sudah berganti seragam pagi, wajahnya segar seolah ia tidur nyenyak semalam. Di tangannya, ia membawa nampan berisi bubur dan teh hangat untuk beberapa penghuni.


Saat ia melewati kamar 207, pintunya masih tertutup rapat. Tidak ada suara dari dalam, tidak juga gerakan di balik tirai. Elara sempat melirik, tapi melanjutkan langkahnya. Ia tahu, sebentar lagi seseorang akan membukanya, dan pertunjukan akan dimulai.


Tidak sampai sepuluh menit kemudian, terdengar suara teriakan kecil dari ujung lorong. Seorang perawat muda bernama Mira berlari keluar dari kamar 207, wajahnya pucat. “Bu Sri... dia... dia nggak bangun!” suaranya bergetar.


Bu Ratna segera datang, diikuti Pak Budi. Mereka masuk ke kamar. Elara berjalan menyusul, langkahnya tenang tapi cukup cepat untuk terlihat “khawatir”. Di dalam, Bu Sri terbaring di tempat tidur, wajahnya damai seolah tertidur. Selimutnya rapi, tidak ada tanda perlawanan atau kesakitan.


Bu Ratna memeriksa denyut nadi, lalu menghela napas panjang. “Beliau sudah pergi...”


Mira menutup mulutnya, menahan isak. “Tadi malam saya lihat beliau baik-baik saja...”


“Kalau ini, kemungkinan besar karena usianya,” kata Bu Ratna sambil menutup mata Bu Sri. “Beliau memang punya riwayat kesehatan yang lemah.”


Pak Budi berdiri agak jauh, matanya menyapu ruangan dengan teliti. Tatapannya singgah sebentar pada gelas kosong di meja kecil. Elara menangkap itu, tapi tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya berdiri di sisi ranjang, menatap tubuh Bu Sri dengan ekspresi sedih yang begitu meyakinkan.


“Semoga beliau tenang di sana,” ucapnya pelan.


Berita kematian Bu Sri menyebar cepat di panti. Beberapa penghuni tampak murung saat sarapan, ada yang berdoa, ada pula yang hanya menatap kosong. Elara duduk di dekat Bu Rini, menepuk tangannya pelan. “Saya tahu Ibu dekat dengan Bu Sri. Kalau mau cerita, saya siap mendengarkan.”


Bu Rini mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dia orang baik... selalu berbagi roti kalau ada kiriman dari keluarganya.”


Di sudut ruang makan, Pak Budi memperhatikan Elara. Tatapannya bukan tatapan orang yang sekadar berduka—lebih seperti sedang menilai, mengukur sesuatu. Elara berpura-pura tidak menyadarinya, melanjutkan obrolan dengan Bu Rini sambil menyuapkan bubur ke mulut wanita itu.


Siang harinya, pihak keluarga Bu Sri datang untuk mengurus jenazah. Elara ikut membantu menyiapkan semua kebutuhan, menunjukkan sikap yang simpatik dan penuh empati. Bahkan anak Bu Sri sempat mengucapkan terima kasih langsung kepadanya.


“Kami senang Ibu dirawat orang seperti Anda,” kata putrinya sambil menggenggam tangan Elara.


Senyum Elara lembut. “Kami hanya melakukan yang terbaik.”


Namun, ketika keluarga itu pergi, ia sempat melihat Pak Budi berdiri di dekat pintu keluar, wajahnya serius. Ia menghampiri Elara setelah semua selesai.


“Kamu yang terakhir kali memeriksa Bu Sri semalam, kan?” tanyanya langsung.


Elara menatapnya tanpa gentar. “Iya, Pak. Beliau bilang mau tidur, jadi saya pastikan selimutnya rapi.”


“Beliau minum sesuatu?”


“Air hangat. Seperti biasa.”


Pak Budi mengangguk pelan, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Elara yang menatap punggungnya sambil menimbang-nimbang.


Orang itu jelas punya insting tajam. Mungkin suatu saat harus ada “cara” untuk mengalihkan perhatiannya... atau menyingkirkannya.


Malamnya, Elara duduk di kamarnya sendiri di lantai tiga. Lampu meja menyinari buku catatannya. Di halaman terakhir, ia menulis dengan huruf rapi:


Ia menutup buku itu, lalu mematikan lampu. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa aroma hujan yang tertinggal dari sore tadi. Elara berbaring, matanya terbuka dalam gelap. Senyum tipis muncul di wajahnya. Permainan baru saja dimulai.


Dan ia tahu, tempat ini menyimpan banyak sekali “kesempatan”.


Kecurigaan awal Pak Budi Elara yang mulai sadar ia diawasi Upaya Elara membentuk citra positif sambil memojokkan Pak Budi Tanda-tanda bahwa target berikutnya sedang ia incar


Pagi di Panti Jompo Senja Abadi berlangsung seperti biasa, namun bagi Pak Budi, suasananya terasa berbeda. Ia masih memikirkan kematian Bu Sri. Walau semua orang menganggapnya kematian alami, instingnya berkata lain. Selama dua puluh tahun bekerja di sini, ia telah melihat banyak penghuni meninggal, tapi ada sesuatu yang mengganggu pikirannya kali ini—terutama tentang Elara.


Ia mengingat jelas tatapan Elara saat melihat tubuh Bu Sri pagi itu: terlalu tenang, bahkan nyaris damai. Seolah ia sudah tahu hal itu akan terjadi.


Namun, tanpa bukti, kecurigaannya tak ada artinya. Di dunia ini, kata-kata tanpa bukti hanyalah gosip.


Di ruang staf, suasana santai. Beberapa perawat bercanda sambil minum kopi, membicarakan acara TV semalam. Elara duduk di tengah mereka, menjadi pusat perhatian seperti biasa.


“Waktu aku masuk ke kamar Bu Sri, aku sempat sedih banget,” kata Elara, suaranya penuh empati. “Tapi aku bersyukur setidaknya beliau nggak kesakitan.”


Semua mengangguk. “Kamu memang perhatian, Lar. Nggak heran keluarga Bu Sri sampai terharu,” timpal Mira.


Pak Budi, yang duduk di sudut, hanya diam. Ia mengamati bagaimana Elara bicara—setiap kata terukur, setiap gerakan lembut. Semua itu membuatnya makin yakin kalau Elara pandai membentuk kesan.


Ketika obrolan mulai beralih ke topik lain, Pak Budi membuka map berisi jadwal pemeriksaan obat. Matanya mencari nama Bu Sri. Ada catatan obat penenang, tapi tidak ada dosis tambahan yang tercatat. Itu berarti, jika benar Bu Sri mendapat dosis tinggi, pasti diberikan di luar catatan resmi.


Siang itu, saat mengantar obat untuk penghuni lantai dua, Pak Budi memperhatikan Elara dari kejauhan. Ia baru saja keluar dari kamar Pak Harun, pria berusia 78 tahun yang menderita Parkinson. Elara menepuk bahu Pak Harun dengan lembut, lalu berjalan pergi sambil tersenyum.


Pak Budi menghampiri pintu kamar itu. “Bagaimana kabarnya, Pak?” tanyanya.


Pak Harun mengangguk lemah. “Tadi Mbak Elara kasih obat... katanya buat bantu tidur.”


Pak Budi mengerutkan dahi. “Bantu tidur? Sekarang masih siang, Pak.”


“Katanya biar badan nggak gemetar terus. Saya nurut aja.”


Pak Budi tersenyum tipis dan berpamitan, tapi dalam hatinya, alarm berbunyi. Ia tahu betul dosis obat tidur tidak seharusnya diberikan sembarangan, apalagi pada pasien Parkinson tanpa instruksi dokter.


Sore hari, Elara berada di taman belakang, membantu Bu Rini menyiram bunga. Cahaya matahari menembus daun, membuat wajahnya terlihat hangat. Ia tertawa ringan saat Bu Rini bercerita tentang masa mudanya.


Dari jauh, Mira memotret pemandangan itu dengan ponselnya. “Lar, senyummu manis banget di sini! Nanti aku upload di grup panti, ya.”


“Boleh, tapi jangan bikin aku malu,” jawab Elara sambil tertawa.


Gambar itu, pikir Pak Budi yang melihat dari balkon lantai dua, akan semakin memperkuat citra Elara di mata semua orang: perawat muda yang ramah, penyayang, dan penuh perhatian. Sebuah tameng sempurna untuk menutupi hal-hal yang mungkin ia lakukan di balik layar.


Malam itu, Pak Budi memutuskan untuk mencoba langkah kecil. Ia menunggu sampai Elara pergi dari ruang obat, lalu memeriksa laci-laci. Semua botol rapi, dosis tercatat sesuai jadwal. Tapi ia menemukan sesuatu: sebuah gelas plastik sekali pakai di tempat sampah, masih tercium samar bau obat penenang. Gelas itu memang bisa saja milik siapa saja, tapi instingnya berkata ini bukan kebetulan.


