Masukan nama pengguna
Arga menatap pantulan dirinya di jendela kafe yang berembun. Wajahnya yang lelah terbingkai oleh rintik hujan yang menempel di kaca, seolah-olah waktu pun enggan bergerak maju. Kasus terakhir. Kata itu terus berputar di benaknya, sebuah janji yang ia buat pada dirinya sendiri, sebuah garis akhir yang ia nantikan dengan penuh kelelahan. Seorang wanita bernama Dinda duduk di hadapannya, menggenggam cangkir teh dengan tangan gemetar. Ia telah menceritakan kisah suaminya, Bima, yang hilang tiga hari lalu. Arga telah mendengar ratusan kisah serupa, tetapi yang satu ini terasa berbeda. Dinda memberinya alamat sebuah rumah tua di pinggir kota, sebuah tempat yang katanya menjadi lokasi terakhir Bima terlihat.
Arga menerima map dari Dinda. Di dalamnya, ada foto Bima: seorang pria muda dengan senyum ramah yang tampak tidak cocok dengan deskripsi tempat yang akan ia datangi. Alamat itu membawa Arga ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Hujan masih turun, membasahi jalanan tanah yang becek. Di ujung jalan, sebuah rumah tua berdiri tegak, tersembunyi di balik semak belukar yang tak terawat. Jendela-jendela kayu yang usang tampak seperti mata-mata kosong yang menatap ke arahnya.
Ia turun dari mobil, jaket kulitnya langsung basah oleh gerimis. Hawa dingin menyelinap masuk ke dalam tubuhnya, sebuah peringatan akan kesunyian yang menanti di depan. Pintu utama yang terbuat dari kayu jati tua berdecit pelan saat ia membukanya. Di dalam, bau apak dan lumut menyeruak, bercampur dengan aroma dupa yang aneh. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah jendela.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih memecah keheningan. "Siapa di sana?"
Arga menoleh. Di sudut ruangan, seorang wanita tua duduk di kursi roda, selimut menutupi kakinya. Ia memiliki mata yang bening, tetapi tatapannya kosong, seolah-olah ia melihat sesuatu yang tidak ada.
"Saya Arga, detektif swasta. Saya mencari Bima," jawab Arga.
"Bima... Bima... dia pergi," gumam wanita itu. "Dia pergi bersama bayangan di ujung koridor."
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Bayangan apa?"
"Bayangan itu selalu datang saat malam. Dia tertawa... dan mengambil semua yang kami miliki," katanya, matanya membelalak ketakutan.
Tiba-tiba, seorang wanita muda muncul dari balik tirai. Ia mengenakan seragam perawat berwarna putih. Wajahnya tenang, hampir tanpa ekspresi. "Maaf, Tuan. Nyonya Ratih memang sering bicara yang tidak-tidak. Dia menderita demensia."
Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Rani, perawat Nyonya Ratih. Rani menjelaskan bahwa Bima adalah perawat sebelumnya yang tiba-tiba menghilang. "Dia tidak meninggalkan pesan apa pun. Ponselnya mati. Dia hanya pergi begitu saja," kata Rani.
Arga menatap Rani. Ada sesuatu yang janggal dari ketenangan wanita ini. Ia tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali tentang hilangnya Bima. Arga meminta izin untuk melihat-lihat rumah. Rani mengangguk, lalu kembali ke sisi Nyonya Ratih.
Rumah itu adalah labirin yang membingungkan. Setiap koridor terlihat sama, setiap pintu tampak identik. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan tua yang menggambarkan pemandangan yang sama: hutan yang gelap, danau yang tenang, dan sebuah rumah yang tampak persis seperti rumah ini. Arga tiba di ujung koridor, tempat Nyonya Ratih menyebutkan "bayangan." Koridor itu sempit dan gelap, dan di sana tidak ada apa pun kecuali pintu menuju kamar Nyonya Ratih dan sebuah pintu lain yang terkunci. Arga mencoba membuka pintu yang terkunci, tetapi tidak berhasil.
Ia kembali ke ruang utama, di mana Rani sedang memberikan obat kepada Nyonya Ratih. "Apakah Nyonya Ratih selalu begini?" tanya Arga.
Rani mengangguk. "Kadang-kadang, ia menyebut nama-nama yang tidak saya kenal. Kadang-kadang, ia tertawa sendiri. Ini semua efek dari demensia."
Arga melihat Nyonya Ratih, yang kini menatapnya dengan tatapan penuh arti. Wanita tua itu tidak lagi terlihat bingung, melainkan seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting. Namun, ia kembali ke dunianya sendiri.
Arga memutuskan untuk menginap malam itu. Rani menyiapkan kamar tamu untuknya, sebuah ruangan yang terletak di lantai dua, tepat di seberang kamar Nyonya Ratih. Saat Arga bersiap untuk tidur, ia melihat sebuah boneka kecil tergeletak di samping tempat tidurnya. Boneka itu tampak tua dan usang, dengan salah satu matanya hilang. Ia tidak ingat pernah melihatnya di sana sebelumnya. Ia menyimpannya di laci, lalu berbaring di tempat tidur.
Di tengah malam, Arga terbangun oleh suara aneh. Itu bukan suara teriakan atau tangisan, melainkan suara tawa yang nyaring, tawa anak-anak. Tawa itu terdengar dari koridor di luar kamarnya. Arga bangkit dari tempat tidur, membuka pintu perlahan, dan mengintip ke luar. Koridor itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang masuk dari jendela. Tidak ada siapa-siapa. Tawa itu berhenti.
Arga kembali ke tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi, efek dari kelelahan dan ketegangan. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ia tidak sendirian di rumah ini.
Pagi hari datang, membawa sinar matahari yang menembus jendela kamar. Arga bangun dengan perasaan tidak nyaman, tawa itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia keluar dari kamar dan melihat Nyonya Ratih sedang duduk di kursi rodanya di koridor. Kali ini, ia terlihat lebih tenang.
"Bayangan itu datang lagi semalam," gumam Nyonya Ratih.
Arga merasa penasaran. "Apakah Anda melihatnya?"
"Aku tidak melihatnya, tapi aku mendengar tawanya. Tawa anak-anak," katanya, menunjuk ke sebuah buku harian yang tergeletak di atas meja. "Bima menuliskan semuanya di sana. Bima adalah anakku."
Arga terkejut. "Tapi Rani bilang Anda tidak punya anak."
Nyonya Ratih hanya tersenyum, senyum yang dingin dan kosong. "Dia bohong."
Rani muncul dari dapur, membawa nampan berisi sarapan. "Pagi, Tuan Arga," sapanya. "Nyonya Ratih sudah bicara yang tidak-tidak lagi?"
Arga mengangguk, lalu mengambil buku harian itu. Buku itu tebal dan usang, dengan tulisan tangan Bima yang rapi. Di halaman pertama, Bima menuliskan ketakutannya akan rumah ini. Ia menuliskan tentang tawa anak-anak yang ia dengar, tentang bayangan yang ia lihat, dan tentang Nyonya Ratih yang terkadang memanggilnya dengan nama lain. Bima juga menuliskan tentang sebuah boneka dengan salah satu matanya hilang, boneka yang sama yang Arga temukan di kamarnya semalam.
