Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,869
Main Di Tengah Malam
Horor

Gedung Tua, Permainan Gila Malam merangkak pelan, membalut kota dalam selimut kelam. Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, ada sebuah sudut yang membeku dalam waktu: gedung sekolah terbengkalai di Jalan Penuh Misteri, nama yang disematkan warga setempat karena kisah-kisah seram yang beredar. Bagi para remaja yang haus adrenalin, tempat itu adalah magnet. Malam ini, magnet itu menarik enam jiwa muda yang nekat: Ardi, sang pemimpin yang sok tahu; Citra, si pemberani yang selalu siap dengan kamera; Bima, si penakut yang ikut-ikutan; Lisa, si skeptis yang suka mencibir; Rio, si kutu buku yang menyimpan sejuta mitos; dan yang terakhir, si pendiam Rina, yang selalu terlihat seperti sedang memikirkan hal lain. "Oke, guys, sudah siap?" tanya Ardi, suaranya sedikit gemetar namun berusaha terdengar tegas. Senter di tangannya menari-nari, membelah kegelapan yang pekat. Debu dan bau apak menyeruak, menyambut kedatangan mereka. Jendela-jendela pecah seperti mata kosong yang menatap langit. "Siap saja," sahut Citra, mengacungkan kameranya. "Kali ini harus dapat momen epic." Bima di belakangnya menggerutu. "Epic apanya? Ini cuma bikin jantungan." Lisa menyeringai. "Makanya jangan ikut kalau penakut." Rio, dengan kacamata melorot, berdeham. "Kita sudah bahas aturannya, kan? Jangan ada yang melanggar. Konsekuensinya... bisa fatal." Rina hanya diam, menatap ke dalam lorong gelap. Sorot matanya sulit diartikan. Mereka telah merencanakan permainan ini selama berminggu-minggu, sebuah ritual urban yang mereka temukan di forum-forum gelap internet. Konon, jika dilakukan dengan benar, ritual itu bisa menampakkan sesuatu yang gaib. Atau setidaknya, itu yang mereka harapkan. Aturan permainan ini sederhana, namun mematikan:


Masuk saat tengah malam. Mereka tiba sedikit lebih awal, membiarkan suasana mencekam meresap. Berjalanlah lurus, jangan berbelok. Lorong utama gedung ini panjang dan sempit, sempurna untuk aturan ini. Jangan membuat suara bising. Setiap langkah harus senyap, setiap napas tertahan. Matikan semua sumber cahaya. Mereka hanya boleh mengandalkan cahaya bulan yang sesekali menyelinap dari celah-celah atap. Dan yang paling penting: JANGAN PERNAH MELIHAT KE BELAKANG. "Baiklah, jam menunjukkan tepat tengah malam," kata Ardi, menatap arloji digitalnya. "Matikan semua senter." Satu per satu, cahaya padam. Kegelapan total menyelimuti mereka, pekat dan mencekik. Hanya kerlip lampu kota yang samar terlihat dari jendela yang jauh, seperti bintang-bintang yang kebingungan. Udara dingin merayapi kulit, membawa serta aroma karat dan lembap. "Kita mulai," bisik Ardi. Suaranya terdengar jauh dan asing dalam kegelapan. Mereka mulai melangkah, meraba-raba dinding yang berlumut. Setiap langkah adalah perjuangan, setiap desah napas adalah pemberontakan terhadap keheningan. Jantung Bima berdetak seperti genderang perang, menggema di telinganya. Lisa merasa bulu kuduknya berdiri. Citra mencoba tetap tenang, tangannya menggenggam kamera, siap mengambil gambar meskipun tidak ada cahaya sama sekali. Rio mencoba mengingat kembali semua kisah yang pernah ia baca, mencari celah, mencari petunjuk. Dan Rina, ia berjalan sepaerti melayang, tenang dan tak terjamah. Semakin jauh mereka melangkah, semakin dingin udara terasa. Bisikan-bisikan samar mulai terdengar, seperti hembusan angin di antara daun-daun kering, atau mungkin, suara-suara dari masa lalu yang terperangkap di dinding-dinding itu. Mereka berusaha mengabaikannya, terus fokus pada langkah kaki dan aturan "jangan pernah melihat ke belakang". Ardi merasa ada sesuatu yang bergesekan dengan kakinya. Ia menahan napas, tidak berani menyalakan senter. Mungkin hanya tikus, pikirnya. Atau mungkin, sesuatu yang lain. Citra mendengar suara cekikikan samar di sebelah kanannya. Ia tahu itu tidak mungkin Lisa atau Bima, mereka berjalan di belakangnya. Bulu kuduknya merinding. Ia ingin sekali menoleh, tapi kata-kata Rio terngiang di kepalanya: konsekuensinya bisa fatal. Bima merasakan sesuatu menyentuh bahunya. Dingin, seperti jari-jari es. Ia tercekat, ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia menutup mata rapat-rapat, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Lisa, yang biasanya skeptis, mulai merasa cemas. Ia mendengar langkah kaki lain di belakang mereka, lebih banyak dari jumlah mereka. Langkah kaki itu tidak sinkron, tidak teratur, seperti banyak pasang kaki yang bergerak tanpa tujuan. Ia merasakan napas dingin menyapu tengkuknya. Rio mulai merasa panik. Ia mengenal suara-suara itu dari buku-buku yang ia baca. Suara-suara yang menandakan keberadaan sesuatu yang tidak kasat mata. Ia berpegangan pada dinding, berusaha menenangkan diri. Tapi Rina... Rina berjalan seolah tak terpengaruh. Bahkan, ia merasa seolah ada yang memanggilnya, sebuah bisikan lembut yang hanya ia dengar. Bisikan itu menyuruhnya untuk... melihat ke belakang. Tiba-tiba, suara keras memekakkan telinga. BRUK! Mereka semua terlonjak. Sebuah pintu di ujung lorong terbanting menutup dengan suara memekakkan. Debu berterbangan, menyelimuti mereka. "Apa itu?!" bisik Ardi, panik. "Sudah berakhir, kan?" tanya Bima, suaranya bergetar hebat. Keheningan kembali menyelimuti. Lebih pekat, lebih dingin. Mereka berdiri terpaku, tidak berani bergerak. "Sudah selesai," kata Rio, suaranya terdengar lega. "Kita sudah sampai ujung lorong. Kita bisa menyalakan senter sekarang." Perlahan, satu per satu, senter menyala. Cahaya itu membelah kegelapan, menampakkan lorong yang sama seperti saat mereka masuk, tapi entah mengapa terasa lebih... kosong. Lebih hampa. "Fiuuh," Ardi menghela napas. "Untung saja tidak ada apa-apa." Citra tertawa gugup. "Aku pikir tadi ada yang pegang bahu Bima." Bima mengangguk cepat. "Iya! Dingin sekali!" Lisa mengibaskan tangan. "Cuma perasaan kalian saja. Atau mungkin tikus." "Lalu, Rina mana?" tanya Rio, matanya menyapu sekeliling. Semua terdiam. Rina tidak ada. Jantung mereka mencelos. Mereka saling pandang, raut wajah mereka berubah dari lega menjadi ngeri. "Rina?" panggil Ardi. Suaranya terdengar panik. "Rina, kau di mana?" Tidak ada jawaban. Hanya gema suara Ardi yang memantul di dinding-dinding kosong. Mereka mulai mencari. Menjelajahi setiap sudut lorong, memanggil-manggil nama Rina. Tapi gadis itu menghilang tanpa jejak, seolah ditelan bumi. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada jejak, tidak ada apapun. "Jangan-jangan..." Bima tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Jangan panik dulu," kata Ardi, berusaha menenangkan diri sendiri dan teman-temannya. "Mungkin dia cuma ketinggalan di belakang." Mereka mencari lagi, lebih teliti. Memasuki kelas-kelas yang kotor, menengok ke dalam kamar mandi yang gelap. Namun nihil. Rina benar-benar hilang. "Ini tidak masuk akal," kata Lisa, suaranya terdengar gemetar. Skeptisismenya runtuh. "Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?" Rio teringat sesuatu. "Ada satu aturan lagi," katanya, suaranya nyaris berbisik. "Aturan yang tidak tertulis, yang jarang dibagikan. Jika salah satu pemain melanggar aturan utama, yaitu melihat ke belakang... dia akan diambil." Mereka semua terdiam, dicengkeram ketakutan. "Rina... apa dia melihat ke belakang?" tanya Citra, matanya berkaca-kaca. Tidak ada yang bisa menjawab. Malam itu berakhir dengan kepanikan. Mereka mencari sampai pagi menjelang, sampai cahaya matahari pertama menerobos jendela-jendela yang pecah, menyingkap debu dan jaring laba-laba. Tapi Rina tidak ditemukan. Mereka pulang dengan perasaan campur aduk: lega karena berhasil keluar dari gedung terkutuk itu, namun dihantui rasa bersalah dan ketakutan atas hilangnya Rina. Kembalinya yang Tak Terduga Satu hari berlalu. Dua hari. Tiga hari. Hilangnya Rina menjadi berita. Polisi menyelidiki, tetapi tidak menemukan petunjuk. Orang tua Rina putus asa, teman-teman mereka diliputi duka. Ardi, Citra, Bima, Lisa, dan Rio dilanda mimpi buruk dan rasa bersalah yang tak terhingga. Mereka tidak berani menceritakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Siapa yang akan percaya cerita tentang permainan ritual dan sosok tak terlihat yang mengambil Rina? Pada hari keempat, sekitar pukul tiga sore, telepon Ardi berdering. Nomor tidak dikenal. Ia mengangkatnya dengan ragu. "Halo?" "Ardi... ini aku." Suara itu. Suara itu adalah suara Rina. Jantung Ardi serasa berhenti berdetak. "Rina?! Kau di mana? Kau baik-baik saja?" "Aku... aku di rumah." Ardi segera memberitahu teman-temannya. Mereka semua berkumpul di rumah Rina dalam waktu singkat, disambut oleh orang tua Rina yang kebingungan namun lega. Rina duduk di sofa ruang tamu, mengenakan piyama, secangkir teh di tangannya. "Rina!" Citra langsung memeluknya erat. "Kami mengkhawatirkanmu!" Rina hanya tersenyum tipis, tapi ada sesuatu yang salah. Senyum itu... terlalu lebar. Terlalu kaku. Seperti topeng. "Kau ke mana saja?" tanya Ardi, berusaha terdengar normal. "Kami mencarimu semalaman." Rina hanya menggeleng. "Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku sudah ada di rumah." Tapi kemudian, sesuatu yang jauh lebih aneh terlihat. Saat Rina menoleh ke arah jendela, di bawah cahaya sore yang masuk, mereka melihatnya. Wajah Rina... terbalik. Ya. Matanya berada di tempat dagunya seharusnya. Hidungnya di tempat lehernya. Dan mulutnya... mulutnya berada di tempat dahinya. Sebuah senyum lebar yang tidak wajar, memanjang dari telinga ke telinga, seolah dipaksakan, terukir di tempat yang seharusnya menjadi dahi. Mereka semua terdiam, membeku di tempat. Rasa mual melanda Bima. Lisa menahan napas, matanya membelalak. Citra tanpa sadar menjatuhkan kameranya. Rio mundur perlahan, ketakutan yang dingin merayapi tulangnya. Ardi merasa seluruh darahnya mengering. Rina seolah tidak menyadari kengerian di wajah teman-temannya. Ia masih tersenyum, senyum terbalik yang mengerikan itu. "Ada apa?" tanyanya, suaranya terdengar normal, tapi tidak sinkron dengan ekspresi wajahnya yang terbalik. "Kenapa kalian semua diam?" Mereka tidak bisa berkata-kata. Otak mereka tidak bisa memproses apa yang mereka lihat. Ini bukan Rina. Atau setidaknya, bukan Rina yang mereka kenal. "Rina... wajahmu..." bisik Ardi, suaranya serak. Rina menyentuh wajahnya dengan tangan, seolah kebingungan. "Wajahku kenapa?" Orang tua Rina yang berada di dapur tidak menyadari keanehan ini. Mereka mengira Rina hanya lelah dan sedikit linglung setelah menghilang beberapa hari. "Kami pulang dulu, Rina," kata Ardi, berusaha tenang. "Nanti kami jenguk lagi." Mereka bergegas keluar dari rumah itu, meninggalkan Rina dan senyum terbaliknya. Di luar, di bawah terik matahari, mereka terhuyung-huyung. "Aku... aku tidak percaya apa yang aku lihat," kata Citra, tangannya gemetar. "Itu... bukan Rina," kata Bima, nyaris menangis. "Itu akibatnya," kata Rio, suaranya bergetar. "Aturan yang dilanggar. Dia pasti melihat ke belakang." Lisa hanya bisa menggeleng, matanya kosong. Ini jauh melampaui segala bentuk skeptisismenya. "Kita harus melakukan sesuatu," kata Ardi, mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. "Kita tidak bisa membiarkan Rina seperti itu." Mencari Penawar Mereka memutuskan untuk kembali ke gedung sekolah itu. Rio, dengan pengetahuannya tentang mitos dan ritual, menjadi satu-satunya harapan mereka. "Apa yang akan kita cari?" tanya Citra, saat mereka berjalan di koridor sekolah yang terasa lebih dingin dan sunyi dari sebelumnya. "Penawar," jawab Rio. "Jika ada entitas yang bisa mengambil dan mengubah seseorang, pasti ada cara untuk mengembalikannya." Mereka menghabiskan berjam-jam mencari. Rio membawa beberapa buku kuno yang ia pinjam dari perpustakaan rahasia kakeknya. Buku-buku itu berisi tulisan tangan yang aneh, simbol-simbol yang tak dimengerti, dan kisah-kisah tentang entitas dari dimensi lain. "Ini," kata Rio, tiba-tiba. Ia menunjuk sebuah halaman yang lusuh. "Aku menemukan sesuatu." Mereka berkumpul di sekelilingnya. Rio membaca dengan suara pelan. "Konon, mereka yang melanggar ikrar pandangan akan terperangkap dalam cermin realitas terbalik. Untuk mengembalikannya, seseorang harus melakukan ritual pengembalian. Ritual itu harus dilakukan di tempat yang sama di mana pelanggaran terjadi, pada malam bulan purnama yang sama saat ia diambil." "Malam bulan purnama yang sama?" tanya Ardi. "Rina menghilang tiga hari yang lalu. Bulan purnama belum terlihat." "Itu artinya," kata Rio, "kita harus menunggu." Menunggu. Itu adalah kata yang paling tidak ingin mereka dengar. Setiap detik adalah siksaan bagi Rina, yang terperangkap dalam tubuh dengan wajah terbalik itu. "Bagaimana cara melakukannya?" tanya Lisa, suaranya penuh tekad. "Ritual ini melibatkan penukaran," jelas Rio. "Seseorang harus masuk ke dalam cermin realitas terbalik itu dan menarik Rina keluar. Sebagai gantinya, entitas yang mengambil Rina akan tertarik ke alam kita." Mereka semua terdiam. Itu berarti, salah satu dari mereka harus menjadi umpan. "Aku akan melakukannya," kata Ardi tanpa ragu. Sebagai pemimpin, ia merasa bertanggung jawab penuh. "Tidak, Ardi," kata Citra. "Ini terlalu berbahaya." "Lalu siapa?" tanya Ardi. "Kita tidak bisa membiarkan Rina selamanya seperti itu." Diskusi panjang pun terjadi. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukannya bersama-sama. Mereka akan berpegangan tangan, dan jika ada yang tertarik ke dalam cermin realitas terbalik, yang lain akan berusaha menariknya keluar. Malam Bulan Purnama Malam bulan purnama tiba. Cahaya bulan purnama membanjiri lorong sekolah yang gelap, menampakkan setiap sudut yang berdebu. Kali ini, mereka datang dengan persiapan yang lebih matang. Rio membawa sebuah cermin kuno berukuran sedang, yang ia temukan di bagian terdalam gudang kakeknya. Cermin itu sudah buram, namun memancarkan aura aneh. "Kita akan meletakkan cermin ini di ujung lorong," jelas Rio. "Tepat di mana Rina menghilang." Mereka mengikuti instruksi Rio. Cermin itu diletakkan bersandar pada dinding yang kotor. Cahaya bulan memantul di permukaannya, menciptakan kilauan yang aneh. "Sekarang," kata Rio, "kita butuh... darah." Mereka semua menatapnya, terkejut. "Ritual ini membutuhkan pengorbanan kecil," jelas Rio. "Darah dari mereka yang terlibat akan membuka portal." Mereka semua ragu, namun demi Rina, mereka bersedia. Ardi mengeluarkan pisau lipat kecilnya dan melukai telapak tangannya. Darah menetes. Satu per satu, mereka mengikuti, mengoleskan darah mereka di permukaan cermin. Saat tetesan darah terakhir menyentuh cermin, permukaan cermin mulai beriak, seperti air. Gambaran di dalamnya mulai bergeser, menjadi kabur, lalu perlahan membentuk sebuah siluet. Siluet seorang gadis. Dengan wajah terbalik. Itu Rina. Rina yang berada di dalam cermin terlihat ketakutan, matanya yang terbalik membelalak. Ia mencoba meraih keluar, tapi tangannya seolah menembus permukaan cermin. "Rina!" panggil Ardi. "Kita harus memanggilnya," kata Rio. "Panggil namanya, panggil dia keluar." Mereka berlima mulai memanggil nama Rina, berulang-ulang, dengan segenap kekuatan mereka. "Rina! Keluar! Rina!" Cermin itu bergetar. Siluet Rina semakin jelas. Tapi di belakangnya, bayangan gelap mulai terbentuk. Bayangan itu tinggi, kurus, dan bergerak aneh, seperti ilusi yang menipu mata. "Itu dia!" bisik Rio, suaranya tegang. "Entitas itu. Dia akan datang." Bayangan itu mulai mendekat ke arah Rina di dalam cermin, tangannya yang panjang dan kurus terulur. Rina berteriak, suaranya terdengar teredam, seperti dari dunia lain. "Tarik dia!" teriak Ardi. Mereka semua mengulurkan tangan, mencoba menyentuh permukaan cermin. Tapi cermin itu seperti batas yang tidak bisa ditembus. "Kita harus melewatinya!" teriak Rio. "Salah satu dari kita harus menariknya!" Tanpa berpikir panjang, Ardi maju. Ia menutup mata dan mendorong tangannya ke depan. Tangannya seolah menembus permukaan cermin yang beriak. Dingin. Sangat dingin. Seperti air es. Di sisi lain, Ardi melihat Rina, begitu dekat. Ia mencoba meraih tangan Rina, tapi bayangan itu sudah menggapai Rina. "Rina!" teriak Ardi. Ia berjuang, mengerahkan seluruh tenaganya, dan akhirnya, tangannya berhasil meraih pergelangan tangan Rina. Ia menarik. Sesuatu yang kuat menarik balik dari dalam cermin. Ardi merasa seperti ditarik ke dalam jurang. Ia berpegangan erat pada pergelangan tangan Rina, berusaha menariknya keluar. Citra, Bima, Lisa, dan Rio melihat tubuh Ardi mulai tertarik masuk ke dalam cermin. Mereka segera berpegangan pada Ardi, membentuk rantai manusia, berusaha menariknya kembali. "Tarik! Tarik!" teriak Citra. Pertarungan sengit terjadi. Di satu sisi, entitas itu berusaha menarik Rina lebih dalam. Di sisi lain, mereka berlima berusaha menarik Ardi dan Rina keluar. Rina menjerit, suaranya memilukan. Wajahnya yang terbalik semakin jelas terlihat, air mata mengalir dari matanya yang berada di tempat dagunya. Bayangan itu semakin mendekat, menyelimuti Rina. Tangannya yang panjang meraih Ardi, mencoba menariknya masuk. Ardi merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, napasnya tercekat. "Tidaaaak!" teriak Lisa. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, menarik Ardi sekuat tenaga. Tiba-tiba, sebuah suara retakan terdengar. KRAAAKKK! Cermin itu retak. Riak di permukaannya semakin parah, lalu meledak menjadi serpihan-serpihan kaca yang berserakan. Pada saat yang sama, Ardi merasakan tarikan yang sangat kuat. Ia terlempar ke belakang, bersama Rina yang jatuh di atasnya. Mereka semua terjatuh ke lantai yang dingin dan berdebu. Saat mereka bangkit, Ardi menatap Rina. Rina terbaring di lantai, terengah-engah. Perlahan, ia membuka matanya. Dan kali ini, matanya berada di tempat seharusnya. Hidungnya. Mulutnya. Semuanya kembali normal. "Rina!" teriak mereka bersamaan. Rina menatap teman-temannya, lalu menyentuh wajahnya sendiri. "Aku... aku kembali?" Ia memeluk mereka satu per satu, air mata kelegaan membasahi pipinya. Mereka semua menangis, lega dan bersyukur. Namun, di sudut lorong, sebuah bayangan terlihat berkedip. Bayangan itu tidak lagi di dalam cermin, melainkan di dunia nyata. Bentuknya tinggi, kurus, dan bergerak-gerak aneh. Ia seperti mencoba meraih sesuatu, namun kemudian menghilang, seolah tertarik ke dalam kegelapan yang lebih dalam. "Apa... apa itu tadi?" tanya Bima, suaranya gemetar. "Entitas itu," kata Rio, matanya masih terpaku pada sudut di mana bayangan itu menghilang. "Dia mencoba menembus." "Tapi kita berhasil," kata Ardi, tersenyum lemah. "Rina sudah kembali." Mereka semua menatap Rina, yang tersenyum lega. Wajahnya yang normal terlihat begitu indah setelah apa yang mereka saksikan. Sisa-sisa Kengerian Mereka membawa Rina pulang, menceritakan apa yang terjadi kepada orang tuanya. Tentu saja, orang tua Rina tidak percaya sepenuhnya. Mereka menganggap Rina mengalami trauma dan teman-temannya hanya berimajinasi untuk menjelaskan hilangnya Rina. Namun, ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Rina terkadang berbicara dengan suara yang sedikit berbeda, sedikit lebih dalam, seperti ada gema di dalamnya. Ia juga sering melihat ke belakang tanpa sebab, seolah ada yang terus memanggilnya. Dan yang paling aneh, terkadang, saat Rina tertidur lelap, sebuah senyum lebar yang tidak wajar akan terukir di wajahnya. Senyum itu, hanya sesaat, namun cukup untuk membuat bulu kuduk teman-temannya berdiri. Senyum itu akan menghilang secepat ia datang, meninggalkan Rina kembali dalam tidurnya yang nyenyak. Mereka tahu, Rina tidak sepenuhnya kembali. Sebagian dari dirinya masih terperangkap di antara dua dunia, dan entitas itu... entitas itu masih ada, menunggu waktu yang tepat untuk menariknya kembali. Mereka tidak pernah lagi memainkan permainan ritual urban. Gedung sekolah terbengkalai itu kini menjadi monumen bisu atas kengerian yang mereka alami. Mereka berlima, Ardi, Citra, Bima, Lisa, dan Rio, hidup dengan ketakutan yang mendalam. Mereka tahu, suatu hari nanti, entitas itu akan kembali. Dan mereka harus siap. Rina, di sisi lain, berusaha hidup normal. Ia pergi ke sekolah, tertawa, dan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan remaja. Tapi ia tahu, setiap kali ia melihat bayangan di sudut matanya, setiap kali ia mendengar bisikan samar di telinganya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Terkadang, ia merasa seperti ada tangan dingin yang menyentuh punggungnya. Dan saat ia berbalik, tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan. Dan bisikan, yang berulang-ulang, menyuruhnya untuk... melihat ke belakang. Karena di suatu tempat, di antara dimensi, entitas dengan senyum terbalik itu masih menunggu. Menunggu Rina melihat ke belakang lagi. Menunggu untuk menariknya kembali ke dalam cermin realitas terbalik, selamanya.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)