Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,675
TUBUH
Komedi


  Awalnya tentu saja aku hanya mempunyai satu tubuh. Satu-satunya tubuh. Namun, diam-diam…lama-lama…jadi punya tujuh. Ganti hari tubuhku terasa berubah. Mulanya pelan dan berproses seperti alami. Namun kemudian berubah radikal.

Jika hari senin, tubuhku mendadak beringas. Bangun jam empat subuh, lantas membakar kayu bakar sambil memanasi pantat wajan hingga berjelaga. Setelah shalat, kurapatkan jas berbelalai dasi panjang.

Saat kabut masih menelikung hari, tubuh hari seninku melesat di bangku angkutan kota yang reyot dan gaduh dengan celotehan preman pemalak dan gossip tak sedap, menemui kantor setangah kumuh yang masih mendengkur.

Setelah dijejali bubur ayam, kopi tubruk cap kapal tanker dan rokok produksi Gadis Kretek dua kali bakaran, tubuh hari seninku sudah siap menghadap direktur penerbitan lini fiksi.

Tubuhku memanjang bersamaan dengan otakku yang penuh sesak dengan berbagai gagasan. Hingga menjelang sore, lidahku nyaris terbelit, mengadu alasan, melepaskan kegairahan kata-kata yang beradu dengan sang direktur dan editor. Lidahku baru bisa beristirahat saat hantu kantuk memelintir sepotong nyawaku pada bantal dan guling yang sudah mengeras oleh waktu dan rindu.

 Sedangkan, kesokan harinya, tubuh hari selasaku justru mengendor. Kerjanya merengut. Apalagi jika hujan menyuguhkan tarian ngebornya. Apalagi jika musim dingin menancapkan kulkas di kamar. Sejak pagi tanpa sikat gigi, hingga sore mengundang suara tokek, ke halaman pun hanya sekedar memandang sebentar. Otak mengepul memuntahkan kata-kata di kertas hingga layar komputer. Betapa sulit membuat cerita yang punya tenaga dalam nan menggemaskan.

  Juga berbeda lagi jika hari rabu yang keinginannya bertetangga.

Tubuh rabuku menghampiri Mang Sanip, pedagang pisau yang suka membarter barangnya dengan telur ayam peliharaanku. Juga ke Bi Ratmi, tukang sayur yang hobinya mengkreditkan dagangannya. Atau ke Mang Aep, adik bapakku yang suka membincangkan budaya korupsi di kantornya. Ke Mang Atam, penyawah tetanggaku yang tetap khusu mencangkul meski dari hasil taninya hanya merasakan setetes saja dari lautan padi yang digarapnya.

“Kalau dahulu itu, yah Cep Edward, dari hasil sawah itu juragan Mamang, iya bapaknya boss saya itu, dapat menyekolahkan putra-putrinya hingga jadi sarjana. Duh, tapi sekarang mah Cep Edward, putra-putrinya juragan Mamang itu bahkan harus menjual sawah jika ingin menyekolahkan anak-anaknya itu”. Begitu aku Mang Atam, setiap saya temui jika sedang mengaso di saung.

Tubuh hari rabuku hanya bisa diam.

Pikiranku mengingat Paulo Preire yang berteriak tentang pendidikan sebagai praktek pembebasan. Untuk bebas orang harus pandai. Untuk pandai orang harus sekolah. Untuk sekolah orang harus jual sawah? Bagaimana kalau sekolahnya di sawah saja? Bukankah Mang Atam yang hanya tamat Sekolah Dasar juga pandai Bertani dengan hasil yang melimpah?

Aduh, pikiranku jadi aneh.

Aneh?

 Lalu?

Nah, kalau tubuh hari kamis justru sakit-sakitan. Sakit kepala kek. Sakit gigi, kek. Panas dalam atau panas dingin. Atau apa saja yang membuat tubuh hari kamis saya terpaksa ke Puskesmas.

Tidak pernah kalau ke dukun, sebab katanya sudah habis dihabisi entah oleh siapa. Tidak juga pernah ke dokter. Apalagi ke dokter kandungan. Sebab, ya dia suka memberi resep yang mahal-mahal. Ya, lebih baik ke Puskesmas, apalagi letaknya tak jauh dari rumah. Apalagi di sana aku bisa menatap bidan desa berkulit bersih, cantik, dengan senyumnya yang dapat menyembuhkan penyakit apa pun.

Ada kabar dari negeri burung, konon senyum sang bidan desa itu dapat membunuh virus apa pun yang ada dalam tubuh kita. Ah, dasar orang-orang dari negeri burung, nampaknya ‘love melulu’ pada gosip dan fiksi.

Sayangnya, saat Covid 19 melanda, sang bidan desa meninggalkan Puskesmas untuk tugas yang lebih berat daripada mengurus pasien sepertiku yang suka mencuri-curi pandang dan selalu salah menunjukkan daerah mana yang seharusnya disuntik.