Arga menatap Rani. "Mengapa Bima menuliskan hal-hal seperti ini? Apa yang terjadi di sini?"
Rani mengambil buku harian itu dari tangan Arga. "Ini hanya fantasi. Bima adalah penulis. Dia suka membuat cerita fiksi. Ini bukan hal yang nyata."
Namun, Arga melihat ketakutan di mata Rani. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Arga melanjutkan pencariannya. Ia meminta Rani untuk menunjukkan kamar Bima. Kamar Bima rapi dan bersih, tidak ada jejak perlawanan. Di meja, ada sebuah buku tentang psikologi dan hipnoterapi. Sebuah foto Bima bersama Dinda terselip di halaman buku itu. Arga teringat bahwa Dinda datang ke sini untuk mencari Bima.
Ia turun ke lantai satu dan menemukan Nyonya Ratih di ruang utama. Wanita tua itu sedang memegang boneka yang ia temukan. Boneka dengan satu mata yang hilang. Nyonya Ratih memeluknya erat-erat, seolah-olah itu adalah sesuatu yang sangat berharga.
"Anakku... dia mencintai boneka ini," gumam Nyonya Ratih.
Arga merasa ada sesuatu yang tidak masuk akal. Ia telah memeriksa catatan kelahiran Nyonya Ratih, dan ia tidak memiliki anak. Siapa anak yang ia maksud? Dan mengapa ia menganggap Bima sebagai anaknya?
Arga kembali ke kota untuk mencari informasi lebih lanjut tentang rumah ini dan Nyonya Ratih. Ia mengunjungi kantor catatan sipil dan menemukan bahwa rumah itu telah kosong selama lebih dari lima puluh tahun. Nyonya Ratih adalah pemilik tunggal, tetapi tidak ada catatan tentang suaminya atau anak-anaknya. Ia juga menemukan bahwa Rani adalah seorang perawat profesional yang telah bekerja untuk Nyonya Ratih selama dua tahun terakhir. Ia tidak menemukan jejak Bima.
Di tengah perjalanan, Arga mendapat telepon dari Dinda. Dinda terdengar panik. "Arga, Anda harus segera kembali ke sana. Aku mendapat pesan dari Bima. Ia bilang ia terjebak di rumah itu."
Arga segera memutar balik mobilnya. Ia kembali ke rumah tua itu, hatinya dipenuhi perasaan tidak nyaman. Rumah itu terasa lebih angker dari sebelumnya. Hujan telah berhenti, dan matahari terbenam di balik awan gelap. Saat ia masuk, ia tidak melihat Rani atau Nyonya Ratih. Ruangan itu kosong.
Ia naik ke atas, dan di ujung koridor, pintu yang terkunci yang ia temukan kemarin kini terbuka. Arga melangkah masuk, jantungnya berdebar kencang. Ia menemukan sebuah kamar anak-anak yang rapi dan bersih. Di tengah ruangan, sebuah kursi goyang bergoyang perlahan, seolah-olah baru saja ditinggalkan. Di atas kursi, sebuah boneka dengan salah satu matanya hilang tergeletak begitu saja. Di dinding, sebuah lukisan yang sama dengan yang ia lihat di rumah ini. Lukisan itu menggambarkan seorang anak kecil yang sedang tersenyum, memegang boneka dengan satu mata yang hilang.
Di balik lukisan itu, Arga menemukan sebuah buku harian lain. Buku harian Nyonya Ratih. Di dalamnya, ia menuliskan kisah hidupnya. Ia adalah seorang yatim piatu yang diadopsi oleh seorang wanita yang kejam. Ia tidak pernah punya anak, tetapi ia selalu ingin memilikinya. Ia juga menuliskan tentang bayangan yang selalu mengikutinya, bayangan dari masa lalu yang terus menghantuinya. Ia menuliskan tentang seorang anak kecil yang selalu tertawa, anak yang ia bunuh di panti asuhan. Arga berhenti membaca, jantungnya terasa seperti ditusuk. Kilas balik masa lalunya sendiri tiba-tiba muncul di benaknya. Ia ingat, ia pernah membunuh seorang anak. Dan ia telah melupakan itu.
Arga menyadari bahwa ia tidak sedang memecahkan kasus orang hilang, melainkan kasus pembunuhan yang belum terungkap. Dan ia mulai berpikir, apakah ia adalah pembunuhnya? Dan siapa sebenarnya Nyonya Ratih?
Arga membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran kenangan yang baru saja terkuak. Buku harian Nyonya Ratih tergeletak di tangannya, halaman-halamannya berisi pengakuan yang mengerikan. Ia membaca lagi, mencoba mencari celah, mencoba menemukan kebohongan, tetapi kata-kata itu terasa begitu nyata, begitu jujur dalam keputusasaan dan kegilaannya. Nyonya Ratih menulis tentang seorang anak, seorang teman sebaya di panti asuhan yang ia bunuh secara tidak sengaja saat mereka bermain. Sebuah kecelakaan yang ia tutupi dengan sempurna. Sebuah rahasia yang ia bawa hingga ke liang kubur.
Arga melihat pantulan dirinya di cermin yang berdebu. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia teringat akan sebuah nama yang ia lupakan: Kevin. Kevin, anak yang hilang di panti asuhan yang sama dengannya. Anak yang ia dorong dari ayunan terlalu keras, menyebabkan kepalanya membentur tembok. Ia adalah pelakunya. Ia adalah pembunuh itu. Selama ini, ia pikir ingatannya tentang panti asuhan hanyalah mimpi buruk, sebuah trauma yang tidak pernah benar-benar terjadi. Namun, buku harian Nyonya Ratih telah membuka kembali pintu itu, pintu yang mengarah ke kegelapan paling dalam dalam jiwanya.
Pikiran Arga kacau balau. Ia mulai meragukan segalanya. Apakah kasus ini nyata? Apakah ia benar-benar seorang detektif, atau hanya seorang pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa? Ia melihat sekeliling, mencoba mencari jawaban. Kamar anak-anak itu terasa dingin, mencekam, dan setiap sudutnya seolah menyembunyikan rahasia gelap. Ia melihat sebuah mainan kereta-keretaan di lantai. Ia membungkuk, mengambilnya. Tiba-tiba, ia mendengar suara tawa anak-anak lagi, kali ini terdengar lebih jelas, seolah-olah mereka ada di dalam ruangan itu bersamanya.
Arga menjatuhkan mainan itu, jantungnya berdegup kencang. Ia berlari keluar dari kamar, menuruni tangga, dan mencari Rani. Ia menemukannya di dapur, sedang menyiapkan makan malam. "Rani, Anda harus tahu sesuatu. Nyonya Ratih... dia menulis tentang seorang anak yang dia bunuh."
Rani menoleh, wajahnya masih tenang, tetapi Arga bisa melihat sedikit kerutan di dahinya. "Itu semua fantasi, Tuan Arga. Nyonya Ratih sering menulis cerita fiksi. Dia suka membayangkan dirinya sebagai seorang pembunuh. Itu bagian dari demensianya."
"Tapi... tapi saya juga mengingatnya. Saya juga di panti asuhan itu. Saya... saya juga membunuh seseorang," kata Arga, suaranya gemetar.