Sayangnya, tanpa tes laboratorium, gelas itu hanya sampah biasa.


Sementara itu, Elara di kamarnya sedang menulis di buku catatannya lagi.


Pengamatan: Pak Budi mulai memperhatikan. Sering muncul di sekitar saya. Kemungkinan mencari celah. Perlu strategi membalik keadaan.


Ia menutup buku itu, lalu tersenyum. Tidak ada yang lebih mudah daripada merusak reputasi seseorang dari dalam. Ia hanya perlu memanfaatkan momen yang tepat.


Kesempatan itu datang lebih cepat dari yang ia duga. Dua hari kemudian, seorang penghuni, Bu Wati, mengeluh pada perawat lain bahwa ia mendapat obat yang salah dan merasa pusing sepanjang pagi. Elara, yang berada di dekat situ, langsung mendekat.


“Aduh, Ibu, siapa yang kasih obatnya?” tanyanya dengan nada khawatir.


“Yang kasih... rasanya Pak Budi,” jawab Bu Wati ragu.


Elara menunduk sedikit, seolah menahan ekspresi prihatin. “Mungkin Ibu salah ingat, tapi nanti kita pastikan ya. Kesehatan Ibu penting.”


Tak perlu waktu lama, gosip mulai beredar di antara staf. Walaupun belum tentu benar, beberapa mulai melihat Pak Budi dengan tatapan berbeda. Elara tidak pernah menuduh secara langsung, tapi justru itulah yang membuatnya aman—ia hanya memposisikan diri sebagai orang yang peduli.


Pak Budi mendengar kabar itu sore harinya. Wajahnya tegang. Ia tahu itu bukan kebetulan. Elara sedang bermain dengan reputasinya, pelan-pelan, tanpa meninggalkan jejak.


Ia memutuskan untuk lebih berhati-hati. Mulai hari itu, ia mencatat setiap interaksinya dengan penghuni dan obat yang ia berikan, lengkap dengan waktu dan saksi. Jika Elara ingin menjatuhkannya, ia akan butuh lebih dari sekadar gosip.


Di sisi lain, Elara mulai mengarahkan perhatiannya kembali pada Pak Harun. Ia tahu penyakit Parkinson membuatnya rentan, dan ia bisa memanipulasi dosis obat untuk menciptakan efek yang terlihat “alami”. Tapi kali ini, ia harus lebih hati-hati—Pak Budi jelas sudah curiga.


Ia mulai membangun kepercayaan Pak Harun. Menemani sore-sorenya di teras, membacakan koran, bahkan membawakan kue kecil. Setiap kali, ia memastikan ada orang lain yang melihat, supaya keakrabannya tidak dianggap aneh.


Di dalam dirinya, rencana sudah mulai terbentuk. Perlahan, langkah demi langkah, seperti menutup perangkap yang sudah ia pasang.


Malam itu, hujan turun deras. Di luar, halaman panti basah dan berkilat oleh cahaya lampu taman. Elara berdiri di jendela kamarnya, menatap rintik hujan yang memantul di kaca. Ia memikirkan dua hal: bagaimana menyingkirkan Pak Budi dari jalannya, dan bagaimana memastikan kematian berikutnya terlihat sama “alami”-nya seperti yang pertama.


Di koridor luar, langkah kaki terdengar. Pak Budi sedang melakukan patroli malam, memeriksa setiap kamar. Elara mendengarnya berhenti di depan pintunya sebentar, lalu berjalan lagi. Senyum tipis muncul di bibirnya.

Permainan belum berakhir. Sebenarnya, baru saja dimulai.

Memperlihatkan ketegangan yang meningkat antara Elara dan Pak Budi Menunjukkan bagaimana Elara mulai mengatur rencana terhadap target barunya (Pak Harun) Memperdalam permainan manipulasi dan psikologis keduanya Mengakhiri bab dengan kematian Pak Harun yang tampak “alami” namun penuh misteri


Sejak insiden gosip tentang obat yang salah untuk Bu Wati, suasana di Panti Jompo Senja Abadi tak lagi terasa sama bagi Pak Budi. Beberapa staf mulai menghindarinya, atau setidaknya berbicara lebih pelan ketika ia lewat. Ia tahu siapa dalangnya. Elara mungkin tidak pernah mengucapkan tuduhan secara langsung, tapi bibit keraguan yang ia tanam tumbuh cepat di hati orang-orang.


Pak Budi tidak menyerah. Malam demi malam ia menulis catatan detail: siapa yang ia temui, obat apa yang ia berikan, jam berapa, bahkan siapa saksi di sekitarnya. Ia tahu, melawan seseorang seperti Elara berarti ia harus punya lebih dari sekadar keyakinan—ia butuh bukti yang tak terbantahkan.


Sementara itu, Elara tetap menjalankan perannya dengan sempurna. Di mata semua orang, ia masih perawat teladan: selalu tepat waktu, telaten, dan penuh senyum. Hanya Pak Budi yang melihat sisi lain di balik topeng itu.


Di ruang makan sore itu, Elara duduk bersama Pak Harun, membantunya memotong roti. “Pelan-pelan saja, Pak. Jangan terburu-buru, nanti malah keselek,” ucapnya lembut.


Pak Harun tersenyum samar. “Kalau ada kamu, saya tenang.”


Dari seberang ruangan, Pak Budi mengamati. Ia sudah memperhatikan pola yang sama: Elara selalu memilih korban yang lemah secara fisik dan mental, lalu membangun hubungan akrab sebelum sesuatu terjadi.


Ia memutuskan untuk menambah kewaspadaan pada Pak Harun.


Malamnya, Pak Budi sengaja memeriksa jadwal obat Pak Harun di komputer panti. Dosisnya jelas, tidak boleh ada penambahan tanpa perintah dokter. Ia mencatatnya di buku kecil yang selalu ia bawa.


Keesokan paginya, ia berpapasan dengan Elara di koridor. Elara tersenyum manis.


“Pagi, Pak Budi. Jaga malam tadi? Capek, ya?” tanyanya.


“Tidak juga,” jawab Pak Budi singkat.


Elara menatapnya sejenak, lalu melangkah pergi. Senyum di bibirnya seakan berkata: Aku tahu kamu mengawasiku, tapi itu tidak akan menolongmu.


Hari-hari berikutnya, Elara semakin sering terlihat bersama Pak Harun. Ia membacakan berita, mengajak berjalan-jalan singkat di taman, bahkan membawakan termos kecil berisi teh hangat. Semua itu membuat staf lain semakin yakin bahwa Elara adalah malaikat bagi para penghuni.


Namun Pak Budi melihatnya berbeda. Setiap kali Elara memberi minum atau makanan pada Pak Harun, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Masalahnya, ia tidak bisa terus-menerus berada di dekat mereka.


Suatu sore, Pak Budi memutuskan untuk menguji Elara. Ia sengaja muncul di kamar Pak Harun saat Elara baru saja menyelesaikan pemberian obat sore.


“Bagaimana kabarnya, Pak Harun?” tanya Pak Budi.


“Baik... sedikit mengantuk,” jawab Pak Harun sambil memegang perutnya.


Pak Budi melirik gelas di meja. Airnya berwarna agak keruh, seperti ada sisa bubuk yang tidak larut. Ia ingin membawanya ke laboratorium, tapi tahu itu mustahil tanpa menarik perhatian.


“Kalau mengantuk, sebaiknya istirahat saja, Pak,” ucapnya, lalu keluar, namun pikirannya berputar cepat.


Di sisi lain, Elara menyadari bahwa kehadiran Pak Budi di kamar itu tadi bukan kebetulan. Ia tahu permainan ini mulai memanas. Tapi ia tidak khawatir—justru ini membuatnya lebih bersemangat.


Malamnya, ia menulis di buku catatan:


Langkah berikut: Eksekusi pada momen yang tidak terduga. Hindari pola yang bisa dikenali. Pastikan alibi kuat. Pastikan Pak Budi berada di posisi yang salah pada waktu yang tepat.


Dua hari kemudian, rencana itu mulai berjalan. Hujan gerimis membasahi halaman panti. Sebagian besar penghuni memilih tinggal di kamar. Elara mengajak Pak Harun duduk di dekat jendela besar ruang rekreasi.


“Saya bawakan minuman hangat, Pak. Teh herbal, bikin tidur lebih nyenyak,” katanya sambil menuang dari termos.


Pak Harun menerima dengan senyum. “Terima kasih, Nak.”


Di sudut ruangan, Mira sedang merapikan majalah. “Baik banget, Lar,” komentarnya.


Elara tersenyum pada Mira. “Ah, biasa saja. Kasihan kalau sendirian.”


Ia tahu Mira adalah saksi yang tepat: orang yang polos dan tidak akan pernah menduga niat buruk.


