Masukan nama pengguna
Ada yang mengatakan, bahwa lanskap yang terbentang di sekitar daerah Sadu ini, diciptakan Tuhan samblil tersenyum.
Aku tak perlu membantahnya, meski hal itu mungkin terdengar mengandung hal yang berlebihan. Namun, jika dilihat, lanskapnya memang indah. Sejak kuhirup hawa pegunungan dan lembah-lembah serta hutan Sadu ini, aku senantiasa dibanjiri beragam keindahan yang hampir tiada duanya.
Mungkin benar bahwa hampir di setiap jengkalnya aku menemukan senyum Tuhan. Mahakaryanya yang luar biasa ini, membuatku tak bergerak untuk beranjak menjadi urban ke kota besar, atau bahkan ke negeri seberang.
Di depan rumahku yang terbuat dari kayu berbentuk panggung, ada jalan meliuk bagaikan naga hitam yang terbaring lelap. Jalannya licin yang konon terbuat dari aspal nomor satu. Sebagai jalan provinsi, pemeliharaannya memang termasuk baik. Bolong sedikit saja, segera diperbaiki.
Maklumlah, jalanan bagus ini banyak dilewati beragam kendaraan. Pada saat liburan, apalagi libur besar atau panjang, jalanan akan dipenuhi ribuan kendaraan dari Arah Bandung menuju berbagai lokasi wisata.
Daerah Selatan Bandung ini, banyak memiliki pesona wisata yang menawan. Hamparan kebun teh, air panas, kawah putih, penangkaran rusa, area hutan perkemahan, serta pemandangan alamnya, menarik detak rindu banyak wisatawa dalam dan luar negeri.
Di seberang jalan, ada sungai besar berbatu-batu besar pula, yang menurut kakek moyangku dilemparkan ledakan magma gunung Tangkuban Perahu dari Bandung Utara. Di sana, aku dan anak-anaku kerap mandi dan mencuci. Tentu sambil sesekali berenang, meski kadang air beningnya terkadang kecoklatan bila hujan besar tiba.
“Dahulu sekali, airnya bagaikan cermin. Sungai ini seperti akuarium. Ikan dan batu-batunya akan terlihat mata telanjang!” tutur Aki Dhipa, sesepuh kampung Sadu, ”Namun kini, sejak ada penggalian bukit-bukit yang mengambil tanah dan batunya, sungainya sering keruh. Tanah bekas galian, masuk ke sungai…” tuturnya lagi sambil mengurut-urut kakinya yang berkulit keriput dan tonjolan tulang.
“Iya, Kek. Di seberang bukit lainnya, pohon-pohonnya juga ditumbangkan. Diganti tanaman sayuran…maka saat hujan, tanah merahnya yang kecoklatan, membuat sungai bening ini jadi keruh…” kataku, sambil memandang jembatan besi tua dengan dua lengkungan besar di atas kami.
Pada jembatan peninggalan Belanda itu, sesekali melintas motor-motor bersuara gaduh, mengusir sisa tawa burung-burung dan turaes pada pohon-pohon mahoni, yang rindang berjejer sepanjang jalan kecil tepi sungai menuju kampung lain. Rumah-rumah pada undakan lembah lain yang juga menawan.
Warna magenta pada langit senja mulai terkikis awan hitam. Aku segera memanggul dua ember berisi air untuk memasak. Endah, anak perempuan semata wayangku, menyusul di belakang dengan handuk coklat yang membelit tubuh remajanya. Tangannya mengenggam ember kecil tempat sabun, pasta gigi dan sikatnya.
Di sampingnya, Minah, mantan kekasihku, membawa haremis dalam ember. Tangannya yang lain menggenggam erat ayakan dari anyaman bambu. Kilat dan guntur mulai bersahutan. Gerimis kemudian turun, membuat kami melangkah lebih cepat.
Satu bulan terakhir, hujan besar dan lama, mulai sering membasahi daerah Sadu.
Malam, sehabis sembahyang Isya, entah kenapa, aku ingin memeluk istri dan anakku yang masih mengenakan mukena putih, lebih lama daripada biasanya. Beberapa hari terakhir, aku sering merasakan perasaan yang kosong tiba-tiba.
Kadang, tanpa sebab yang jelas, aku mematung lama sambil memandang para pekerja yang tengah menggali bukit, memalu batu-batu, mengangkutnya ke truk-truk besar.
Pembunuhan bukit-bukit itu memang sudah berlangsung lama.
Suara dentingan linggis, palu, dan patik pada tubuh batu, menjadi suara sehari-hari yang menggaduhi telingaku. Tak banyak yang kukerjakan selain melihat dengan pikiran kosong. Aku baru beranjak, bila Minah, istriku, memanggilku karena ada yang mau menambal ban, atau mengisi angin.
“Bapak mau menengok teman bapak yang sakit di kampung seberang. Kalian tenang-tenang saja di rumah, ya?” aku menatap kedua orang yang kukasihi itu.
Wajah mereka yang agak pucat dalam temaram lampu lima belas watt, mengangguk lalu tersenyum. Minah mengambilkan haremis pada kantong keresek hitam, lalu menyerahkannya padaku. Aku bergegas mengambil jas hujan, mengenakannya tergesa, lalu menuruni jalan setepak berundak-undak yang licin menuju jalan besar.
Aku memeriksa sebentar kios tambal ban yang telah menghidupi keluargaku selama belasan tahun, lalu menyeberangi jalan. Sebuah angkot kemudian menerbangkanku menuju arah Soreang, pusat kota Kabupaten Bandung.
Sepuluh menit kemudian, aku telah menaiki ojeg, yang melaju pada jalan berbatu-batu di antara hujan lebat, menuju rumah Karman, sahabat lamaku.
Liver Karman terserang lagi. Ia berjalan pelan ke arahku sambil menyisakan batuknya. Perutnya dililit perban putih yang agak kekuningan bekas obat yang dikompreskan pada perut dan ulu hatinya.
“Ini haremis yang pernah kujanjikan. Semoga dapat mempercepat kesembuhanmu!” kataku, sambil menyerahkan keresek hitam berisi kerang-kerang kecil yang biasanya ada di sungai-sungai itu.
“Aduh…aku jadi merepotkanmu…Jana!” ia tersenyum, lalu mengambilnya. “Hujan lebat begini, tak seharusnya kau ke sini...”
“Ya…aku tak punya waktu kalau siang. Sudahlah…yang penting kau lekas sembuh!”
“Terima kasih, Jana. Kalau kerja berat, penyakitku memang suka kambuh!”
“Ya jangan diporsir saja. Memang, kalau tidak kerja, kita tak dapat uang…ya!”
Karman menyodorkan segelas kopi yang dibawakan istrinya. “Orang kecil seperti kita, tak kerja ya memang tak ada buat makan…meski sudah setua ini, ya terpaksa tetap kerja...” katanya, sambil merebahkan dirinya pada dinding bilik rumahnya.
Sehari-hari, Karma dan istrinya, yang telah ditinggalkan lima anaknya yang telah berkeluarga dan tinggal di kota, bekerja mengangkut arang dari karung, memilihnya, lalu menjerangnya di panas matahari.
Bila sudah kering, mereka akan menimbang, lalu memasukannya ke dalam kantong-kantong plastik atau keresek. Pekerjaan yang cukup berat di usinya yang memasuki enam puluh lima tahunan. Usiaku yang berbeda sepuluh tahun darinya, memang tak menghalangi persahabatan kami, yang sudah lama terjalin, meski Karman telah pindah dari daerah Sadu ke tempat ini.
Kami kemudian terlibat berbagai obrolan kecil. Kabar anak-anak dan cucunya di rantau, pekerjaannya, situasi ekonomi, juga tentang lingkungan sekitar kami yang kian berubah. Saat hujan agak mereda, aku permisi untuk kembali. Istri Karman memberikan tiga rantang berisi kolak pisang, serta makan ringan olahannya sendiri.
“Waduh…pakai rantang segala, Bu. Bagaimana mengembalikannya?" aku menerimanya sambil tertawa kecil.
“Ya, memang sengaja. Supaya kau nanti ke sini lagi. Jangan lupa bawa anak istrimu!” katanya, sambil mengantarku menuju halaman rumah kayunya.
Aku mengucapkan terima kasih, dan berjanji suatu waktu akan datang lagi bersama anak istriku. Pengemudi ojek yang ternyata masih menantiku, segera menyalakan motor tuanya, lalu membawaku kembali ke tepi jalan raya.
Namun saat menunggu angkutan kota, aku harus menungu cukup lama. Untung masih ada yang ngalong, alias mencari muatan saat malam. Angkot Elf yang sudah lumayan tua itu, lalu bergerak menuju Ciwidey, terminalnya setelah melewati kampung Sadu dan beberapa kampung lainnya.
Sekitar seratus meter menuju kampungku, tiba-tiba angkutan kecil buatan Jepang itu berhenti. Hujan yang sangat deras dan penuh kilatan, membayang di kaca jendela. Di depan kami, beberapa kendaraan lain juga berhenti. Beberapa orang ada pula yang bergegas turun, bahkan ada yang terjatuh.
“Di depan ada longsor besar, Pak. Jalanan tertutup!” seorang petugas hansip berjas hujan, mendatangi mobil angkot kami. Sang sopir mengeluarkan keluhan panjang.
Longsor? Jatungku begetar tak menentu.
Bersama penumpang lain, kami segera membuka pintu. Jalanan basah menyambut kami. Aku segera menepi ke kios dekat jalan. Lalu aku bertanya pada sang hansip yang kini berdiri di sebelahku di samping penjual asongan yang membawa kacang.
“Longsornya sebelah mana, Mang?” aku bertanya sambil menepis air yang menerjang.
“Itu, di atas yang ada tukang tambal ban…Eh…Kang Jana, Ya?…Aduhhh…Kang, rumah dan kios tambal ban Akang tertimbun longsor…” Hansip itu terkejut, dan menampakkan wajah ngeri.
Aku merasa terbanting.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menembus hujan yang menggila. Cahaya-cahaya lampu motor dan mobil yang berderet sepajang jalan, agak menolongku menembus kegelapa malam.
Sebagian lagi kendaraan itu memutar arah kembali, menimbulkan kegaduhan dan cahaya-cahaya menyilaukan. Berkali-kali aku jatuh. Rantang pemberian istri Karman tak lagi tergenggam. Aku berlari terus. Nafasku hampir putus.
* * *
Engkau terjaga dengan seluruh persendian yang terasa ngilu.
Tulang-tulangmu seakan terbuat dari busa: tanpa tenaga. Lemas. Tubuhmu seakan tanpa roh lagi. Suaramu hampir habis, dan kemudian mengeluarkan erangan. Suara derum traktor, serta percakapan ribut di sekitar, membuatmu membuka mata. Kau bangkit dari tidurmu, perlahan. Dan saat ingatanmu pulih, Kau segera mencoba bangun.
“Istirahat dahulu, Kang Jana. Tubuhmu masih lemah!” seseorang mendekatimu, menyentuh pundakmu, lalu menatapmu penuh welas asih.
“Ya Tuhan…” Engkau mengusap muka, tetap mencoba berdiri,”Bagaimana anak dan istriku?”
Orang itu, yang kau kenal sebagai tetangga jauhmu, membelitkan tangnnya pada pinggangmu, menahanmu agar tak jatuh.
“Bersabarlah, Kang! Orang-orang masih mencarinya!” orang itu lalu memelukmu. Ada suara berat yang sakit dalam nadanya.
Sempoyongan, engkau kemudian meninggalkan ruangan, menjauhi kasur kapuk tempat tadi kau berbaring. Dari pintu rumah, kau melihat orang-orang seperti lebah, memandang gundukan tanah yang menimbun jalanan. Membukit.
Engkau masih seperti setengah sadar. Tadi malam kau merasakan dada yang sangat sakit, saat melihat longsoran yang sudah menimbun tempat kios tambal ban dan rumahmu. Lalu matamu terasa gelap. Ingatanmu hilang.
Nama istri dan anakmu, Kau teriakan dalam deras hujan. Dalam air bah dan lumpur yang menggila, turun deras bagai air terjun dari atas bukit.
Neraka yang baru.
Tangismu kembali meledak, saat melihat becko itu menggaruk tanah di antara cahaya matahari yang mulai menyapa tanah dan pepohonan. Saat tenagamu terasa pulih, Kau ambil pacul, lalu ikut menggali lumpur.
Sia-sia.
Hingga petang menjelang, anak dan istrimu tak juga ditemukan. Hujan lebat yang kembali memuntahkan longsoran tebing, menghentikan pencarian. Kau pun pingsan kembali. Terjun ke dunia mimpi yang tak jelas alurnya.
Kau terbangun lagi, dengan bayangan teriakan luka dan sakit anak istrimu saat tanah penuh air menyeret mereka, menyeret rumahmu, tenggelam dalam lumpur. Engkau hanya bisa menangis, terisak dalam nganga luka, di antara peluk cium dan nasihat kesabaran dan ketabahan dari saudara-saudaramu yang datang kemudian.
Engkau kehilangan kesadaran kembali, lalu menemukan anak dan istrimu dalam dunia mimpi.
Banyak rona keindahan yang pernah kau alami bersama anak dan istrimu. Pergi ke ladang dekat bukit untuk mencari kayu bakar, menanam pepohonan pada sepetak kebun peninggalan ayahmu, makan bersama di sawah dan tepi sungai, atau mencari kerang dan ikan untuk tambahan menu makan harianmu.