Rani menatap Arga dengan tatapan iba. "Tuan Arga, Anda harus istirahat. Anda terlalu banyak berpikir. Bima memang menghilang. Dinda mencarinya. Tapi tidak ada yang terbunuh di sini. Semua ini hanya khayalan Anda."
Arga merasa frustrasi. Ia merasa terjebak. Apakah Rani berbohong? Atau apakah ia yang sudah gila? Ia memutuskan untuk mencari Dinda. Ia menelepon Dinda, tetapi teleponnya tidak aktif. Ia mencoba menghubungi Rani, tetapi ia tidak menjawab. Arga merasa panik.
Ia kembali ke kamar anak-anak, berharap menemukan petunjuk lain. Ia melihat ke sekeliling, dan matanya tertuju pada sebuah boneka yang tergeletak di pojok ruangan. Boneka itu tampak sama dengan boneka yang ia temukan di kamar Nyonya Ratih, tetapi yang satu ini memiliki kedua matanya. Arga mengambilnya. Boneka itu terasa dingin, dan di dalamnya, ia menemukan sebuah catatan kecil. Catatan itu ditulis dengan tangan yang rapi, dan isinya adalah sebuah pengakuan. Pengakuan dari Bima.
"Aku tahu apa yang Nyonya Ratih lakukan. Aku tahu tentang anak itu. Aku juga tahu tentang rahasia Arga. Nyonya Ratih mengira ia adalah pembunuhnya, tetapi sebenarnya bukan. Pembunuhnya adalah... "
Catatan itu terputus. Arga melihat sekeliling, mencoba menemukan sisa catatan itu. Ia menemukan potongan-potongan kertas kecil yang tersebar di lantai. Ia mengumpulkannya dan mencoba menyusunnya kembali. Potongan-potongan kertas itu membentuk sebuah nama: Rani.
Rani... Rani adalah pembunuhnya. Rani adalah orang yang membunuh anak di panti asuhan itu. Dan ia menjebak Nyonya Ratih.
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia kembali ke kamar Nyonya Ratih. Wanita tua itu sedang tidur, wajahnya tampak damai. Di sampingnya, boneka dengan satu mata yang hilang tergeletak. Arga mengambilnya, dan ia melihat ke dalam lubang mata yang kosong. Di dalamnya, ada sebuah cincin. Cincin itu memiliki ukiran nama: Dinda.
Arga merasa bingung. Dinda? Apa hubungannya Dinda dengan semua ini? Ia teringat Dinda yang panik saat meneleponnya. Ia teringat Dinda yang memintanya kembali ke rumah itu. Ia teringat Dinda yang memberikan alamat itu kepadanya. Apakah Dinda juga bagian dari konspirasi ini?
Ia keluar dari kamar, dan di koridor, ia melihat Rani berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan dingin. Di tangannya, sebuah pisau tajam berkilauan di bawah cahaya rembulan. "Anda tidak seharusnya membaca itu," kata Rani, suaranya tenang, tetapi terdengar mematikan.
Arga merasa takut. Ia mundur, mencoba membuka pintu kamar lain, tetapi terkunci. Ia terjebak. Ia terjebak di rumah tua ini, sendirian dengan seorang pembunuh. "Mengapa? Mengapa Anda melakukannya?" tanya Arga, suaranya gemetar.
Rani tersenyum, senyum yang mengerikan. "Ini semua untuknya. Untuk ibu saya."
Arga terdiam, mencoba memahami kata-kata Rani. Ibunya? Nyonya Ratih? "Tapi... Nyonya Ratih tidak punya anak," kata Arga.
Rani tertawa pelan. "Itu yang dia yakini. Itu yang harus dia yakini." Ia mengangkat pisau itu, dan Arga melihat bayangan dirinya sendiri di mata Rani, bayangan yang dipenuhi ketakutan. "Anda tahu, Tuan Arga, kenangan adalah hal yang aneh. Mereka bisa menjadi teman terbaik kita, atau musuh terburuk kita. Mereka bisa membuat kita gila, atau membuat kita utuh. Nyonya Ratih memilih untuk melupakan. Ia memilih untuk percaya bahwa ia tidak punya anak. Ia memilih untuk percaya bahwa ia adalah seorang pembunuh."
"Jadi... Anda menjebaknya?" tanya Arga.
"Tidak. Dia menjebak dirinya sendiri," kata Rani. "Dia adalah pembunuhnya. Dia membunuh anak itu. Dia membunuh Bima."
Arga merasa bingung. "Tapi... Bima menulis bahwa Anda yang membunuh anak itu."
Rani menggelengkan kepalanya. "Bima adalah penulis. Dia suka membuat cerita. Dia suka memanipulasi orang. Dia menulis itu untuk membuat saya terlihat bersalah. Dia menulis itu untuk membuat saya terlihat gila."
"Jadi, Bima masih hidup?" tanya Arga.
Rani tersenyum. "Tidak. Bima sudah mati." Ia menunjuk ke arah pintu di ujung koridor. Pintu yang terkunci yang Arga temukan pertama kali. "Ia ada di sana."
Arga merasa takut. Ia melirik ke arah pintu, lalu kembali ke Rani. "Mengapa? Mengapa Anda membunuhnya?"
"Bukan saya yang membunuhnya," kata Rani, suaranya dingin. "Ibu saya yang membunuhnya."
"Tapi... mengapa?" tanya Arga.
"Karena Bima ingin mengungkapkan rahasia itu. Rahasia tentang saya. Rahasia tentang masa lalu saya. Rahasia tentang anak itu," kata Rani. Ia mendekat, pisau di tangannya mengarah ke Arga. "Saya adalah anak itu. Anak yang hilang di panti asuhan."
Arga merasa dunia berputar. Ia tidak bisa memahami. Jika Rani adalah anak itu, lalu mengapa ia menjebak Nyonya Ratih? Mengapa ia membantu Nyonya Ratih?
"Saya membenci ibu saya. Saya membencinya karena ia telah melupakan saya. Saya membencinya karena ia telah membunuh saya," kata Rani, air mata mengalir di pipinya. "Tapi saya juga mencintainya. Saya mencintainya karena ia adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki. Saya harus melindunginya. Saya harus melindunginya dari Bima. Saya harus melindunginya dari kebenaran."
Arga merasa pusing. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Apakah Rani adalah korban? Atau apakah ia seorang psikopat yang memanipulasi Arga?
"Anda harus pergi," kata Rani. "Anda tidak seharusnya berada di sini. Anda tidak seharusnya tahu tentang semua ini."
"Apa yang akan Anda lakukan?" tanya Arga.
Rani tersenyum, senyum yang dingin dan kosong. "Saya akan mengakhiri ini. Saya akan mengakhiri ini untuk selamanya."
Rani berbalik, menuju pintu di ujung koridor. Ia membuka pintu itu, dan Arga melihat kegelapan di dalamnya. "Bima ada di sana. Anda bisa melihatnya. Anda bisa mengakhiri kasus ini," kata Rani. "Tapi Anda harus berjanji untuk tidak pernah kembali. Anda harus berjanji untuk melupakan semua ini."
Arga merasa bimbang. Apakah ia harus percaya pada Rani? Ataukah ini semua jebakan?
Ia melangkah maju, menuju pintu itu. Di dalam, ia melihat sebuah ruangan yang kosong, gelap, dan dingin. Tidak ada jasad. Tidak ada Bima. Arga berbalik, tetapi pintu itu telah tertutup. Ia terkunci di dalam.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Rani dari luar. "Saya minta maaf, Tuan Arga. Tapi Anda terlalu banyak tahu. Anda harus tinggal di sana. Anda harus tinggal di sana... dengan bayangan-bayangan itu."
Arga merasa panik. Ia menggedor pintu, mencoba membukanya. Tetapi pintu itu tidak bergerak. Ia terkunci. Ia berteriak, memanggil nama Rani, tetapi tidak ada jawaban.
Ia duduk di lantai, bersandar di dinding. Kegelapan menyelimutinya. Tiba-tiba, ia melihat sebuah bayangan di sudut ruangan. Bayangan itu bergerak, mendekatinya. Arga merasa takut. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya halusinasi.
Ia mendengar tawa anak-anak lagi, tawa yang nyaring, tawa yang mengerikan. Tawa itu datang dari bayangan itu. Bayangan itu semakin dekat, dan Arga bisa melihat matanya yang bersinar dalam kegelapan. Mata yang sama dengan mata Rani.
Arga berteriak. Ia tidak tahu apakah ia akan mati, atau apakah ia akan gila. Ia hanya tahu, ia tidak akan pernah bisa keluar dari sana. Ia tidak akan pernah bisa lolos dari bayangan itu. Ia tidak akan pernah bisa melarikan diri dari kegelapan di dalam dirinya.
Ia melihat bayangan itu, dan ia melihat dirinya sendiri di dalamnya. Ia melihat dirinya, seorang anak kecil, sedang tertawa, memegang boneka dengan satu mata yang hilang. Ia menyadari, ia bukan Arga. Ia bukan detektif. Ia adalah anak itu. Dan ia telah terjebak di rumah ini selama ini.
Setelah kepanikan awal mereda, Arga menyadari dirinya tidak benar-benar terkunci. Pintu yang ia sangka tertutup rapat ternyata hanya tertutup, tidak terkunci. Dengan dorongan keras, pintu itu terbuka, dan Arga mendapati dirinya kembali di koridor yang remang. Suara tawa anak-anak yang ia dengar kini terdengar jauh, seperti gema yang memudar. Ia menoleh ke belakang, ke ruangan yang baru saja ia tinggalkan. Ruangan itu kini tampak biasa saja, kosong dan berdebu. Tidak ada bayangan, tidak ada boneka, tidak ada apa-apa.
Arga meragukan kewarasannya. Apakah itu semua hanya halusinasi? Sebuah jebakan psikologis yang disiapkan oleh Rani? Ia menuruni tangga, mencari Rani atau Nyonya Ratih. Keduanya tidak terlihat. Rumah itu hening, hanya ada suara detak jam dinding yang berirama pelan. Arga merasakan ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kasus orang hilang.
Ia memutuskan untuk kembali ke kota. Ia harus mencari tahu siapa sebenarnya Bima, Dinda, dan Rani. Ia harus mencari tahu apa hubungan mereka dengan Nyonya Ratih.
Di kantornya, ia mulai menggali lebih dalam. Ia menggunakan koneksi lamanya di kepolisian untuk mendapatkan informasi tentang Dinda dan Bima. Data yang ia temukan mengejutkan. Bima dan Dinda adalah sepasang kekasih, bukan suami istri. Mereka memiliki sejarah penipuan yang panjang, mengincar properti-properti orang tua kaya. Mereka menggunakan identitas palsu, memanipulasi orang tua yang menderita demensia untuk mendapatkan properti mereka. Kasus Nyonya Ratih tampaknya adalah target mereka berikutnya.
Namun, yang lebih aneh lagi, ia menemukan bahwa Bima dan Dinda telah menjadi buronan selama beberapa bulan terakhir. Mereka menghilang tanpa jejak setelah kasus penipuan terakhir mereka di kota lain. Arga melihat foto mereka berdua, wajah mereka yang tersenyum cerah terasa menjijikkan baginya sekarang. Ia merasa marah. Ia merasa telah dibohongi dan dipermainkan.
Arga kembali ke rumah tua itu. Ia tidak lagi mencari Bima, ia mencari Rani. Ia ingin mengkonfrontasinya, ia ingin mendapatkan jawaban. Ia ingin tahu mengapa Rani membantunya jika ia tahu bahwa Bima dan Dinda adalah penipu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Saat ia tiba di rumah itu, pintu utama terbuka. Di dalam, Nyonya Ratih sedang duduk di kursi rodanya, menatap kosong ke luar jendela. Rani berdiri di belakangnya, memijat bahunya.
"Rani," panggil Arga.
Rani menoleh. Wajahnya tenang seperti biasa, tetapi Arga bisa melihat sedikit kegelisahan di matanya. "Tuan Arga, Anda kembali. Ada apa?"
"Jangan berpura-pura, Rani. Aku tahu siapa Bima dan Dinda. Aku tahu mereka adalah penipu. Aku tahu mereka bukan suami istri," kata Arga, suaranya dipenuhi amarah. "Mengapa kau tidak memberitahuku? Mengapa kau membiarkanku mencari mereka seperti orang bodoh?"
Rani menghela napas. "Saya mencoba melindunginya," katanya, menunjuk ke Nyonya Ratih. "Saya tahu mereka adalah penipu. Saya tahu mereka datang ke sini untuk mengambil propertinya. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya tidak bisa memanggil polisi. Siapa yang akan percaya pada saya? Saya hanya seorang perawat. Mereka pasti mengira saya juga bagian dari rencana itu."
"Jadi, kau membiarkanku datang ke sini, mencari mereka, membuang waktuku," kata Arga.
"Tidak. Saya percaya pada Anda. Saya percaya Anda bisa menemukan mereka. Saya percaya Anda bisa menghentikan mereka," kata Rani. "Dan saya tidak bisa mengatakan yang sebenarnya karena itu akan membuatnya... lebih sulit."
"Lebih sulit? Lebih sulit untuk siapa?" tanya Arga.
Rani menatap Arga dengan tatapan yang penuh makna. "Lebih sulit untuk Anda. Saya melihat Anda. Saya melihat trauma Anda. Saya melihat bayangan masa lalu Anda. Saya tahu Anda datang ke sini bukan hanya untuk mencari Bima, tetapi juga untuk mencari diri Anda sendiri."
Arga terdiam. Kata-kata Rani terasa menusuk. Ia memang datang ke sini untuk melarikan diri, untuk mencari kedamaian. Tapi ia tidak menyangka, di tempat ini, ia akan menemukan kenangan yang paling mengerikan.
"Dimana Bima?" tanya Arga. "Apa yang terjadi pada Bima?"
Rani menunduk. "Ia sudah pergi. Ia pergi bersama Dinda. Mereka berdua berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka mengambil dokumen properti. Mereka mengambil semua yang Nyonya Ratih miliki."