 Kegenitan tubuh hari kamisku yang sakit-sakitan itu, terobati oleh tubuh hari jum’at. Sejak tiba hari, tubuhku mendadak ingin segera ke kamar mandi. Berlanjut ke Tahajud 11 rakaat, disusul wirid hingga matahari mengelupasi kabut.

Apalagi jika saat terjaga aku teringat dan terkenang senyum sang bidan yang kemarin kuantarkan hingga rumahnya untuk sebuah tugas negara dan asmara, aku lantas ingin adzan. Maka adzanlah aku tanpa ingat bahwa aku sudah batal wudhu, serta tubuhku masih berada di kasur.

“Di mesjid dong adzan-nya” teriak ibuku yang terheran-heran melihat anaknya yang mendadak aneh itu. Maka sepanjang hari jum’at, aku berdiam di mesjid. Shalat Duha, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Hajat pun tak terlewat.

Memukul beduk, adzan, qomat, juga diborong tubuh jum’atku bahkan hingga menjelang shalat Isa. Bahkan, sebelum tidur, aku melirihkan adzan, berbisik kepada bantal guling dan sprei, menghalau wajah sang bidan desa yang berkelebatan seperti kereta api panoramic.

Jika musim tanpa hujan terus berulah malah aku terus shalat Istisqo. Apalagi jika berbarengan dengan adanya orang yang meninggal, baik saudara maupun kerabat dekat dan jauh, tubuh hari jum’atku bergegas ingin juga menshalatkannya, biarpun jauh dari kampungku.

 Itu sangat berbeda sekali dengan tubuh hari sabtu.

Keinginannya bersih-bersih. Biar kata kotoran sebesar upil pun tak ada yang tersisa. Baik kotoran di badan, kamar, hingga halaman. Bahkan tubuh hari sabtuku suka mengelana ke luar kampung, membersihkan apa saja yang ditemui.

Di suatu waktu, tentu saja hari sabtu, tubuhku membetot hatiku ke kota-kota. Maka tubuh hari sabtuku tanpa bisa kutahan membersihkan terminal, wc umum, mesjid agung, gereja, vihara, kelenteng, pasar tradisional, sekolah, rumah sakit, serta semua mall hingga jalanan.

Gatal pula jika aku melihat spanduk yang amburadul dan semrawut serta tak bayar pajak. Maka aku turunkan dan buang ke tong sampah. Jika ada yang protes, maka sekalian saja aku bersihkan wajahnya. Hanya wajah sang bidan desa itulah yang tak mampu kubersihkan dari dalam hatiku. Ah, bukankah ‘si dia’ itu memang tak pernah mengotori hatiku?

Lalu aku pun tertarik membersihkan paku-paku yang disebar di jalanan, membersihkan motor, sepeda, dan mobil yang berhenti di lampu merah, lalu beranjak ke gedung-gedung hiungga apartemen yang sakit arsitekturnya.

Entah apa sebabnya.

Walau hanya diberi ucapan terima kasih, aku pun berterima kasih saja. Disebut aneh juga ya kubiarkan saja. Bahkan orang-orang keheranan pun aku biasa-biasa saja. Ya, kubiarkan saja semua berjalan apa adanya. Seperti bisik sang bidan desa, aku ini orang yang apa adanya. Biar saja. Toh ini tubuh ya tubuh saya. Tubuhku. Toh ini hari sabtu juga ya hariku juga.

Hari sabtu, khusunya menjelang malam, adalah saat terbaik bagiku mengenang bidan desa itu. Kalau saja tidak mau dianggap gila, aku akan menempelkan sablonan poster wajahnya pada sebuah bendera besar, lalu kukerek dan kukibarkan merebut kelam malam dan menjumpai purnama yang selalu tersenyum.

Menjelang tengah malam, sebelum berganti hari, dan tanggal, aku akan menelponnya untuk selalu mengatakan,”…walau dikau pacarku yang ke tujuh, aku tetap akan setia padamu!”

 Nah, kalau tubuh hari mingguku justru jadi pelupa.

 Lupa segalanya.

Ya suka begitu saja lupa. Apa saja yang kulakukan sepertinya dilakukan tanpa kesadaran. Aku selalu lupa apa saja yang kulakukan tubuhku pada hari minggu. Sering aku mencoba mengingat di hari senin sampai sabtu, apa saja yang sudah terjadi, namun sia-sia.

Coba, barangkali saja ada yang hapal, apa saja yang kulakukan atau apa saja yang kukatakan dan kutuliskan di hari minggu. Ayolah!

Coba katakan pada saya!

Jangan terlalu lama! Nanti saya terlanjur lupa pula apa yang harus saya tanyakan pada anda!

 

 

                                                                                                

           




















 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi