Masukan nama pengguna
Sejak kecil dia dan 10 saudaranya, adalah ikan asin dalam sebuah bilik kontrakkan. Dia kenyang dengan tidur penuh keringat saudara-sudaranya, gelegar dengkur ayahnya, dan tatapan murung ibunya. Sebutir telur dadar bercampur terigu, terkadang dibagi sebelas kerat, untuk menentramkan perut mereka.
Sebakul nasi aking, bercampur pisang atau jagung, kadang menjadi teman bagi sepersebelas telur dadar itu. Namun yang lebih sering adalah nasi yang hanya dibumbui garam, atau air teh.
“Kita masih beruntung. Di tempat lain, orang yang tak bisa makan, antri di depan malaikat pencabut nyawa. Mereka mati kelaparan,” hibur ibunya.
“Ya, di tempat lain…bahkan ada yang terpaksa memakan tubuh saudaranya sendiri, temannya, tetangganya!” seru ayahnya.
Dia mengangguk.
Tak ada protes untuk dunia yang memang kering bagi dia dan keluarga besarnya. Mereka memang tinggal di desa yang miskin warna hijau daun. Di situ angin sering berbisik parau dan menghembuskan udara panas.
Pernah juga terhembus bisik-bisik kejayaan masa lalu, sebelum semua pohon-pohon ditumbangkan untuk rumah-rumah di kota-kota besar. Ya, sebelum rumput malu dan semua ilalang ikut terbakar. Sebelum ribuan perumahan melahap pesawahan dan perkebunan.
Dahulu, kakek moyang mereka memiliki lahan pertanian yang luas. Tanah yang subur memberi kemakmuran pada mereka. Namun keuletan bertani nenek moyang mereka, tak terwariskan. Ada banyak pekerjaan baru yang dianggap lebih menjanjikan. Ada banyak impian disebarkan kotak-kotak ajaib.
“Saudara-saudara ayah dan ibumu satu persatu lenyap, menjadi buruh di kota-kota. Meninggalkan desa ini. Lalu yang lain pun beralih pandangan. Tak ada lagi yang mau bertani di sini. Ayah dan ibumu kemudian tak kuat pula menahan arus balik para pemodal besar yang merayu lahan-lahan kita. Satu persatu pindah tangan.
Kalian sendiri nampaknya enggan menyentuh tanah, mengairi tanaman-tanaman. Sekolah membuat kalian gengsi menjadi petani. Lalu memburu impian, yang kemudian tak dapat kalian raih. Kini kalian pulang ketika semuanya telah habis.
Kalian pulang membawa ijasah yang tak berlaku di sini. Tapi sudahlah, kita masih hidup. Dan karenanya, kita masih punya harapan…” begitulah ayahnya sesekali mengulang-ulang kisah lama itu.
Dia mengangguk. Saudara-saudaranya tertunduk.
Dia memang paling bungsu. Dia tak sempat menikmati bangku sekolah tinggi. Ketika semua saudara-saudaranya gagal, dia pun ikut terbawa kegagalan itu. Di desa itu, tanah-tanah sudah susah ditanami. Tanahnya menjadi lautan pasir, karena hujan bertahun-tahun tak hadir. Air pun susah mengalir.
Jika pun ada, air yang sedikit itu membawa sampah-sampah dari tiap rumah yang kian padat. Juga membawa berjuta warna dan bau dari pabrik-pabrik yang tak pernah lelah menyuapi mesin dengan keringat langit dan bumi.
Suatu ketika.
Ya, suatu ketika, saudara-saudaranya pernah juga menjadi buruh pabrik. Pernah sedikit makmur. Namun tak lama. Beberapa pabrik itu bangkrut, terlilit utang bank dan tercekik preman-preman yang haus jatah. Maka, saudara-saudaranya kembali dengan kaki hampa, dan paru-paru yang hampir pecah.
Suatu ketika.
Ya, suatu ketika. Tak ada lagi tanah tersisa ketika saudaranya-saudaranya menjadi pelanggan abadi toko obat. Maka, keluarga besar itu kemudian mendiami rumah kontrakkan. Menjadi ikan asin yang berjejal.
Lalu, suatu ketika.
Ya, suatu ketika…gempa hebat itu datang.
Tanah-tanah retak.
Batu-batu yang tak pernah dikenal dan tertidur itu kemudian jatuh dan mengubur permumahan-perumahan yang ada. Rumah-rumah hancur. Dan tiang-tiang beton yang patah dan mencuat itu kemudian menjadi batu-batu nisan bagi jutaan penduduknya. Kuburan masal tak beraturan itu, menjadi monumen air mata dan darah, serta tangis yang tak sempat menuju langit.
Ayah dan ibunya terselimuti tanah, dan mati.
Lima saudaranya juga tertumbuk batu, dan mati.
Ia memang masih hidup, namun sebagian jiwanya telah mati.
Tenda-tenda darurat kemudian didirikan di atas tanah gersang dan retak. Beberapa orang memang masih hidup sambil memikul bayangan kematian yang terus menghantui. Malam-malam selanjutnya kemudian lebih kering dan lebih dingin daripada sebelumnya.
“Ini mungkin desa dan kota di sebuah pulau yang dikutuk!” seru saudara-saudaranya.
Dia mengangguk. Tak ada yang bisa dia mengerti selain mengangguk.
Bantuan-bantuan kemudian berdatangan lewat kapal-kapal terbang dan perahu-perahu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Banyak makanan hingga pakaian datang bersama wartawan, selebritis, pejabat, dan sukarelawan.
Tapi semua ada akhirnya. Bantuan-bantuan itu kemudian surut. Makin surut. Lalu tiada. Tak ada pula sukarelawan yang terus mampu bertahan. Dan banyak lagi berita lain yang memulangkan kembali para wartawan ke tempat asalnya.
“Jika kita ingin menghentikan nyanyian cacing di perut kita, maka kita harus menyeberang ke pulau lain!” seru saudaranya yang tertua.
“Ya, benar. Kita harus mencari makanan ke tempat lain!” seru saudaranya yang lain, juga teman dan tetangga-tetangga mereka yang masih hidup.
Dia sendiri hanya bisa mengangguk. Tak ada pelajaran lain yang dia ingat selain mengangguk. Seperti zombie yang seluruh tubuhnya nyaris patah, mereka kemudian berjalan menuju pantai. Berhari-hari, berminggu-minggu.
Perahu-perahu darurat, yang dibuat dari bahan apa pun yang bisa terapung kemudian dikayuh menuju pulau seberang. Berhari-hari, berminggu-minggu.
“Di mana tetangga-tetangga kita yang lain?” suatu hari, saat terjaga di tengah gulita, dia bertanya kepada saudara-saudaranya.
“Di perut ikan-ikan besar!” jawab sudara tertuanya yang batuk-batuk.
Saudara-saudara lainnya mengangguk. Saat itu dia sendiri tak bisa mengangguk. Mungkin sudah lupa.
“Kemana pula teman-temanku?” dia bertanya dalam gelap dan angin ribut.
“Mereka dimakan air laut, setelah banyak meminum air laut!” sahut saudara-saudaranya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Dia tak mengangguk.
Ya, dia pun tak bersuara.
Suara yang terdengar kemudian hanyalah suara dari tubuhnya yang terjatuh ke lambung perahu.
* * *
Pulau itu adalah salah satu pulau terluar dari sebuah negeri kepulauan. Penghuninya hanyalah beberapa ekor binatang melata langka, serta berbagai pepohonan tropis yang berbuah manis.
Dalam beberapa minggu binatang dan buah-buhan di pulau itu, segera habis, ketika dia dan saudara-saudaranya melalapnya. Lalu, ketika semua buah-buahan habis, mereka terpaksa memakan daun, bunga, ranting, batang, dan pohonnya. Rumput-rumput liar hingga durinya pun mereka makan.
Dibutuhkan lebih dari ‘kata ajaib’ bahwa mereka hidup memakan kulit kayu yang keras, hingga akarnya yang bertanah. Dia bahkan sering bertanya, “Adakah di dunia fiksi pun orang bisa hidup seperti ini? Bertahan hidup dengan memakan apa pun?
Jawabannya dia telan, bersama tanah yang mulai dia makan. Saudara dan tetangganya dulu, bahkan sudah mulai kuat memakan pasir, kerikil, dan batu.
Berbulan-bulan mereka memakan tanah hingga batu pulau itu. Tentu diselingi dengan acara bermain, bersenda gurau, bercerita masa lalu dan masa depan. Saat tertawa, perut mereka yang membesar sering terguncang-guncang.
Kepala-kepala mereka menjadi keras. Seperti batu. Ya seperti batu. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang keras kepala. Termasuk dia. Kulit mereka menjadi kehitaman, sehitam aspal yang mereka teguk dari dasar tanah. Tatapan mata mereka setajam dan sekeras karang. Rambut mereka tegak dan mengeras seperti duri.
Berbulan-bulan, tanah di pulau itu kemudian mulai habis. Maka mereka pun sepakat mencari pulau lain. Maka bertahun-tahun kemudian, banyak pulau terluar dari negeri kepulauan itu, mereka habisi. Tanahnya. Pasirnya. Pohon dan buahnya. Batu-batunya.
Semua yang ada di pulau-pulau terluar itu mereka lahap habis. Nyaris tanpa sisa. Pulau-pulau itu kemudian ditelan lautan.
“Para pemakan pulau itu, kini bersiap-siap melahap pulau-pulau besar kita!” tulis beberapa wartawan cetak dan elektronik. Di berbagai blog, situs, web, maupun pembicaraan di facebook, friendster, tagged, Hi5, instagram, Tik Tok, Youtube, Twitter, Snack Video, dan lain-lain. Gonjang-ganjing dengan kabar para pemakan pulau itu.
“Kita harus menghentikan orang-orang supergila itu. Mereka pasti akan memakan kita, jika dibiarkan!” kata tentara, serta janji polisi dan politisi.
“Ya harus dibasmi. Kemarin merekan konon telah memakan kapal-kapal pesiar yang mendarat di Pulau Seribu Pulau!” seru serapah para pengusaha dan penguasa.
“Ya, mereka kini telah dapat memakan apa pun. Besi, fiber, kaca, almunium, plastik, dan semuanya. Sangat mungkin nanti menjadi zombie, lebih dari zombie, bahkan!” tutur para menteri yang melaporkannya kepada presiden.
“Edan. Mereka juga telah menghabisi semua mercusuar hingga alat pendeteksi gempa dan tsunami!” teriak ketua DPR dan MPR, saat berdialog dengan presiden.
“Mengapa mereka tak dihabisi saja dari dahulu?” kata Pak Presiden.
Panglima Perang yang dipanggil, lalu menunjukkan catatan: Jumlah mereka semakin banyak. Para pengikutnya makin berdatangan dari berbagai pelosok. Mereka yang berniat menghabisi parea pemakan pulau itu, malah terkena pengaruh, hingga turut dalam barisan itu.
Tentara dan polisi yang menembak atau melempar granat, jadi ketakutan. Karena, mereka malah memakan peluru dan granat itu. Pesawat tempur hingga tank baja pun kemudian mereka lahap habis. Ini memang sebuah fakta yang aneh.
“Jadi apa yang harus dilakukan?” bentak Sang Presiden.
Panglima Perang terdiam. Lalu angkat bicara,”Saya sendiri bingung, Pak Presiden. Banyak pasukan saya juga terpengaruh. Bapak lihat foto-foto ini…mereka mulai mencoba memakan pistol sampai senapan laras panjang. Dan bila Bapak periksa di facebook, konon pistol dan senapan itu, rasanya gurih. Apalagi granat dan bazzoka. Lezat katanya…”
Presiden gusar bukan main.