Pak Budi baru masuk ke ruang rekreasi setelah Elara pergi. Ia melihat Pak Harun setengah tertidur di kursi, gelas teh di meja masih setengah penuh. “Pak Harun, tidak apa-apa?” tanyanya.


“Pusing sedikit... tapi enak hangatnya,” jawab Pak Harun pelan.


Pak Budi menatapnya lekat, lalu duduk sebentar menemani. Dalam hati, ia mulai khawatir bahwa waktu yang ia punya semakin sedikit.


Malam itu, sesuatu terjadi. Sekitar pukul 11, bel darurat dari kamar Pak Harun berbunyi. Pak Budi berlari ke sana, mendapati Pak Harun tergeletak di lantai, napasnya tersengal-sengal.


Dengan cepat ia memanggil bantuan. Elara adalah salah satu yang pertama tiba. Wajahnya penuh kepanikan yang tampak tulus.


“Ya Tuhan, apa yang terjadi?” serunya.


Mereka mencoba pertolongan pertama, tapi tak lama kemudian, Pak Harun dinyatakan meninggal. Dokter jaga menyimpulkan serangan jantung.


Bagi sebagian besar staf, ini hanyalah tragedi yang menimpa pasien tua dengan penyakit kronis. Tapi bagi Pak Budi, ini jelas bukan kebetulan.


Setelah semua tenang, Pak Budi kembali ke ruang obat. Ia memeriksa catatan Pak Harun—semua tampak normal. Tidak ada tanda pemberian obat di luar jadwal. Tapi ia tahu, jika Elara mencampurkan dosis kecil ke dalam teh atau minuman lain, itu tidak akan tercatat.


Di lorong, ia bertemu Elara. Perempuan itu berdiri di dekat jendela, memandang keluar ke halaman yang basah oleh hujan.


“Turut berduka, Pak,” katanya dengan nada lembut. “Kehilangan lagi, ya.”


Pak Budi menatapnya, mencoba membaca apa yang ada di balik mata itu. “Kamu ada di ruang rekreasi sore tadi, kan?”


Elara tersenyum samar. “Iya. Saya temani sebentar. Kenapa, Pak?”


“Tidak. Hanya ingin tahu.”


Mereka saling menatap beberapa detik, lalu Elara berjalan pergi. Langkahnya tenang, tanpa rasa bersalah.


Bagi Pak Budi, tatapan itu seperti peringatan: permainan ini baru saja naik ke tingkat berikutnya.


Memperlihatkan bagaimana Pak Budi akhirnya menemukan catatan Bu Sri yang mengarah ke Elara Usaha Pak Budi untuk meyakinkan manajer panti namun gagal Elara menyadari ancaman itu dan merencanakan langkah untuk menyingkirkan bukti Puncak konflik dengan kebakaran ruang arsip Pak Budi berhasil menyelamatkan catatan penting meski nyaris celaka


Hujan baru saja berhenti ketika Pak Budi masuk ke gudang lama di bagian belakang panti. Gudang itu jarang dikunjungi—penuh dengan tumpukan berkas, kursi roda rusak, dan lemari arsip tua. Bau kertas lembap bercampur dengan debu memenuhi udara. Ia mencari sesuatu yang selama ini menghantuinya: bukti bahwa kematian Ibu Sri tidak wajar.


Tangannya menyapu rak demi rak, memeriksa map yang dilabeli tahun-tahun lama. Sebagian map sudah lapuk, sebagian lain ditempeli catatan kecil dari staf yang sudah lama pensiun. Setelah hampir satu jam, ia menemukan kotak kayu kecil di pojok rak, terkunci tapi kuncinya sudah berkarat. Dengan sedikit tenaga, kunci itu patah, dan tutup kotak pun terbuka.


Di dalamnya ada beberapa foto lama penghuni panti, kartu ucapan, dan sebuah buku tulis lusuh dengan sampul bergambar bunga. Di halaman tengah, ada tulisan tangan yang ia kenali—rapi namun goyah: milik Ibu Sri.


"Perawat perempuan itu memberiku air yang aneh. Rasanya pahit. Setelah itu, kepalaku pusing sekali. Aku ingin bilang pada Pak Budi, tapi dia sedang sibuk. Mungkin besok. Kalau aku lupa, semoga ada yang membaca ini."


Pak Budi merasakan bulu kuduknya berdiri. Ini bukan hanya perasaan atau intuisi—ini adalah pernyataan langsung dari korban. Meski mungkin sebagian orang akan menganggap ini halusinasi akibat demensia, baginya ini adalah kunci.


Ia membawa buku itu ke ruang istirahat staf, menyimpannya di tas. Sepanjang sore, ia gelisah, memikirkan cara terbaik untuk melaporkan ini. Pilihan pertama adalah berbicara langsung dengan manajer panti, Bu Ratna. Tapi ia tahu Bu Ratna cenderung percaya pada staf yang tampak rajin dan penuh perhatian—dan Elara adalah definisi dari itu.


Tetap saja, ia tak punya pilihan. Sore itu ia mengetuk pintu ruang manajer. Bu Ratna, wanita paruh baya dengan kacamata tebal, mempersilakannya masuk.


“Ada apa, Pak Budi? Sepertinya penting,” tanya Bu Ratna.


Pak Budi meletakkan buku itu di meja. “Saya menemukan catatan ini di gudang arsip lama. Tulisannya milik almarhumah Ibu Sri. Mohon dibaca.”


Bu Ratna membuka halaman yang ditandai. Matanya menelusuri tulisan itu. Alisnya sedikit terangkat, tapi nada suaranya tetap datar. “Pak Budi… ini hanya catatan dari pasien dengan demensia. Kita tidak bisa menganggapnya sebagai bukti.”


“Bu, ini jelas menunjukkan bahwa seseorang memberinya minuman aneh sebelum ia meninggal. Dan saya—”


“Pak Budi, saya tahu Anda masih merasa terguncang dengan kematian beberapa penghuni belakangan ini. Tapi menuduh tanpa bukti konkret bisa merusak reputasi kita. Apalagi… Anda tahu sendiri, Elara adalah perawat yang sangat berdedikasi.”


Nada itu membuat darah Pak Budi mendidih. “Justru itu masalahnya, Bu. Semua orang percaya padanya. Dia tahu cara membuat orang berpikir dia malaikat.”


Bu Ratna menghela napas panjang. “Saya minta Anda berhenti memikirkan hal ini. Fokus saja pada pekerjaan. Jangan membuat masalah yang tidak perlu.”


Pak Budi menggertakkan gigi, tapi ia tahu tak ada gunanya memaksa. Ia hanya mengangguk pelan dan keluar, membawa kembali buku itu.


Namun ia tidak menyadari bahwa dari balik pintu kantor perawat, Elara memperhatikan. Ia sudah tahu sejak siang tadi bahwa Pak Budi masuk ke gudang arsip. Instingnya mengatakan bahwa ia menemukan sesuatu yang bisa membahayakannya.


Malam itu, di kamarnya, Elara duduk di meja kecil sambil menulis daftar rencana. Pikirannya tajam, dingin, dan tanpa rasa bersalah.


Target: Buku catatan. Lokasi terakhir terlihat: tas Pak Budi. Strategi: Alihkan perhatian → ambil → musnahkan. Metode musnah: kebakaran di ruang arsip, biar terlihat seperti kecelakaan listrik.


Keesokan harinya, Elara memulai langkah pertama. Ia berpura-pura ramah pada Pak Budi di ruang makan, bahkan membawakannya kopi.


“Biar saya yang ambilkan, Pak. Kayaknya Bapak kurang tidur,” ucapnya dengan senyum yang nyaris meyakinkan.


Pak Budi hanya mengangguk singkat. Ia tidak menyentuh kopi itu.


Siang menjelang sore, Elara meminta izin ke ruang arsip dengan alasan mencari dokumen lama untuk laporan. Ia sudah membawa korek api kecil di saku seragam. Di dalam ruangan yang pengap dan penuh kertas itu, ia memeriksa sudut-sudut, memastikan tidak ada kamera tersembunyi.


Ia tahu kebakaran harus terlihat wajar. Maka ia menyalakan korek di dekat kabel ekstensi yang kusut, lalu menaruh kertas-kertas tua di sekitarnya. Api kecil mulai menjilat sudut kertas, lalu merambat. Bau terbakar segera memenuhi udara.


Elara meninggalkan ruangan dengan tenang, menutup pintu di belakangnya.


Alarm kebakaran berbunyi nyaring. Staf berlarian panik, beberapa mencoba memadamkan api dengan APAR. Pak Budi yang berada di dekat lorong belakang langsung berlari menuju ruang arsip.


Asap tebal menyambutnya. Di antara batuknya, ia melihat api sudah merayap ke rak tengah. Ia tahu catatan Bu Sri bisa saja ada di sini jika ia belum sempat membawanya pulang.


Menahan napas, ia masuk. Matanya mencari-cari di antara kabut abu. Di rak sebelah kanan, ia melihat map kayu kecil yang ia kenali. Dengan cepat ia menariknya dan memasukkannya ke dalam jaket. Panas mulai membakar kulitnya.


“Pak Budi! Keluar! Cepat!” teriak salah satu staf.


Ia berlari keluar, batuk keras, matanya berair. Beberapa staf membantu memadamkan sisa api. Untungnya, kebakaran tidak merembet ke bagian lain, tapi sebagian besar dokumen di ruangan itu hangus.


Di kejauhan, Elara berdiri di kerumunan, wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut dan prihatin. Namun di dalam, ia tahu rencananya hampir berhasil. Ia hanya tidak memperhitungkan bahwa Pak Budi akan nekat masuk menyelamatkan sesuatu.


Saat ambulans datang untuk memeriksa korban asap, Pak Budi duduk di bangku lorong, memegang jaketnya erat-erat. Di dalamnya, buku catatan Bu Sri masih utuh, meski sampulnya agak gosong.


Ia menatap Elara yang sibuk membantu mengatur penghuni kembali ke kamar. Mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata, tapi tatapan itu adalah janji: permainan ini akan berakhir, satu cara atau lainnya.

Memperlihatkan bagaimana Pak Budi menggunakan catatan Bu Sri untuk menekan pihak berwenang Proses Elara ditangkap, perlawanan pengacaranya, dan pengadilan singkat Hukuman yang relatif ringan karena kurang bukti Kehidupan Elara di penjara dan bagaimana ia merencanakan langkah berikutnya Elara bebas, mengubah identitas, dan melamar di panti jompo baru — akhir menggantung


Hujan gerimis membasahi halaman panti saat Pak Budi berdiri di depan pintu mobil polisi, catatan Bu Sri di tangannya. Tiga hari berlalu sejak kebakaran, dan selama itu ia berulang kali mencoba meyakinkan Bu Ratna—tetap saja, manajer itu bersikeras bahwa tidak ada alasan untuk menuduh Elara.


Pak Budi akhirnya memutuskan langkah terakhir: melaporkan langsung ke pihak berwenang. Ia menghubungi seorang kenalan lamanya di kepolisian, seorang penyidik bernama Andri, yang dulu pernah bertugas menyelidiki penipuan di panti lain.


“Budi, kalau ini cuma perasaan, aku nggak bisa bantu banyak,” kata Andri lewat telepon.


“Ini bukan cuma perasaan. Aku punya catatan korban sebelum meninggal. Dia menulis bahwa seorang perawat memberinya minuman aneh. Dan aku punya alasan kuat untuk percaya bahwa perawat itu membunuh orang lain juga.”


Suara di ujung telepon terdiam sejenak. “Oke. Bawa catatannya. Kita bicara langsung.”


Di ruang penyidik, Pak Budi menyerahkan buku lusuh itu. Andri membacanya dengan seksama, matanya menyipit.


“Kalau ini benar, ini serius. Tapi catatan ini saja nggak cukup. Kita butuh motif, kesempatan, dan saksi,” ucap Andri.


Pak Budi menghela napas. “Aku tahu. Tapi setidaknya, ini bisa jadi awal. Aku yakin Elara akan berbuat lagi kalau nggak dihentikan.”


Penyidik itu mengangguk. “Baiklah. Kami akan mulai penyelidikan diam-diam.”


Dua minggu kemudian, hasil penyelidikan awal keluar. Polisi menemukan bahwa Elara memang sering berada sendirian di kamar korban beberapa jam sebelum kematian mereka. Laporan medis menunjukkan adanya anomali kecil pada kadar obat dalam tubuh pasien-pasien tersebut, tapi dokter menganggapnya tidak signifikan.


Yang membuat polisi semakin curiga adalah rekaman CCTV internal yang menunjukkan Elara keluar dari ruang arsip hanya beberapa menit sebelum kebakaran terjadi.


Itu cukup bagi mereka untuk bertindak.


Suatu pagi, ketika Elara sedang membagikan obat di lorong, dua polisi masuk bersama Andri.


“Saudari Elara, Anda kami minta ikut ke kantor untuk dimintai keterangan,” kata Andri dengan nada tegas.


Elara menatap mereka sejenak, lalu tersenyum samar. “Boleh saya tahu alasannya?”


“Nanti akan dijelaskan di kantor. Tolong letakkan obatnya dan ikut kami.”


Penghuni panti menatap, beberapa bertanya-tanya, sebagian lain tampak bingung. Elara berjalan dengan langkah tenang, seolah ini hanyalah formalitas biasa.


Interogasi berlangsung berjam-jam. Elara menolak semua tuduhan. “Kematian para lansia itu wajar, mereka memang sakit parah. Dan kebakaran itu… saya bahkan tidak tahu apa penyebabnya. Mungkin korsleting.”


Namun polisi memiliki kombinasi bukti: catatan Bu Sri, kesaksian Pak Budi, rekaman CCTV, dan laporan medis. Cukup untuk menahan Elara sementara.


Kasus ini cepat menarik perhatian media lokal. Surat kabar menulis tentang “Perawat Malaikat atau Pembunuh Bersarung Putih?”. Foto Elara yang sedang tersenyum diambil dari brosur panti menghiasi halaman depan.


Pengacaranya, seorang pria licik bernama Raka, menggelar konferensi pers. “Klien saya adalah korban fitnah. Bukti yang diajukan tidak kuat, hanya catatan dari pasien demensia dan asumsi-asumsi yang belum teruji. Kami yakin pengadilan akan melihat kebenaran.”


Persidangan berlangsung selama beberapa bulan. Di ruang sidang, Pak Budi duduk di bangku saksi, matanya mengunci pada Elara. Ia menceritakan dengan detail semua kejadian sejak kematian Ibu Sri.


Raka dengan gesit mencoba meruntuhkan kesaksiannya. “Pak Budi, apakah Anda punya bukti ilmiah bahwa air yang diberikan terdakwa mengandung zat berbahaya?”


Pak Budi terdiam sesaat. “Tidak, tapi—”


“Jadi semua ini berdasarkan perasaan Anda dan catatan seorang pasien dengan demensia?”


Hakim mencatat dengan wajah tak terbaca.


Akhirnya, karena minimnya bukti fisik dan sebagian besar saksi bersifat tidak langsung, hakim memutuskan bahwa Elara bersalah atas kelalaian medis yang menyebabkan kematian, tetapi tidak cukup bukti untuk pembunuhan berencana.


Vonis: hukuman penjara 4 tahun.


Pak Budi merasa kecewa, tapi ia tahu setidaknya Elara tidak bebas sepenuhnya. Elara sendiri hanya menunduk dan tersenyum tipis saat vonis dibacakan.


Di penjara, Elara menjadi pusat perhatian. Dengan pesona yang sama, ia menarik simpati beberapa sipir dan narapidana lain. Ia menawarkan bantuan, mendengarkan keluhan mereka, dan membuat dirinya disukai. Perlahan, ia membangun jaringan kecil—bukan untuk melarikan diri, tapi untuk memastikan bahwa ketika ia bebas nanti, ia punya koneksi.


Malam-malam di sel, ia memikirkan rencana baru. Ia tidak pernah menyesal, hanya menyesuaikan strategi. “Kesalahan utamaku cuma satu,” bisiknya pada dirinya sendiri, “terlalu terburu-buru.”


Empat tahun kemudian, Elara keluar dari gerbang penjara. Ia sudah mengubah penampilannya: rambut dipotong pendek, diwarnai gelap, kacamata besar, dan gaya berpakaian sederhana. Ia tidak lagi terlihat seperti perawat glamor yang dulu dikenal.


Dengan nama baru, “Larasati”, ia pindah ke kota lain. Ia menyewa kamar di rumah kos kecil, lalu mulai mencari pekerjaan.


Suatu pagi, ia membaca iklan lowongan di koran: “Panti Jompo Harapan Baru membutuhkan perawat berpengalaman. Fasilitas lengkap, gaji menarik.”


Senyum samar muncul di wajahnya. Ia menyiapkan lamaran, lengkap dengan riwayat kerja yang dimanipulasi.


Di wawancara, manajer panti terkesan dengan pengalamannya merawat pasien lansia. Tidak ada yang tahu tentang masa lalunya.


“Kapan Anda bisa mulai?” tanya manajer.


“Segera,” jawabnya, dengan nada hangat yang sama seperti dulu.


Sore itu, Elara berdiri di gerbang panti baru. Matahari tenggelam di balik bangunan, menciptakan bayangan panjang di tanah. Ia menatap ke dalam, matanya memantulkan sesuatu yang dingin namun nyaris tak terlihat.


Mungkin ini awal yang benar-benar baru. Atau mungkin… hanya bab berikutnya dari kisah yang belum selesai.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)