Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,204
Maut Di Kapal Tua
Horor

Bab 1 – Dorongan Eksplorasi

Malam itu, di kafe remang-remang dengan aroma kopi kuat yang memenuhi udara, empat sekawan itu berembuk. Ari, dengan kamera DSLR usang di pangkuannya, adalah otak di balik setiap ide gila mereka. Rambutnya gondrong sebahu, selalu diikat asal-asalan, memberikan kesan seniman yang tak peduli dunia. Di hadapannya, Bayu, si pemberani yang selalu jadi vanguard dalam setiap ekspedisi, menggosok-gosokkan tangan, tidak sabar. Tubuhnya tegap, otot lengannya terlihat jelas di balik kaus hitam yang dikenakannya, hasil dari hobinya mendaki dan berlatih parkour. Rani, yang paling kalem di antara mereka, sibuk membolak-balik tabletnya, mencari informasi lebih lanjut. Kacamata bulat bertengger di hidungnya, mencerminkan cahaya layar, dan jari-jarinya lincah di atas keyboard virtual. Terakhir, Dita, si cerewet yang selalu punya komentar pedas tapi paling penakut, menggigit sedotan minumannya, sesekali melirik khawatir ke arah Ari.

"Jadi, bagaimana?" tanya Ari, matanya berbinar. "Kapal Kelana Laut. Enam puluh tahun terdampar, tidak pernah dipindahkan. Cerita mistisnya segudang."

Bayu langsung menyambar, "Kedengarannya asyik! Pasti banyak sudut gelap yang bisa kita jelajahi. Siapa tahu ada hantu pelaut tua yang siap menyambut kita!" Ia tertawa renyah, tapi ada nada antusiasme yang tak bisa disembunyikan.

Rani menggeser tabletnya mendekat. "Beberapa artikel menyebutkan kapal ini terbengkalai setelah insiden misterius. Semua awaknya hilang tanpa jejak. Ada yang bilang mereka bunuh diri massal, ada juga yang bilang ditarik ke dimensi lain." Ia menunjuk beberapa paragraf dengan ujung pensilnya. "Sejak itu, warga sekitar menghindari kapal ini. Mereka percaya ada sesuatu yang sangat jahat berdiam di sana."

Dita mendengus. "Kalian serius? 'Sesuatu yang sangat jahat'? Apa kita tidak bisa mencari tempat angker yang lebih... aman? Misalnya, rumah kosong di ujung gang atau bekas rumah sakit jiwa yang tidak terlalu jauh dari peradaban?" Suaranya sedikit bergetar, meskipun ia berusaha menyembunyikannya dengan nada merajuk.

"Justru itu tantangannya, Dita!" Ari tersenyum lebar. "Ini bukan sekadar eksplorasi, ini adalah puncak dari semua petualangan kita. Bayangkan view yang akan kita dapatkan dari sana. Video kita pasti akan viral!" Ia membayangkan ribuan like dan comment membanjiri kanal YouTube mereka. Proyek video mereka, "Jelajah Horor Indonesia", sudah cukup dikenal di kalangan ghost hunter amatir, tapi belum pernah sekalipun mereka menemukan sesuatu yang benar-benar paranormal. Ini bisa jadi kesempatan emas.

"Tapi warga setempat memperingatkan untuk tidak mendekat. Itu berarti ada alasan kuat, kan?" Dita masih mencoba.

"Itu hanya mitos, Dita," kata Bayu, mencoba menenangkan. "Lagipula, kalau ada apa-apa, kan ada aku yang siap melindungi kalian." Ia membusungkan dada dengan bangga.

Rani menatap mereka bergantian. "Aku tidak yakin ini ide yang bagus. Risiko terlalu besar. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan?"

Ari menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit kafe. "Kapan lagi kita bisa punya kesempatan seperti ini? Kapal tua di tengah rawa, jauh dari keramaian, menyimpan sejarah kelam. Ini adalah tempat yang sempurna untuk genre horor supernatural eksploratif yang kita inginkan. Visualnya akan sangat kuat."

Setelah perdebatan sengit, Ari akhirnya berhasil meyakinkan Dita dan Rani. Kekompakan mereka sebagai sahabat selalu berakhir dengan persetujuan untuk mengikuti ide-ide gila Ari. Mereka telah menjelajahi puluhan tempat angker—kuburan kuno, pabrik gula tua, rumah kosong di tengah perkebunan terbengkalai. Tidak ada yang pernah benar-benar menakutkan mereka, kecuali mungkin suara-suara aneh atau bayangan samar yang bisa dijelaskan secara logis. Mereka menganggap semua itu sebagai bagian dari "trik" yang biasa terjadi di tempat-tempat terbengkalai.

"Baiklah, tapi janji ya, kalau ada hal aneh sekecil apapun, kita langsung cabut!" Dita akhirnya menyerah, dengan syarat mutlak.

"Deal!" seru Ari dan Bayu serempak.

Mereka pun mulai menyusun rencana. Peralatan rekaman disiapkan: beberapa kamera GoPro, drone kecil, stabilizer, dan tentu saja, senter-senter bertenaga tinggi. Mereka juga menyiapkan makanan ringan, minuman, dan first-aid kit. Target mereka adalah tiba di lokasi menjelang malam, saat matahari terbenam dan menyisakan siluet misterius kapal di kejauhan.

"Ingat, kita harus punya storyline yang kuat," kata Ari. "Kita mulai dari eksterior, lalu masuk ke dalam, tunjukkan detail-detail yang menyeramkan, dan kalau bisa, tangkap sesuatu yang paranormal."

Rani menambahkan, "Kita juga harus mencari tahu sejarah kapal ini lebih dalam. Kenapa bisa terdampar di sana selama itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada awaknya?"

Persiapan ini memakan waktu beberapa hari. Semangat eksplorasi mereka membuncah, terutama Ari dan Bayu. Dita masih sering menunjukkan keraguan, tapi ia tak ingin dianggap pengecut. Rani, seperti biasa, adalah penengah yang memastikan semuanya berjalan sesuai rencana dan meminimalisir risiko. Mereka tidak tahu, bahwa kali ini, risiko itu akan datang dalam bentuk yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Bab 2 – Malam yang Terlupakan

Malam yang mereka tunggu akhirnya tiba. Langit mendung pekat, tanpa bintang, seolah-olah alam semesta ikut berkonspirasi untuk menyelimuti ekspedisi mereka dalam kegelapan yang sempurna. Mobil van tua milik Ari melaju membelah jalanan pedesaan yang sepi, sesekali lampu depannya menyorot ke arah pepohonan lebat di sisi jalan. Udara terasa lembap dan dingin, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk.

"Kita hampir sampai," ujar Bayu, mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyapu kegelapan di luar jendela.

Dita mencengkeram sabuk pengamannya lebih erat. "Aku sudah tidak nyaman sejak kita meninggalkan kota. Perasaanku tidak enak."

"Itu hanya sugesti, Dita," balas Ari, mencoba menenangkan, meskipun ia sendiri merasakan sedikit ketegangan merayapi punggungnya. Tapi excitement untuk menangkap sesuatu yang otentik jauh lebih besar dari rasa takut itu.

Tiba-tiba, lampu depan van menembus kegelapan dan menyorot sebuah siluet raksasa di kejauhan. Sebuah kapal, berkarat dan usang, berdiri tegak di tengah rawa-rawa dangkal, seperti monster laut yang terdampar dan enggan pergi. Kapal itu sangat besar, lebih besar dari yang mereka bayangkan dari foto-foto yang mereka lihat. Tiang-tiang layarnya patah, beberapa bagian deknya runtuh, dan karat tebal melapisi setiap inci permukaannya, seperti sisik naga yang tertidur.

"Wow," desah Bayu, terpesona. "Ini... epik."

Ari memarkir van di pinggir jalan tanah, agak jauh dari kapal agar tidak terlalu menarik perhatian. Begitu mesin dimatikan, keheningan mencekik langsung menyelimuti mereka. Hanya suara jangkrik dan embusan angin dingin yang memecah kesunyian.

Mereka turun dari van, masing-masing dengan tas ransel berisi perlengkapan. Ari mengambil kamera DSLR-nya, Bayu mengeluarkan dua GoPro, Rani memegang tablet dan power bank, sementara Dita membawa senter cadangan dan first-aid kit. Cahaya senter mereka menari-nari di antara semak belukar, menyorot genangan air keruh dan akar-akar bakau yang menjulur.

Ketika mereka mulai berjalan mendekat ke arah kapal, samar-samar terlihat beberapa gubuk kecil di kejauhan. Beberapa warga terlihat di ambang pintu, menatap mereka dengan tatapan khawatir dan tidak senang.

Seorang pria tua dengan rambut ubanan dan wajah keriput, yang sedang duduk di beranda gubuknya, tiba-tiba berdiri. Ia mengayunkan tangannya, memanggil mereka, dan berteriak dengan suara serak, "Jangan! Jangan naik ke kapal itu! Kapal itu terkutuk!"

"Dengar, kan?" bisik Dita, mencengkeram lengan Ari. "Warga sudah memperingatkan!"

Ari hanya mengangguk, mengabaikan peringatan itu. "Mereka hanya ketakutan. Ini bagian dari mitos yang membuat kapal ini jadi legenda." Ia melambaikan tangannya kembali ke arah pria tua itu, seolah-olah berterima kasih atas 'peringatan' yang tidak ia indahkan.

Mereka tiba di tepian rawa, di mana sebuah jembatan kayu reyot terhubung ke dek kapal. Jembatan itu tampak tidak aman, papan-papannya lapuk dan berlumut. Bayu, tanpa ragu, melangkahkan kakinya terlebih dahulu, menguji kekuatan papan. "Masih kuat," katanya, melompat-lompat ringan.

Satu per satu, mereka menyeberangi jembatan. Setiap langkah terasa bergema di tengah keheningan, dan suara derit kayu yang lapuk terdengar seperti rintihan. Begitu kaki mereka menginjak dek kapal, udara terasa berubah. Dingin, lebih dingin dari sebelumnya, dan ada aroma aneh yang menusuk hidung—campuran karat, air laut, dan sesuatu yang busuk, seperti kematian.

Ari menyalakan lampu sorotnya, menyoroti dek kapal. Karat tebal menutupi segalanya, dan lumut hijau tumbuh di setiap celah. Beberapa bagian dek sudah bolong, memperlihatkan gelapnya ruang di bawahnya. Tiang-tiang layar yang patah menjulang tinggi, seperti jari-jari raksasa yang menunjuk ke langit.

"Baiklah, mari kita mulai," bisik Ari, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Ia mulai merekam dengan DSLR-nya, sementara Bayu mengaktifkan GoPro-nya. Rani sibuk memotret dengan kamera ponselnya, dan Dita, meskipun takut, tetap berusaha menyingkirkan rasa cemasnya untuk kepentingan video.

Mereka menjelajahi dek atas terlebih dahulu. Angin berembus pelan, menyebabkan rantai-rantai berkarat beradu, menciptakan bunyi klang-klang yang menyeramkan. Di kejauhan, lampu-lampu gubuk warga terlihat seperti titik-titik cahaya yang semakin menjauh.

"Lihat ini," kata Bayu, menunjuk ke sebuah jendela kapal yang pecah. "Sepertinya ini ruang kapten."

Mereka menuruni tangga logam yang berkarat, menuju bagian dalam kapal. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan suara gemeretak yang menggema di lorong-lorong sempit dan gelap. Udara di dalam kapal jauh lebih pekat dan dingin, dengan bau apek yang menyengat. Lampu senter mereka menari-nari di dinding-dinding yang berjamur, menampilkan bayangan-bayangan aneh yang bergerak mengikuti arah cahaya.

"Ini seperti labirin," komentar Rani, sesekali mencatat sesuatu di tabletnya. "Peta kapal ini pasti sangat rumit."

"Justru itu yang kita cari, kan?" Ari tertawa kecil, mencoba menghilangkan ketegangan yang mulai terasa.

Mereka melewati ruang makan yang meja-mejanya sudah lapuk, dapur yang kotor dan penuh sarang laba-laba, dan lorong-lorong dengan pintu-pintu kabin yang terbuka setengah, menampilkan kekosongan gelap di dalamnya. Kamera Ari terus merekam, mencoba menangkap setiap detail, setiap sudut yang bisa menceritakan kisah bisu kapal ini.

Dita berjalan paling belakang, terus-menerus menengok ke belakang. Ia merasa seperti ada mata yang mengawasi mereka dari kegelapan. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan, tapi terasa sangat nyata.

"Aku merasa... ada yang tidak beres," bisik Dita kepada Rani.

Rani hanya mengangguk, ia sendiri merasakan hal yang sama. Namun, rasa penasaran mereka masih lebih besar dari rasa takut yang mulai tumbuh. Mereka terus berjalan, semakin dalam ke jantung kapal, tanpa menyadari bahwa setiap langkah membawa mereka semakin dekat ke ambang batas antara dunia nyata dan sesuatu yang jauh lebih gelap.

Bab 3 – Tertawa di Sudut Gelap

Selama lima belas menit pertama di dalam kapal, suasana terasa begitu sunyi dan damai, meskipun tetap mencekam. Mereka sudah berhasil menjelajahi ruang kapten, lorong awak yang berliku, dan dapur lama yang dipenuhi peralatan masak berkarat. Ari terus merekam, sesekali berbisik komentar tentang bagaimana luar biasanya visual yang ia dapatkan. Bayu berpose di beberapa spot, memamerkan keberaniannya di depan kamera GoPro. Rani sibuk mencari petunjuk, mengamati tulisan-tulisan pudar di dinding atau sisa-sisa barang pribadi awak kapal. Hanya Dita yang terlihat gelisah, kakinya terus bergerak-gerak tak nyaman, dan matanya tak henti menyapu setiap sudut gelap.

Mereka baru saja memasuki sebuah ruangan yang dulunya mungkin merupakan gudang penyimpanan. Ruangan itu luas, dengan tumpukan peti kayu yang lapuk dan tumpukan kain yang kotor di sudut-sudutnya. Debu tebal menutupi segalanya, dan udara terasa semakin pengap.

"Wow, lihat ini!" seru Ari, menyorotkan senternya ke arah sebuah peti kayu besar yang teronggok di tengah ruangan. "Mungkin ada harta karun di dalamnya!" Ia tertawa, mencoba mencairkan suasana.

Dita, yang sedang berdiri di dekat pintu masuk, tiba-tiba terdiam. Matanya membelalak, fokus pada satu titik di pojok ruangan yang paling gelap, di mana tumpukan kain kotor menjulang. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah dengan begitu cepat hingga ia bisa merasakannya berdenyut di telinganya.

"Dita, ada apa?" tanya Rani, menyadari perubahan ekspresi temannya.

Dita tidak menjawab. Ia hanya menunjuk dengan jari telunjuknya yang gemetar ke arah pojok itu. "Itu... itu ada sesuatu." Suaranya nyaris tidak terdengar, hanya bisikan yang tercekik oleh ketakutan.

Ari, Bayu, dan Rani menoleh ke arah yang ditunjuk Dita. Senter mereka menyapu pojok ruangan. Di sana, di antara bayangan-bayangan yang menari, Dita melihatnya lagi. Sesosok seperti manusia, tinggi, kurus, dengan postur yang tidak wajar, berdiri diam. Sosok itu tampak diselimuti kegelapan, sehingga detailnya tidak jelas, hanya siluet yang mengganggu.

"Apaan sih, Dita? Kamu bikin takut saja," kata Bayu, mencoba bersikap santai, meskipun ia juga merasakan ada sesuatu yang janggal.

Namun, saat senter mereka semua terfokus pada titik itu, sesuatu yang mengerikan terjadi. Sosok kurus itu, yang tadinya berdiri diam, perlahan-lahan menundukkan kepalanya, seolah sedang mengamati mereka. Lalu, dari kegelapan itu, terdengar suara tawa yang serak, kering, seperti gesekan tulang di batu. Tawa itu bukan tawa manusia, melainkan tawa yang dipenuhi kedinginan dan kekejaman, membuat bulu kuduk mereka meremang.

Seketika, Bayu mengayunkan senternya lebih keras, mencoba menyorot wajah sosok itu. Tapi saat cahaya senter mengenainya, sosok itu menghilang. Benar-benar lenyap, seolah tak pernah ada di sana. Ruangan itu kembali kosong, hanya menyisakan tumpukan kain kotor dan peti-peti lapuk.

Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka. Tidak ada yang berani berbicara. Tawa serak itu masih terngiang-ngiang di telinga mereka, terlalu nyata untuk disebut halusinasi.

"K-kalian lihat itu?" Dita akhirnya memecah keheningan, suaranya gemetar tak terkontrol.

"Aku... aku tidak yakin," kata Rani, menggosok-gosokkan lengannya. Ia sendiri tidak melihat sosok itu dengan jelas, hanya bayangan samar, tapi tawa itu... tawa itu terasa begitu nyata.

Ari, yang selalu rasional, mencoba mencari penjelasan logis. "Mungkin itu hanya efek bayangan, atau... atau ada seseorang yang bersembunyi di sana dan mencoba menakuti kita." Tapi bahkan saat ia mengatakannya, ia tahu itu terdengar tidak meyakinkan. Tawa itu terlalu asing, terlalu tidak manusiawi.

Bayu, si pemberani, terlihat pucat. "Suara itu... itu bukan suara manusia biasa."

Tiba-tiba, Dita berteriak kecil. "Udara! Udara di sini... berubah!"

Benar. Udara di dalam gudang itu tiba-tiba menjadi sangat berat dan dingin. Dingin yang menusuk tulang, dingin yang tidak disebabkan oleh suhu ruangan biasa. Dingin itu membawa serta aroma yang aneh, seperti bau tanah kuburan yang baru digali, bercampur dengan bau besi berkarat dan sesuatu yang lebih busuk, seperti daging membusuk.

Ari mencoba mengendalikan rasa takutnya. "Oke, oke, tenang. Mungkin hanya AC kapal yang menyala, atau kita hanya kedinginan karena tegang." Ia mencoba tertawa, tapi tawanya terdengar hambar. Ia menekan tombol perekam pada kameranya, memastikan ia masih merekam. Ia tahu ini adalah momen krusial untuk video mereka, tapi ia juga tahu ini terasa lebih dari sekadar "konten".

Mereka memutuskan untuk meninggalkan gudang itu. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menekan pundak mereka. Mereka berjalan menyusuri lorong yang sama, kembali ke arah ruang kapten. Dita terus-menerus menoleh ke belakang, matanya mencari-cari sosok itu. Ia tidak melihatnya lagi, tapi ia bisa merasakannya. Kehadiran yang dingin, menguntit di belakang mereka.

Saat mereka melewati sebuah pintu kabin yang terbuka, Dita bersumpah ia mendengar bisikan dari dalam kegelapan. Bisikan itu bukan kata-kata, melainkan semacam desahan panjang yang penuh keputusasaan, seperti seseorang yang sedang sekarat. Ia mempercepat langkahnya, hampir berlari, menarik-narik lengan Rani.

"Aku tidak suka ini," bisik Dita. "Kita harus keluar. Sekarang."

Ari menoleh, melihat wajah Dita yang pucat pasi dan mata Rani yang juga terlihat tegang. "Oke, kita akan keluar. Mungkin kita sudah cukup dapat konten untuk malam ini." Ia mencoba terdengar tenang, tapi suaranya sendiri sedikit bergetar.

Namun, di dalam lubuk hati mereka, mereka tahu ini bukan lagi sekadar proyek video. Ini adalah sesuatu yang nyata. Sesuatu yang telah terbangun dari tidurnya yang panjang, terganggu oleh kedatangan mereka. Dan kini, sesuatu itu tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja. Malam yang tadinya direncanakan sebagai petualangan seru, telah berubah menjadi awal mula dari teror yang tidak akan pernah mereka lupakan.

Bab 4 – Gangguan Dimulai

Keputusan untuk keluar dari kapal adalah satu-satunya pikiran yang memenuhi benak mereka. Mereka berjalan cepat menyusuri lorong-lorong sempit, senter mereka bergoyang-goyang, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding yang berlumut. Udara dingin dan berat masih membebani, dan bau busuk yang menyengat semakin kuat, membuat perut mereka mual.

"Sebelah sini," kata Ari, mencoba mengingat jalan. "Kita harusnya sudah dekat dengan dek utama."

Tiba-tiba, lampu senter Ari mulai berkedip-kedip, lalu padam sama sekali. "Sial! Baterainya habis?" Ia mencoba memukul-mukul senternya, tapi tidak ada gunanya.

Tak lama setelah itu, senter Bayu juga mulai redup, cahayanya melemah, lalu mati. Disusul senter Rani. Satu per satu, sumber cahaya mereka padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang pekat. Hanya senter kecil Dita yang masih menyala, memberikan cahaya yang sangat minim, nyaris tidak membantu.

"Kenapa semua mati?" seru Bayu, suaranya menunjukkan kepanikan. "Padahal baru saja diganti baterai baru!"

"Ini tidak mungkin kebetulan," bisik Rani, suaranya tercekat. Ia meraih tangan Dita, mencengkeramnya erat-erat.

Di tengah kegelapan yang semakin dalam, suara-suara mulai bermunculan. Awalnya, hanya ketukan-ketukan samar yang terdengar dari dinding-dinding kapal, seperti jari-jari yang mengetuk-ngetuk dari balik baja berkarat. Lalu, suara itu berubah menjadi isakan pelan, terdengar seperti tangisan seorang wanita yang kesakitan, bergema di lorong-lorong kosong. Semakin lama, isakan itu berubah menjadi jeritan samar, seperti seseorang yang disiksa, datang dari segala arah, memantul-mantul di dinding kapal, membuat mereka bingung dari mana asalnya.

Dita, yang sejak tadi sudah sangat gelisah, tiba-tiba terdiam. Tubuhnya kaku. Matanya membelalak lebar, menatap kosong ke depan. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar.

"Dita? Kamu kenapa?" tanya Rani, mengguncang lengan Dita.

Namun, Dita tidak menjawab. Ia hanya menggeram pelan, lalu kepalanya terentak ke belakang dengan keras. Matanya berputar ke atas, dan tubuhnya mulai bergetar hebat.

"Dita! Ada apa denganmu?" Ari dan Bayu mendekat, panik.

Lalu, dari mulut Dita, terdengar suara yang bukan miliknya. Suara itu dalam, serak, dan penuh kebencian, sama seperti tawa yang mereka dengar di gudang tadi.

"PERGI! KALIAN TIDAK AKAN PERGI!" teriak suara itu, bukan dengan bahasa Indonesia, melainkan bahasa aneh yang tak bisa mereka pahami, penuh desisan dan gumaman yang mengerikan. Setiap kata terasa seperti sengatan listrik di udara.

Dita sudah kesurupan.

"Sial! Dita kesurupan!" Bayu berseru, wajahnya berubah menjadi ekspresi ketakutan yang sesungguhnya. Ia mencoba memegang Dita, tapi tubuh gadis itu menegang dan menolak, seolah ada kekuatan tak terlihat yang merasukinya.

"Kita harus membawanya keluar!" teriak Ari. "Cepat, Bayu! Kita cari jalan keluar!"

Bayu mengangguk, ia mengangkat tubuh Dita yang meronta-ronta, berusaha membawanya pergi. Rani mengikuti di belakang, sambil terus mencoba menyorotkan senter kecil Dita yang tersisa, meskipun cahayanya terlalu redup untuk menerangi lorong yang gelap dan membingungkan itu.

Mereka berlari menyusuri lorong, mencoba menemukan pintu masuk yang tadi mereka gunakan. Namun, setelah beberapa menit berlari, mereka menyadari sesuatu yang mengerikan. Lorong-lorong itu terasa asing. Pintu-pintu yang tadinya terbuka kini tertutup rapat, dan beberapa bagian lorong yang seharusnya lurus kini berbelok atau berakhir di tembok buntu.

"Ini... ini tidak benar," kata Bayu, napasnya terengah-engah. Ia meletakkan Dita perlahan ke lantai, yang masih menggeram dan meracau dalam bahasa asing. "Pintu keluarnya tidak ada! Ini bukan lorong yang sama!"

Rani mencoba mengingat peta mental kapal yang ia buat sebelumnya. "Aku juga merasakannya. Struktur kapal ini berubah. Seperti... seperti kapal ini hidup dan terus menutup jalan keluar!"

Ketakutan yang sebelumnya hanya bisikan, kini berubah menjadi teror yang mencekik. Mereka terjebak. Di dalam kapal tua yang hidup, yang dikuasai oleh sesuatu yang jahat.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Bukan langkah kaki manusia, melainkan suara berat, menyeret, seperti seseorang yang berjalan dengan kaki pincang, namun memiliki bobot yang tidak biasa. Suara itu semakin mendekat, diikuti oleh bau busuk yang semakin menyengat.

Dita, yang tadinya meracau, kini mendesis lagi dalam bahasa aneh itu, namun kali ini dengan nada yang lebih menakutkan, seperti peringatan. Matanya yang kosong menatap ke arah sumber suara.

"Kita harus sembunyi!" bisik Ari, menarik tangan Rani. Ia mencoba menarik Dita juga, tapi tubuh Dita kaku tak bergerak.

Bayu akhirnya berhasil mengangkat Dita lagi. Dengan napas terengah-engah, ia menyeret Dita ke balik tumpukan peti di sudut lorong. Ari dan Rani bersembunyi di balik dinding yang berkarat, menahan napas, berharap suara itu tidak menemukan mereka.

Suara langkah kaki itu semakin dekat, semakin berat. Bau busuk itu kini menusuk hidung, membuat mereka ingin muntah. Lalu, sebuah bayangan hitam menjulang terlihat di ujung lorong, bergerak perlahan, seolah sedang mencari sesuatu. Bayangan itu sangat besar, lebih besar dari manusia biasa.

Mereka bersembunyi di kegelapan, jantung mereka berdebar kencang, berdoa agar mereka tidak terlihat. Mereka tahu, ini bukan lagi permainan. Mereka telah masuk ke dalam sarang iblis, dan iblis itu tidak akan melepaskan mereka dengan mudah. Malam yang seharusnya menjadi petualangan, kini berubah menjadi mimpi buruk yang nyata.

Bab 5 – Tercekik oleh Kegelapan

Detik-detik terasa seperti jam. Setiap suara, setiap desiran angin di luar kapal, terasa diperbesar, menjadi ancaman yang menghantui. Bayangan hitam yang mereka lihat di ujung lorong seolah bergerak dengan sangat lambat, mengitari area, seolah mencari mereka. Bau busuk yang mengerikan memenuhi udara, membuat mereka kesulitan bernapas.

Dita, yang masih dalam kondisi kesurupan, sesekali menggeram dan meracau dalam bahasa aneh. Bayu berusaha menahannya sekuat tenaga, tangannya gemetar menahan tubuh Dita yang terus mencoba meronta. Ari dan Rani bersembunyi di balik dinding berkarat yang sempit, mata mereka terpaku pada bayangan gelap itu, menunggu waktu yang tepat untuk bergerak.

Setelah beberapa saat yang terasa tak berujung, bayangan itu perlahan-lahan menjauh, kembali ke dalam kegelapan lorong. Suara langkah kaki yang menyeret dan berat itu akhirnya meredup, lalu menghilang sama sekali. Udara terasa sedikit lebih ringan, meskipun dingin yang menusuk tulang masih belum hilang.

"Kita harus keluar dari sini," bisik Ari, napasnya tersengal. "Aku tidak peduli lagi dengan videonya. Kita harus keluar."

Bayu mengangguk, melepaskan Dita perlahan yang kini tampak sedikit tenang, meskipun matanya masih memutih dan tatapannya kosong.

Saat mereka hendak bergerak, tiba-tiba Rani merasakan tarikan kuat di rambutnya dari belakang. Tarikan itu begitu keras hingga kepalanya terentak ke belakang. Ia menjerit, mencoba meraih rambutnya, tapi tangannya seolah tak bisa menyentuh apapun. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang menjambak rambutnya, menariknya dengan kekuatan brutal.

"Ada apa, Rani?!" teriak Ari, menoleh panik.

Sebelum Ari bisa mendekat, tubuh Rani tiba-tiba terangkat ke udara. Ia melayang beberapa inci di atas lantai, kakinya mengayun-ayun tak terkontrol. Wajahnya memerah, matanya membelalak, dan ia mencengkeram lehernya sendiri, seolah-olah dicekik oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia berteriak, tapi suaranya tercekik, hanya menghasilkan rintihan kesakitan yang memilukan.

Bayu dan Ari terpaku, tak bisa bergerak. Mereka hanya bisa melihat teman mereka melayang di udara, meronta-ronta dalam kesakitan. Teror melumpuhkan mereka.

Lalu, dengan sebuah sentakan keras, tubuh Rani dihempaskan ke lantai. Suara benturan yang mengerikan menggema di lorong. Rani kejang-kejang di lantai, tubuhnya bergetar tak terkontrol, matanya memutar ke atas. Mulutnya terbuka, mencoba menghirup napas, tapi hanya suara tersengal yang keluar.

"Rani!" Ari berteriak, akhirnya tersadar dari keterkejutannya. Ia segera berlutut di samping Rani, mencoba membantunya. Bayu juga mendekat, wajahnya dipenuhi ketakutan.

Dita, yang tadinya terdiam, kini mulai meracau lagi dalam bahasa aneh, tapi kali ini dengan nada yang terdengar seperti ketakutan yang dalam. Ia menunjuk ke arah Rani dengan jari gemetar, matanya masih kosong.

Ketika Ari mendekat, ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan. Darah mulai keluar dari mulut dan hidung Rani, menetes ke lantai yang berkarat. Napasnya semakin lemah, dan kejang-kejangnya mulai mereda, digantikan oleh keheningan yang menakutkan.

"Rani! Sadarlah, Rani!" Ari menepuk-nepuk pipi Rani, tapi tidak ada respons. Tubuh Rani sudah kaku, dan matanya masih terbuka, menatap kosong ke langit-langit.

Kini, mereka bertiga menyadari dengan jelas. Rani sudah tidak bernapas. Ia telah pergi.

Rasa putus asa dan teror yang luar biasa menyergap Ari dan Bayu. Mereka telah kehilangan teman mereka. Di tempat terkutuk ini. Air mata mengalir di pipi Ari, bercampur dengan keringat dingin. Bayu mencengkeram rambutnya, gemetar tak terkontrol.

"Kita harus pergi dari sini," bisik Bayu, suaranya parau. "Sekarang. Siapapun yang ada di sini... dia tidak akan berhenti."

Mereka berdiri, menatap tubuh tak bernyawa Rani di lantai. Tidak ada waktu untuk berduka. Mereka harus menyelamatkan diri mereka sendiri.

Ari memegang tangan Dita, yang masih berdiri seperti boneka, mata kosongnya menatap ke depan. "Dita, ayo! Kita harus lari!" Ia menarik Dita, tapi gadis itu masih kaku.

Bayu meraih tangan Dita yang lain, dan bersama-sama mereka menyeretnya. Mereka berlari tanpa arah, menyusuri lorong-lorong yang terasa semakin sempit dan berliku. Setiap tikungan terasa seperti sebuah jebakan baru.

Semua lorong kini seolah berubah bentuk. Dinding-dindingnya terlihat seperti bergeser, menutup jalan yang seharusnya ada. Lantai terasa tidak rata, kadang naik, kadang turun, membuat mereka kesulitan menjaga keseimbangan. Udara semakin pengap, dan bau busuk kini begitu kuat hingga rasanya mencekik.

Suara-suara mengerikan mulai terdengar lagi. Bisikan-bisikan dari dinding, desisan dari kegelapan, dan tawa serak yang jauh lebih dekat dari sebelumnya. Mereka mendengar suara langkah kaki yang berat, menyeret, dan suara mendesis seperti ular raksasa yang merayap di sekitar mereka.

Mereka berlari dan berlari, tapi rasanya tidak ada jalan keluar. Setiap lorong yang mereka masuki berakhir di tembok buntu, atau berputar kembali ke tempat yang sama. Seolah-olah kapal itu adalah labirin yang hidup, dan mereka adalah tikus yang terjebak di dalamnya.

Keputusasaan mulai menyelimuti Ari dan Bayu. Mereka telah kehilangan Rani, dan Dita masih dalam kondisi kesurupan. Mereka sendirian, terjebak di dalam kapal yang ingin membunuh mereka. Energi mereka mulai terkuras, ketakutan menguras setiap kekuatan yang tersisa.

Mereka tidak tahu ke mana harus pergi, tidak tahu harus berbuat apa. Hanya ada kegelapan, suara-suara menakutkan, dan bau kematian yang menyengat. Kapal tua ini telah menunjukkan sisi gelapnya, dan mereka adalah mangsa berikutnya.

Bab 6 – Terjebak dalam Labirin Setan

Napas Ari dan Bayu terengah-engah, paru-paru mereka terasa terbakar. Mereka terus menyeret Dita, yang kini mulai meronta lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Racauannya dalam bahasa asing semakin keras, dan dari mulutnya keluar buih-buih putih. Mereka sudah berlari selama yang mereka bisa ingat, melewati lorong demi lorong, tapi semua terasa sama. Kapal itu benar-benar telah menjadi labirin yang hidup, mengubah struktur dan menutup setiap jalan keluar.

"Kita... kita tidak bisa keluar!" teriak Bayu, suaranya nyaris pecah. Keringat dingin membanjiri wajahnya, bercampur dengan air mata.

Ari mengangguk, keputusasaan menguasai dirinya. Ia menatap Dita yang meronta, lalu ke arah lorong-lorong yang gelap dan tak berujung. "Aku tidak tahu lagi harus ke mana..."

Tiba-tiba, mereka memasuki sebuah ruangan yang lebih luas, tampak seperti ruang penyimpanan barang-barang pribadi. Di salah satu sisi ruangan, terdapat deretan lemari besi berkarat dengan pintu-pintu yang sudah copot. Namun, yang paling menarik perhatian adalah sebuah kaca besar yang pecah di tengahnya, tergantung miring di dinding yang berjamur. Kaca itu sangat kotor, tertutup debu dan lumut, namun masih memantulkan bayangan samar.

"Kaca..." bisik Bayu, matanya tertuju pada pantulan samar mereka di permukaan kaca.

Namun, saat ia menatap lebih lekat, Bayu merasakan jantungnya mencelos. Di pantulan kaca, ia melihat mereka bertiga—Bayu, Ari, dan Dita—tetapi ada sesuatu yang salah. Refleksi mereka di kaca bergerak sendiri. Bayangan Dita yang di pantulan kaca tidak lagi meronta-ronta seperti aslinya, melainkan berdiri tegak, dengan senyum mengerikan terukir di wajahnya.

Lalu, bayangan Ari di kaca menunjuk ke arah jendela kapal yang tertutup rapat di sisi lain ruangan, di mana kegelapan pekat terlihat dari luar. Ekspresi di wajah bayangan itu bukanlah Ari yang ketakutan dan putus asa, melainkan ekspresi kejam dan mengejek.

"Apa-apaan ini?" Bayu bergumam, otaknya berusaha mencerna pemandangan aneh itu.

Bayangan Ari di kaca tiba-tiba mengulurkan tangannya, seolah memanggil Bayu. Lalu, bayangan Dita di kaca tersenyum lebih lebar, dan dari mulutnya, terdengar suara tawa yang serak, sama persis seperti tawa yang mereka dengar di gudang. Tawa itu bergema dari pantulan kaca, bukan dari Dita yang asli.

"Jangan mendekat, Bayu!" teriak Ari, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

Tapi sudah terlambat. Rasa penasaran dan ketakutan telah melumpuhkan Bayu. Ia melangkah maju, mendekati kaca, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya. Ia mendekat, mendekat, hingga wajahnya terpantul jelas di pecahan kaca.

Dan saat itulah, bayangan Dita di kaca tiba-tiba menerkam. Tangannya yang pucat di pantulan kaca terulur, menembus permukaan kaca, dan Bayu merasakan cengkeraman dingin di lehernya. Cengkeraman itu begitu kuat, begitu tiba-tiba, hingga Bayu tidak sempat berteriak.

Matanya membelalak, napasnya tercekat. Ia mencoba meronta, mencakar udara, tapi cengkeraman itu semakin kuat. Bayu bisa merasakan giginya bergemeletuk, dan pandangannya mulai kabur. Ia melihat ke arah Ari dan Dita, mencoba meminta pertolongan, tapi tubuhnya sudah lunglai.

Dalam hitungan detik, tubuh Bayu terangkat dari lantai, tertarik masuk ke dalam kaca yang pecah. Tidak ada suara, tidak ada jeritan. Hanya gema pecah kaca yang samar. Ari dan Dita menyaksikan dengan ngeri saat Bayu menghilang ke dalam pantulan itu, seolah-olah ditelan oleh cermin.

Ruangan itu kembali sunyi. Hanya menyisakan Ari dan Dita, yang masih dalam kondisi kesurupan, berdiri terpaku.

Ari terkesiap, mundur beberapa langkah. "Bayu!" Ia berteriak, suaranya parau karena syok. Ia berlari ke arah kaca, mengulurkan tangannya, mencoba meraih apa yang tersisa dari temannya. Tapi tidak ada apa-apa, hanya permukaan kaca yang dingin dan pecah.

Air mata membasahi pipi Ari. Kini hanya tersisa dia dan Dita. Rani sudah tewas, Bayu menghilang. Teror yang mereka alami jauh melampaui batas imajinasi terliar mereka.

Dita, yang sejak tadi berdiri kaku, tiba-tiba menggeram lagi. Matanya yang memutih menatap Ari. Dari mulutnya, terdengar suara tawa serak yang familiar itu, kali ini lebih dekat, lebih menyeramkan.

"SEKARANG GILIRANMU," bisik suara itu, dalam bahasa aneh yang dipenuhi kebencian.

Ari mundur lagi, menyadari bahwa Dita kini sepenuhnya dikuasai. Ia tidak lagi melihat temannya di dalam tubuh itu. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang jahat.

Ia meraih tangan Dita, mencoba menariknya kembali, mencoba membawanya pergi. "Dita! Sadarlah! Aku mohon!"

Tapi Dita tidak merespons. Ia hanya terus tertawa, dan cengkeramannya pada tangan Ari terasa begitu dingin. Dita mulai menarik Ari, seolah-olah mencoba menyeretnya ke dalam kegelapan.

Ari mencoba melepaskan diri, tapi Dita memiliki kekuatan yang tidak wajar. Mereka saling tarik-menarik dalam kegelapan. Tiba-tiba, dari kegelapan di belakang Dita, sesuatu muncul.

Sebuah kabut hitam pekat, tebal, dan berbau busuk, mulai menyelimuti kaki Dita. Kabut itu bergerak cepat, melilit tubuh Dita, menariknya ke belakang dengan kekuatan yang luar biasa. Dita tidak berteriak, tidak meronta. Ia hanya memandang Ari dengan mata kosong, dan senyum mengerikan terukir di wajahnya.

Ari mencoba menahan, mencengkeram tangan Dita sekuat tenaga. "Dita! Jangan!"

Tapi kabut hitam itu terlalu kuat. Dengan satu sentakan kasar, Dita ditarik paksa ke dalam kabut hitam itu, lalu menghilang sepenuhnya. Kabut itu menyusut kembali ke dalam kegelapan, meninggalkan Ari sendirian.

Kini, Ari adalah satu-satunya yang tersisa. Sendirian. Di dalam kapal tua yang penuh hantu ini. Ia berlutut di lantai, napasnya tersengal, air mata mengalir deras. Teman-temannya, semuanya, telah pergi. Hilang ditelan kegelapan kapal ini.

Ia tidak bisa lagi memikirkan kamera, video, atau konten. Yang ada hanyalah rasa takut yang murni dan putus asa. Ia harus keluar dari sini. Atau ia akan menjadi korban berikutnya.

Bab 7 – Lompat Menuju Kehidupan

Kesendirian Ari di dalam kapal itu terasa lebih dingin dan mencekik daripada hawa dingin yang menusuk tulang sebelumnya. Ia berlutut, napasnya terengah-engah, dengan isak tangis yang tertahan di tenggorokannya. Dita, Bayu, Rani—semua sudah hilang. Ditelan oleh kegelapan yang tak berperasaan.

Suara-suara di sekelilingnya kini terdengar jauh lebih jelas. Bisikan-bisikan, rintihan, dan tawa serak yang sesekali muncul, semuanya seolah mengelilinginya, mempermainkan kewarasannya. Ia bisa merasakan kehadiran-kehadiran tak kasat mata di sekelilingnya, menatap, mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menerkam.

"Aku harus keluar," gumam Ari, suaranya parau. Ia berdiri, kakinya gemetar. Senter kecilnya sudah lama mati, ia benar-benar sendirian dalam kegelapan pekat. Ia harus mengandalkan insting dan ingatannya.

Ia mulai berlari lagi, tanpa arah yang jelas. Ia hanya mengikuti naluri untuk mencari cahaya, mencari jalan keluar, mencari kehidupan. Lorong-lorong masih terasa seperti labirin, berliku-liku dan menyesatkan. Tapi kali ini, Ari tidak lagi mencoba mengingat jalan. Ia hanya berlari, berharap setiap langkah membawanya lebih dekat ke kebebasan.

Saat ia berlari, suara-suara teman-temannya mulai memanggil namanya.

"Ari... tolong aku..." Itu suara Rani, lemah dan memohon.

"Ari... jangan tinggalkan aku..." Itu suara Bayu, dipenuhi kesedihan.

"Ari... kenapa kamu lari?" Itu suara Dita, dengan nada yang begitu dingin dan menakutkan, berbeda dari Dita yang dikenalnya.

Ari mengabaikan suara-suara itu, tahu bahwa itu hanyalah tipuan dari entitas yang mencoba menjebaknya. Ia terus berlari, meskipun kakinya terasa berat, dan paru-parunya sakit.

Lalu, suara-suara itu berubah. Rintihan dan tangisan mereka yang memohon berubah menjadi tawa yang melengking, seperti orang gila, bergema dari segala arah. Tawa itu dipenuhi kekejian, seolah-olah mereka senang melihat Ari menderita.

Ia berlari dan berlari, hingga akhirnya, samar-samar ia melihat cahaya rembulan menembus sebuah lubang besar di langit-langit kapal. Itu pasti geladak utama! Harapan membuncah di dadanya.

Ia mengerahkan seluruh sisa tenaganya, berlari menuju cahaya itu. Suara tawa gila semakin keras di belakangnya, seperti mengejar. Ia bisa merasakan hawa dingin yang intens di punggungnya, seolah ada sesuatu yang semakin mendekat.

Ketika ia mencapai tangga menuju geladak utama, ia mendengar suara yang mengerikan dari bawah lantai kapal. Suara retakan keras, seperti kayu yang hancur, diikuti oleh geraman yang dalam dan mendesis. Lantai di bawahnya bergetar.

Ari berhasil mencapai geladak utama. Udara segar yang menusuk hidung terasa seperti embusan napas kehidupan. Di atas geladak yang lapuk, ia melihat bintang-bintang samar di balik awan. Bulan bersinar redup, memancarkan cahaya perak ke permukaan air yang gelap.

Namun, belum sempat ia bernapas lega, sesuatu yang sangat besar dan hitam mulai muncul dari bawah lantai kapal. Makhluk itu muncul dari sebuah lubang besar yang baru saja terbentuk, seperti monster yang lahir dari perut kapal. Bentuknya tidak jelas, hanya sebuah gumpalan kegelapan yang menjulang tinggi, dengan mata merah menyala yang menatapnya. Bau busuk itu kini begitu kuat hingga membuat Ari terhuyung.

Makhluk itu bergerak perlahan, merangkak keluar dari lubang, mengisi sebagian besar area geladak. Ari melihat tentakel-tentakel gelap bergerak-gerak, dan ia bisa mendengar suara geraman yang mengerikan datang dari dalam kegelapan makhluk itu.

Ari tidak punya pilihan lain. Ia sudah terjebak. Di belakangnya, makhluk itu sudah menghalangi jalan. Di depannya, hanya ada lautan gelap.

Dengan putus asa, Ari menatap ke arah laut. Ia tidak bisa bertahan di kapal ini. Ia tahu itu. Jika ia tetap di sana, ia akan berakhir seperti teman-temannya. Ia akan menjadi bagian dari kegelapan ini.

Mengumpulkan sisa keberaniannya, Ari melangkah ke tepian geladak. Di bawah sana adalah air laut yang dingin dan gelap, penuh misteri yang tak kalah menakutkan. Tapi itu lebih baik daripada bertemu dengan makhluk mengerikan yang ada di belakangnya.

Ia mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa dalam dirinya. Ia memejamkan mata, memikirkan wajah teman-temannya, memikirkan hidup yang ingin ia jalani.

Dan dengan satu dorongan kuat, Ari melompat ke laut.

Tubuhnya menghantam permukaan air dengan suara keras. Dinginnya air segera menyengat kulitnya, menjalar ke seluruh tubuh. Ia tenggelam sesaat, lalu muncul ke permukaan, terengah-engah. Ia berenang sekuat tenaga, menjauhi kapal terkutuk itu. Ia menoleh ke belakang, melihat siluet besar makhluk hitam itu di geladak kapal, menjulang tinggi di bawah cahaya rembulan. Ia bisa mendengar geraman marah dari kapal itu.

Ari terus berenang, tidak peduli seberapa dinginnya air, tidak peduli seberapa lelahnya tubuhnya. Ia berenang menuju cahaya samar dari gubuk-gubuk warga yang tadi malam memperingatkannya.

Ia tidak tahu berapa lama ia berenang. Rasanya seperti berjam-jam. Tubuhnya mulai mati rasa, dan ia merasa pusing. Setiap tarikan napas terasa sulit. Ia mulai menyerah, kepalanya mulai tenggelam.

Tapi kemudian, ia melihat cahaya senter di kejauhan. Dan ia mendengar suara-suara.

"Ada orang di sana!"

"Cepat! Tarik dia!"

Beberapa saat kemudian, Ari merasakan tangan-tangan kuat menariknya dari air. Ia terbatuk-batuk, mengeluarkan air asin dari paru-parunya. Ketika matanya terbuka, ia melihat wajah-wajah khawatir para warga yang tadi malam mencoba memperingatkannya. Pria tua yang berteriak padanya, kini berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kasihan.

"Syukurlah kamu selamat, Nak," bisik pria tua itu, suaranya dipenuhi kelegaan. "Kami tahu ada yang tidak beres ketika lampu senter kalian padam satu per satu."

Ari hanya bisa mengangguk, terlalu lemah untuk berbicara. Ia diselimuti selimut tebal, dan dibawa ke salah satu gubuk warga. Ia selamat. Tapi ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan malam yang mengerikan di Kapal Kelana Laut.

Bab 8 – Pagi yang Dingin

Pagi itu, udara terasa dingin dan lembap. Matahari terbit dengan malu-malu, menyiratkan cahaya pucat di langit yang masih mendung. Ari duduk di beranda gubuk milik Pak Ramli, pria tua yang menolongnya. Tubuhnya masih gemetar, bukan karena dingin, tapi karena trauma yang mendalam. Ia memegang secangkir teh hangat, uapnya mengepul, tapi ia tidak bisa merasakannya. Pikirannya masih terpaku pada kejadian semalam.

Pak Ramli duduk di sampingnya, memandangi kapal tua Kelana Laut yang kini terlihat jelas di bawah cahaya pagi. Kapal itu tampak lebih mengerikan di siang hari, dengan karat tebal dan lubang-lubang besar di lambungnya, seperti luka menganga.

"Kami sudah memperingatkan kalian," kata Pak Ramli, suaranya pelan. "Kapal itu... bukan tempat yang baik. Kami sudah lama tahu."

Ari tidak menjawab. Ia hanya bisa mengangguk. Penyesalan mendalam menguasai dirinya. Rasa bersalah menghimpit dadanya. Teman-temannya. Rani, Bayu, Dita. Mereka semua pergi karena ide gila Ari.

Beberapa jam kemudian, tim SAR dan polisi tiba di lokasi. Warga desa telah melaporkan kejadian itu setelah Ari menceritakan apa yang terjadi, meskipun dengan suara yang masih tergagap-gagap. Ari ikut dalam pencarian, berharap—meskipun ia tahu itu adalah harapan yang sia-sia—teman-temannya masih hidup.

Mereka menyusuri jembatan reyot itu lagi, masuk ke dalam perut kapal. Setiap langkah Ari terasa berat, seperti ia berjalan di atas kuburan teman-temannya. Ia menunjuk lokasi terakhir ia melihat Rani, Bayu, dan Dita menghilang.

Pencarian memakan waktu berjam-jam. Polisi dan tim SAR menggunakan peralatan penerangan yang kuat, menyisir setiap sudut dan lorong kapal. Ari menjelaskan secara rinci tentang bagaimana lorong-lorong itu berubah, bagaimana lampu senter mereka padam, dan bagaimana ia melihat teman-temannya lenyap. Para petugas, meskipun skeptis, tetap melakukan pencarian secara menyeluruh.

Dan akhirnya, mereka menemukannya.

Dita ditemukan pertama kali, di salah satu kabin awak yang sempit. Tubuhnya meringkuk di sudut, wajahnya masih menunjukkan ekspresi ketakutan yang luar biasa, mata terbelalak, dan bibirnya membiru. Lehernya tampak bengkak, seperti dicekik oleh sesuatu yang tidak terlihat, meninggalkan bekas-bekas kebiruan yang mengerikan.

Tak lama setelah itu, Rani ditemukan di ruang makan, tak jauh dari tempat Ari terakhir melihatnya. Tubuhnya kaku, tergeletak di samping meja yang roboh. Wajahnya juga dipenuhi ekspresi teror, dan darah kering masih terlihat di sekitar mulut dan hidungnya. Sama seperti Dita, lehernya juga tampak membiru.

Yang terakhir adalah Bayu. Ia ditemukan di dekat sebuah ceruk di dalam kapal, jauh di bawah geladak, di area yang paling gelap. Tubuhnya tersangkut di antara balok-balok kayu yang patah, dengan ekspresi ketakutan yang sama membekas di wajahnya. Ada bekas cengkeraman yang jelas di lehernya, dan warna kulitnya sudah membiru kehitaman.

Ketiga temannya, Dita, Rani, dan Bayu, tewas mengenaskan di tiga lokasi berbeda dalam kapal. Penyebab kematian mereka semuanya sama: mati lemas, dengan tubuh membiru seperti dicekik sesuatu yang tidak terlihat. Tidak ada tanda-tanda perlawanan yang berarti, seolah-olah mereka dilumpuhkan oleh ketakutan sebelum akhirnya dicekik hingga tewas.

Ari menyaksikan proses evakuasi tubuh teman-temannya. Ia tidak bisa menahan tangisnya. Rasa bersalah itu menusuknya lebih dalam dari pisau. Ia adalah satu-satunya yang selamat, satu-satunya yang berhasil lolos dari cengkeraman Kapal Kelana Laut.

Setelah evakuasi selesai, pihak kepolisian dan tim SAR memasang garis larangan di sekeliling Kapal Kelana Laut. Papan-papan peringatan dipasang, bertuliskan "Dilarang Masuk" dan "Danger Zone". Warga sekitar, yang sudah tahu kisah seram kapal itu, hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka menyebut kapal itu dengan julukan barunya: "Kapal Maut."

Media lokal mulai memberitakan insiden tragis ini. Beberapa berita menyebutnya sebagai kasus bunuh diri massal yang aneh, yang lain berspekulasi tentang gas beracun atau struktur kapal yang tidak stabil. Namun, tidak ada yang berani menyebutkan tentang hal-hal supernatural. Hanya Ari, yang tahu kebenaran mengerikan di balik insiden itu.

Ari mencoba melanjutkan hidup. Ia berhenti dari hobinya menjelajahi tempat angker. Kamera DSLR-nya teronggok di sudut kamar, tak tersentuh. Setiap malam, ia dihantui oleh mimpi buruk. Mimpi tentang tawa serak, bisikan di kegelapan, dan wajah-wajah ketakutan teman-temannya. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa melupakan apa yang terjadi di kapal itu.

Kapal Kelana Laut, si "Kapal Maut," tetap di sana, terdampar di tengah rawa, sebuah monumen bisu bagi tiga nyawa yang hilang. Warga tidak pernah berani mendekat lagi. Dan Ari, setiap kali ia memejamkan mata, ia bisa merasakan udara dingin yang mencekik, dan mendengar tawa serak yang terus menghantuinya. Ia tahu, meskipun ia selamat, sebagian dari dirinya telah tertinggal di dalam kapal itu, terperangkap bersama teman-temannya, selamanya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)