Panglima Perang juga nampak gundah.
“Kau sendiri?”
“Maksud Bapak?”
“Ya mencobanya, tentu!”
“Wah..belum, Pak! Saya menunggu perintah!”
Presiden tercenung.
“Begini saja. Culik dan hadapkan pada saya, salah seorang tokoh, atau tokoh utama pemakan pulau itu!” ujarnya, sambil menahan kepalanya yang memberat.
* * *
Sebetulnya, dia bisa saja melahap borgol di kaki dan tangnnya. Juga topeng besi dan pembungkam baja di wajahnya. Tapi itu tak dia lakukan. Dia memang ingin bertemu dengan presiden.
“Buka saja! Apa kalian tidak tahu dia bersandiwara? Dia bisa saja memakan borgol dan topeng besi itu, bukan?” seru Pak Presiden.
Dia kemudian dibebaskan dari borgolnya. Dia kemudian tersenyum ramah kepada Pak Presiden. Dia tak merasa gentar dengan todongan berbagai senjata dari ratusan polisi dan tentara yang bersiaga penuh.
“Saya minta laptop!” dia langsung berkata, sebelum Pak Presiden membuka mulutnya.
“Jangan takut, Pak! Saya tidak akan memakannya. Saya tahu laptop Bapak ini dari uang rakyat. Jadi saya tidak akan memakan diri saya sendiri. Saya tidak boleh dan tidak ingin mati dengan cara seperti itu. Ya, kan Pak?” gurau dia, sambil tersenyum.
Pak Presiden memandang tegas tokoh utama pemakan pulau itu. Perlahan dia menyodorkan laptop di depan meja kerjanya. Dia kemudian menerima laptop itu, dan mulai menyalakannya.
“Apa yang ingin Bapak tanyakan?” dia bertanya penuh hormat. Para tentara, polisi, politisi, dan para mentri serta anggota parlemen yang hadir saling memandang, lalu berbisik-bisik.
Pak Presiden menarik napas. “Baiklah. Apa yang bisa membuat kamu memakan pulau dan sebagainya? Apa sebabnya? Apa tujuannya?” berondong Pak Presiden.
Dia menekan mouse. Membuka-buka internet. Lalu mengklik sebuh tulisan. Dia membacanya sebentar, kemudian membalikkan layar laptop kepada Pak Presiden.
“Bapak baca saja ini!” dia berkata dengan tenang.
Pak Presiden mendekati layar laptop itu. Sebentang cerita tertata pada sebuah platform digital. Aplikasi yang menghamoarkan segudang cerita. Pelan-pelan dia membacanya, agar didengar semua yang hadir.
Para Youtuber, Tiktoker, Blogger, hingga wartawan radio dan audio visual lainnya mulai merekam suara Pak Presiden.
“Pemakan Pulau Oleh Eriyandi Budiman. Sejak kecil dia dan 10 saudaranya, adalah ikan asin dalam sebuah bilik kontrakkan. Dia kenyang dengan tidur penuh keringat saudara-sudaranya, dengan gelegar dengkur ayahnya, dan tatapan murung ibunya.
Sebutir telur dadar bercampur terigu, terkadang dibagi sebelas kerat, untuk menentramkan perut mereka. Sebakul nasi aking, bercampur pisang atau jagung, kadang menjadi teman bagi sepersebelas telur dadar itu. Namun yang lebih sering adalah nasi yang hanya dibumbui garam, atau air teh.
“Kita masih beruntung. Di tempat lain, orang yang tak bisa makan, antri di depan malaikat pencabut nyawa. Mereka mati kelaparan,” hibur ibunya.
“Ya, di tempat lain…bahkan ada yang terpaksa memakan tubuh saudaranya sendiri, temannya, tetangganya…!” seru ayahnya.
Dia mengangguk. Tak ada protes untuk dunia yang memang kering bagi dia dan keluarga besarnya. Mereka memang….
***