Arga merasa hancur. Ia gagal. Ia gagal melindungi Nyonya Ratih. Ia gagal menghentikan Bima dan Dinda. Ia gagal dalam kasus terakhirnya.
Ia melihat Nyonya Ratih. Wanita tua itu masih menatap keluar jendela, seolah-olah ia tidak mendengar percakapan mereka. "Apakah dia baik-baik saja?" tanya Arga, suaranya lirih.
Rani mengangguk. "Ya. Dia baik-baik saja. Dia tidak tahu. Dia tidak akan pernah tahu. Ia akan terus berpikir bahwa Bima adalah perawatnya. Ia akan terus berpikir bahwa ia adalah pembunuhnya. Dan ia akan terus berpikir bahwa ia adalah seorang ibu yang kehilangan anaknya."
Arga tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia merasa ada yang salah. Rani tampak terlalu tenang, terlalu yakin. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia mencari di seluruh rumah, ia memeriksa setiap sudut, setiap celah, setiap laci. Ia mencari petunjuk yang mungkin ia lewatkan.
Di kamar Bima, ia menemukan sebuah foto Bima dan Rani sedang berlibur bersama. Mereka terlihat sangat bahagia. Arga melihat foto itu, dan ia menyadari, mereka adalah sepasang kekasih. Mereka bukan sekadar perawat dan perawat pengganti. Mereka memiliki hubungan yang lebih dalam.
Arga kembali ke dapur, di mana Rani sedang membersihkan piring. "Kau dan Bima adalah sepasang kekasih," kata Arga, menunjukkan foto itu.
Rani menatap foto itu, lalu tersenyum sedih. "Ya. Kami berdua adalah sepasang kekasih."
"Lalu, mengapa kau membiarkan dia pergi? Mengapa kau membiarkan dia pergi bersama Dinda?" tanya Arga.
Rani menghela napas. "Bima berubah. Ia ingin lebih. Ia ingin lebih banyak uang. Ia ingin properti Nyonya Ratih. Saya mencoba menghentikannya. Saya mencoba meyakinkannya untuk pergi, tetapi ia menolak. Ia mengancam akan membongkar rahasia saya jika saya tidak membantunya."
"Rahasia apa?" tanya Arga.
Rani ragu-ragu. "Rahasia tentang saya dan Nyonya Ratih. Rahasia tentang anak itu. Bima tahu tentang itu."
Arga merasa ada yang tidak beres. "Kau bilang kau adalah anak itu. Tapi... Nyonya Ratih membunuh anak itu. Lalu, bagaimana kau bisa hidup?"
Rani menggelengkan kepalanya. "Saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya hanya tahu, saya terbangun di panti asuhan itu, dan saya tidak ingat apa-apa."
"Dan kau tidak pernah membunuh siapa pun?" tanya Arga.
Rani menggelengkan kepalanya. "Tidak. Saya tidak pernah membunuh siapa pun."
Arga merasa bingung. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia merasa terjebak di tengah-tengah kebohongan yang rumit.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Nyonya Ratih dari ruang utama. "Dia bohong! Dia bohong! Dia adalah pembunuhnya!"
Arga dan Rani berlari ke ruang utama. Nyonya Ratih menunjuk ke arah Rani dengan tangan gemetar. "Dia yang membunuh Bima! Dia yang membunuh anakku! Dia yang membunuh anakku!"
Rani berlari ke arah Nyonya Ratih, mencoba menenangkannya. "Ibu... Ibu, tenanglah. Bima masih hidup. Ia pergi bersama Dinda. Ia tidak mati."
Namun, Nyonya Ratih terus berteriak. "Dia membunuhnya! Dia membunuhnya! Dia membunuh anakku dan menguburnya di loteng!"
Arga terkejut. Loteng? Arga teringat loteng yang ia temukan di Bab 4. Ia berlari ke arah tangga, menaiki tangga dua langkah sekaligus. Ia harus membuktikan kebenaran. Ia harus menemukan mayat Bima.
Rani mencoba menghentikannya, tetapi Arga terlalu cepat. Ia sampai di depan pintu loteng. Ia mendorong pintu itu, dan pintu itu terbuka. Di dalam, ada sebuah kamar anak-anak yang rapi dan bersih. Di tengah ruangan, sebuah kursi goyang bergoyang perlahan, seolah-olah baru saja ditinggalkan. Di atas kursi, sebuah boneka dengan salah satu matanya hilang tergeletak begitu saja. Di dinding, sebuah lukisan yang sama dengan yang ia lihat di rumah ini. Lukisan itu menggambarkan seorang anak kecil yang sedang tersenyum, memegang boneka dengan satu mata yang hilang.
Arga menyingkirkan lukisan itu, dan ia menemukan sebuah pintu rahasia. Ia membukanya, dan ia melihat kegelapan di dalamnya. Arga menyalakan senter, dan ia melihat sebuah ruangan yang kosong, gelap, dan dingin. Ia tidak melihat jasad Bima. Ia tidak melihat apa-apa.
Tiba-tiba, ia merasakan ada seseorang di belakangnya. Ia berbalik, dan ia melihat Rani berdiri di depannya, tersenyum. "Kau mencarinya?" tanya Rani. "Kau tidak akan menemukannya di sini."
"Lalu, di mana?" tanya Arga.
Rani tersenyum, senyum yang mengerikan. "Di bawah tanah. Di bawah rumah ini."
"Mengapa kau membunuhnya?" tanya Arga.
Rani tertawa pelan. "Aku tidak membunuhnya. Ibu yang membunuhnya. Dan aku yang membantunya menguburkannya. Aku yang membantunya menutupi semuanya."
Arga merasa bingung. "Tapi... mengapa? Mengapa kau membantunya?"
"Karena dia adalah ibuku. Dia adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki. Dan aku tidak bisa kehilangannya lagi. Tidak seperti Bima, aku mencintainya. Dan aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya."
"Lalu, Dinda... mengapa ia mencari Bima?" tanya Arga.
Rani tersenyum, senyum yang penuh dengan kebencian. "Dinda... Dinda adalah orang yang memanipulasi Bima. Ia yang menyuruh Bima untuk memeras kami. Ia yang menyuruh Bima untuk mengambil properti Nyonya Ratih."
"Jadi, Dinda adalah dalangnya?" tanya Arga.
"Ya. Dinda adalah dalangnya," kata Rani. "Dan sekarang, ia akan datang ke sini. Ia akan datang ke sini untuk mencari Bima. Ia akan datang ke sini untuk membongkar semuanya."
"Dan apa yang akan kau lakukan?" tanya Arga.
Rani mengangkat pisau yang ia pegang. "Aku akan menghentikannya. Aku akan menghentikannya untuk selamanya. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun yang berani membongkar rahasia kami lolos."
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Rani tidak terlihat seperti seorang pembunuh, tetapi ia juga tidak terlihat seperti seorang korban. Ia terlihat seperti seorang yang telah kehilangan akal sehatnya. Ia terlihat seperti seorang yang telah terjebak di tengah-tengah kebohongan dan trauma yang rumit.
Arga menatap Rani, dan ia melihat bayangan dirinya sendiri di mata Rani, bayangan yang dipenuhi ketakutan. Ia menyadari, ia tidak bisa lagi melarikan diri. Ia tidak bisa lagi menyangkal. Ia harus menghadapi kenyataan. Ia harus menghadapi Rani. Dan ia harus menghadapi bayangan-bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.
Arga menatap mata Rani. Di sana, ia tidak hanya melihat bayangan dirinya, tetapi juga pantulan dari masa lalu yang ia coba lupakan. Pengakuan Rani, yang samar dan penuh teka-teki, telah membuka kembali luka lama. Arga merasa pusing, dunianya terasa berputar. Garis antara kenyataan dan halusinasi semakin kabur, seperti lukisan cat air yang luntur oleh hujan.
"Kamu adalah anak itu," gumam Arga, lebih kepada dirinya sendiri. "Anak yang hilang di panti asuhan."
Rani tersenyum dingin. "Begitu kata ibuku. Begitu kata buku harian ibuku."
"Tapi... aku membunuhmu," kata Arga, suaranya bergetar. Kilas balik itu kembali datang, lebih jelas dari sebelumnya. Wajah Kevin yang pucat, darah di kepalanya, dan Arga kecil yang berdiri di sana, gemetar ketakutan.
"Tidak," jawab Rani. "Kamu membunuh anak itu. Tapi bukan aku. Aku adalah orang yang selamat. Aku yang melihat kamu melakukannya."
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam sebuah permainan yang rumit. Siapa yang benar? Siapa yang berbohong? Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu mengerikan. Tetapi kata-kata Rani juga terasa begitu meyakinkan.
"Jika kamu melihatnya... mengapa kamu tidak mengatakan apa-apa?" tanya Arga.
"Karena aku takut," jawab Rani. "Aku takut kamu akan membunuhku juga. Aku takut kamu akan melenyapkan saksi mata."
Arga terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya. Sebagai seorang anak kecil yang traumatis, ia akan melakukan apa saja untuk menutupi kesalahannya. Ia akan melakukan apa saja untuk melupakan apa yang telah ia lakukan.
"Jadi, Bima..." Arga mencoba mengubah topik. "Bima tahu tentang ini?"
Rani mengangguk. "Bima tahu. Ia membaca buku harian ibu. Ia tahu bahwa ibu menjebak dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ia adalah korban dari demensia. Ia tahu bahwa ia adalah seorang pembunuh. Dan ia mengira akulah anak yang terbunuh itu."
"Mengapa ia tidak mengungkapkan yang sebenarnya?" tanya Arga.
"Karena ia ingin memeras kami," jawab Rani. "Ia ingin menggunakan rahasia ini untuk mendapatkan properti ibu. Ia ingin mengancam kami. Dan ia ingin... mengakhiri kami."
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Mengapa Dinda mencarinya? Dinda adalah kekasihnya, kan?"
Rani tertawa pelan. "Dinda adalah kekasihnya. Tetapi ia juga adalah musuhnya. Dinda adalah dalangnya. Dinda yang menyuruh Bima untuk memeras kami. Dinda yang ingin mendapatkan properti ibu. Dinda yang ingin... membunuh kami."
Arga merasa bingung. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia merasa terjebak di tengah-tengah kebohongan yang rumit. Ia merasa seperti seorang boneka yang dimanipulasi oleh dua orang wanita yang gila.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan dari pintu depan. Rani segera mengunci pintu. "Dinda," gumamnya. "Dinda sudah datang."
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Arga.
Rani menatap Arga dengan tatapan yang penuh arti. "Aku akan melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku akan melindunginya. Aku akan melindunginya dari Dinda."
"Tapi... Dinda tidak punya senjata," kata Arga. "Kau tidak perlu membunuhnya."
"Dinda punya senjata," jawab Rani. "Ia punya senjata yang lebih mematikan daripada pisau. Ia punya kebenaran. Ia punya bukti. Ia punya rahasia kita."
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak tahu rahasia apa yang Rani maksud. Ia tidak tahu apa yang Rani sembunyikan. Ia hanya tahu, ia tidak bisa membiarkan Rani membunuh Dinda. Ia harus menghentikannya.
Ia mencoba mengambil pisau dari tangan Rani, tetapi Rani terlalu cepat. Ia menghindari serangan Arga, lalu menusuk Arga di bahu. Arga terkejut. Darah mengalir dari bahunya, membasahi jaketnya. "Kau gila!" teriak Arga.
Rani tersenyum. "Ya. Aku gila. Aku gila karena aku mencintai ibuku. Aku gila karena aku ingin melindunginya. Aku gila karena aku ingin membunuhmu."
Arga merasa pusing. Ia jatuh ke lantai, darahnya mengalir deras. Ia melihat Rani berjalan ke pintu depan. Ia melihat Rani membuka pintu. Ia melihat Dinda masuk. Ia melihat Rani menusuk Dinda dengan pisau yang sama. Ia melihat Dinda jatuh ke lantai, darahnya mengalir deras. Ia melihat Rani tersenyum.
Ia melihat Rani berjalan ke arahnya. Ia melihat Rani memegang pisau itu, matanya dipenuhi dengan kegilaan. Ia melihat Rani mengangkat pisau itu, dan ia melihat bayangan dirinya sendiri di mata Rani, bayangan yang dipenuhi dengan ketakutan dan kepasrahan.
Arga tersentak, nafasnya terengah-engah. Ia duduk di kursi, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menyentuh bahunya, tidak ada luka. Ia melihat sekeliling, ia berada di kamar tamu. Matahari sudah terbit, sinarnya masuk dari jendela. Itu hanya mimpi. Mimpi yang mengerikan.
Ia bangun, berjalan keluar kamar, dan menuruni tangga. Ia menemukan Rani sedang menyiram tanaman di teras. Ia terlihat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. "Pagi, Tuan Arga. Apa Anda tidur nyenyak?" tanya Rani.
"Aku... aku mimpi buruk," kata Arga. "Aku mimpi kau membunuhku."
Rani tersenyum, senyum yang dingin dan kosong. "Itu hanya mimpi, Tuan Arga. Jangan terlalu memikirkannya."
Arga merasa ada yang tidak beres. Ia merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang salah. Ia merasa seperti ia sedang berjalan di atas es tipis, dan ia akan jatuh kapan saja.
Ia memutuskan untuk mencari Bima. Ia harus menemukan mayatnya. Ia harus membuktikan kebenaran. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak gila.
Ia kembali ke ruang utama, di mana Nyonya Ratih sedang duduk di kursi rodanya, menatap kosong ke luar jendela. "Nyonya Ratih," panggil Arga. "Di mana Bima? Di mana mayatnya?"
Nyonya Ratih menoleh. Ia menatap Arga, matanya dipenuhi dengan ketakutan. "Di bawah tanah. Di bawah rumah ini," gumamnya. "Dia ada di sana. Bersama anakku."
Arga merasa pusing. Anakku? Ia tidak bisa mengerti. Jika Rani adalah anak itu, lalu mengapa Nyonya Ratih menganggap Bima sebagai anaknya?
Tiba-tiba, ia mendengar suara Dinda dari pintu depan. "Arga!" teriak Dinda. "Arga, kau di mana?"
Arga merasa panik. Dinda sudah datang. Ia harus menghentikan mereka. Ia harus menghentikan Rani.
Ia berlari ke pintu depan, membuka pintu, dan melihat Dinda berdiri di sana, wajahnya pucat. "Arga, apa yang terjadi di sini? Di mana Bima?"
"Bima... Bima sudah mati," kata Arga, suaranya bergetar.
Dinda terkejut. "Mati? Siapa yang membunuhnya?"
"Rani," jawab Arga. "Rani yang membunuhnya. Dan ia menguburnya di bawah tanah."
Dinda menggelengkan kepalanya. "Tidak. Itu tidak benar. Rani tidak membunuhnya."
"Lalu siapa?" tanya Arga.
Dinda menatap Arga, matanya dipenuhi dengan ketakutan. "Kau. Kau yang membunuhnya."
Arga merasa dunia berputar. Ia merasa pusing. Ia tidak bisa mengerti. Mengapa Dinda menuduhnya?
"Aku... aku tidak membunuhnya," kata Arga.
"Ya. Kau membunuhnya," kata Dinda. "Kau membunuhnya di panti asuhan itu. Kau membunuhnya di sini. Kau membunuh semua orang."
Arga merasa pusing. Ia merasa bingung. Ia merasa takut. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia tidak tahu siapa yang berbohong.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Rani dari belakangnya. "Dinda bohong. Ia yang membunuhnya. Ia yang membunuh Bima."
Arga menoleh. Ia melihat Rani berdiri di belakangnya, memegang pisau. "Rani... jangan," kata Arga.
Rani tersenyum, senyum yang mengerikan. "Aku tidak akan membunuhnya. Aku hanya akan menghentikannya. Aku hanya akan menghentikannya untuk selamanya."
Rani berbalik, dan ia melihat Dinda berdiri di sana, memegang pistol. "Kau yang berbohong, Rani. Kau yang membunuhnya. Kau yang membunuh Bima," kata Dinda. "Kau adalah seorang psikopat. Kau adalah seorang pembunuh."
Rani tertawa. "Aku seorang psikopat? Aku seorang pembunuh? Lalu mengapa kau mencarinya? Mengapa kau datang ke sini? Mengapa kau datang ke sini untuk membongkar semuanya?"
"Karena Bima adalah kekasihku!" teriak Dinda. "Dan kau yang membunuhnya!"
Arga merasa pusing. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia merasa seperti ia sedang terjebak di tengah-tengah kebohongan yang rumit.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Nyonya Ratih dari belakangnya. "Anakku... anakku..."
Arga menoleh. Ia melihat Nyonya Ratih berdiri di belakangnya, memegang pistol. "Siapa yang harus aku bunuh?" tanya Nyonya Ratih, matanya dipenuhi dengan kegilaan. "Siapa yang harus aku bunuh?"
Arga merasa takut. Ia tidak tahu apa yang Nyonya Ratih maksud. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Nyonya Ratih menunjuk ke arah Arga, lalu ke arah Rani, lalu ke arah Dinda. "Kalian semua... kalian semua adalah pembunuh. Kalian semua adalah bayangan. Kalian semua adalah kebohongan."
Nyonya Ratih mengangkat pistolnya, menembak salah satu dari mereka, tetapi tidak dijelaskan siapa yang ia tembak. Arga melihat pistol itu jatuh dari tangan Nyonya Ratih, dan ia melihat Nyonya Ratih jatuh ke lantai, air mata mengalir di pipinya.
"Aku... aku tidak tahu," gumam Nyonya Ratih. "Aku tidak tahu siapa aku."
Arga merasa hancur. Ia tidak tahu siapa yang ditembak. Ia tidak tahu siapa yang hidup. Ia tidak tahu siapa yang mati. Ia tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia tidak tahu siapa yang gila dan siapa yang waras. Ia hanya tahu, ia tidak akan pernah bisa lolos dari rumah ini. Ia tidak akan pernah bisa melarikan diri dari bayangan-bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.
Arga terhuyung-huyung, menatap pemandangan mengerikan di depannya. Nyonya Ratih tergeletak tak sadarkan diri di lantai, pistol di sisinya. Dinda, dengan mata terbelalak, berlutut, memegangi luka di perutnya yang terus mengeluarkan darah. Rani berdiri membeku di dekatnya, pisau masih tergenggam erat di tangannya. Arga menoleh ke arahnya, dan ia melihat ketakutan di mata Rani. Ketakutan yang sama yang ia rasakan.
"Dinda!" teriak Arga, berlutut di sampingnya. Ia mencoba menekan luka Dinda dengan tangannya, tetapi darah terus mengalir. Dinda menatap Arga, matanya penuh dengan air mata. "Ini... ini bukan Rani," gumam Dinda, suaranya lemah. "Ini... ini adalah ibunya."
Arga merasa bingung. "Siapa? Siapa yang kau maksud?"
Dinda mencoba berbicara, tetapi ia tidak bisa. Ia memejamkan mata, dan napasnya terhenti. Dinda telah tiada.
Arga melihat ke arah Nyonya Ratih, lalu ke arah Rani. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ia merasa seperti ia sedang terjebak di tengah-tengah kebohongan yang rumit.
"Ini semua salahmu," kata Rani, suaranya bergetar. "Kau yang membawanya ke sini. Kau yang membuatnya datang."
"Aku?" teriak Arga. "Aku tidak tahu apa-apa! Kau yang menyembunyikan semuanya dariku!"
"Tidak," kata Rani. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa. Aku hanya mencoba melindunginya. Aku hanya mencoba melindunginya dari kalian semua."
"Melindunginya dari siapa?" tanya Arga. "Dari siapa yang kau maksud?"
Rani tidak menjawab. Ia hanya menatap Arga dengan tatapan yang penuh kebencian. "Kau... kau adalah pembunuhnya. Kau yang membunuh Bima. Kau yang membunuh anak itu."
Arga merasa pusing. Ia tidak bisa mengerti. Ia tidak bisa memahami. Mengapa Rani terus menyalahkannya?
Tiba-tiba, ia mendengar suara dari belakangnya. Itu suara Nyonya Ratih. Nyonya Ratih bangkit, pistol di tangannya. "Aku... aku tidak tahu," gumam Nyonya Ratih. "Aku tidak tahu apa yang aku lakukan."
Arga merasa panik. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia selamatkan.
Nyonya Ratih menunjuk ke arah Rani, lalu ke arah Arga. "Kalian... kalian adalah anak-anakku. Kalian adalah bayangan-bayangan di ujung koridor."
Rani tersentak. Ia menatap Nyonya Ratih dengan tatapan yang penuh dengan kebingungan. "Ibu... Ibu, apa yang kau katakan?"
"Aku... aku tidak tahu," gumam Nyonya Ratih. "Aku tidak tahu apa yang aku lakukan." Ia mengangkat pistolnya, menembak ke langit-langit.
Arga merasa takut. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya tahu, ia tidak bisa membiarkan Nyonya Ratih membunuh siapa pun lagi.
Ia mencoba mengambil pistol dari tangan Nyonya Ratih, tetapi ia terlalu cepat. Nyonya Ratih mendorongnya, dan Arga jatuh ke lantai. Pistol itu terlempar, dan jatuh di dekat Rani. Rani mengambil pistol itu, dan ia mengarahkannya ke Arga. "Kau yang membunuh Bima," katanya. "Kau yang membunuh anak itu."