Sesekali istrimu belajar pula menambal ban. Mengisi angin untuk ban kempes. Juga memberikan segelas kopi susu hangat pada orang yang tengah menunggu bannya diperbaiki.
Jika pendapatanmu lumayan banyak, kau akan pergi ke Pasar Ciwidey bersama anak dan istrimu. Membelikan mereka makanan dan pakaian adalah sorga tersendiri. Hatimu akan berbunga, bangga dapat membahagiakan mereka.
Anakmu yang tidak manja, tapi kau manjakan. Ia buah hatimu yang sering membuatmu merasa tentram. Saat Kau ingin membelikan anakmu telepon genggam, dia menolak halus.
“Tabungkan saja ya, Pak! Endah ingin sekolah tinggi. Ingin dapat kerja yang bagus. Nanti, Endah akan membawa Bapak dan Ibu pelesiran ke pantai atau ke danau!”
Kau juga tak ingin memberatkan istrimu, untuk bekerja lebih keras.
“Akang tidak menginjinkanmu, Bu! Ikut menambang batu di sebelah itu, sangat berat, capek, dan berbahaya. Akang tidak mau jika Ibu nanti tertimbun batu. Lagi pula, kita sendiri, kan tidak setuju dengan penambangan batu itu!” ujarmu suatu hari, saat istrimu mohon ijin bekerja di tempat yang tak begitu jauh dari rumahmu itu.
“Tadinya kan untuk mencari tambahan, Pak!”
“Tak usah, lah! Membantuku di kios tambal ban juga, kan sudah cukup. Tanpa Ibu, Akang kerpotan. Kalau mau, ya sesekali mencari kerang, ikan, atau berkebun. Itu juga sudah cukup buat kita!” katamu, sambil membelai rambut panjangnya yang tergerai.
Engkau juga harus menghadapi hal yang di luar dugaan. Atau mungkin sudah kau duga, namun belum saatnya. Misalnya, saat datang seorang saudara jauhmu dari kampung lain. Dia datang bersama isri dan anak lelakinya.
“Aduh, Kang Hadi…terima kasih, mau bertandang ke rumah kecil kami. Namun.. soal perjodohan, bukan kami menolak, namun…anak kami ini masih kecil. Ia masih ingin sekolah lagi, Kang!”
Engkau juga punya cita-cita tinggi buat anakmu. Kau bekerja keras, kadang mencari tambahan lain, agar suatu saat, kau dapat menyekolahkan anakmu ke jenjang yang lebih tinggi. Jika teringat masa lalumu, kau sering merasa tak memiliki masa-masa yang sangat indah.
Sebagai anak tertua dari delapan bersaudara, kau lebih banyak membantu adik-adikmu. Kau bukan tidak ingin bersekolah tinggi, namun orangtuamu memang tidak mampu. Kau pernah menjadi pedagang asongan, pekerja kebun teh, penjaga toko, membantu di bengkel motor, kondektur angkot, lalu memilih menjadi penambal ban.
Memang hasilnya tidak seberapa, namun saat kau tekuni, harapan hidup lebih baik, tumbuh dan berjalan seiring waktu.
“Rejeki akan terundang datang, tergantung dari cara kita mengusahakannya!” nasihat Aki Dhipa, sesepuh kampung Sadu.
“Orang pintar, bisa kalah oleh orang yang tekun dan rajin. Jadi, kalau mau bersabar, ya jangan pernah berpikir untuk mengakhirinya. Yang penting, kau jangan terlibat kejahatan. Ingat, orang jahat, akan tetap kembali ke titik nol, saat kita mencapai apa yang kita impikan!” tutur Aki Dhipa kembali, saat di suatu waktu, kau berkesempatan meminta nasihatnya.
Yang paling membuatmu kesal, adalah sikap pengusaha galian. Kau pernah mendatanginya untuk mengajukan keberatan. Namun sang pengusaha hanya memandang sebelah mata. Lalu, saat kau datang kembali bersama Pak RT dan Pak RW, hasilnya seperti perkalian 2 x 2 yang tak pernah menjadi 5 apalagi 100.
“Saya sudah melayangkan beberapa kali surat permohonan, agar penambangan itu dihentikan. Namun, ya…dianggap angin lalu!” kata Pak Kepala Desa di antara pembicaraan rapat desa.
“Pengusahanya memang sudah punya izin. Dan surat perjanjian mereka, dibuat jauh sebelumnya. Secara hukum, kita tak bisa berbuat apa-apa…!” keluhnya lagi.
Engkau pun tak dapat berbuat lebih banyak.
Kini, engkau sibuk kembali, mencari anak dan istrimu yang hilang. Kau ikut menggali, bersama orang-orang lain yang juga kehilangan keluarga mereka, mencari-cari dalam lengket tanah merah basah. Dan saat anak istrimu ditemukan tanpa nafas, kau sudah pasrah.
Tubuh mereka yang berkubang lumpur merah kecoklatan, Kau peluk sambil meneriakkan tangis, yang membuatmu hampir kehilangan suara lagi. Sebagian dari dirimu telah kau rasakan pergi.
Di atas dua kuburan, di antara doa-doa pelayat, kau tetap terisak. Perasaanmu kosong. Hatimu hampa. Kau tak punya pikiran lagi, kecuali turut berdoa. Bayangan dua orang terkasihmu, sepertinya tak pernah pergi.
Mereka selalu ada di hatimu, di pikiranmu. Mereka seolah terus menjadi nafasmu, menghuni tubuh ringkihmu. Kau bawa mereka kemana pun engkau pergi.
Bersama beberapa saudaramu, engkau lalu menengok rumahmu yang terkena longsoran. Sebagian rumahmu telah ambruk, dijebol air dan lumpur. Beberapa barangmu lenyap, dan sebagian lagi tercecer di beberapa tempat.
Kau memungutnya, mengumpulkan yang masih tersisa. Kau datangi kamarmu, termenung melihat jejak-jejak peninggalan anak dan istrimu. Foto, pakaian, sepatu, buku-buku, kau dekap, seperti mendekap mereka.
Di beranda yang masih utuh, saudara-saudaramu menggelar tikar, melepas lelah sehabis penguburan. Namun, bukan hanya Engkau yang kehilangan. Beberapa tetanggamu, juga ada yang kehilangan keluarga mereka.
Sebagian masih dicari, sebagian lagi telah ditemukan. Sebagian dimakamkan di dekat makam anak istrimu, sebagian lagi dikuburkan di tempat asal mereka, di tempat yang lain. Di haribaan tempat rindu ditemukan berulang.
Malam, saat hujan hanya tinggal gerimis, bersama tetangga dan saudaramu, engkau ikut menggelar doa: tahlilan bersama. Sehabis Isya, ditemani nyala petromak dan lampu-lampu senter, kau menuju sepenggal rumahmu. Kau tak bernafsu makan, hanya minum wedang jahe, dan sedikit memamah kue kering.
“Aku mau tidur di sini saja…Kalau kalian mau pulang…pulanglah!”
Seorang sudaramu berkata,”Sebaiknya Akang tidur di tempat lain, atau tidur di rumahku saja. Takut ada longsor susulan!”
Hujan telah reda. Engkau menolak,”Aku masih ingin merasakan kehadiran mereka. Aku mau di sini saja!”
Sebagian saudaramu pulang dengan celotehan yang menggantung di udara sedingin es. Dua orang lagi tinggal untuk menemanimu. Beberapa menit kemudian, engkau masih bisa mengobrol dengan keduanya. Lalu kantuk berat, membawamu ke alam mimpi.
Engkau tidak tahu, beberapa jam kemudian, saat malam menuju puncaknya, hujan lebat kembali turun lebih deras lagi.
Engkau benar-benar tertidur pulas. Sehingga, Engkau tak mendengar gemuruh getaran tanah. Lumpur itu kembali datang, bergulung-gulung bersama air bah. Dua saudaramu yang terjaga, terseret lumpur saat hendak membangunkanmu. Untung mereka selamat, setelah terlempar beberapa kali.
Engkau merasakan cahaya yang menyilaukan. Kau juga melihat lautan lumpur menyerbumu. Engkau gelagapan, dan segera bangun. Engkau berlari tanpa arah. Semua jalan sepertinya menyilaukan.
Di tepi tabir cahaya, engkau melihat anak dan istrimu melambai-lambai. Engkau segera memburunya. Engkau terjatuh. Matamu perih. Engkau kemudian merasakan tangan-tangan lunak menyentuh tubuhmu.
Kau merasa terangkat. Engkau kemudian melihat anak dan istrimu tersenyum bahagia. Keduanya memelukmu. Mereka menangis bahagia. Kau pun menangis bahagia.
Keduanya kemudian menggandeng tanganmu. Engkau takjub melihat sepasang sayap hijau berkepakan di punggung anak dan istrimu.
Mereka meraihmu.
Membawamu terbang, menuju cahaya.
: