Masukan nama pengguna
Seorang kolektor barang antik bernama Rendra menghela napas panjang, debu-debu yang melayang di udara menusuk hidungnya. Sudah berjam-jam dia menjelajahi toko barang loak yang kumuh ini, namun belum ada satu pun benda yang menarik perhatiannya. Toko yang terletak di sebuah gang sempit, jauh dari keramaian kota, ini dikenal dengan sebutan "Harta Karun Tersembunyi". Banyak kolektor lain yang sudah menyerah mencari di sini, tapi Rendra, dengan keuletannya, tetap optimis.
Mata Rendra menyapu setiap sudut ruangan, tumpukan buku tua, patung-patung yang patah, dan perabotan yang usang. Lalu, matanya terpaku pada sebuah tumpukan di sudut gelap, di bawah rak yang hampir roboh. Di sana, tertutup lapisan debu tebal, tergeletak sebuah kotak musik.
Rendra berjalan mendekat, langkahnya hati-hati. Kotak musik itu terlihat usang dan rusak, engselnya karatan, dan permukaannya tergores di sana-sini. Namun, ukiran di atasnya membuat Rendra terpana. Sebuah ukiran rumit yang menggambarkan sosok perempuan menari di antara pepohonan, dikelilingi oleh burung-burung kecil. Ukirannya sangat halus dan detail, menunjukkan keahlian luar biasa dari pembuatnya. Rendra merasa ada sesuatu yang istimewa dari kotak musik ini.
Pemilik toko, seorang kakek tua yang misterius, muncul dari balik tumpukan barang. Matanya yang cekung memandang Rendra dengan tatapan kosong. "Kotak musik itu," katanya dengan suara serak, "jangan pernah kau putar engkolnya." Rendra mengerutkan kening, tidak mengerti maksud kakek itu. Dia mengira itu hanyalah takhayul belaka. Rendra mengambil kotak musik itu, menawarnya, dan membayarnya. Kakek itu hanya mengangguk pelan, tanpa senyum, seolah-olah dia tahu apa yang akan terjadi.
Rendra membawa pulang kotak musik itu ke apartemennya yang minimalis. Di malam hari, setelah membersihkan kotak musik itu, Rendra kembali terpukau dengan keindahan ukirannya. Rasa penasarannya memuncak. Dia mengabaikan peringatan kakek tua itu dan memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu mengalun, mengisi seluruh ruangan. Melodi itu terasa akrab, seolah-olah dia pernah mendengarnya sebelumnya. Ketika melodi itu berakhir, Rendra merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia mulai dihantui oleh bayangan-bayangan aneh dan bisikan-bisikan yang tak jelas asalnya.
Bisikan-bisikan itu terdengar seperti suara anak-anak yang tertawa, lalu berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Rendra mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan itu semakin keras. Bayangan-bayangan hitam yang mengganggu penglihatannya terlihat lebih nyata. Dia melihat sosok perempuan menari di antara pepohonan, sama seperti ukiran di kotak musik itu. Tetapi sosok itu tidak menari dengan gembira, melainkan dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Keesokan harinya, Aris, seorang teman Rendra, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Rendra, Dina, dan Edo kebingungan. Mereka melapor ke polisi, tapi tidak ada petunjuk sama sekali. Polisi menduga Aris mungkin pergi atas kemauannya sendiri. Namun, Rendra merasa ada hubungan antara hilangnya Aris dan kotak musik. Bisikan-bisikan halus yang dia dengar menjadi semakin jelas. Bayangan-bayangan hitam yang mengganggu penglihatannya terlihat lebih nyata. Dia mulai merasa paranoia dan merasa selalu diawasi.
Beberapa hari kemudian, Dina, seorang teman lain, mengunjungi Rendra untuk memeriksa keadaannya. Dina, yang sensitif terhadap hal-hal gaib, langsung merasakan energi negatif yang kuat dari kotak musik. Dia mencoba membujuk Rendra untuk membuang benda itu, tapi Rendra menolak. Dia sudah terlalu terikat secara emosional dengan kotak musik itu dan juga mulai berhalusinasi. Dalam halusinasi, dia melihat Aris memohon agar dia tidak membuang kotak musik itu.
Saat Dina menyentuh kotak musik, dia berteriak kesakitan. Dia menjatuhkan diri ke lantai, kejang-kejang, dan memuntahkan darah. Dia kemudian pingsan. Rendra dengan panik menelepon ambulans, tapi sudah terlambat. Dina dinyatakan meninggal sesampainya di rumah sakit. Polisi kembali mencurigai Rendra.
Setelah kematian Dina, Rendra semakin tenggelam dalam paranoia dan ketakutan. Edo, yang tersisa, berusaha membantu Rendra, tapi Rendra terus menerus menuduh Edo berkomplot untuk merebut kotak musik itu. Edo mencoba untuk mengambil kotak musik itu dari Rendra, tetapi dia ditolak dengan kasar.
Edo menyerah dan memutuskan untuk menyelidiki sejarah kotak musik itu sendiri. Dia menemukan sebuah manuskrip kuno yang menceritakan tentang sebuah artefak yang dibuat dari jiwa seorang seniman yang mati tragis. Manuskrip itu mengatakan bahwa artefak itu memiliki kutukan yang bisa menjebak jiwa. Edo bergegas kembali ke apartemen Rendra untuk memperingatkannya. Dia menemukan Rendra sedang berbicara dengan hantu Aris dan Dina. Rendra, yang sudah kehilangan akal sehat, berteriak pada Edo, mengatakan bahwa dia adalah iblis yang mencoba memisahkan Rendra dari Aris dan Dina. Rendra menusuk Edo dengan pisau. Edo meninggal di tempat.
Rendra tersadar dari halusinasinya dan melihat tubuh Edo. Dia menangis histeris. Dia mulai menyadari semua yang terjadi adalah perbuatan kotak musik itu. Dia mengambil pisau yang digunakannya untuk menusuk Edo dan menghancurkan kotak musik itu hingga berkeping-keping.
Tiba-tiba, dia merasakan kesakitan di perutnya. Dia melihat ke bawah, pisau itu tertancap di perutnya. Dia jatuh ke lantai, memuntahkan darah, dan perlahan-lahan kehilangan kesadaran.
Polisi tiba di tempat kejadian. Mereka menemukan tiga mayat: Edo, Dina, dan Rendra. Rendra adalah satu-satunya yang masih hidup, tetapi sekarat. Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, dia berbisik, "Kotak musik..."
Polisi kebingungan. Mereka menganggap Rendra bunuh diri dan membunuh teman-temannya dalam kondisi depresi. Kotak musik yang hancur itu disita sebagai barang bukti.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, seorang pedagang barang loak di kota lain menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Rendra di sebuah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kotak musik itu terlihat usang, tapi ukiran di atasnya sangat indah. Pedagang itu tersenyum dan mengambilnya. Dia menggosok kotak musik itu, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun.
Aris menghilang. Kabar itu seperti bom yang meledak di tengah-tengah persahabatan mereka. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya keheningan yang memekakkan telinga. Pagi itu, Rendra, Dina, dan Edo berkumpul di apartemen Aris. Apartemen itu bersih dan rapi seperti biasa, seolah-olah Aris hanya pergi sebentar. Namun, tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada barang yang hilang, bahkan dompet dan kunci mobilnya masih tergeletak di meja.
"Ini aneh," kata Edo, suaranya dipenuhi kecemasan. "Aris tidak akan pernah pergi tanpa memberitahu kita."
Dina, yang memiliki intuisi kuat, merasakan hawa dingin yang menusuk di apartemen itu. Dia memandang Rendra, matanya penuh pertanyaan. Rendra, dengan wajah pucat, hanya bisa menggeleng. Sejak malam dia memutar kotak musik, pikirannya terus diganggu oleh bayangan-bayangan aneh dan bisikan-bisikan halus. Dia melihat sosok Aris dalam mimpinya, terperangkap dalam sebuah labirin yang gelap, memohon untuk dibebaskan.
Mereka melapor ke polisi, tetapi polisi hanya bisa memberikan harapan palsu. Mereka menduga Aris mungkin sedang stres atau memiliki masalah pribadi yang tidak diceritakan. "Dia mungkin pergi untuk menenangkan diri," kata seorang detektif, "kami akan terus mencari."
Setelah kematian Dina, Rendra semakin tenggelam dalam paranoia dan ketakutan. Edo, yang tersisa, berusaha membantu Rendra, tapi Rendra terus menerus menuduh Edo berkomplot untuk merebut kotak musik itu. Edo mencoba untuk mengambil kotak musik itu dari Rendra, tetapi dia ditolak dengan kasar.
Edo menyerah dan memutuskan untuk menyelidiki sejarah kotak musik itu sendiri. Dia menemukan sebuah manuskrip kuno yang menceritakan tentang sebuah artefak yang dibuat dari jiwa seorang seniman yang mati tragis. Manuskrip itu mengatakan bahwa artefak itu memiliki kutukan yang bisa menjebak jiwa. Edo bergegas kembali ke apartemen Rendra untuk memperingatkannya. Dia menemukan Rendra sedang berbicara dengan hantu Aris dan Dina. Rendra, yang sudah kehilangan akal sehat, berteriak pada Edo, mengatakan bahwa dia adalah iblis yang mencoba memisahkan Rendra dari Aris dan Dina. Rendra menusuk Edo dengan pisau. Edo meninggal di tempat.
Rendra tersadar dari halusinasinya dan melihat tubuh Edo. Dia menangis histeris. Dia mulai menyadari semua yang terjadi adalah perbuatan kotak musik itu. Dia mengambil pisau yang digunakannya untuk menusuk Edo dan menghancurkan kotak musik itu hingga berkeping-keping.
Tiba-tiba, dia merasakan kesakitan di perutnya. Dia melihat ke bawah, pisau itu tertancap di perutnya. Dia jatuh ke lantai, memuntahkan darah, dan perlahan-lahan kehilangan kesadaran.
Polisi tiba di tempat kejadian. Mereka menemukan tiga mayat: Edo, Dina, dan Rendra. Rendra adalah satu-satunya yang masih hidup, tetapi sekarat. Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, dia berbisik, "Kotak musik..."
Polisi kebingungan. Mereka menganggap Rendra bunuh diri dan membunuh teman-temannya dalam kondisi depresi. Kotak musik yang hancur itu disita sebagai barang bukti.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, seorang pedagang barang loak di kota lain menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Rendra di sebuah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kotak musik itu terlihat usang, tapi ukiran di atasnya sangat indah. Pedagang itu tersenyum dan mengambilnya. Dia menggosok kotak musik itu, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk yang tidak berkesudahan bagi Rendra. Kabar hilangnya Aris membuat hatinya hancur berkeping-keping. Dia dan Aris sudah bersahabat sejak kecil, dan bagi Rendra, Aris adalah kakaknya. Tanpa Aris, dunia Rendra terasa hampa. Dia mencoba untuk melanjutkan hidupnya, tetapi bisikan-bisikan halus dan bayangan-bayangan aneh yang terus menghantuinya membuatnya tidak bisa tenang.
Suatu malam, Rendra terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Dia baru saja bermimpi buruk tentang Aris. Dalam mimpinya, Aris terperangkap di dalam sebuah sangkar yang terbuat dari ranting-ranting pohon. Aris memohon padanya untuk membebaskannya, tapi sangkar itu tidak memiliki kunci, dan Aris tidak dapat melarikan diri. Rendra mencoba menolongnya, tetapi bayangan-bayangan hitam yang mengelilingi sangkar itu menariknya kembali.
Rendra panik. Dia mengambil kotak musik itu dari rak dan memegangnya erat-erat. "Tolong," bisiknya. "Tolong kembalikan Aris." Tetapi kotak musik itu hanya diam, dan bisikan-bisikan di kepalanya semakin keras.
Beberapa hari setelahnya, Dina, yang sensitif terhadap hal-hal gaib, datang mengunjungi Rendra. Dina adalah seorang desainer grafis yang sangat intuitif dan memiliki indra keenam yang kuat. Dia segera merasakan aura negatif yang kuat di apartemen Rendra. Matanya tertuju pada kotak musik di meja Rendra.
"Kotak musik itu," kata Dina, suaranya bergetar. "Ada yang tidak beres dengannya."
Rendra menatapnya dengan tatapan kosong. "Apa maksudmu?"
"Energinya sangat gelap, Rendra. Itu adalah benda terkutuk. Kau harus membuangnya," kata Dina, mencoba meraih kotak musik itu.
"Tidak!" Rendra berteriak, menarik kotak musik itu menjauh. "Jangan sentuh! Ini milikku! Aris memintaku untuk menjaganya!"
Dina terkejut. "Apa yang kau bicarakan? Rendra, Aris hilang! Kotak musik itu hanya barang usang!"
"Tidak!" teriak Rendra. "Aris tidak hilang! Dia ada di sini! Dia ada di dalam kotak musik ini! Dia berbicara denganku!"
Dina menatap Rendra dengan iba. Dia menyadari bahwa Rendra telah kehilangan akal sehatnya. Rendra telah jatuh ke dalam perangkap kotak musik itu.
"Rendra, kumohon, dengarkan aku," kata Dina, mencoba menenangkan Rendra. "Ini bukan Aris. Ini adalah iblis yang mencoba merusakmu. Kau harus membuang kotak musik itu sekarang!"
Dina mencoba merebut kotak musik itu dari Rendra, tetapi Rendra menolaknya dengan kasar. Rendra mendorongnya hingga jatuh. Saat Dina menyentuh kotak musik itu, dia berteriak kesakitan. Dia menjatuhkan diri ke lantai, kejang-kejang, dan memuntahkan darah. Dia kemudian pingsan. Rendra panik. Dia mencoba membangunkan Dina, tapi tidak ada respons. Dengan gemetar, dia menelepon ambulans.
Ketika ambulans tiba, sudah terlambat. Dina dinyatakan meninggal sesampainya di rumah sakit. Polisi kembali mencurigai Rendra. Mereka tidak menemukan bukti yang cukup, tetapi mereka tetap mengawasi Rendra. Mereka menganggap bahwa Rendra mungkin telah menggunakan obat-obatan terlarang atau mengalami gangguan jiwa.
Setelah kematian Dina, Rendra semakin tenggelam dalam paranoia dan ketakutan. Dia mulai merasa terisolasi dari dunia luar. Edo adalah satu-satunya orang yang tersisa untuk membantunya. Namun, Rendra menuduh Edo berkomplot untuk merebut kotak musik itu.
"Kau juga ingin mengambilnya, kan?" Rendra menuduh Edo, matanya dipenuhi kecurigaan. "Kau ingin mengambil Aris dan Dina dariku!"
Edo mencoba menjelaskan. "Rendra, aku hanya ingin membantumu. Aku ingin kau terbebas dari benda terkutuk itu!"
Namun, Rendra tidak mendengarkan. Dia semakin keras kepala dan menolak semua bantuan. Edo menyerah dan memutuskan untuk menyelidiki sejarah kotak musik itu sendiri. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, membaca buku-buku kuno tentang sihir dan kutukan. Akhirnya, dia menemukan sebuah manuskrip kuno yang menceritakan tentang sebuah artefak yang dibuat dari jiwa seorang seniman yang mati tragis.
Manuskrip itu mengatakan bahwa artefak itu memiliki kutukan yang bisa menjebak jiwa. Jiwa yang terperangkap akan menjadi budak dari pemilik artefak, dan pemilik artefak akan menjadi gila dan kehilangan akal sehatnya. Edo menyadari bahwa manuskrip itu menggambarkan kondisi Rendra.
Edo bergegas kembali ke apartemen Rendra untuk memperingatkannya. Dia menemukan Rendra sedang berbicara dengan hantu Aris dan Dina. Rendra, yang sudah kehilangan akal sehat, berteriak pada Edo, mengatakan bahwa dia adalah iblis yang mencoba memisahkan Rendra dari Aris dan Dina. Rendra menusuk Edo dengan pisau. Edo meninggal di tempat.
Rendra tersadar dari halusinasinya dan melihat tubuh Edo. Dia menangis histeris. Dia mulai menyadari semua yang terjadi adalah perbuatan kotak musik itu. Dia mengambil pisau yang digunakannya untuk menusuk Edo dan menghancurkan kotak musik itu hingga berkeping-keping.
Tiba-tiba, dia merasakan kesakitan di perutnya. Dia melihat ke bawah, pisau itu tertancap di perutnya. Dia jatuh ke lantai, memuntahkan darah, dan perlahan-lahan kehilangan kesadaran.
Polisi tiba di tempat kejadian. Mereka menemukan tiga mayat: Edo, Dina, dan Rendra. Rendra adalah satu-satunya yang masih hidup, tetapi sekarat. Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, dia berbisik, "Kotak musik..."
Polisi kebingungan. Mereka menganggap Rendra bunuh diri dan membunuh teman-temannya dalam kondisi depresi. Kotak musik yang hancur itu disita sebagai barang bukti.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, seorang pedagang barang loak di kota lain menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Rendra di sebuah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kotak musik itu terlihat usang, tapi ukiran di atasnya sangat indah. Pedagang itu tersenyum dan mengambilnya. Dia menggosok kotak musik itu, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun.
Kematian Dina menjadi pukulan telak bagi Rendra. Rasa bersalah menghantamnya tanpa ampun. Dia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa kotak musik itu adalah penyebab dari semua tragedi ini. Tetapi di sisi lain, bisikan-bisikan itu semakin kuat. Bisikan-bisikan yang meyakinkan Rendra bahwa Dina tidak mati, melainkan terperangkap di dalam kotak musik, sama seperti Aris. Dalam halusinasi, dia melihat Dina tersenyum padanya, mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja selama Rendra menjaga kotak musik itu.
Edo, yang tersisa, adalah satu-satunya harapan Rendra untuk kembali normal. Edo datang setiap hari, membawa makanan, dan mencoba meyakinkan Rendra untuk mencari pertolongan profesional. Tetapi Rendra menolak. Dia menuduh Edo berkomplot dengan polisi untuk mengambil kotak musiknya.
"Aku tahu kau juga menginginkannya," Rendra berkata dengan suara parau, matanya merah. "Kau ingin mengambil mereka dariku!"
"Rendra, itu hanya halusinasi," jawab Edo dengan sabar. "Kotak musik itu berbahaya. Kita harus membuangnya."
"Tidak!" Rendra berteriak. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambilnya! Mereka membutuhkanku!"
Edo menyadari bahwa Rendra sudah kehilangan akal sehatnya. Dia memutuskan untuk bertindak. Dia harus mencari tahu sejarah kotak musik itu dan menemukan cara untuk menghancurkannya. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, membaca buku-buku kuno tentang sihir dan kutukan. Dia mencari-cari, membaca setiap baris, setiap kata, sampai akhirnya dia menemukan sebuah manuskrip yang cocok dengan deskripsi kotak musik.
Manuskrip itu menceritakan tentang seorang seniman bernama Kael. Kael adalah seorang pembuat kotak musik yang jenius, tetapi dia sangat depresi dan putus asa. Dia jatuh cinta pada seorang penari, tetapi cinta mereka ditolak. Karena patah hati, dia membunuh penari itu dan kemudian mengakhiri hidupnya sendiri. Sebelum dia mati, dia memindahkan jiwanya dan jiwa penari itu ke dalam sebuah kotak musik, berharap mereka akan bersatu selamanya.
Manuskrip itu mengatakan bahwa kotak musik itu memiliki kutukan. Siapa pun yang memutar engkolnya akan terperangkap dalam ilusi, percaya bahwa orang yang mereka cintai terperangkap di dalamnya. Kutukan itu akan memakan jiwa mereka, satu per satu, sampai mereka menjadi gila dan membunuh orang-orang terdekat mereka.
Edo terkejut. Dia menyadari bahwa Rendra adalah korban dari kutukan itu. Dia segera menelepon Rendra untuk memperingatkannya. Tetapi Rendra tidak mengangkat teleponnya. Edo, dengan panik, bergegas ke apartemen Rendra.
Ketika Edo tiba, dia menemukan Rendra sedang berbicara dengan udara kosong. "Aris, Dina, kalian baik-baik saja," Rendra berbisik, senyum aneh menghiasi wajahnya. "Aku akan segera bergabung dengan kalian."
Edo mendekat dengan hati-hati. "Rendra, kau harus mendengarkan aku!"
Rendra berbalik, matanya kosong. "Kau siapa?"
"Ini aku, Edo! Kau harus buang kotak musik itu! Itu terkutuk!"
"Kau bohong!" Rendra berteriak. "Kau iblis! Kau ingin mengambil mereka dariku!"
Rendra mengambil pisau di meja dan menyerang Edo. Edo mencoba untuk menghindar, tetapi Rendra terlalu cepat. Rendra menusuk Edo. Edo jatuh ke lantai, darah mengalir dari luka tusuk. Dia mencoba untuk berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
"Aku akan bergabung dengan kalian," Rendra berbisik kepada hantu Aris dan Dina. "Aku akan bergabung dengan kalian."
Rendra kemudian mengambil pisau itu dan menghancurkan kotak musik itu hingga berkeping-keping. Dia merasa sakit di perutnya. Dia melihat ke bawah, dan melihat pisau itu tertancap di perutnya. Dia jatuh ke lantai, memuntahkan darah, dan perlahan-lahan kehilangan kesadaran.
Polisi tiba di tempat kejadian. Mereka menemukan tiga mayat: Edo, Dina, dan Rendra. Rendra adalah satu-satunya yang masih hidup, tetapi sekarat. Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, dia berbisik, "Kotak musik..."
Polisi kebingungan. Mereka menganggap Rendra bunuh diri dan membunuh teman-temannya dalam kondisi depresi. Kotak musik yang hancur itu disita sebagai barang bukti.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, seorang pedagang barang loak di kota lain menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Rendra di sebuah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kotak musik itu terlihat usang, tapi ukiran di atasnya sangat indah. Pedagang itu tersenyum dan mengambilnya. Dia menggosok kotak musik itu, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun.
Pintu apartemen Rendra didobrak paksa oleh polisi. Sirine meraung-raung di luar, memecah kesunyian malam. Di dalam, pemandangan yang menyambut mereka adalah kekacauan dan kengerian. Bau amis darah menguar kuat, bercampur dengan aroma anyir yang tak dikenal. Di tengah ruang tamu, tergeletak tiga tubuh yang berlumuran darah.
Yang pertama, tubuh Edo, tergeletak di dekat sofa, dengan luka tusukan di dada. Wajahnya yang damai dalam kematiannya berbanding terbalik dengan kekejaman yang telah dia saksikan. Di dekatnya, tergeletak tubuh Dina, wajahnya pucat pasi. Tidak ada luka tusuk di tubuhnya, namun darah yang keluar dari mulutnya menunjukkan sesuatu yang tidak beres.
Dan yang ketiga, tubuh Rendra. Dia tergeletak tak berdaya di samping puing-puing kotak musik yang hancur. Pisau yang digunakannya untuk menusuk Edo kini tertancap di perutnya sendiri. Polisi segera memanggil ambulans, tetapi mereka tahu, ini hanya masalah waktu.
Seorang detektif senior, bernama Rizal, mendekati Rendra dengan hati-hati. Dia berlutut di samping Rendra, mencoba menenangkan pria itu. "Tuan, jangan banyak bergerak," kata Rizal dengan suara lembut. "Ambulans sedang dalam perjalanan."
Rendra menatapnya dengan mata yang kosong. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan sesuatu. Rizal mencondongkan telinganya. "Kotak musik..." bisik Rendra dengan suara yang hampir tak terdengar. "Kotak musik itu... penyebabnya..."
Rizal mengerutkan keningnya. Dia melihat ke puing-puing kotak musik di dekat Rendra. Benda itu hancur berkeping-keping, tidak mungkin bisa memberikan petunjuk. Dia berpikir bahwa Rendra telah kehilangan akal sehatnya, dan menganggapnya sebagai pelaku utama. Rendra dinyatakan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Polisi menyimpulkan bahwa Rendra bunuh diri setelah membunuh teman-temannya dalam keadaan depresi dan tidak stabil secara mental.
Kasus ini menjadi berita utama di seluruh kota. Sebuah tragedi yang mengejutkan, di mana seorang pria yang dikenal ramah dan baik hati tiba-tiba berubah menjadi pembunuh. Tidak ada yang tahu, kecuali Rendra dan teman-temannya, tentang keberadaan kotak musik itu. Polisi tidak menemukan bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa Rendra tidak bersalah. Mereka hanya menemukan pisau yang digunakan untuk membunuh Edo dan Rendra sendiri, dan kesaksian tetangga yang mendengar teriakan dan suara-suara aneh dari apartemen Rendra.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, kehidupan kembali normal. Berita tentang Rendra dan teman-temannya perlahan-lahan memudar dari halaman koran. Puing-puing kotak musik yang disita sebagai barang bukti diletakkan di dalam kotak, dan disimpan di gudang polisi. Tidak ada yang pernah menyentuhnya lagi.
Sementara itu, di sebuah kota lain yang jauh, seorang pedagang barang loak bernama Bima, menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Rendra di sebuah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kotak musik itu terlihat usang, tetapi ukiran di atasnya sangat indah. Ukiran yang sama persis seperti yang ada pada kotak musik Rendra, seorang perempuan menari di antara pepohonan.
Bima, seorang pria yang pragmatis, tidak percaya pada takhayul. Dia melihat kotak musik itu sebagai sebuah barang antik yang berharga. Dia menggosoknya, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun, memenuhi seluruh ruangan.
Ketika melodi itu berakhir, Bima tersenyum. Dia telah menemukan sebuah permata tersembunyi. Namun, senyum itu perlahan-lahan memudar dari wajahnya. Dia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah bisikan halus terdengar di telinganya, seolah-olah ada seseorang yang memanggil namanya. Bisikan itu terdengar seperti suara anak-anak yang tertawa, lalu berubah menjadi tangisan yang menyayat hati.
Bima mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan itu semakin keras. Bayangan-bayangan hitam yang mengganggu penglihatannya terlihat lebih nyata. Dia melihat sosok perempuan menari di antara pepohonan, sama seperti ukiran di kotak musik itu. Tetapi sosok itu tidak menari dengan gembira, melainkan dengan air mata yang mengalir di pipinya. Bima tidak tahu bahwa dia telah menjadi korban berikutnya dari kutukan kotak musik itu. Dia tidak tahu bahwa dia telah terperangkap dalam ilusi yang sama persis seperti Rendra.
Bima tidak tahu bahwa dia akan menjadi korban berikutnya, dan kisah horor ini akan terulang kembali.
Di apartemen yang kini telah menjadi tempat kejadian perkara, detektif Rizal mengamati setiap detail dengan mata tajam. Dia adalah seorang veteran yang telah melihat banyak hal, tetapi kasus ini berbeda. Tiga orang tewas, dua di antaranya dengan luka tusuk dan satu lagi dengan tanda-tanda keracunan yang misterius. Rendra, yang dianggap sebagai pelaku utama, sudah tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Polisi menyimpulkan ini adalah kasus pembunuhan-bunuh diri yang dipicu oleh gangguan mental. Namun, Rizal merasa ada sesuatu yang janggal.
Dia memeriksa tubuh Dina. Tidak ada luka tusuk, tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tetapi laporan otopsi menyebutkan ada pendarahan internal yang parah, dan sisa-sisa racun aneh yang tidak bisa diidentifikasi. Anehnya lagi, Dina diketahui memiliki riwayat penyakit jantung, tetapi hasil otopsi menunjukkan jantungnya berhenti karena syok yang parah. Rizal merasa ada yang tidak beres.
Kemudian dia memeriksa tubuh Edo. Edo tewas dengan satu luka tusuk di dada, yang cukup dalam. Pisau yang digunakan untuk menusuk Edo juga ditemukan tertancap di perut Rendra. Ini memperkuat teori bunuh diri-pembunuhan, tetapi Rizal tidak bisa melepaskan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak terlihat.
Lalu, dia melihat puing-puing kotak musik di dekat tubuh Rendra. Benda itu hancur berkeping-keping, tidak mungkin bisa memberikan petunjuk. Namun, Rendra, sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya, berbisik, "Kotak musik...". Kata-kata itu terus terngiang di telinga Rizal. Dia memutuskan untuk membawa puing-puing itu ke laboratorium forensik untuk dianalisis.
Hasil analisis forensik tidak menunjukkan apa pun yang luar biasa. Puing-puing itu terbuat dari kayu tua, dengan ukiran yang rumit. Tidak ada sidik jari orang lain, kecuali Rendra dan teman-temannya. Tidak ada jejak racun, tidak ada jejak sihir, tidak ada yang abnormal. Rizal kembali ke titik awal. Dia menyimpulkan bahwa Rendra memang gila dan telah membunuh teman-temannya dalam kondisi depresi. Kotak musik itu hanya barang usang, yang kebetulan berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.
Namun, Rizal tidak bisa melepaskan perasaan bahwa ada sesuatu yang terlewatkan. Dia kembali ke apartemen Rendra, memeriksa setiap sudut, setiap celah. Dia mencari-cari, membaca setiap baris, setiap kata. Dan akhirnya, dia menemukan sebuah buku harian.
Buku harian itu adalah milik Rendra. Di dalamnya, Rendra menceritakan setiap detail dari kisah horornya. Dia menceritakan tentang bagaimana dia menemukan kotak musik itu, bagaimana dia memutarnya, dan bagaimana bisikan-bisikan dan bayangan-bayangan itu mulai menghantuinya. Dia menceritakan tentang hilangnya Aris, kematian Dina, dan kegilaannya sendiri. Dia menceritakan tentang bagaimana dia membunuh Edo, dan bagaimana dia mencoba untuk menghancurkan kotak musik itu, hanya untuk menemukan bahwa dia telah menusuk dirinya sendiri.
Rizal terkejut. Dia membaca setiap kata, setiap baris, setiap halaman. Dia membaca tentang bagaimana Rendra berbicara dengan hantu Aris dan Dina, bagaimana dia percaya bahwa teman-temannya terperangkap di dalam kotak musik itu. Dia membaca tentang bagaimana Rendra mencoba untuk menghancurkan kotak musik itu, tetapi gagal.
Rizal menyadari bahwa Rendra tidak gila. Dia adalah korban. Dia adalah korban dari kutukan kotak musik itu. Rizal merasa kasihan pada Rendra, pada teman-temannya, pada tragedi yang menimpa mereka. Dia ingin memperingatkan orang lain, tetapi dia tahu, tidak ada yang akan percaya padanya. Mereka akan menganggapnya gila, sama seperti mereka menganggap Rendra gila.
Rizal kembali ke kantor polisi dan menulis laporan. Dia tidak bisa menuliskan apa yang dia baca di buku harian Rendra. Tidak ada yang akan percaya. Dia hanya menuliskan bahwa Rendra adalah seorang pria yang menderita gangguan jiwa, yang telah membunuh teman-temannya dalam kondisi tidak stabil. Laporan itu disetujui, dan kasus itu ditutup.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, kehidupan kembali normal. Berita tentang Rendra dan teman-temannya perlahan-lahan memudar dari halaman koran. Puing-puing kotak musik yang disita sebagai barang bukti diletakkan di dalam kotak, dan disimpan di gudang polisi. Tidak ada yang pernah menyentuhnya lagi.
Sementara itu, di sebuah kota lain yang jauh, seorang pedagang barang loak bernama Bima, menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Rendra di sebuah tumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Kotak musik itu terlihat usang, tetapi ukiran di atasnya sangat indah. Ukiran yang sama persis seperti yang ada pada kotak musik Rendra, seorang perempuan menari di antara pepohonan.
Bima, seorang pria yang pragmatis, tidak percaya pada takhayul. Dia melihat kotak musik itu sebagai sebuah barang antik yang berharga. Dia menggosoknya, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun, memenuhi seluruh ruangan.
Ketika melodi itu berakhir, Bima tersenyum. Dia telah menemukan sebuah permata tersembunyi. Namun, senyum itu perlahan-lahan memudar dari wajahnya. Dia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah bisikan halus terdengar di telinganya, seolah-olah ada seseorang yang memanggil namanya. Bisikan itu terdengar seperti suara anak-anak yang tertawa, lalu berubah menjadi tangisan yang menyayat hati.
Bima mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan itu semakin keras. Bayangan-bayangan hitam yang mengganggu penglihatannya terlihat lebih nyata. Dia melihat sosok perempuan menari di antara pepohonan, sama seperti ukiran di kotak musik itu. Tetapi sosok itu tidak menari dengan gembira, melainkan dengan air mata yang mengalir di pipinya. Bima tidak tahu bahwa dia telah menjadi korban berikutnya dari kutukan kotak musik itu. Dia tidak tahu bahwa dia telah terperangkap dalam ilusi yang sama persis seperti Rendra.
Bima tidak tahu bahwa dia akan menjadi korban berikutnya, dan kisah horor ini akan terulang kembali. Dia hanya berdiri di sana, di tengah ruangan tokonya, mendengarkan bisikan-bisikan itu, dan melihat bayangan-bayangan itu menari di depannya. Malam itu, dia tidak bisa tidur. Dia terus-menerus memikirkan kotak musik itu, dan tentang perempuan yang menari di dalam ukiran. Dia tidak tahu, bahwa dia telah membuka pintu ke dunia yang gelap, dan dia tidak akan pernah bisa kembali.
Pagi hari di sebuah toko barang loak di kota lain, Bima, sang pemilik, membuka matanya yang berat. Ia merasakan pusing yang luar biasa, seolah ia belum tidur sama sekali. Malamnya ia habiskan dengan memandangi kotak musik itu, mendengarkan bisikan-bisikan halus yang perlahan merangkak masuk ke dalam benaknya. Kotak musik itu kini menjadi satu-satunya fokus pikirannya, sebuah obsesi yang baru.
Pelanggannya pertama datang, seorang wanita paruh baya. Ia melihat Bima dengan tatapan khawatir. “Kamu baik-baik saja, Bima? Wajahmu pucat sekali,” tanyanya.
Bima hanya tersenyum kaku. “Tidak apa-apa, saya hanya kurang tidur.” Ia berusaha untuk terlihat normal, tetapi ia merasa tidak bisa. Rasanya ia bukan dirinya sendiri lagi.
Bisikan-bisikan itu kini tidak hanya terdengar saat malam hari, tetapi juga saat siang hari. Bisikan itu menyuruh Bima untuk tidak menjual kotak musik itu kepada siapa pun. “Dia milikmu,” bisik suara itu. “Kamu harus menjaganya.”
Bima pun menuruti. Ia menolak semua tawaran dari para pelanggan yang tertarik dengan kotak musik itu. Ia bahkan menaruhnya di dalam sebuah lemari kaca, seolah-olah kotak musik itu adalah harta karun yang tak ternilai harganya.
Satu per satu, hal-hal aneh mulai terjadi. Mula-mula, Bima mulai melihat bayangan-bayangan di sudut matanya. Bayangan-bayangan itu bergerak cepat, seolah-olah bersembunyi. Lalu, barang-barang di tokonya mulai bergerak sendiri. Kotak-kotak jatuh, patung-patung bergerak, dan buku-buku terlempar. Bima mencoba mencari penjelasan logis, tetapi ia tidak menemukan apa pun.
Bisikan-bisikan itu kini semakin jelas. Ia mulai mendengar suara-suara yang memanggilnya dengan sebutan “pemilik.” Suara-suara itu mengatakan bahwa mereka membutuhkan Bima. Mereka membutuhkan jiwanya. Bima mulai ketakutan. Ia menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Ia telah membuka pintu ke dunia yang gelap.
Suatu malam, saat ia menutup tokonya, ia mendengar suara tawa yang menyeramkan. Ia melihat ke belakang dan melihat sosok seorang perempuan menari di tengah-tengah tokonya. Sosok itu persis sama dengan ukiran yang ada di kotak musik. Wajahnya pucat pasi, matanya hitam legam. Ia menari dengan senyum yang menakutkan, seolah-olah ia sedang menertawakan Bima.
Bima berteriak, ia mengambil sebuah tongkat dan mencoba memukul sosok itu. Tetapi, sosok itu hanya menembusnya, seolah-olah ia hanya hantu. Sosok itu terus menari, semakin cepat, semakin cepat, hingga ia menghilang dalam sekejap.
Bima panik. Ia tahu ia harus menyingkirkan kotak musik itu. Tetapi bisikan-bisikan di kepalanya menjadi semakin kuat, melarangnya. “Jangan!” bisik suara-suara itu. “Jangan buang kami! Kami membutuhkanmu!”
Bima tidak bisa tidur lagi. Setiap kali ia mencoba tidur, ia melihat mimpi buruk yang mengerikan. Dalam mimpinya, ia melihat dirinya terperangkap di dalam sebuah sangkar, dengan ranting-ranting pohon yang menusuknya dari segala arah. Ia mendengar suara tawa yang menyeramkan, dan ia tahu, itu adalah tawa dari sosok penari itu.
Bima akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia tidak peduli dengan bisikan-bisikan atau bayangan-bayangan. Ia mengambil kotak musik itu dari lemari kaca, dan berlari keluar dari tokonya. Ia berlari ke sebuah jembatan, dan melemparkan kotak musik itu ke sungai. Ia melihat kotak musik itu tenggelam, dan ia merasa lega. Ia telah terbebas.
Bima kembali ke tokonya. Ia merasa damai. Bisikan-bisikan dan bayangan-bayangan itu telah hilang. Ia merasa seperti ia telah mendapatkan kembali hidupnya. Ia tersenyum, dan ia memutuskan untuk tidur. Malam itu, ia tidak mengalami mimpi buruk.
Keesokan harinya, Bima bangun dengan semangat baru. Ia pergi ke tokonya, dan ia terkejut. Di etalase tokonya, ada sebuah kotak musik. Kotak musik yang persis sama dengan yang ia buang ke sungai. Bima terkejut, ia menyentuh kotak musik itu, dan ia merasa dingin. Bisikan-bisikan dan bayangan-bayangan itu kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Bima menyadari bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari kutukan itu. Ia menyadari bahwa kotak musik itu tidak bisa dihancurkan atau dibuang. Ia menyadari bahwa ia telah menjadi budak dari kotak musik itu.
Beberapa hari kemudian, Bima ditemukan tewas di tokonya. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada luka tusuk. Hanya ada sebuah kotak musik yang tergeletak di samping tubuhnya. Polisi tidak bisa menemukan penyebab kematiannya. Mereka hanya menyimpulkan bahwa ia meninggal karena serangan jantung.
Berita tentang kematian Bima tidak terlalu menyebar. Tokonya ditutup, dan kotak musik itu disimpan sebagai barang bukti. Namun, tak lama kemudian, kotak musik itu menghilang dari gudang polisi. Tidak ada yang tahu ke mana perginya.
Di sebuah toko barang loak di kota lain, seorang wanita paruh baya menemukan sebuah kotak musik yang persis sama dengan yang dimiliki Bima. Kotak musik itu terlihat usang, tetapi ukiran di atasnya sangat indah. Wanita itu tersenyum dan mengambilnya. Dia menggosok kotak musik itu, membersihkannya, dan menaruhnya di etalase tokonya. Malam itu, dia memutar engkolnya. Alunan melodi yang indah namun sendu kembali mengalun, memenuhi seluruh ruangan.
Kutukan itu berlanjut. Tidak ada yang tahu, atau peduli, dari mana asalnya. Dan kisah horor itu terus berlanjut, dari satu orang ke orang lain, dari satu kota ke kota lain, selamanya.