Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,395
Nada Berdarah
Horor

Bab 1 – Pemutar Lagu, Pemanggil Luka

Bayu, seorang pemuda yang dibentuk oleh gema masa lalu, hidup dalam bayangan obsesi yang tak terlihat. Bukan harta atau kekuasaan, melainkan sejarah kelam Indonesia, khususnya tahun 1965, yang menariknya seperti magnet. Sejak kecil, ia dibisiki cerita tentang kakeknya, seorang pria yang lenyap ditelan kegelapan tahun itu, meninggalkan lubang menganga di hati keluarganya dan pertanyaan tak berjawab yang menghantui Bayu hingga dewasa. Ia percaya, dengan menggali masa lalu, ia mungkin menemukan jejak kakeknya, atau setidaknya, memahami kebisuan yang menyelimuti nasibnya.

Setiap akhir pekan, Bayu menjelajahi pasar loak, sebuah labirin waktu yang dipenuhi benda-benda usang, masing-masing menyimpan cerita bisu. Ia merasakan energi aneh dari barang-barang tua, seolah mereka adalah kapsul waktu yang menunggu untuk dibuka. Di antara tumpukan perkakas karat dan buku-buku lusuh, matanya terpaku pada sebuah pemutar piringan hitam antik. Kayunya yang kusam, jarumnya yang berkarat, dan tuasnya yang dingin seolah memanggilnya. Di samping pemutar itu, tergeletak satu piringan hitam tanpa sampul, hanya sebuah label kertas lusuh bertuliskan tangan: "Suara Nusantara 1940–1965". Angka-angka itu, terutama "1965", sontak membuat jantung Bayu berdesir. Ini dia, mungkin ini petunjuk yang selama ini ia cari.

Pemilik toko, seorang lelaki tua dengan mata cekung dan aura misterius, memperhatikan ketertarikan Bayu. "Nak, benda ini," katanya, suaranya serak dan perlahan, menunjuk pemutar dan piringan itu, "tidak sembarangan. Ia punya jiwanya sendiri. Ia tidak menyukai kebohongan sejarah." Matanya menatap Bayu tajam, seolah menembus relung jiwanya. "Kalau kau berniat membelinya hanya untuk sekadar koleksi, lupakan. Ia akan menunjukkan padamu apa yang benar-benar terjadi. Bersiaplah." Bayu mengangguk, jantungnya berdebar kencang, antara rasa takut dan antisipasi. Peringatan itu justru semakin menguatkan keyakinannya bahwa ia telah menemukan sesuatu yang luar biasa. Ia membayar harga yang diminta, yang sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan potensi rahasia yang mungkin disimpannya.

Sesampainya di rumah, Bayu meletakkan pemutar piringan hitam itu di meja kerjanya, di samping tumpukan buku sejarah dan peta usang. Ruangan itu dipenuhi aroma kertas tua dan kopi dingin, mencerminkan dunianya yang tenggelam dalam masa lalu. Ia mengamati pemutar itu, membersihkan debu yang menempel, merasakan tekstur kayunya yang lapuk di bawah ujung jarinya. Ada aura mistis yang terpancar darinya, seolah benda itu bernapas, menunggu saatnya untuk hidup kembali.

Piringan hitam "Suara Nusantara 1940–1965" kini ada di tangannya. Ia membalik-balik piringan itu, mencari goresan atau cacat, tetapi permukaannya tampak mulus, seolah tak pernah disentuh. Kenapa tahun 1965? Apakah ini kebetulan, atau takdir? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya, menambah lapisan misteri pada temuannya. Ia teringat kata-kata penjual: "Ia tidak menyukai kebohongan sejarah." Apa artinya itu? Apakah ada kebenaran tersembunyi yang piringan ini pegang?

Malam itu, Bayu duduk di kursinya, ruangan hanya diterangi oleh lampu meja yang remang-remang. Ia mengambil piringan itu dengan hati-hati, tangannya sedikit gemetar. Ia tahu ini bukan sekadar piringan biasa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar rekaman suara. Ini adalah portal, atau setidaknya ia merasakannya demikian. Dengan napas tertahan, ia menempatkan piringan itu di atas pemutar, jarumnya diletakkan dengan presisi. Suara gesekan halus terdengar, pertanda jarum telah menyentuh alur rekaman.

Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang mengisi ruangan, kecuali suara putaran piringan yang nyaris tak terdengar. Bayu menahan napas, matanya terpaku pada piringan yang berputar perlahan. Ia merasakan denyutan aneh di udara, seolah ada sesuatu yang mulai bergerak, yang mulai bergeser. Ada harapan yang tumbuh di dalam dirinya, harapan untuk menemukan secercah cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti nasib kakeknya. Ia tidak tahu apa yang akan datang, tetapi ia tahu bahwa ia telah melangkah melewati ambang batas, memasuki sebuah dimensi baru yang menghubungkannya dengan masa lalu yang ia kejar mati-matian. Aroma tanah basah dan asap kayu bakar yang samar mulai merayap di hidungnya, padahal jendela tertutup rapat. Rambut-rambut di lengannya merinding. Ia belum memutar tombol "play" sepenuhnya. Ia hanya meletakkan jarumnya. Tapi sensasi ini, sensasi yang tak bisa dijelaskan, sudah mulai merasukinya.

Bayu menekan tombol 'play' dengan mantap. Sebuah keheningan singkat, lalu sebuah denting piano usang mengalun, melodi yang melankolis namun kuat, seolah membawa beban sejarah yang tak terhingga. Kemudian, suara seorang perempuan mulai menyanyi, suaranya bening namun penuh kesedihan, melantunkan lirik dalam bahasa yang kuno, entah tentang apa. Ia tidak mengerti kata-katanya, tetapi emosi yang terpancar dari suara itu sungguh nyata, menusuk jauh ke dalam hatinya. Ia merasakan dingin yang menusuk tulang, meskipun suhu ruangan tidak berubah. Sebuah firasat buruk mulai menghampirinya, bercampur dengan rasa penasaran yang tak tertahankan. Ini bukan hanya musik. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.

Bab 2 – Lagu Pertama: Melati di Tapal Batas

Begitu suara perempuan itu mencapai puncak melodi, sebuah sensasi aneh melanda Bayu. Bukan hanya musik yang memenuhi telinganya, tetapi juga gambaran visual yang tiba-tiba menyeruak. Ruangan di sekitarnya menghilang, digantikan oleh pemandangan yang asing namun terasa nyata. Ia tidak lagi duduk di kursinya, melainkan berdiri di tengah kamp kerja paksa yang brutal, di bawah terik matahari yang menyengat. Aroma keringat, darah, dan tanah basah menusuk indranya. Ia melihat barisan pria dan wanita dengan tubuh kurus kering, mata mereka cekung, mengenakan pakaian compang-camping, dipaksa bekerja di ladang lumpur oleh tentara Jepang yang berteriak-teriak kasar. Wajah-wajah mereka memancarkan keputusasaan dan kelelahan yang luar biasa.

Bayu mencoba menggerakkan tangannya, ingin menyentuh tanah, merasakan teksturnya. Namun, tangannya menembus udara, seolah ia adalah hantu. Ia mencoba berbicara, berteriak, memperingatkan para pekerja yang disiksa itu, tetapi suaranya tak keluar. Ia hanyalah pengamat, tak terlihat dan tak terdengar, terperangkap dalam sebuah film horor yang diputar di hadapannya. Ia merasakan panasnya matahari, debu yang menusuk hidung, bahkan bau anyir darah yang samar-samar. Ini bukan mimpi, ia tahu itu. Realitas telah bergeser, dan ia terlempar ke masa lalu, ke era penjajahan Jepang yang kejam.

Ia menyaksikan seorang wanita muda, mungkin baru berusia awal dua puluhan, jatuh tersungkur di lumpur, cengkeraman cangkulnya terlepas. Seorang tentara Jepang dengan sepatu bot kasar mendekat, menendang tubuh wanita itu dengan brutal. Bayu merasakan amarah membuncah di dadanya, ia ingin menolong, ingin menghentikan kekejaman itu, tetapi tubuhnya tidak patuh. Ia tak bisa berinteraksi, tak bisa mengubah apa pun. Ia hanya bisa melihat, menjadi saksi bisu atas penderitaan yang tak terhingga. Wanita itu, dengan sisa-sisa kekuatannya, mencoba bangkit, mata lelahnya menatap kosong ke langit. Di rambutnya terselip bunga melati yang layu, sebuah simbol kecantikan yang kini tercoreng oleh kengerian.

Waktu terasa sangat panjang. Detik-detik berubah menjadi menit, menit menjadi jam, dan Bayu terpaksa menyaksikan setiap cambukan, setiap teriakan, setiap napas putus asa. Ia melihat para pekerja, sebagian besar pribumi, dipaksa membangun jalan, mengangkut batu, menggali parit, semuanya di bawah ancaman bayonet dan laras senapan. Mereka adalah tulang punggung yang dihancurkan, demi ambisi imperialis yang brutal. Pemandangan itu mengoyak jiwanya, meninggalkan bekas luka yang mendalam. Ia merasa impoten, tak berdaya di hadapan kengerian sejarah yang terulang di depannya.

Tiba-tiba, suara piano dan nyanyian perempuan itu memudar, semakin jauh, seolah ditarik mundur oleh sebuah kekuatan tak terlihat. Pemandangan kamp kerja paksa mulai berguncang, kabur, lalu lenyap seolah ditarik ke dalam pusaran air. Bayu merasakan tarikan kuat, seperti tersedot ke belakang. Dalam hitungan detik, ia kembali ke kamarnya, duduk di kursinya, dengan pemutar piringan hitam masih berputar perlahan. Piringan itu telah berhenti mengeluarkan suara, jarumnya terangkat dari alur.

Napas Bayu terengah-engah, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Keringat dingin membanjiri dahinya. Ia menyentuh wajahnya, meyakinkan diri bahwa ia benar-benar kembali. Rasanya seperti baru saja lari maraton, seluruh tubuhnya terasa kelelahan luar biasa, otot-ototnya kaku dan nyeri. Lebih mengejutkan lagi, ia merasakan sesuatu yang basah dan dingin di kakinya. Ia menunduk dan terperanjat. Bajunya, terutama di bagian lutut dan celananya, basah oleh lumpur, dan ada sedikit serpihan daun kering menempel di sana. Padahal, ia tak ke mana-mana. Ia hanya duduk di kursinya.

Lumpur itu, aroma tanah basah yang kini menempel di bajunya, adalah bukti tak terbantahkan. Ia benar-benar ada di sana, di kamp kerja paksa itu. Sensasi itu, trauma yang ia saksikan, semuanya nyata. Ini bukan halusinasi, bukan mimpi buruk. Piringan hitam itu, "Suara Nusantara 1940–1965", adalah sebuah kunci, sebuah gerbang menuju masa lalu. Dan ia, Bayu, telah melangkah melewatinya.

Selama beberapa menit, Bayu hanya bisa duduk terpaku, menatap lumpur di bajunya. Pikirannya kalut, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia telah melihat, telah merasakan, telah menjadi saksi. Tetapi bagaimana? Dan mengapa? Penjual itu memperingatkannya, "Ia tidak menyukai kebohongan sejarah." Apakah ini cara piringan itu mengungkapkan kebenaran? Dengan memaksanya melihatnya secara langsung?

Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa lemas. Ia berjalan ke cermin dan menatap pantulan dirinya. Mata merah, wajah pucat, dan ekspresi syok yang jelas terlihat. Ia menyentuh lumpur di bajunya, menciumnya. Aroma tanah basah itu masih kuat. Ia merasakan hawa dingin yang menyelimuti kamarnya, seolah sisa-sisa aura masa lalu masih bergentayangan. Ia tahu ini baru permulaan. Lagu pertama telah membukakan matanya pada penderitaan di era penjajahan Jepang. Apa yang akan ditunjukkan oleh lagu-lagu berikutnya dari piringan misterius ini? Perasaan ngeri bercampur dengan dorongan untuk terus mencari kebenaran, untuk memahami takdir kakeknya, mulai merasukinya. Ia tahu, dari titik ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Bab 3 – Suara dari Masa Agresi

Meski tubuhnya masih terasa lelah dan jiwanya terguncang, rasa penasaran Bayu mengalahkan ketakutannya. Pengalaman di Bab 2, dengan lumpur di bajunya sebagai bukti nyata, telah membakar keinginannya untuk memahami fenomena pemutar piringan hitam itu. Ia membersihkan bajunya, namun aroma lumpur dan kenangan kamp kerja paksa itu seolah membekas di kulitnya. Malam berikutnya, dengan hati-hati yang lebih besar, Bayu kembali ke pemutar piringan. Ia membolak-balik piringan hitam "Suara Nusantara 1940–1965" sekali lagi, mencari tanda atau petunjuk. Ia melihat guratan tipis yang memisahkan setiap trek lagu, seolah itu adalah penanda babak-babak dalam sebuah buku yang mengerikan.

Dengan napas tertahan, ia kembali meletakkan jarum di atas piringan, kali ini di trek kedua. Sebuah alunan musik mars yang perlahan namun penuh ketegangan mulai memenuhi ruangan. Berbeda dengan melodi melankolis sebelumnya, lagu ini terasa lebih agresif, lebih mengancam. Kemudian, diselingi oleh suara tembakan dan teriakan samar, Bayu merasakan sensasi yang sama seperti sebelumnya: tarikan kuat yang tiba-tiba.

Dalam hitungan detik, ia terlempar lagi. Kali ini, ia berada di tengah suasana chaos agresi militer Belanda tahun 1947. Pemandangan di sekitarnya adalah sebuah desa yang terbakar, asap hitam mengepul ke langit, mewarnai senja dengan rona merah darah. Suara tembakan senapan otomatis memekakkan telinga, diselingi oleh jeritan kesakitan dan tangisan pilu. Ia melihat rumah-rumah yang hancur, puing-puing berserakan, dan mayat-mayat yang tergeletak di jalanan. Aroma mesiu, darah, dan rumah yang terbakar memenuhi udara, mencekik paru-parunya.

Bayu berdiri di tengah kekacauan itu, sekali lagi sebagai pengamat tak terlihat. Ia melihat penyiksaan terhadap para pejuang dan warga sipil. Tentara Belanda dengan seragam hijaunya menendang, memukul, dan menyeret orang-orang yang tak berdaya. Wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan dan keputusasaan. Seorang pejuang muda dengan baju compang-camping diseret paksa, dipukuli dengan popor senapan hingga tak sadarkan diri. Bayu merasakan getaran amarah dan kepedihan yang luar biasa. Ia mengepalkan tangannya, ingin campur tangan, ingin menghentikan kekejaman itu, tetapi ia tetap tak berdaya. Tubuhnya tembus pandang, seolah ia hanya bayangan.

Di tengah kekacauan itu, Bayu melihat seorang anak kecil, mungkin berusia sekitar lima atau enam tahun, berlari sendirian di antara reruntuhan, menangis tersedu-sedu mencari ibunya. Suara tangisannya yang memilukan menusuk hati Bayu. Anak itu nyaris tertabrak jeep militer. Tanpa berpikir panjang, Bayu mencoba meraih tangan anak itu, menariknya ke tempat aman. Namun, seperti yang ia alami sebelumnya, tubuhnya menembus realitas seperti bayangan. Tangannya hanya melewati tubuh mungil anak itu, tanpa bisa menyentuhnya, tanpa bisa menariknya. Ia merasakan kekecewaan yang mendalam, frustrasi yang membakar. Ia berada di sana, melihat penderitaan, namun tak bisa berbuat apa-apa. Anak itu terus berlari, tangisannya semakin keras, hingga lenyap di balik kepulan asap.

Pemandangan itu terus berlanjut, menunjukkan kekejaman perang yang tak terbayangkan. Ia melihat penjarahan, pembakaran, dan pembantaian massal yang dilakukan tentara kolonial. Setiap adegan terasa nyata, setiap suara terdengar jelas, setiap rasa sakit yang terpancar dari wajah-wajah korban terasa menular. Bayu merasakan keputusasaan dan kemarahan yang meluap-luap. Ia ingin berteriak, ingin memperingatkan, ingin melakukan sesuatu. Namun, ia hanya bisa menjadi saksi bisu, terperangkap dalam lingkaran waktu yang berulang.

Setelah beberapa waktu yang terasa abadi, alunan mars dan suara tembakan mulai memudar, seolah ditarik kembali ke dalam piringan hitam. Realitas di sekitarnya kembali berguncang, kabur, lalu perlahan kembali ke kamarnya. Bayu kembali duduk di kursinya, napasnya terengah-engah, tubuhnya bergetar hebat. Piringan hitam itu berhenti berputar, jarumnya terangkat.

Ia segera merasakan sakit di tangannya. Ia melihat ke bawah dan terkejut. Tangannya memar, biru keunguan, seolah baru saja terhantam sesuatu yang keras. Dan yang lebih mengagetkan, darah segar mengalir dari hidungnya—ia mimisan. Luka fisik yang nyata. Ini membuktikan bahwa apa yang ia alami bukan hanya ilusi. Interaksinya, atau setidaknya usahanya untuk berinteraksi, telah meninggalkan jejak fisik pada tubuhnya. Ia merasakan sensasi yang sama seperti saat ia mencoba meraih anak kecil itu, seolah ia menabrak dinding tak kasat mata.

Darah yang menetes dari hidungnya ke bajunya adalah bukti nyata lain. Bayu menyeka darah itu dengan punggung tangannya, pikirannya berputar. Ini lebih dari sekadar pengalaman visual. Ini adalah pengalaman yang merasuk hingga ke tulang, hingga ke fisiknya. Jika ia terus mengalami hal seperti ini, ia bisa terluka parah. Tapi di sisi lain, dorongan untuk terus mencari kebenaran semakin kuat. Rasa sakit ini, memar ini, mimisan ini, adalah bukti otentik dari apa yang ia saksikan.

Bayu terduduk diam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Ia melihat ke pemutar piringan hitam, lalu ke tangannya yang memar. Peringatan penjual kembali terngiang di benaknya: "Ia tidak menyukai kebohongan sejarah." Piringan ini tidak hanya memutar lagu, tetapi juga memutar ulang sejarah, memaksanya untuk menjadi bagian dari luka-luka masa lalu. Ia telah melihat kamp kerja paksa Jepang, dan kini ia telah menyaksikan kekejaman Agresi Militer Belanda. Apa lagi yang akan ditunjukkan oleh "Suara Nusantara 1940–1965"? Sebuah perasaan campur aduk antara ketakutan yang mendalam dan tekad yang kuat mulai tumbuh dalam dirinya. Ia harus mencari tahu lebih banyak, ia harus memahami. Ini bukan hanya tentang kakeknya lagi, tetapi tentang kebenaran yang tersembunyi, tentang suara-suara yang dibungkam, yang kini mulai berbicara melalui dirinya.

Bab 4 – Antara Dua Dunia

Sejak pengalaman kedua dengan piringan hitam itu, Bayu mulai merasakan perubahan drastis dalam hidupnya. Luka memar di tangannya dan mimisan yang tak terduga menjadi pengingat konstan akan batas tipis antara realitas dan masa lalu yang ia alami. Ia tidak bisa lagi mengabaikan apa yang terjadi. Otaknya bekerja keras, mencari penjelasan, mencoba menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang mengerikan ini.

Ia menghabiskan berjam-jam di kamarnya, yang kini terasa seperti ruang penelitian rahasia. Buku-buku sejarah berserakan di mana-mana, peta-peta lama terhampar di lantai. Bayu mulai mencatat pengalamannya dalam sebuah buku kosong, setiap detail, setiap suara, setiap wajah yang ia lihat. Ia mencoret-coret, membuat sketsa, mencoba menangkap esensi dari kengerian yang ia saksikan. Ia menuliskan deskripsi tentang kamp kerja paksa Jepang, nama-nama tentara kolonial yang ia ingat samar-samar, dan detail tentang desa yang terbakar saat agresi Belanda.

Dengan tekun, ia membaca buku-buku sejarah, membandingkan catatannya dengan informasi yang ia temukan. Dan yang mengejutkan, ia mendapati nama-nama dan tempat yang ia lihat benar-benar nyata. Kamp kerja paksa di Jawa Barat, insiden pembantaian di sebuah desa kecil di Sumatera Utara selama Agresi Militer, semuanya ada dalam catatan sejarah. Beberapa nama pejuang yang ia lihat disiksa, meskipun hanya sekilas, muncul di buku-buku lama. Ini semakin menguatkan keyakinannya bahwa ia tidak gila, bahwa semua ini nyata. Ia tidak berhalusinasi. Ia adalah saksi.

Namun, efek dari perjalanan waktu ini tidak hanya terbatas pada catatannya. Rumahnya mulai bertransformasi, atau setidaknya, ia mulai merasakan kehadirannya. Perubahan itu datang secara halus pada awalnya, lalu semakin intens. Lampu di ruang tamu seringkali bergoyang sendiri, tanpa ada angin atau gempa. Pada awalnya, ia mengira itu hanya gangguan listrik, tetapi frekuensinya semakin sering, dan goyangannya semakin kuat, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menggerakkannya.

Di tengah malam, ketika keheningan seharusnya meliputi segalanya, Bayu mulai mendengar suara propaganda yang samar dari radio tua di sudut ruangan, padahal radio itu tidak menyala. Suara-suara berat, berteriak-teriak tentang persatuan, tentang revolusi, tentang ancaman asing, seolah rekaman masa lalu yang bocor ke masa kini. Terkadang, ia juga mendengar suara pesawat terbang yang melintas rendah di atas rumahnya, diikuti oleh suara ledakan yang samar, meskipun ia tahu tidak ada latihan militer atau penerbangan di area itu pada jam-jam tersebut.

Yang paling mengganggu adalah suara-suara dari kamarnya sendiri. Sesekali, terutama saat dini hari, ia mendengar tangisan perempuan dari kamarnya, suara isak tangis yang pilu dan putus asa, seolah ada seseorang yang terperangkap dalam kesedihan yang abadi. Suara itu terasa sangat dekat, seolah wanita itu berada di samping tempat tidurnya, namun ketika ia membuka mata, kamarnya kosong, diselimuti kegelapan. Sensasi merinding merayap di punggungnya setiap kali ia mendengar suara itu. Apakah itu arwah-arwah yang terikat pada piringan itu? Atau apakah energi masa lalu itu mulai merasuki rumahnya?

Bayu mulai merasa tidak sendirian di rumahnya. Ia seringkali merasa diperhatikan, seolah ada mata tak terlihat yang mengawasinya. Suhu di beberapa sudut ruangan terasa lebih dingin daripada yang lain, seolah ada pusaran energi yang terperangkap di sana. Ia bahkan mulai melihat kilasan bayangan di sudut matanya, sekilas sosok-sosok yang menghilang begitu ia berbalik.

Ketakutan mulai menyelimutinya, tetapi dibarengi dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung. Ia tahu bahwa ia telah membuka sebuah pintu yang tidak bisa ia tutup kembali. Piringan hitam itu bukan hanya objek; ia adalah entitas, penjaga kebenaran yang brutal, yang kini memilih Bayu sebagai mediumnya. Setiap kali ia mendekati pemutar piringan, ia merasakan campuran antara ketakutan dan dorongan kuat untuk melanjutkan. Apa lagi yang akan ditunjukkan oleh piringan itu? Siapa wanita yang menangis di kamarnya? Apakah ia salah satu korban dari masa lalu yang ia saksikan?

Bayu semakin terisolasi. Ia menghindari teman-temannya, melewatkan kuliahnya, semua waktunya tercurah untuk mencatat dan meneliti. Orang tuanya mulai khawatir dengan perubahan perilakunya, tetapi ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia alami. Siapa yang akan percaya jika ia mengatakan bahwa ia telah melakukan perjalanan waktu melalui sebuah piringan hitam, dan bahwa rumahnya kini dihuni oleh gema-gema masa lalu?

Ia merasa terjebak di antara dua dunia: realitas masa kini dan kengerian masa lalu. Pikiran-pikirannya dipenuhi oleh gambaran kamp kerja paksa dan desa yang terbakar. Tidurnya dihantui mimpi buruk, di mana ia kembali menyaksikan penyiksaan dan kekejaman yang tak terbayangkan. Ia mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri. Namun, setiap kali ia melihat luka memar di tangannya, atau mendengar tangisan samar dari kamarnya, ia tahu bahwa semua ini nyata. Ia adalah saksi, dan piringan hitam itu adalah penjaga kebenaran, yang akan memaksanya untuk menghadapi setiap babak kelam sejarah bangsanya. Tekadnya untuk mencari tahu nasib kakeknya, yang menjadi pemicu awalnya, kini beresonansi dengan panggilan yang lebih besar: untuk menjadi saksi bagi semua suara yang dibungkam, untuk kebenaran yang terkubur.

Bab 5 – Lagu Berdarah: 1965

Semakin dalam Bayu menyelami penelitiannya dan pengalaman lintas-waktu yang ia alami, semakin ia merasakan beban sejarah di pundaknya. Setiap bisikan dari masa lalu, setiap bayangan yang melintas, dan setiap suara tangis yang merasuki kamarnya, semuanya mengarah pada satu titik puncak yang mengerikan: tahun 1965. Ia tahu, secara intuitif, bahwa lagu keempat di piringan itu akan membawanya ke sana. Sebuah ketakutan yang dingin merayapi hatinya, bercampur dengan keinginan yang kuat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya kakeknya. Ia merasa siap, atau setidaknya, ia harus siap.

Malam itu, Bayu duduk di depan pemutar piringan hitam, ruangan diselimuti kegelapan pekat, hanya diterangi oleh lampu meja yang meredup. Ia meletakkan piringan "Suara Nusantara 1940–1965" dengan hati-hati. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul dadanya seperti genderang perang. Ia menempatkan jarum di trek keempat.

Kali ini, tidak ada melodi lembut atau mars yang perlahan. Sebuah dentuman mars yang berat dan berirama kaku langsung memenuhi ruangan, mendominasi segalanya. Suaranya penuh ancaman, seolah mengiringi langkah kaki ribuan massa yang tak terlihat. Kemudian, lantunan sindiran politik mulai terdengar, suara-suara laki-laki yang berapi-api, menuduh, menghasut, dan memprovokasi. Kata-kata yang tajam dan menusuk, penuh kebencian dan paranoia, menusuk indra pendengaran Bayu. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, lebih dingin dari sebelumnya, seolah energi kelam dari masa lalu telah merasuki kamarnya.

Dalam hitungan detik, realitas di sekitarnya runtuh. Bayu kini berada di tengah peristiwa 1965, di sebuah malam yang mencekam. Ia dikelilingi oleh massa yang panik, teriakan histeris, dan obor-obor yang menerangi kegelapan dengan cahaya yang mengerikan. Aroma asap, darah, dan ketakutan yang pekat menusuk hidungnya. Ia melihat wajah-wajah yang dipenuhi ketakutan, amarah, dan kekejaman. Ini bukan lagi gambaran samar, ini adalah medan perang psikologis, di mana ideologi berbenturan dan kemanusiaan dihancurkan.

Ia menyaksikan pengangkutan massal orang-orang yang dituduh PKI. Truk-truk militer dipenuhi pria dan wanita yang diikat, mata mereka ditutup, digiring paksa oleh para milisi yang bersenjatakan bambu runcing dan parang. Mereka berteriak, memohon, tetapi suara mereka tenggelam dalam riuh rendah teriakan massa yang menghakimi. Bayu merasakan mual yang tak tertahankan. Ia melihat bagaimana tuduhan sepihak, tanpa bukti, bisa merenggut nyawa begitu banyak orang.

Pemandangan itu bergeser, membawanya ke tepi sungai. Gelombang air sungai yang gelap memantulkan cahaya obor, menciptakan pantulan-pantulan yang menari-nari seperti api neraka. Di sana, ia menyaksikan pembantaian brutal. Para tahanan itu dilemparkan ke tanah, disiksa, lalu dieksekusi satu per satu dengan kejam. Suara jeritan, rintihan, dan dentuman benda tumpul menghantam tubuh memenuhi udara. Sungai itu, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini menjadi saksi bisu atas pertumpahan darah yang mengerikan.

Bayu melihat darah memerah di air sungai, bercampur dengan lumpur dan ranting-ranting. Ia merasakan dinginnya air, cipratan darah yang samar-samar menyentuh wajahnya, meskipun ia tahu ia tidak bisa berinteraksi. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, berteriak, tetapi seperti sebelumnya, ia hanya bayangan.

Kemudian, matanya terpaku pada seorang pria tua yang terhuyung-huyung, dipukuli dan diseret ke tepi sungai. Pria itu tampak kurus, rambutnya memutih, matanya memancarkan keputusasaan yang mendalam. Jantung Bayu mencelos. Wajah pria itu, meskipun berlumuran darah dan kotoran, sangat mirip dengan kakeknya. Dada Bayu sesak, napasnya tercekat. Apakah ini? Apakah ini takdir yang menimpa kakeknya?

Seorang milisi dengan mata membara mendekat, memegang parang yang berlumuran darah. Ia mengangkat parangnya tinggi-tinggi, siap menghantam pria tua itu. Bayu ingin berteriak, ingin memperingatkan kakeknya, ingin menghentikan pembantaian itu. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya seperti terkunci, tercekik oleh kengerian yang ia saksikan. Ia hanya bisa berdiri di sana, tak berdaya, menyaksikan adegan yang paling ia takuti terulang di depan matanya. Parang itu terayun ke bawah, dan dunia Bayu seolah runtuh.

Pemandangan itu menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa, mengguncang jiwanya hingga ke dasar. Ia merasakan sakit yang lebih parah dari sekadar luka fisik, ini adalah luka emosional yang menganga lebar. Hilangnya kakeknya, yang selama ini menjadi misteri, kini terkuak di hadapannya dengan cara yang paling brutal. Ia telah menemukan kebenaran, tetapi kebenaran itu datang dengan harga yang sangat mahal, merenggut kemampuannya untuk berbicara.

Piringan hitam itu terus berputar, dan dentuman mars itu masih bergema, tetapi suara itu mulai terasa jauh, seolah ia ditarik ke dalam jurang yang tak berdasar. Realitas di sekitarnya mulai pecah, seperti kaca yang retak. Bayu tahu ini belum berakhir. Sebuah babak baru, yang lebih menakutkan, akan segera dimulai. Ia telah menjadi saksi bisu bagi kekejaman tahun 1965, dan trauma itu akan membekas dalam dirinya selamanya. Ia telah menemukan apa yang ia cari, tetapi harga dari kebenaran itu jauh lebih mahal dari yang pernah ia bayangkan.

Bab 6 – Sosok Bertopeng & Amanat Sejarah

Suara mars yang berat dan jeritan yang memilukan dari peristiwa 1965 masih bergemuruh di telinga Bayu, meskipun ia sudah tidak lagi berada di sana. Tubuhnya terasa mati rasa, jiwanya terguncang hebat setelah menyaksikan akhir tragis yang kemungkinan besar menimpa kakeknya. Ia masih merasakan panasnya kobaran api dan aroma darah yang menyesakkan. Pemandangan itu begitu nyata, begitu mengerikan, hingga ia kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.

Di tengah kekacauan visual dan emosional yang masih menyelimutinya, sebuah perubahan drastis terjadi. Pemandangan pembantaian di tepi sungai mulai kabur, namun tidak sepenuhnya lenyap. Cahaya obor yang menari-nari berubah menjadi pusaran api yang bergolak, dan teriakan massa berubah menjadi gema yang memekakkan telinga.

Dari balik kobaran api dan teriakan massa yang membingungkan, sebuah sosok perlahan muncul. Sosok itu tinggi dan tegap, diselimuti bayangan, namun yang paling mencolok adalah wajahnya yang tertutup topeng wayang kulit. Topeng itu berwarna gelap, dengan ukiran tajam yang membentuk ekspresi misterius—separuh tersenyum, separuh murung. Jantung Bayu mencelos. Ia mengenali topeng itu. Ia pernah melihatnya, tersimpan rapi di sebuah kotak kayu tua di loteng rumah kakeknya, jauh sebelum kakeknya menghilang. Topeng itu selalu menjadi teka-teki, sebuah peninggalan yang tak pernah ia pahami maknanya. Kini, topeng itu hidup, bergerak, di hadapannya.

Sosok bertopeng itu melangkah mendekat, tanpa suara, seolah melayang di atas tanah yang hangus. Ia berhenti di hadapan Bayu, matanya yang tersembunyi di balik lubang topeng menatap Bayu tajam, seolah menembus jiwanya. Meskipun sosok itu tidak mengeluarkan suara dari mulutnya, Bayu mendengar sebuah suara berbisik di dalam benaknya, suara yang berat dan berwibawa, seolah datang dari kedalaman waktu itu sendiri.

“Kau telah menyaksikan luka bangsa ini,” suara itu bergema dalam pikiran Bayu, membanjiri kesadarannya. “Darah yang tertumpah, jeritan yang dibungkam, kebenaran yang dikubur.” Bayu merasakan gelombang kesedihan yang mendalam dari suara itu, seolah sosok itu merasakan setiap penderitaan yang telah ia saksikan.

“Tapi ini bukan untuk kau diamkan,” lanjut suara itu, nadanya kini lebih mendesak. “Bukan untuk kau kubur kembali dalam kebisuan. Kau harus menuliskan. Kau harus bersuara. Agar mereka yang tak bersalah, yang lenyap dalam kegelapan, tak lenyap dua kali—tak lenyap dari ingatan, tak lenyap dari sejarah yang benar.”

Bayu ingin menjawab, ingin bertanya siapa sosok itu, apa arti semua ini. Namun, tenggorokannya masih terkunci. Ia hanya bisa menatap sosok bertopeng itu dengan mata nanar, mencoba memahami setiap kata yang merasuki pikirannya.

“Jadi saksi,” perintah suara itu, kini lebih kuat dan tegas. “Jadilah saksi bagi mereka yang tak bisa lagi bersuara. Jadilah pena yang menuliskan kebenaran yang sesungguhnya.”

Saat kata-kata terakhir itu bergema, Bayu merasakan sebuah kekuatan tak terlihat menariknya dengan kuat. Pemandangan di sekelilingnya pecah berkeping-keping, seperti cermin yang pecah. Kobaran api, teriakan massa, dan sosok bertopeng itu lenyap dalam sekejap. Ia merasakan pusing yang luar biasa, seolah tubuhnya ditarik keluar dari pusaran waktu dengan paksa.

Namun, ia tidak kembali sepenuhnya ke kamarnya seperti sebelumnya. Ia merasakan dirinya melayang di antara dua alam, antara cahaya dan kegelapan, antara masa kini dan gema masa lalu. Tubuhnya terasa ringan, tanpa bobot, seolah ia terlepas dari jangkauan gravitasi. Ia melihat kilasan-kilasan acak: wajah kakeknya yang berlumuran darah, kamp kerja paksa, desa yang terbakar, dan topeng wayang yang misterius. Semua itu berputar dalam benaknya, menciptakan badai ingatan yang tak terkendali.

Ia merasakan keheningan yang aneh. Bukan keheningan yang damai, melainkan keheningan yang mencekam, seolah suaranya telah dicuri darinya. Ia mencoba berteriak, memanggil, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokannya terasa lumpuh, tak bisa menghasilkan satu pun kata. Ini adalah akibat dari beban yang ia pikul, akibat dari kengerian yang ia saksikan, dan mungkin, akibat dari amanat yang baru saja diberikan padanya.

Bayu melayang di ruang hampa itu, tubuhnya tak berdaya, pikirannya bergejolak. Ia tidak tahu berapa lama ia akan terjebak di antara dua dunia ini. Namun, satu hal yang pasti: amanat dari sosok bertopeng itu terukir kuat di dalam jiwanya. Ia harus menuliskan. Ia harus menjadi saksi. Bahkan jika itu berarti ia harus kehilangan suaranya, ia akan menemukan cara lain untuk berbicara, untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi. Piringan hitam itu telah membukakan matanya, dan kini ia tahu bahwa perjalanannya belum berakhir. Ini adalah awal dari tugas barunya, sebuah tugas yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Bab 7 – Kembali Tanpa Suara

Sensasi melayang di antara dua alam, antara ingatan yang mengerikan dan kehampaan yang mencekam, berakhir secara tiba-tiba. Bayu merasakan kehangatan selimut, aroma disinfektan yang khas rumah sakit, dan suara-suara samar di sekelilingnya. Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih, tirai yang ditarik, dan cahaya yang masuk dari jendela. Ia mengerjapkan mata, mencoba memproses lingkungannya.

Ia terbangun di ranjang, bukan di kamarnya, melainkan di sebuah kamar rumah sakit. Dan di sekelilingnya, wajah-wajah yang sangat ia kenal: keluarganya. Ibunya duduk di samping ranjang, matanya sembab, menggenggam tangannya erat. Ayahnya berdiri di sampingnya, raut wajahnya penuh kekhawatiran. Adik perempuannya, dengan mata merah, menatapnya dengan cemas. Senyuman lega terpancar di wajah mereka ketika Bayu membuka mata.

"Bayu, syukurlah kau bangun, Nak!" suara ibunya bergetar, air mata mengalir di pipinya. "Kami sangat khawatir."

Bayu mencoba membalas senyuman, mencoba berbicara, menenangkan mereka. Namun, saat ia membuka mulutnya, tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya terasa hampa, kosong. Ia mencoba lagi, mengumpulkan seluruh kekuatannya, mendorong udara keluar dari paru-paru, tetapi yang keluar hanyalah desisan lemah. Panik mulai merayapi dirinya. Ia menggerakkan tangannya, menunjuk tenggorokannya, mencoba menjelaskan.

Ibunya panik. "Ada apa, Nak? Suaramu?"

Ayahnya segera memanggil perawat. Tak lama kemudian, dokter datang, memeriksa Bayu dengan saksama. Ia melakukan berbagai tes: memeriksa tenggorokannya, memintanya untuk batuk, bahkan mencoba beberapa stimulasi. Namun, hasil yang didapat selalu sama: dokter tak menemukan kelainan fisik apa pun pada pita suaranya, pada struktur tenggorokannya, atau pada saraf yang berkaitan dengan kemampuan bicara.

"Secara medis, Bayu sehat," kata dokter, raut wajahnya bingung. "Tidak ada indikasi fisik yang menyebabkan hilangnya suara. Mungkin ini efek dari trauma psikologis yang ia alami." Dokter menyarankan agar Bayu menjalani terapi dan istirahat total, serta meminta keluarga untuk tidak menekannya.

Namun, Bayu tahu yang sebenarnya. Ini bukan trauma biasa. Ini adalah akibat langsung dari apa yang ia saksikan, akibat dari amanat yang diberikan oleh sosok bertopeng itu. Ia merasa sebagian jiwanya tertinggal di masa lalu, di tengah kobaran api tahun 1965, di tepi sungai yang berdarah. Suaranya, kemampuannya untuk berbicara, telah menjadi harga yang harus ia bayar untuk menjadi saksi. Ia adalah saksi bisu, terperangkap dalam bisu yang tak terlihat.

Pulang dari rumah sakit, Bayu merasa asing di rumahnya sendiri. Dunia terasa sunyi, bahkan suara-suara yang biasa ia dengar—suara propaganda samar atau tangisan perempuan—kini terasa jauh. Ia mencoba berkomunikasi dengan keluarganya melalui isyarat, menulis di kertas, tetapi itu tidaklah mudah. Rasa frustrasi dan keputusasaan menyelimutinya, namun di balik itu, ada tekad yang membara.

Amanat dari sosok bertopeng itu masih terngiang di benaknya: "Kau harus menuliskan." Jika ia tidak bisa bersuara, ia akan menulis. Kata-kata itu adalah satu-satunya jalan keluarnya, satu-satunya cara untuk memenuhi janji yang telah ia buat, bahkan jika itu hanya dalam benaknya.

Dengan tekad yang kuat, Bayu kembali ke meja kerjanya. Ia mengambil buku catatan kosongnya, pena di tangannya. Pada awalnya, ia hanya mulai menggambar. Ia menggambar wajah-wajah yang ia lihat di kamp kerja paksa, topeng wayang yang misterius, siluet pria tua yang mirip kakeknya, dan sungai yang berlumuran darah. Gambaran-gambaran itu adalah luapan emosi, trauma yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Kemudian, perlahan, ia mulai menulis. Tangannya gemetar pada awalnya, namun kemudian semakin mantap. Ia menuliskan setiap detail yang ia ingat, setiap suara yang ia dengar (dalam ingatannya), setiap aroma yang ia cium. Ia menulis tentang dinginnya udara di kamp kerja paksa, tentang ketakutan di mata anak kecil di masa agresi, dan tentang kengerian pembantaian 1965. Ia menceritakan semua peristiwa yang dilihatnya, satu per satu, dengan kejujuran yang brutal.

Kata-kata mengalir dari pena Bayu, seolah itu adalah sungai yang selama ini tertahan. Ia menulis tentang rasa sakit, tentang keputusasaan, tentang pengkhianatan, dan tentang harapan yang samar di balik semua kengerian itu. Ia menuliskan tentang kakeknya, tentang teka-teki hilangnya, dan tentang bagaimana piringan hitam itu membawanya ke kebenaran yang tak terbayangkan.

Melalui tulisan, Bayu menemukan suaranya kembali. Ia mungkin tidak bisa berbicara dengan mulutnya, tetapi pena di tangannya menjadi perpanjangan dari jiwanya yang terluka. Ia tahu, tugasnya adalah menjadi saksi bisu, dan tulisannya adalah bukti bisu yang akan berbicara untuk mereka yang tak bisa lagi bersuara. Piringan hitam itu telah mengambil kemampuannya untuk berbicara, tetapi pada saat yang sama, ia telah memberinya tujuan yang lebih besar: untuk memastikan bahwa kebenaran tidak akan lenyap dua kali.

Bab 8 – Yang Tak Pernah Tercatat

Bulan-bulan berlalu, dan Bayu tenggelam dalam dunianya yang baru. Ruangan kerjanya menjadi tempat suci, benteng di mana ia bisa melarikan diri dari kebisuan yang membelenggunya dan melampiaskan semua yang ia saksikan. Ia menulis dengan intens, malam demi malam, tak kenal lelah. Lampu meja yang remang-remang menjadi satu-satunya saksi bisu dari kerja kerasnya. Tumpukan kertas berserakan di mejanya, beberapa di antaranya penuh coretan dan revisi, lainnya berisi sketsa-sketsa detail dari apa yang ia lihat.

Buku catatannya, yang semakin tebal, akhirnya memiliki judul: "Nada Berdarah". Judul itu adalah representasi sempurna dari apa yang ia alami—nada-nada dari piringan hitam yang membawa serta darah dan penderitaan sejarah. Di dalamnya, ia tak hanya menuliskan narasi peristiwa, tetapi juga memuat nama-nama korban yang ia lihat, beberapa di antaranya ia temukan melalui penelitian lanjutan, lokasi-lokasi spesifik yang ia kunjungi secara spiritual, lagu-lagu yang menjadi pemicu perjalanan waktunya, dan yang terpenting, kesaksian detail dari setiap kekejaman yang ia saksikan. Ia adalah satu-satunya saksi hidup dari masa lalu yang mengerikan itu, dan ia merasa bertanggung jawab penuh untuk mencatat semuanya.

Semakin Bayu menulis, semakin ia menyadari setiap lagu itu tidak hanya lagu biasa—melainkan rekaman energi sejarah. Bukan sekadar suara yang terekam dalam piringan, melainkan jejak emosi, penderitaan, dan momen-momen krusial yang terperangkap dalam alur-alur piringan hitam. Piringan itu adalah artefak magis, sebuah alat yang dirancang untuk menjaga kebenaran tetap hidup, bahkan jika itu harus mengambil suara dari mereka yang menyentuhnya. Ia percaya bahwa piringan itu memilihnya, karena obsesinya terhadap tahun 1965 dan hilangnya kakeknya, menjadikannya medium yang sempurna.

Bersamaan dengan intensitas penulisannya, rumahnya mulai berubah dingin. Bukan hanya suhu fisik, tetapi juga aura spiritual. Hawa dingin yang menusuk tulang seringkali terasa di seluruh ruangan, bahkan di tengah hari yang terik. Benda-benda seringkali bergeser sendiri, pintu-pintu berderit tanpa sebab, dan Bayu seringkali merasa ada kehadiran lain di sekitarnya, meskipun ia tidak melihat siapa pun.

Suara-suara yang dulu samar kini menjadi lebih sering dan lebih jelas. Ia kerap mendengar suara tawa kanak-kanak yang riang, namun tiba-tiba terputus oleh suara tangisan pilu. Lalu, disusul oleh suara tembakan yang keras dan cepat, seolah ada baku tembak yang terjadi tepat di luar jendela kamarnya. Semua ini terjadi saat dini hari, ketika dunia luar masih terlelap, dan keheningan seharusnya menjadi raja. Suara-suara itu bukan lagi sekadar gema, melainkan seolah rekaman masa lalu yang kini memproyeksikan dirinya ke dalam realitas Bayu, menjadikannya bagian dari trauma yang abadi.

Beberapa kali, Bayu terbangun di tengah malam oleh sensasi seseorang menyentuh bahunya, atau suara bisikan samar di telinganya. Ketika ia membuka mata, ia tidak melihat siapa pun, tetapi hawa dingin yang menusuk tulang dan aroma tanah basah seringkali masih tertinggal. Ia tahu bahwa mereka adalah arwah-arwah yang terperangkap dalam piringan, suara-suara yang selama ini dibungkam, yang kini menemukan saluran melalui dirinya. Mereka adalah para korban, para saksi, yang ingin kisahnya diceritakan.

Keluarga Bayu semakin khawatir. Mereka melihatnya menghabiskan waktu berjam-jam di kamarnya, menulis tanpa henti, dan semakin kurus. Mereka mencoba mendekatinya, mengajaknya bicara, tetapi ia hanya bisa merespons dengan isyarat atau tulisan di kertas. Mereka tidak tahu apa yang sedang ia alami, dan itu membuat mereka semakin frustrasi. Mereka mencoba membawa Bayu ke lebih banyak dokter, ke psikolog, tetapi tidak ada yang bisa menemukan akar masalahnya.

Bayu sendiri, meskipun terbebani oleh semua ini, merasakan kepuasan yang aneh. Ia telah menemukan tujuan hidupnya. Kebisuannya bukan lagi kutukan, melainkan sebuah pengorbanan untuk tujuan yang lebih besar. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara mereka yang telah tiada dan mereka yang perlu tahu kebenaran. Setiap kata yang ia tulis adalah batu bata yang membangun kembali narasi yang terdistorsi, memberikan suara bagi mereka yang tak bersuara.

Buku "Nada Berdarah" tumbuh menjadi sebuah mahakarya yang mengerikan, sebuah monumen bagi kebenaran yang tersembunyi. Ia tidak hanya berisi sejarah, tetapi juga emosi, rasa sakit, dan keberanian para korban. Bayu tahu bahwa ini adalah warisannya, sebuah karya yang harus sampai ke tangan orang banyak, agar sejarah tidak terulang, dan agar para korban tidak dilupakan. Ia merasa koneksi yang mendalam dengan piringan hitam itu, seperti bagian dari dirinya yang tak terpisahkan. Ia tahu, pekerjaannya belum selesai. Ia harus memastikan bahwa bukunya akan ditemukan, bahwa suaranya yang bisu akan didengar melalui tulisan-tulisannya.

Bab 9 – Di Bawah Tanah, Lagu Masih Bernyanyi

Setelah berbulan-bulan menulis tanpa henti, "Nada Berdarah" akhirnya selesai. Sebuah karya tebal yang berisi ratusan halaman kesaksian, gambar, dan detail mengerikan dari sejarah yang tersembunyi. Bayu membaca ulang setiap baris, merasakan setiap emosi yang ia curahkan di sana. Ia tahu, tugasnya telah selesai. Amanat dari sosok bertopeng itu telah ia penuhi.

Namun, ia juga tahu bahwa piringan hitam itu, sang pemanggil luka, harus ditempatkan di tempat yang seharusnya. Energi yang terpancar darinya semakin kuat, dan Bayu merasa rumahnya tidak lagi aman. Suara-suara di dini hari semakin intens, dan hawa dingin yang menyelimuti rumahnya semakin menusuk. Ia memutuskan untuk mengembalikan piringan itu ke tempat yang tenang, tempat di mana ia bisa beristirahat, namun tetap menjaga energinya.

Suatu sore yang sendu, Bayu membawa pemutar piringan hitam dan piringan "Suara Nusantara 1940–1965" keluar rumah. Ia berjalan menuju halaman belakang, tempat sebuah pohon kenanga tua berdiri kokoh, bunganya yang putih memancarkan aroma manis yang menenangkan. Pohon itu adalah saksi bisu dari banyak hal di rumah itu, termasuk saat ia pertama kali memutar lagu itu. Ia merasa bahwa ini adalah tempat yang tepat, tempat yang menghormati kenangan dan penderitaan yang terkandung dalam piringan itu.

Dengan sekop kecil, ia mulai menggali tanah di bawah pohon kenanga. Gerakannya lambat, penuh makna. Setiap galian adalah tanda pelepasan, tanda bahwa ia telah menyelesaikan misinya. Ia menggali cukup dalam, menciptakan lubang yang cukup besar untuk menampung pemutar dan piringan itu. Dengan hati-hati, ia meletakkan keduanya di dalam lubang, menatap mereka untuk terakhir kalinya. Permukaan piringan hitam itu memantulkan cahaya senja yang memudar, seolah menyimpan rahasia abadi.

"Istirahatlah," bisik Bayu, suaranya tak terdengar, namun hatinya berbicara. "Kebenaranmu akan tetap hidup."

Ia menutup lubang itu dengan tanah, meratakannya kembali, seolah tak ada apa pun yang pernah dikubur di sana. Aroma kenanga yang manis kini bercampur dengan aroma tanah basah, menciptakan perpaduan yang aneh namun menenangkan. Bayu berharap, dengan mengubur piringan itu, ia juga bisa mengubur sebagian dari beban yang selama ini ia pikul, dan menemukan kedamaian.

Namun, kedamaian itu tidak datang.

Seminggu kemudian, tetangganya melapor. Ibu Ratih, tetangga sebelah yang ramah, menghampiri pagar dan memanggil ibunya Bayu dengan wajah bingung. "Bu, apa kalian tidak mendengar sesuatu?" tanyanya. "Sejak semalam, dan lagi tadi pagi, saya terus mendengar suara nyanyian dari dalam tanah, dari arah pohon kenanga kalian. Mirip suara sinden, tapi kok suaranya sedih sekali ya?" Ibu Bayu hanya bisa menggelengkan kepala, tidak mengerti. Mereka tidak mendengar apa-apa.

Bayu mendengar percakapan itu dari kamarnya. Jantungnya berdesir. Lagu itu, lagu-lagu itu, masih bernyanyi. Bahkan dari dalam tanah, energi sejarah yang terekam dalam piringan itu masih hidup, masih beresonansi, masih mencari pendengar. Piringan hitam itu tidak akan diam, bahkan setelah dikubur. Ia adalah entitas hidup, penjaga kebenaran yang abadi.

Ia menyadari, piringan itu mungkin tidak akan pernah benar-benar mati. Ia akan terus bersuara, terus memanggil, mencari siapa pun yang berani mendengarkan kebenaran yang tak pernah tercatat. Ini adalah kutukan dan berkah. Ia telah memenuhi amanat, tetapi harga yang harus ia bayar mungkin lebih besar dari yang ia duga.

Beberapa hari setelah percakapan tentang suara nyanyian dari dalam tanah, Bayu menghilang. Tidak ada jejaknya. Kamarnya rapi, buku "Nada Berdarah" tergeletak di meja, pena di sampingnya. Keluarga mencari ke mana-mana, menghubungi polisi, tetapi Bayu lenyap begitu saja, seolah ditelan bumi. Yang ia tinggalkan hanyalah dua benda:

Topeng wayang kulit yang misterius, yang dulu ia lihat di loteng kakeknya, kini tergeletak di meja kerjanya, tepat di samping buku "Nada Berdarah". Mata berlubang di topeng itu seolah menatap kosong, menyimpan rahasia abadi.

Dan yang paling aneh, sebuah piringan hitam kecil, tanpa label, tanpa tulisan apa pun, tergeletak di samping topeng itu. Itu adalah piringan terakhir yang belum pernah ia putar. Sebuah piringan yang menyimpan misteri, sebuah melodi yang tak pernah ia dengar. Apakah itu lagu terakhir yang mengambilnya? Atau apakah itu adalah lagu dari kakeknya, yang akhirnya memanggilnya pulang ke masa lalu yang sama?

Di sebuah toko buku loak, bertahun-tahun kemudian, seseorang tanpa sengaja menemukan buku tebal berjudul “Nada Berdarah”. Buku itu terlihat tua, sampulnya usang, tetapi judulnya menarik perhatian pembaca itu. Ketika ia membukanya, ia menemukan tulisan tangan yang rapi, dan di halaman pertama, sebuah kalimat terukir:

"Aku telah menjadi saksi. Sekarang, giliranmu untuk mendengarkan."

Dan di bawah pohon kenanga, di tengah keheningan malam, jika seseorang mau mendengarkan, mereka mungkin masih bisa mendengar alunan melodi yang samar, suara nyanyian pilu dari dalam tanah, lagu yang tak pernah berhenti bernyanyi, memanggil kebenaran yang tak pernah tercatat.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)