Arga merasa pasrah. Ia tidak bisa melarikan diri. Ia tidak bisa menyangkal. Ia hanya bisa menunggu.
"Rani... jangan," kata Nyonya Ratih. "Jangan bunuh dia. Jangan bunuh anakku."
Rani menoleh ke arah Nyonya Ratih. "Dia bukan anakmu! Dia adalah pembunuhnya! Dia adalah monster!"
Nyonya Ratih menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kau yang membunuhnya. Kau yang membunuh anakku."
Rani terkejut. Ia menatap Nyonya Ratih dengan tatapan yang penuh dengan kebingungan. "Ibu... Ibu, apa yang kau katakan?"
"Aku... aku tidak tahu," gumam Nyonya Ratih. "Aku tidak tahu siapa aku."
Rani menangis. Ia tidak bisa mengerti. Ia tidak bisa memahami. Mengapa Nyonya Ratih menyalahkannya?
Ia menoleh ke arah Arga. "Kau... kau harus pergi," katanya. "Kau harus pergi dari sini."
Arga merasa bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Rani menunjuk ke arah pintu depan. "Pergi. Sekarang juga. Jangan pernah kembali."
Arga ragu-ragu. "Tapi... Dinda... Nyonya Ratih..."
"Mereka sudah mati," kata Rani. "Mereka sudah mati. Dan kau juga akan mati jika kau tidak pergi sekarang juga."
Arga merasa takut. Ia bangkit, dan ia berlari keluar rumah. Ia berlari secepat mungkin, tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Ia hanya tahu, ia harus melarikan diri. Ia harus melarikan diri dari rumah itu.
Arga mengemudi, melaju kencang di jalanan yang basah. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia hanya ingin sejauh mungkin dari rumah itu, dari Nyonya Ratih, dari Rani, dari Dinda. Ia ingin melupakan semuanya. Ia ingin melupakan kenangan yang mengerikan, trauma yang ia alami, kebohongan yang ia dengar.
Ia berhenti di sebuah kafe di pinggir kota. Ia memesan kopi, lalu duduk di pojok ruangan. Ia melihat pantulan dirinya di jendela. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia merasa seperti ia bukan dirinya sendiri. Ia merasa seperti ia adalah orang lain.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah berita di televisi. Berita itu tentang sebuah rumah tua yang terbakar. Rumah tua yang sama yang baru saja ia tinggalkan. Ia melihat pemadam kebakaran mencoba memadamkan api, tetapi api terlalu besar. Rumah itu hancur, rata dengan tanah.
Arga merasa hancur. Ia tidak tahu apakah Rani yang melakukannya. Ia tidak tahu apakah Nyonya Ratih yang melakukannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi.
Ia melihat ke bawah, dan ia melihat sebuah koran di meja. Ia mengambilnya, dan ia melihat sebuah artikel tentang seorang detektif swasta yang hilang. Detektif swasta itu bernama Arga.
Arga merasa pusing. Ia tidak bisa mengerti. Jika ia adalah Arga, lalu mengapa ada berita tentang dirinya yang hilang?
Ia melihat ke bawah, dan ia melihat sebuah foto di koran. Foto itu adalah dirinya. Ia melihat dirinya di foto itu, tersenyum cerah, seolah-olah ia tidak memiliki masalah.
Arga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa seperti ia sedang bermimpi. Ia merasa seperti ia sedang berada di dunia lain.
Tiba-tiba, ia mendengar suara dari belakangnya. "Tuan Arga," kata suara itu. "Anda baik-baik saja?"
Arga menoleh. Ia melihat seorang wanita muda berdiri di depannya. Wanita itu memiliki rambut pirang, mata biru, dan senyum yang ramah. "Siapa... siapa Anda?" tanya Arga.
"Saya dokter Anda," jawab wanita itu. "Anda sudah sadar."
Arga merasa bingung. "Dokter? Apa yang terjadi?"
"Anda kecelakaan," jawab wanita itu. "Anda mengalami trauma. Anda mengalami koma selama enam bulan."
Arga merasa pusing. Ia tidak bisa mengerti. Ia tidak bisa memahami.
"Anda datang ke rumah sakit dengan luka tembak di bahu," kata wanita itu. "Dan Anda terus berbicara tentang seorang wanita tua, seorang perawat, dan seorang detektif yang hilang."
Arga merasa bingung. Ia tidak bisa mengerti. Ia tidak bisa memahami.
Wanita itu tersenyum. "Ini semua hanya mimpi, Tuan Arga. Ini semua hanya halusinasi. Anda tidak pernah menjadi seorang detektif. Anda tidak pernah datang ke rumah itu. Anda hanya seorang pasien yang mengalami trauma."
Arga merasa hancur. Ia tidak tahu apa yang harus ia percaya. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Tiba-tiba, ia melihat sebuah koran di meja. Ia mengambilnya, dan ia melihat sebuah artikel tentang seorang wanita muda yang hilang. Wanita muda itu bernama Dinda. Ia melihat foto Dinda di koran itu. Wajahnya yang tersenyum cerah terasa menjijikkan baginya sekarang. Ia merasa marah. Ia merasa telah dibohongi dan dipermainkan.
"Kau berbohong!" teriak Arga. "Kau adalah Dinda! Kau yang membunuh Bima! Kau yang membunuh anak itu!"
Wanita itu tersenyum, senyum yang mengerikan. "Tidak. Kau yang membunuhnya. Kau yang membunuh mereka semua. Dan kau yang akan mati."
Arga merasa takut. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Nyonya Ratih dari belakangnya. "Anakku... anakku..."
Arga menoleh. Ia melihat Nyonya Ratih berdiri di belakangnya, memegang pistol. "Siapa yang harus aku bunuh?" tanya Nyonya Ratih, matanya dipenuhi dengan kegilaan. "Siapa yang harus aku bunuh?"
Arga merasa takut. Ia tidak tahu apa yang Nyonya Ratih maksud. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Nyonya Ratih menunjuk ke arah Arga, lalu ke arah wanita itu. "Kalian semua... kalian semua adalah pembunuh. Kalian semua adalah bayangan. Kalian semua adalah kebohongan."
Nyonya Ratih mengangkat pistolnya, menembak salah satu dari mereka, tetapi tidak dijelaskan siapa yang ia tembak. Arga melihat pistol itu jatuh dari tangan Nyonya Ratih, dan ia melihat Nyonya Ratih jatuh ke lantai, air mata mengalir di pipinya.
"Aku... aku tidak tahu," gumam Nyonya Ratih. "Aku tidak tahu siapa aku."
Arga merasa hancur. Ia tidak tahu siapa yang ditembak. Ia tidak tahu siapa yang hidup. Ia tidak tahu siapa yang mati. Ia tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia tidak tahu siapa yang gila dan siapa yang waras. Ia hanya tahu, ia tidak akan pernah bisa lolos dari rumah ini. Ia tidak akan pernah bisa melarikan diri dari bayangan-bayangan masa lalu yang terus menghantuinya.