Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,049
Jejak Pulang Yang Berdarah
Misteri

Bab 1: Bayangan di Pinggir Kota

Angin malam menusuk tulang Arka yang kedinginan, menyapu helai-helai rambutnya yang lengket oleh peluh. Di hadapannya terhampar jalanan sepi, gelap gulita kecuali di bawah pendar rembulan yang samar. Sebuah bisikan serak menampar telinganya, "Mereka sudah mati." Arka mengerjap, mencoba fokus. Tangannya terasa lengket, basah, dan kental. Dia mengangkatnya, melihat cairan merah pekat yang menutupi kulitnya—darah. Panik seketika menyerbu, jantungnya berpacu bagai genderang perang di dalam rongga dadanya. Di depannya, tergeletak lima sosok tak bernyawa, berserakan di aspal. Siluet mereka membaur dengan kegelapan, namun Arka mengenali mereka. Wajah-wajah familiar itu, yang seharusnya mengisi hari-harinya, kini membeku dalam kebisuan abadi. Ayahnya, dengan kemeja flanel kesukaan. Ibunya, dengan senyum lembut yang kini pudar. Kakak perempuannya, adiknya, dan si bungsu… mereka semua ada di sana, tanpa bergerak.

"Tidak... tidak mungkin," gumam Arka, suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia mencoba meraih salah satu dari mereka, tangannya gemetar hebat. Namun, sebelum sentuhan itu terjadi, pandangannya kabur. Siluet-siluet itu menghilang, lenyap seperti embun di bawah terik matahari. Arka terhuyung mundur, napasnya tersengal. Jalanan itu kembali kosong, aspalnya kering, tidak ada noda darah, tidak ada mayat. Hanya dia, berdiri sendirian di tengah keheningan mencekam.

Ini bukan yang pertama kali. Halusinasi seperti ini telah menghantuinya selama beberapa bulan terakhir. Awalnya hanya bayangan samar, bisikan-bisikan aneh yang menghilang saat ia mencoba menangkapnya. Namun, belakangan ini, ilusi itu semakin nyata, semakin detail, semakin mengerikan. Ia bisa merasakan dinginnya aspal di bawah telapak tangannya, bau amis darah yang menusuk hidungnya, bahkan kebekuan yang memancar dari tubuh-tubuh tak bernyawa itu. Setiap kali, ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuh bermandikan keringat dingin, dan perasaan bersalah yang menghimpit dada.

Arka mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Sebuah produk dari pikirannya yang lelah, mungkin stres, atau kurang tidur. Dia bekerja sebagai desainer grafis lepas, sering begadang menyelesaikan proyek, dan jadwalnya memang tidak teratur. "Ini cuma mimpi, Arka. Sadar," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir sisa-sisa kengerian itu. Namun, kata-kata itu terasa hampa, tak mampu menembus ketakutan yang mengakar.

Di siang hari, Arka mencoba menjalani hidup normal. Ia pergi ke kedai kopi langganan, menyapa barista, duduk di sudut favoritnya dengan laptop. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, pada desain-desain yang harus ia selesaikan. Namun, di tengah-tengah garis vektor dan palet warna, bayangan-bayangan itu mulai muncul. Sekilas, ia melihat bayangan ibunya melintas di kerumunan, atau mendengar tawa adiknya dari balik meja di seberang. Ia akan menoleh cepat, mencarinya, tapi selalu berakhir dengan kekosongan. Tatapan orang-orang di sekelilingnya mulai terasa menghakimi, seolah mereka tahu rahasia kelam yang ia simpan. Paranoia perlahan merayapi benaknya, mencekiknya.

Malam harinya, situasinya semakin buruk. Tidur adalah sebuah siksaan. Setiap ia memejamkan mata, pemandangan jalanan sepi itu kembali muncul. Darah di tangannya, wajah-wajah pucat keluarganya. Kadang, ada variasi. Ia melihat dirinya memegang pisau, atau mencekik leher mereka. Suara-suara rintihan, teriakan, dan desisan nafas terakhir menghantuinya. Ia sering terbangun dengan teriakan, membuat tetangga kosnya, Pak Budi, mengetuk pintu kamarnya, bertanya apakah ia baik-baik saja. Arka selalu menjawab dengan alasan klise: mimpi buruk, ketindihan, atau sekadar sakit perut.

Rasa bersalah itu terus menggerogoti. Bagaimana jika ini bukan mimpi? Bagaimana jika ia benar-benar melakukan sesuatu yang mengerikan? Kenapa ia tidak bisa mengingatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya tanpa henti, menciptakan badai kebingungan yang tak berujung. Ia mulai mengisolasi diri. Menolak ajakan teman-temannya untuk keluar, membatasi interaksi sosial, bahkan menghindari tatapan cermin. Setiap kali ia melihat pantulan dirinya, ia merasa ada sosok lain di baliknya, sosok asing dengan mata kosong dan senyum sinis yang mengganggu.

Berat badannya mulai turun drastis. Kantung matanya menghitam, dan kulitnya pucat pasi. Ia sering melamun, tatapannya kosong, pikirannya berkelana ke tempat-tempat yang tidak ia kenali. Pekerjaannya terbengkalai. Klien-klien mulai mengeluh, menanyakan progres, namun Arka hanya bisa memberikan alasan-alasan yang lemah. Produktivitasnya merosot tajam, dan ia mulai kehilangan proyek-proyek penting.

Suatu malam, halusinasi itu kembali datang, lebih nyata dari sebelumnya. Ia tidak lagi di jalanan sepi, melainkan di dalam sebuah ruangan yang gelap, pengap, dengan bau karat dan tanah. Di depannya, keluarganya tergeletak di lantai, tubuh mereka kaku, mata mereka menatap kosong ke arahnya. Kali ini, ia melihat tangannya mencengkeram erat sebuah obeng, ujungnya berlumur darah. Darah yang sama yang ia lihat di jalanan. Sebuah bisikan lain muncul, lebih jelas, lebih menyeramkan. "Ini semua salahmu, Arka. Kau yang melakukannya." Suara itu terdengar seperti suara ayahnya, namun dipenuhi kemarahan dan kekecewaan. Arka menjerit, mendorong obeng itu menjauh. Ia terbangun dengan tubuh menggigil hebat, napasnya terputus-putus. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, membasahi seprai.

Ia tidak bisa lagi menahannya. Ini bukan sekadar mimpi buruk. Ini adalah siksaan yang nyata, sebuah neraka yang menghantui setiap detik kehidupannya. Arka bangkit dari tempat tidurnya, langkahnya goyah. Ia berjalan ke arah jendela, menatap kosong ke jalanan yang gelap di bawah. Pikirannya kosong, namun jiwanya dipenuhi keputusasaan. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam lingkaran setan antara kenyataan dan ilusi. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia menyerah pada kegilaan yang perlahan merenggut akal sehatnya? Atau haruskah ia mencari tahu kebenaran, seburuk apa pun itu?

Ia melangkah mendekat ke jendela, membukanya perlahan. Udara dingin menerpa wajahnya, sedikit menyegarkan. Tapi sensasi itu tidak mampu mengusir bayangan-bayangan yang menari di pelupuk matanya. Suara-suara itu masih ada, membisikkan tuduhan-tuduhan mengerikan. Ia menutup matanya, berharap semua ini berakhir. Namun, di dalam kegelapan itu, ia kembali melihat lima sosok tak bernyawa itu, menatapnya dengan tatapan kosong, menuduh. Arka merasakan dorongan kuat untuk mengakhiri semua ini, untuk melarikan diri dari bayangan-bayangan yang terus mengejarnya. Sebuah pikiran gelap mulai berbisik di benaknya, menawarkan jalan keluar dari penderitaan ini. Sebuah jalan keluar yang jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

Bab 2: Luka yang Tak Terlihat

Sensasi perih di pergelangan tangannya terasa lebih nyata daripada mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Arka sering melakukannya, menggores kulitnya dengan benda tajam, sekadar untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih hidup, bahwa ia bisa merasakan sakit. Luka-luka itu, meskipun kecil, adalah pengingat bahwa realitas fisiknya masih ada, terpisah dari kekacauan di dalam kepalanya. "Ini untuk dosa-dosaku," bisiknya setiap kali, meskipun ia tak benar-benar tahu dosa apa yang ia tebus. Setiap tetesan darah yang mengalir seolah membasuh sebagian dari rasa bersalah yang tak beralasan itu, memberi jeda sesaat dari derita batin. Namun, jeda itu selalu singkat, dan rasa sakit fisik tak pernah sebanding dengan penderitaan psikisnya.

Suatu sore, setelah semalaman lagi dihantui oleh bayangan keluarganya yang tewas di tangannya, Arka merasa mencapai batasnya. Ia tidak tahan lagi. Kebingungan, ketakutan, dan rasa bersalah telah menggerogotinya hingga ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Kamarnya berantakan, bau apek dan sisa-sisa makanan kering menumpuk di mana-mana. Laptopnya tergeletak terbuka, dengan desain yang belum rampung terpampang di layarnya, seolah menertawakan ketidakmampuannya. Ia bangkit, langkahnya terhuyung, dan berjalan menuju atap kosan. Angin berhembus kencang, menerpa wajahnya yang pucat. Ia memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang seolah mencoba mendorongnya. Di bawah sana, kota tampak seperti miniatur yang tak berarti.

"Semua akan berakhir..." bisik Arka, bibirnya bergetar. Ia melangkahkan satu kakinya ke batas pagar, tubuhnya condong ke depan. Otaknya menjerit untuk berhenti, namun sesuatu yang lebih kuat mendorongnya. Mungkin itu adalah harapan kosong bahwa dengan melompat, semua mimpi buruk ini akan berhenti. Ia memejamkan mata, bersiap melepaskan diri dari segala penderitaan.

Namun, sebelum ia sempat melepaskan pijakannya, sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya, menariknya mundur dengan paksa. Arka terhuyung, terjatuh di lantai atap. Ia membuka matanya, dan di depannya berdiri Reno, sahabat masa kecilnya, dengan wajah penuh amarah dan kekhawatiran.

"Arka! Apa yang kau lakukan?!" bentak Reno, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan. Napasnya terengah-engah, jelas ia berlari. Ia baru saja tiba di kos Arka setelah beberapa hari tidak bisa menghubungi sahabatnya itu, dan saat melihat jendela kamar Arka terbuka lebar, ia mendapat firasat buruk dan langsung berlari ke atap.

Arka tidak menjawab. Ia hanya menatap Reno dengan tatapan kosong, seolah jiwanya telah lama meninggalkan raganya. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun tanpa suara isakan. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis.

Reno, yang kini berlutut di depannya, menangkup wajah Arka dengan kedua tangannya. "Lihat aku, Arka. Kau kenapa? Kau sakit?" Mata Reno memancarkan kesedihan yang mendalam. Ia mengenal Arka sejak kecil, tahu betapa ceria dan penuh semangatnya dulu. Melihat sahabatnya hancur seperti ini adalah pukulan telak baginya. Ia menyadari ada yang salah. Arka bukan lagi Arka yang ia kenal. Ada kekosongan di matanya yang menakutkan.

Arka akhirnya berbisik, suaranya serak. "Aku... aku membunuh mereka, Ren. Aku membunuh keluargaku."

Reno mengerutkan keningnya. "Apa yang kau bicarakan, Arka? Keluargamu meninggal karena kecelakaan mobil tujuh tahun lalu. Kau di sana, di rumah sakit. Kau yang meneleponku saat itu!"

Arka menggelengkan kepalanya. "Tidak... bukan yang itu. Ini... ini yang baru. Aku melihatnya. Aku... aku melakukannya lagi." Air mata Arka semakin deras. Ia memegang kepala dengan kedua tangannya, seolah ingin meremas keluar pikiran-pikiran mengerikan itu.

Melihat kondisi Arka yang sangat tidak stabil, Reno tahu ini bukan sekadar depresi biasa. Ini lebih dalam, lebih gelap. Ia harus bertindak. Dengan segala kekuatannya, Reno memapah Arka, membawanya turun dari atap, dan langsung menuju mobilnya. Ia tahu satu-satunya tempat yang bisa membantu Arka sekarang adalah rumah sakit. Lebih tepatnya, rumah sakit jiwa.

Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang dan sunyi. Arka hanya diam, sesekali bergumam tidak jelas, matanya menerawang. Reno memegang kemudi dengan erat, hatinya perih melihat sahabatnya dalam kondisi seperti ini. Ia merasa bersalah karena tidak menyadari seberapa buruk kondisi Arka sebelumnya.

Setibanya di rumah sakit jiwa, Reno segera mendaftarkan Arka. Setelah beberapa pemeriksaan awal, Arka dibawa ke ruang observasi. Reno menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan rambut sebahu dan kacamata bertengger di hidungnya mendekatinya. Wajahnya memancarkan ketenangan, namun matanya memancarkan ketajaman dan empati.

"Anda keluarga pasien Arka?" tanya wanita itu dengan suara lembut.

Reno mengangguk cepat. "Saya Reno, sahabatnya, Dokter."

"Saya dr. Santi. Psikiater yang akan menangani Arka." Dr. Santi duduk di kursi di seberang Reno. "Bisakah Anda ceritakan apa yang terjadi pada Arka?"

Reno menghela napas panjang, kemudian menceritakan semua yang ia ketahui: perubahan drastis pada Arka, isolasi dirinya, perilaku menyakiti diri, hingga percobaan bunuh diri di atap tadi. Ia juga menceritakan tentang halusinasi Arka yang mengaku telah membunuh keluarganya lagi.

Dr. Santi mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat di buku kecilnya. Raut wajahnya tidak menunjukkan kaget atau terkejut, melainkan pemahaman yang mendalam. Setelah Reno selesai bercerita, dr. Santi mengangguk pelan. "Terima kasih, Reno. Ini informasi yang sangat berharga. Dari apa yang Anda sampaikan, Arka menunjukkan gejala gangguan psikotik yang parah, kemungkinan besar dipicu oleh trauma."

"Tapi... keluarganya memang sudah meninggal, Dokter. Tujuh tahun lalu," kata Reno, masih bingung dengan pengakuan Arka.

"Ya, dan itulah yang akan kita dalami. Otak manusia terkadang menciptakan mekanisme pertahanan yang kompleks untuk melindungi diri dari trauma yang terlalu berat. Mari kita berharap Arka mau bekerja sama dalam terapi," jawab dr. Santi dengan nada menenangkan. "Untuk saat ini, kami akan memastikan Arka stabil dan aman. Anda bisa menjenguknya besok."

Reno mengangguk, sedikit lega karena ada harapan. Ia meninggalkan rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Sedih, cemas, namun juga sedikit optimis. Ia hanya berharap dr. Santi bisa menarik Arka keluar dari kegelapan yang telah menelannya.

Bab 3: Lima Nisan dan Satu Dosa

Ruangan itu steril, dingin, dan dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Arka duduk di sofa empuk berwarna krem, memandang kosong ke jendela yang memperlihatkan taman rumah sakit yang rapi. Ia telah menghabiskan beberapa hari di sana, menjalani observasi dan serangkaian tes. Kini, ia berada di ruangan dr. Santi untuk sesi konseling pertamanya. Dr. Santi duduk di kursi seberangnya, tatapannya tenang, namun Arka bisa merasakan sorot matanya yang tajam menembus lapisan pertahanan dirinya.

"Selamat pagi, Arka," sapa dr. Santi lembut. "Bagaimana perasaanmu hari ini?"

Arka mengangkat bahu, tidak berekspresi. "Sama saja, Dok. Seperti di dalam kabut."

"Bagus. Setidaknya Anda tidak terlalu panik seperti saat dibawa ke sini," ucap dr. Santi, mencatat sesuatu di buku catatannya. "Reno sudah menceritakan banyak hal padaku. Termasuk tentang keluarga Anda."

Arka langsung tegang. "Aku... aku membunuh mereka, Dok." Suaranya bergetar, namun ada nada keyakinan di dalamnya.

Dr. Santi menatapnya lurus. "Arka, saya mengerti Anda merasa seperti itu. Tapi, dari catatan medis dan laporan kepolisian, lima anggota keluarga Anda—ayah, ibu, dua kakak perempuan, dan adik laki-laki Anda—meninggal dunia tujuh tahun lalu dalam sebuah kecelakaan mobil. Anda adalah satu-satunya yang selamat, meskipun saat itu Anda mengalami luka parah."

Arka terdiam. Kepalanya menggeleng perlahan, seolah menolak fakta yang baru saja diutarakan. "Tidak... bukan yang itu. Itu... itu beda. Aku membunuh mereka... tapi bukan sekarang." Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada yang lebih tegas, penuh keyakinan yang mengkhawatirkan. Ia meremas jemarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri akan apa yang ia lihat dalam halusinasi.

Dr. Santi menghela napas pelan. "Arka, kematian keluarga Anda adalah peristiwa traumatis yang sangat besar. Terkadang, ketika seseorang mengalami trauma yang begitu dalam, otaknya menciptakan mekanisme pertahanan yang rumit. Salah satunya adalah menyangkal kenyataan, atau menciptakan realitas alternatif."

"Realitas alternatif?" Arka mengulang, nadanya skeptis.

"Ya," jawab dr. Santi. "Otak Anda, untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak tertahankan akibat kehilangan, mungkin telah menciptakan narasi di mana Anda adalah penyebab kematian mereka. Ini adalah bentuk rasa bersalah yang disalahartikan. Anda mungkin merasa bersalah karena selamat, atau karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah tragedi itu. Rasa bersalah ini kemudian termanifestasi dalam halusinasi, di mana Anda melihat diri Anda sebagai pelakunya."

Arka memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela. Penjelasan dr. Santi terdengar masuk akal, namun di sisi lain, gambar-gambar mengerikan yang ia lihat dalam halusinasinya terasa begitu nyata. Bau darah, teriakan, rasa dingin dari tubuh tak bernyawa—semuanya begitu otentik. Bagaimana bisa semua itu hanya ilusi?

"Tapi... rasanya sangat nyata, Dok," Arka akhirnya berbisik. "Aku bisa merasakan darah di tanganku, mendengar suara-suara mereka..."

"Itu adalah bagian dari cara otak Anda memproyeksikan trauma tersebut, Arka," dr. Santi menjelaskan dengan sabar. "Semakin dalam trauma yang disangkal, semakin kuat dan nyata ilusi yang diciptakan. Otak Anda mencoba memproses rasa sakit itu dengan cara yang bisa Anda 'kendali', bahkan jika kendali itu berupa narasi di mana Anda adalah pelakunya."

Dr. Santi kemudian menceritakan beberapa kasus serupa, di mana pasien mengalami halusinasi yang sangat nyata sebagai respons terhadap trauma mendalam. Ia menjelaskan tentang PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang kompleks, di mana pikiran bisa memutar ulang peristiwa traumatis dalam berbagai bentuk, termasuk kilas balik atau halusinasi. Ia juga menyinggung tentang Dissociative Amnesia, di mana seseorang secara tidak sadar memblokir informasi tertentu, biasanya yang terkait dengan peristiwa traumatis.

"Kita akan fokus pada terapi untuk membantu Anda memproses trauma ini, Arka," kata dr. Santi. "Tujuan kita adalah membantu Anda menerima kenyataan kematian keluarga Anda, dan melepaskan diri dari rasa bersalah yang tidak perlu ini. Kita akan bekerja sama, perlahan-lahan, untuk menyingkap lapisan-lapisan di benak Anda."

Arka mendengarkan, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa ada sedikit harapan. Mungkin dr. Santi benar. Mungkin ini semua hanya permainan otaknya. Tapi di sisi lain, masih ada keraguan yang mengganjal. Sesuatu yang terasa tidak pas. "Aku... aku masih tidak yakin, Dok," katanya. "Aku masih merasa... aku membunuh mereka. Tapi bukan tujuh tahun lalu. Ini... ini yang baru." Ia kembali menekankan kalimat itu, seolah ada detail penting yang tersembunyi.

Dr. Santi tidak menekan lebih jauh. Ia tahu bahwa proses penerimaan ini tidak akan mudah. "Itu tidak apa-apa, Arka. Keraguan itu wajar. Yang penting adalah kita memulai proses penyembuhan ini. Bagaimana jika kita mulai dengan mengingat masa lalu Anda? Sebelum kecelakaan itu. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa membantu kita memahami lebih jauh."

Arka mengangguk pelan. Ada kelelahan yang mendalam di matanya, namun juga sedikit cahaya harapan. Harapan untuk bisa bebas dari bayangan-bayangan itu, dari rasa bersalah yang mencekiknya. Ia ingin percaya pada dr. Santi. Ia ingin sembuh. Namun, bisikan-bisikan kecil di sudut benaknya masih saja berbisik, "Kau yang melakukannya. Kau tahu itu." Dosa yang ia yakini telah ia lakukan, dosa yang entah nyata atau hanya ilusi, terus menempel erat dalam setiap serat jiwanya.

Bab 4: Kilas Ingatan Retak

Terapi Arka dimulai. Setiap sesi dengan dr. Santi adalah perjalanan yang melelahkan ke kedalaman pikirannya. Dr. Santi menggunakan berbagai teknik, mulai dari terapi bicara, relaksasi, hingga latihan visualisasi. Tujuannya adalah membantu Arka mengakses kenangan yang tersembunyi, terutama yang berkaitan dengan malam sebelum kecelakaan tragis itu. Arka merasa seperti sedang mengupas lapisan-lapisan bawang, setiap lapisan membawa aroma masa lalu yang terlupakan.

Awalnya, ingatan Arka terasa seperti mozaik pecah. Gambar-gambar kabur, suara-suara yang terdistorsi, dan sensasi-sensasi yang tidak lengkap. Namun, seiring berjalannya waktu dan bimbingan dr. Santi yang sabar, kepingan-kepingan itu mulai menyatu. Satu kilasan ingatan yang paling sering muncul adalah malam sebelum keluarganya pergi untuk liburan singkat yang seharusnya ceria.

Arka melihat dirinya di garasi, bau oli dan bensin menusuk hidungnya. Ia berusia 17 tahun saat itu, seorang remaja dengan emosi yang bergejolak. Di depannya, ayahnya, pria yang selalu ia kagumi, berdiri dengan raut wajah keras. Mereka bertengkar hebat. Bukan pertengkaran kecil biasa. Ini adalah badai emosi yang telah lama terpendam.

"Aku tidak mau pindah, Yah!" Arka berteriak, suaranya pecah karena amarah dan rasa tidak adil. "Ini rumahku! Teman-temanku di sini! Kenapa kita harus pindah hanya karena proyek baru Ayah?!"

Ayahnya menatapnya dengan tajam. "Ini demi masa depan kita, Arka! Kesempatan ini tidak datang dua kali. Kita akan punya kehidupan yang lebih baik di sana."

"Kehidupan yang lebih baik?!" Arka tertawa sinis. "Hidupku di sini sudah baik! Ayah tidak pernah mendengarku! Ayah hanya memikirkan dirimu sendiri!"

"Jaga bicaramu, Arka!" Suara ayahnya menggelegar, memenuhi garasi yang sempit. "Ayah melakukan ini untuk kebaikan kalian semua!"

Perdebatan itu semakin memanas. Kata-kata kasar terucap, melukai lebih dalam dari yang bisa dibayangkan. Arka merasa dikhianati, tidak didengarkan, dan seolah keputusannya tidak berarti apa-apa bagi orang tuanya. Ia merasa keluarganya akan meninggalkannya, mengejar impian Ayah yang tidak ia setujui. Dalam kilasan ingatan itu, ada rasa sakit yang mendalam, sebuah perasaan ditinggalkan yang menusuk hingga ke tulang.

Tiba-tiba, suara ibunya yang lembut memecah ketegangan. Ibunya muncul di ambang pintu garasi, wajahnya memancarkan kekecewaan dan kesedihan. Ia mendekati Arka, memeluknya erat, seolah ingin menyalurkan seluruh kehangatan dan ketenangannya. "Kamu akan baik-baik saja di sini, Nak," bisiknya, suaranya sarat akan kesedihan yang tak terucapkan. Wajahnya, meskipun mencoba tersenyum, tampak pilu. Mata ibunya yang selalu memancarkan kehangatan, kini dipenuhi bayangan kekecewaan. Kekecewaan terhadap situasi, mungkin terhadap dirinya sendiri karena tidak bisa menyelesaikan konflik antara Arka dan ayahnya.

Kilasan itu memudar, meninggalkan Arka dengan perasaan hampa dan nyeri. Ia bisa merasakan air mata ibunya membasahi bahunya, dan kekecewaan itu terasa seperti pukulan keras di dadanya. Perasaan ditinggalkan itu, bahwa ia akan ditinggalkan sendiri, terukir dalam ingatannya.

"Ada apa di garasi itu, Arka?" tanya dr. Santi lembut, setelah Arka selesai menceritakan kilasan ingatannya. "Apakah ada hal lain yang terjadi setelah Ibu Anda memeluk Anda?"

Arka menggelengkan kepalanya. "Tidak... setelah itu, semuanya gelap, Dok. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Hanya perasaan marah itu... marah karena mereka akan pergi... marah karena aku merasa ditinggalkan."

Dr. Santi mengangguk. "Kemarahan adalah emosi yang sangat kuat, Arka. Apalagi saat dipadukan dengan perasaan ditinggalkan. Terkadang, otak kita menekan ingatan yang terlalu menyakitkan, atau yang memicu rasa bersalah yang luar biasa." Ia menjelaskan tentang konsep represi, mekanisme pertahanan di mana pikiran secara tidak sadar menyingkirkan pikiran, perasaan, atau ingatan yang tidak diinginkan dari kesadaran.

Selama sesi-sesi berikutnya, dr. Santi mencoba memandu Arka untuk mengingat detail yang lebih spesifik dari malam itu. Ia meminta Arka untuk menggambarkan garasi itu, benda-benda di dalamnya, suara-suara yang mungkin ada. Arka mencoba yang terbaik. Ia mengingat bau oli, alat-alat yang tergantung di dinding, bahkan suara jangkrik di luar. Namun, detail tentang apa yang terjadi setelah pelukan ibunya tetap kabur, seperti ada blokade mental yang menghalangi.

Reno juga sering menjenguk Arka, membawa buku-buku, makanan kesukaan, dan selalu berusaha memberikan dukungan moral. Ia menceritakan bagaimana Arka selalu menjadi anak yang sangat dekat dengan keluarganya, terutama ibunya. Kecelakaan itu memang menghantam Arka sangat keras. Reno ingat bagaimana Arka menjadi sangat pendiam setelah kejadian itu, menutup diri, dan jarang membicarakan tentang keluarganya.

Meskipun Arka masih belum bisa mengingat detail krusial dari malam kecelakaan, proses terapi ini sudah menunjukkan kemajuan. Halusinasi yang mengklaim ia telah membunuh keluarganya perlahan mulai berkurang intensitasnya. Ia masih melihat bayangan-bayangan itu, tetapi tidak sesering atau senyata sebelumnya. Rasa bersalah yang tidak beralasan itu sedikit demi sedikit terasa berkurang, digantikan oleh kesedihan yang lebih wajar atas kehilangan keluarganya.

"Ini adalah langkah yang baik, Arka," kata dr. Santi suatu hari. "Anda mulai bisa memproses emosi Anda. Kemarahan itu, kesedihan itu... itu semua adalah bagian dari proses berduka yang sehat."

Arka mengangguk. Ia merasa sedikit lebih ringan. Beban di dadanya belum sepenuhnya hilang, tetapi setidaknya ia tidak lagi merasa sesak setiap saat. Ia mulai tidur lebih nyenyak, meskipun mimpi-mimpi tentang keluarganya sesekali masih muncul, namun bukan lagi mimpi horor yang dipenuhi darah dan kekerasan. Ia mulai percaya bahwa dr. Santi benar. Bahwa ini semua adalah manifestasi dari trauma yang belum terproses. Namun, masih ada satu kepingan teka-teki yang hilang, sebuah lubang hitam di ingatannya yang menolak untuk terisi. Apa yang terjadi setelah ibunya memeluknya di garasi? Mengapa ia begitu marah? Dan mengapa ingatan itu begitu kabur? Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggantung di udara, menunggu untuk dipecahkan.

Bab 5: Bunyi Obeng di Malam Hari

Reno tidak bisa mengabaikan bisikan batinnya. Meskipun dr. Santi telah memberikan penjelasan logis tentang halusinasi Arka sebagai manifestasi trauma, ada sesuatu yang mengganjal dalam pengakuan Arka, "Aku membunuh mereka... tapi bukan sekarang." Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Dan juga, kilasan ingatan Arka tentang pertengkaran di garasi. Reno mengenal Arka sejak kecil. Arka adalah anak yang emosional, ya, tapi tidak pernah menunjukkan kecenderungan kekerasan. Namun, depresi dan trauma bisa mengubah seseorang.

Reno memutuskan untuk melakukan penyelidikan kecilnya sendiri. Ia meminta kunci rumah lama Arka dari kerabat yang mengurusnya setelah kecelakaan. Rumah itu telah kosong selama tujuh tahun, ditutupi debu dan kenangan yang membeku dalam waktu. Saat Reno melangkah masuk, bau apak langsung menyeruak, bercampur dengan aroma samar dari masa lalu. Ia berjalan perlahan, mengenang masa kecilnya bermain di setiap sudut rumah ini bersama Arka dan saudara-saudaranya.

Tujuannya adalah garasi. Di sanalah pertengkaran itu terjadi, menurut kilasan ingatan Arka. Garasi itu gelap dan lembap. Sarang laba-laba menggantung di mana-mana. Reno menyalakan senter ponselnya dan mulai mencari. Ia memeriksa setiap sudut, setiap rak, setiap laci. Sebagian besar perkakas sudah karatan, ditelan waktu. Ia menemukan kotak-kotak perkakas tua, kaleng cat kering, dan tumpukan majalah otomotif yang usang.

Di balik tumpukan koran dan kain-kain bekas, di salah satu laci paling bawah meja kerja, tangan Reno menyentuh sesuatu yang keras. Ia menariknya keluar. Sebuah buku catatan lusuh dengan sampul keras. Di dalamnya, Reno menemukan serangkaian sketsa sistem rem mobil yang detail. Bukan sketsa biasa. Ini adalah diagram teknis yang rumit, lengkap dengan anotasi tulisan tangan Arka. Ada tanda panah, lingkaran, dan beberapa bagian yang disilangkan dengan tinta merah. Reno mengerutkan kening. Mengapa Arka memiliki ini? Arka tidak pernah tertarik pada otomotif sejauh yang Reno tahu.

Ia terus membolak-balik halaman. Di antara sketsa-sketsa itu, terselip catatan teknis yang lebih aneh lagi. Istilah-istilah seperti "tekanan hidrolik," "selang rem bocor," "minyak rem," dan "penjepit kaliper." Beberapa catatan tampaknya menghitung durasi waktu dan efek kerusakan jika bagian-bagian tertentu dimanipulasi. Sebuah kalimat kecil di pojok halaman menarik perhatian Reno: "mereka harus merasakan apa yang kurasa." Tulisan tangan itu tampak familiar, namun nadanya dingin, jauh dari Arka yang ia kenal.

Reno merasa mual. Firasat buruk mulai merayapi benaknya. Ia terus mencari. Di bagian belakang buku catatan, ia menemukan beberapa lembar foto lama. Foto-foto keluarga Arka, saat mereka masih utuh. Arka yang tersenyum lebar di tengah ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Namun, yang membuat Reno merinding adalah tanda silang merah yang menutupi wajah setiap anggota keluarga di beberapa foto itu. Di foto yang lain, hanya wajah Arka yang tersenyum, sementara wajah keluarganya ditutupi coretan merah yang kasar.

Reno merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Ini bukan pekerjaan orang yang hanya trauma. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap. Kecelakaan itu. Mungkinkah Arka... mungkinkah dia ada hubungannya dengan itu? Pikirannya berputar-putar, mencoba menghubungkan titik-titik yang terasa mustahil.

Ia mengingat malam kecelakaan itu. Ia ingat Arka meneleponnya dari rumah sakit, suaranya parau karena syok dan kesedihan yang mendalam. Arka adalah satu-satunya yang selamat, ditemukan terlempar dari mobil, dengan luka-luka serius namun tidak fatal. Saat itu, kecelakaan itu dinyatakan sebagai kecelakaan tunggal akibat rem blong. Tidak ada yang pernah curiga.

Reno memeriksa bagian bawah meja kerja tempat ia menemukan buku catatan itu. Di sana, tersembunyi di balik tumpukan perkakas, ia menemukan sebuah obeng. Obeng itu tampak biasa saja, namun ada noda samar di gagangnya, noda kecoklatan yang sudah mengering. Reno mencoba menggosoknya, tapi noda itu tidak hilang. Ia merasa bimbang. Haruskah ia percaya pada nalurinya, atau pada penjelasan dokter Santi?

Ia memegang buku catatan itu, sketsa-sketsa rem mobil itu terasa dingin di tangannya. Dan catatan-catatan teknis itu... siapa yang akan menulis hal seperti itu, kecuali seseorang yang ingin memahami bagaimana cara merusak sistem rem? Dan tanda silang di foto-foto keluarga. Ini bukan sekadar tanda kemarahan sesaat. Ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih disengaja.

Reno merasakan beban berat di pundaknya. Bagaimana jika Arka benar-benar melakukan sesuatu malam itu? Bagaimana jika pengakuannya yang "membunuh keluarganya lagi" adalah upaya bawah sadar otaknya untuk memproses kebenaran yang mengerikan, kebenaran yang selama ini ia tekan?

Ia teringat betapa Arka selalu terlihat tertekan, bahkan sebelum halusinasi parah ini muncul. Setelah kecelakaan, Arka memang sangat terpukul. Ia sering murung, dan kadang terlihat linglung. Reno selalu mengira itu adalah bagian dari proses berduka yang normal. Tapi sekarang, dengan temuan-temuan ini, semua potongan teka-teki itu mulai terasa cocok, membentuk gambaran yang mengerikan.

Reno memasukkan buku catatan, foto-foto, dan obeng itu ke dalam tas ranselnya. Ia harus membawa ini ke dr. Santi. Ia tahu ini akan sangat berat bagi Arka, dan mungkin akan menghancurkan Arka sepenuhnya jika kebenaran itu terungkap. Namun, ia juga tahu bahwa Arka tidak akan pernah bisa sembuh jika kebohongan ini terus menyelubungi pikirannya.

Saat ia melangkah keluar dari garasi yang gelap itu, Reno merasa udara malam terasa semakin dingin, seolah membisikkan rahasia kelam yang telah lama terkubur di dalam rumah itu. Ia tahu ia baru saja membuka kotak pandora. Dan apa pun yang ada di dalamnya, ia harus menghadapinya demi sahabatnya.

Bab 6: Fakta yang Dikunci

Setelah beberapa minggu terapi, Arka menunjukkan kemajuan yang signifikan. Ia mulai lebih terbuka, berbicara tentang perasaannya, dan halusinasi yang menghantuinya semakin jarang muncul. Namun, "lubang hitam" dalam ingatannya mengenai malam sebelum kecelakaan masih menjadi penghalang. Dr. Santi memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mencoba metode yang lebih dalam: hipnoterapi.

"Ini adalah metode yang akan membantu Anda mengakses kenangan yang mungkin terblokir di alam bawah sadar Anda, Arka," jelas dr. Santi sebelum sesi dimulai. "Anda akan tetap sadar, namun dalam kondisi yang sangat rileks dan fokus. Kita akan mencoba menembus blokade mental itu."

Arka sedikit gugup, namun ada rasa penasaran dan harapan yang lebih besar. Ia ingin tahu kebenaran, seburuk apa pun itu. Ia ingin bebas dari belenggu ini.

Dr. Santi memulai sesi dengan teknik relaksasi mendalam. Suaranya yang tenang membimbing Arka. Arka menutup mata, mengikuti setiap instruksi. Perlahan, ia merasakan tubuhnya menjadi ringan, pikirannya melayang, namun kesadarannya tetap ada. Ia merasa seperti melayang di antara dua dunia, kenyataan dan alam bawah sadar.

"Sekarang, Arka," suara dr. Santi terdengar jauh namun jelas. "Saya ingin Anda kembali ke malam itu. Malam sebelum kecelakaan. Anda berada di garasi, bertengkar dengan Ayah Anda. Ibu Anda memeluk Anda. Apa yang terjadi setelah itu? Gambarkan apa yang Anda lihat, rasakan, dan dengar."

Dalam kondisi trance, ingatan Arka mulai mengalir, tidak lagi sebagai kilasan retak, melainkan sebagai sebuah film yang diputar ulang dengan detail yang mengerikan.

Ia melihat kembali dirinya yang berusia 17 tahun, dipenuhi amarah dan rasa sakit. Kata-kata kasar ayahnya, wajah sedih ibunya yang penuh kekecewaan. Ia merasa ditinggalkan. Dikhianati. Sebuah pikiran gelap menyelinap masuk ke benaknya, sebuah bisikan yang mengerikan: "Mereka akan meninggalkanku. Aku harus membuat mereka merasakannya juga."

Tangannya gemetar. Matanya dipenuhi air mata, namun di baliknya ada dinginnya amarah yang membara. Ia berjalan mengendap-endap ke arah mobil keluarga yang terparkir di garasi, siap untuk perjalanan besok. Mobil itu tampak begitu polos, tidak menyadari takdir yang akan menimpanya.

Dalam keadaan trance, Arka mengakuinya. Suaranya terdengar seperti bukan miliknya, penuh penyesalan, namun juga pengakuan. "Aku marah, Dok... Aku marah sekali. Mereka akan pergi... meninggalkan aku." Ia terisak. "Aku merasa... mereka harus merasakan apa yang kurasakan."

Dr. Santi tetap tenang. "Apa yang Anda lakukan, Arka?"

Arka terdiam sejenak, seolah jiwanya berjuang untuk mengeluarkan kebenaran yang terkunci rapat. Kemudian, dengan suara yang dipenuhi kesedihan dan kengerian, ia berbisik: "Aku... aku membuka kap mobil."

Suara obeng beradu dengan logam, terdengar jelas di benaknya. Ia melihat tangannya, gemetar hebat, namun bergerak dengan presisi yang mengejutkan. Ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Dari buku-buku otomotif yang pernah ia baca sekilas, ia tahu bagaimana cara membuat rem blong. Sebuah ide gila yang muncul dari luapan amarah sesaat, ide yang kini menjadi kenyataan yang menyakitkan.

Ia melepaskan sesuatu. Sebuah baut. Sebuah selang kecil. Detailnya kabur, namun niatnya jelas. Matanya menangis, air mata membasahi pipinya, namun wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Ada konflik batin yang luar biasa. Bagian dari dirinya menjerit untuk berhenti, untuk tidak melakukan tindakan mengerikan ini. Namun, bagian lain yang gelap, yang didorong oleh kemarahan dan perasaan ditinggalkan, mengambil alih kendali. Ia hanya ingin keluarga itu merasakan sedikit saja dari rasa sakit yang ia rasakan. Ia tidak bermaksud untuk membunuh mereka. Ia hanya ingin mereka tidak jadi pergi. Itu saja. Namun, yang terjadi setelah itu... di luar kendalinya.

"Aku... aku hanya ingin mereka tidak jadi pergi, Dok," Arka terisak, suaranya dipenuhi penyesalan yang mendalam. "Aku tidak ingin membunuh mereka... Aku tidak bermaksud..."

Dr. Santi mengizinkan Arka untuk memproses emosinya sejenak. Ia tahu ini adalah momen yang sangat krusial, sebuah gerbang menuju kebenaran yang selama ini tersembunyi.

"Dan setelah itu, Arka?" tanya dr. Santi.

"Aku... aku kembali ke kamarku. Aku bersembunyi di bawah selimut," kata Arka, suaranya pelan. "Aku menangis. Aku menyesal. Tapi... sudah terlambat."

Sesi hipnoterapi itu berakhir. Arka keluar dari kondisi trance dengan tubuh lelah dan pikiran yang kacau. Ia menangis tersedu-sedu. Kebenaran itu kini ada di hadapannya, telanjang dan mengerikan. Ia bukanlah korban halusinasi semata. Ia adalah pelakunya. Setidaknya, ia adalah penyebab utama dari kecelakaan yang merenggut nyawa keluarganya.

Dr. Santi menatapnya dengan empati yang dalam. "Anda sudah sangat berani, Arka. Mengakui ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan yang sesungguhnya."

Arka hanya bisa mengangguk, terlalu diliputi emosi untuk berbicara. Beban yang selama ini ia rasakan, rasa bersalah yang tak beralasan itu, kini memiliki nama. Namun, ironisnya, dengan terungkapnya kebenaran itu, Arka merasakan sedikit kelegaan yang aneh. Seperti beban yang selama ini menimpanya kini bisa diidentifikasi, meskipun beban itu adalah dosa yang mengerikan.

Ia telah memendam rahasia ini selama tujuh tahun, menguncinya rapat di alam bawah sadarnya, menciptakan ilusi mengerikan sebagai upaya melarikan diri dari kebenaran. Kini, kunci itu telah terbuka.

Bab 7: Pengakuan yang Tidak Disadari

Beberapa hari setelah sesi hipnoterapi yang intens, perubahan pada Arka sangat terasa. Ia tidak lagi sering melamun, tatapannya tidak lagi kosong, dan yang paling mencolok, halusinasi tentang darah dan mayat-mayat itu benar-benar lenyap. Ada cahaya baru di matanya, meskipun masih diselimuti kesedihan yang mendalam. Ia mulai makan dengan teratur, tidur lebih nyenyak, dan bahkan sesekali tersenyum kecil. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang dan mengerikan.

Saat sesi konseling berikutnya, Arka berbicara dengan nada yang lebih tenang, lebih reflektif. "Aku merasa ringan, Dok," katanya, menatap dr. Santi dengan pandangan yang jernih. "Seperti beban itu bukan milikku lagi. Aku tahu... aku tahu apa yang kulakukan malam itu. Aku marah. Aku menyesal. Tapi... aku tidak lagi merasa gila."

Dr. Santi tersenyum kecil. "Itu adalah pertanda baik, Arka. Anda mulai menerima kenyataan. Proses ini akan sangat berat, namun ini adalah langkah yang sangat penting menuju kesembuhan."

Arka mengangguk. "Aku ingin meminta maaf kepada keluargaku. Aku ingin... mengunjungi makam mereka."

Ini adalah kemajuan yang luar biasa. Sebelumnya, Arka tidak pernah mau membicarakan makam keluarganya, apalagi mengunjunginya. Dr. Santi merasa sangat lega. Arka telah berhasil menembus lapisan penyangkalan yang tebal, dan kini ia siap menghadapi kebenaran, sepedih apa pun itu.

Sementara Arka mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, Reno masih belum bisa tenang. Setelah sesi hipnoterapi Arka, Reno merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar trauma. Ia memutuskan untuk memberikan semua temuannya kepada dr. Santi.

Suatu sore, Reno menemui dr. Santi secara pribadi di kantornya. Ia meletakkan buku catatan lusuh berisi sketsa sistem rem mobil, catatan teknis aneh, dan foto-foto keluarga Arka dengan tanda silang merah di atas meja dr. Santi.

"Dokter, saya menemukan ini di garasi rumah lama Arka," kata Reno, suaranya tegang. "Saya rasa ini penting."

Dr. Santi mengambil buku catatan itu, alisnya sedikit terangkat saat melihat sketsa-sketsa rumit dan catatan teknis. Ia membolak-balik halaman, matanya menelusuri setiap detail. Kemudian, ia melihat kalimat di pojok halaman: "mereka harus merasakan apa yang kurasa." Wajahnya berubah serius. Ia juga melihat foto-foto yang disilang.

"Ini... sangat menguatkan," gumam dr. Santi, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa pengakuan Arka di bawah hipnoterapi bukanlah sekadar manifestasi trauma biasa yang salah kaprah. Itu adalah kebenaran yang tertekan, sebuah pengakuan yang keluar dari alam bawah sadar yang telah lama terblokir.

Dr. Santi menyadari bahwa Arka mengalami bentuk yang sangat spesifik dari repression dissociative amnesia. Ini bukan sekadar amnesia umum, melainkan sebuah mekanisme pertahanan psikologis ekstrem di mana pikiran secara aktif dan tidak sadar menekan memori traumatis, terutama jika memori itu melibatkan rasa bersalah yang luar biasa atau tindakan yang sangat mengerikan. Otak Arka tidak hanya melupakan kejadian itu, tetapi juga menciptakan narasi alternatif—halusinasi tentang dirinya yang membunuh keluarganya saat ini—sebagai pelarian, sebagai cara untuk memproyeksikan rasa bersalah yang tidak bisa ia hadapi secara langsung. Rasa bersalah atas kejahatan yang ia pendam, yang akhirnya mewujud dalam bentuk halusinasi baru yang lebih mudah "diterima" oleh kesadarannya.

Ini adalah kasus yang rumit dan jarang terjadi, di mana "korban" trauma sebenarnya adalah "pelaku" tersembunyi yang jiwanya terkoyak oleh dosa yang tak terungkap. Halusinasi yang Arka alami selama ini bukanlah akibat dari trauma sebagai korban, melainkan akibat dari rasa bersalah yang begitu mendalam atas tindakannya sendiri yang ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri. Otaknya menciptakan narasi palsu untuk melindungi dirinya dari kebenaran yang terlalu mengerikan untuk diterima.

"Reno, temuan Anda ini sangat krusial," kata dr. Santi, menatap Reno dengan tatapan serius. "Ini menguatkan apa yang Arka sampaikan dalam hipnoterapi. Arka memang pelaku sabotase rem mobil keluarganya."

Reno menghela napas panjang, sebuah campuran lega dan kesedihan yang mendalam. Lega karena teka-teki itu kini terpecahkan, namun sedih karena kebenaran itu begitu pahit.

"Apa yang akan terjadi pada Arka, Dokter?" tanya Reno, khawatir.

"Kita akan terus melanjutkan terapi, Reno," jawab dr. Santi. "Arka perlu memproses ini. Ia perlu menerima tanggung jawab atas tindakannya. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan sulit, tetapi pengakuan ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan yang sejati. Kita harus membantunya menghadapi kebenaran ini dengan dukungan penuh."

Dr. Santi memahami betapa rapuhnya kondisi Arka saat ini. Mengungkapkan kebenaran ini secara tiba-tiba bisa menghancurkannya. Pendekatan harus hati-hati, memastikan Arka siap untuk menerima sepenuhnya konsekuensi dari tindakannya.

Reno mengangguk, matanya menatap buku catatan di meja. Di dalamnya, terukir rahasia kelam yang telah terkubur selama tujuh tahun. Sebuah rahasia yang kini, perlahan namun pasti, mulai terungkap.

Bab 8: Senyum di Balik Dosa

Matahari pagi menyinari kompleks pemakaman, memberikan sentuhan keemasan pada nisan-nisan yang berjejer rapi. Udara terasa segar, namun Arka merasakan beban yang begitu berat di dadanya. Ini adalah kunjungan pertamanya ke makam keluarganya sejak kecelakaan, tujuh tahun lalu. Ia memegang seikat bunga lily putih, kesukaannya ibunya. Di sampingnya, Reno berdiri tegak, memberikan dukungan tanpa banyak bicara. Dr. Santi menunggu di mobil, menjaga jarak, menghormati privasi Arka.

Arka melangkah perlahan, napasnya terasa berat setiap kali ia mendekat. Lima nisan sejajar di depannya: Ayah, Ibu, Kakak Raya, Adik Rio, dan si bungsu, Rika. Nama-nama itu terukir di batu, dingin dan tak bergerak, namun di benak Arka, nama-nama itu hidup kembali dengan segala kenangan, baik yang indah maupun yang menyakitkan.

Ia berlutut di depan nisan. Matanya berkaca-kaca, namun air mata tidak jatuh. Ia sudah terlalu banyak menangis. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan bunga lily itu di setiap nisan. Aroma harum bunga itu sedikit menghibur, namun tidak mampu menghapus rasa sakit yang dalam.

"Maaf aku baru ingat semuanya," bisik Arka, suaranya parau. Kata-kata itu terasa berat, keluar dari kedalaman jiwanya. Ini bukan lagi permintaan maaf atas halusinasi atau rasa bersalah yang tidak ia pahami. Ini adalah permintaan maaf atas perbuatannya. Pengakuan atas dosa yang selama ini ia pendam dan lupakan, bahkan dari dirinya sendiri.

Ia duduk di sana untuk waktu yang lama, diam, hanya merasakan kehadiran mereka yang kini hanya ada dalam ingatan. Ia mengingat tawa ibunya, nasihat ayahnya, candaan kakak-kakaknya, dan polah lucu adiknya. Semuanya bercampur aduk dengan rasa marah, penyesalan, dan rasa bersalah yang kini telah ia akui.

Perlahan, kamera mulai mundur, memperlihatkan Arka yang duduk sendirian di antara lima nisan sejajar. Siluetnya terlihat kecil, dikelilingi oleh kesunyian yang abadi. Namun, saat kamera terus mundur, sebuah hal yang mengejutkan muncul di wajah Arka. Sebuah senyum kecil, tipis, hampir tak terlihat, namun nyata. Senyum itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum kelegaan. Kelegaan karena kebenaran telah terungkap. Kelegaan karena beban itu, meskipun berat, kini bisa ia pikul dengan kesadaran penuh.

Senyum itu adalah refleksi dari kebenaran yang paling mengerikan: Arka bukanlah korban halusinasi karena trauma sebagai penyintas, melainkan karena rasa bersalah mendalam akibat kejahatannya sendiri yang dia pendam dan lupakan selama tujuh tahun. Halusinasi dan amnesia disosiatifnya adalah mekanisme pertahanan psikologis untuk menyangkal kebenaran yang terlalu menghancurkan. Kini, setelah kebenaran itu terungkap, beban ilusi itu hilang, digantikan oleh beban realitas yang pahit.

Di latar belakang, seiring dengan menjauhnya kamera, suara bisikan anak kecil terdengar samar, namun jelas. Suara Rika, adiknya yang bungsu, yang tewas dalam kecelakaan itu.

"Kita sudah tahu dari awal, Kak."

Bisikan itu melayang di udara, sebuah pengingat bahwa kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Bahwa di balik setiap penyangkalan, ada mata yang mengawasi, ada ingatan yang menanti untuk diungkap. Senyum Arka adalah senyum seseorang yang akhirnya berdamai dengan dosanya, senyum yang mungkin akan terus menghantuinya, namun kini ia hadapi dengan mata terbuka. Jalan pulang yang berdarah itu bukanlah perjalanan dari sebuah kecelakaan, melainkan perjalanan kembali ke kebenaran yang selama ini ia hindari. Dan kini, ia telah tiba.

Ending Penjelas:

Pada akhirnya, Arka bukan korban halusinasi yang disebabkan oleh trauma karena selamat dari kecelakaan keluarganya. Sebaliknya, halusinasi dan amnesia disosiatif yang ia alami selama tujuh tahun terakhir adalah bentuk ekstrem dari mekanisme pertahanan psikologis untuk menekan rasa bersalah yang mendalam akibat kejahatannya sendiri. Ia adalah pelaku yang secara tidak sadar memanipulasi rem mobil keluarganya dalam luapan kemarahan dan perasaan ditinggalkan, tidak berniat membunuh, namun memicu kecelakaan fatal. Otaknya menciptakan narasi palsu (halusinasi dirinya membunuh mereka 'lagi' di masa kini) sebagai pelarian dari kebenaran yang tak tertahankan. Dengan terungkapnya kebenaran melalui hipnoterapi dan bukti yang ditemukan Reno, Arka akhirnya bisa menghadapi dosa yang selama ini ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri, memungkinkannya untuk memulai proses penyembuhan yang sesungguhnya, meskipun dibebani oleh penyesalan yang abadi. Senyum di akhir adalah simbol penerimaannya terhadap dosa tersebut, sebuah ironi kelam dari pembebasan yang datang bersamaan dengan pengakuan kejahatan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)