Masukan nama pengguna
Tegak lurus di bawah langit Yogkakarta, aku terpaku pada batu-batu yang disebut salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini.
Stupa-stupa besar bertahtakan Budha yang tenang, relief-relief yang anggun terukir dahsyat, juga lanskap nyaris seujung dunia, membuatku menjadi patung yang lain di sini.
Kelelahanku sehabis konser di Bentara Budaya, terbayar sudah, bahkan lebih. Borobudur memang bukan sekedar pelepas lelah. Bagiku, ada semangat lain mengalir dari monumen terindah buatan masa keemasan Wangsa Syailendra ini.
Aku berpikir untuk melahirkan karya besar. Agung. Abadi. Membawa berkah. Seperti Borobudur. Pembuatnya adalah manusia-manusia dengan cita-cita seluas jagat raya, tinggi, bermartabat. Para pekerja keras yang tak lelah mematangkan ide-ide brilian.
Cermat. Tepat. Berorientasi tidak untuk kesesaatan.
Para pemahat Borobudur, membuat relief dengan kecermatan luar biasa. Mereka berpikir tentang pahatan yang halus, kesinambungan cerita simbolik yang terjaga, perekat batu yang tahan cuaca, juga sistem drainase yang akurat.
Tak ada air tergenang di sini. Dan dari ketinggiannya, ke arah penjuru mana pun, akan ditemui lanskap yang luar biasa.
Maka, kuukir kata-kata pada buku kecil catatanku. Kubuat lirik yang paling pas, untuk menggambarkan suasana hati dalam meresapi ketakjubanku pada mahakarya ini. Aku beruntung, lagu berjudul ‘Yogyakarta’ yang kubuat beberapa tahun silam, mendapat apresiasi publik yang baik.
Lagu berjudul sama dengan grup Kla Project ini, tentu berbeda. Karena aku membuatnya dalam genre balada kreatif. Istilah seorang kritikus seni terhadap jenis musik dan lagu yang kubawakan.
Bersama sepuluh lagu lain, yang termuat dalam album pertamaku, aku menjadi bintang baru, diundang ke berbagai perhelatan. Meski tak sepopuler penyanyi pop atau pun dangdut, aku dapat menikmati tepuk tangan dan histeria penonton saat lagu-lagu baladaku berhasil menenggelamkan mereka pada keindahan nada dan irama.
“Fery, kamu tak perlu memilih bidang lain. Bakatmu di musik terlihat kuat. Jangan pernah takut miskin memilih profesi jadi seniman balada. Kamu harus tahan banting, kreatif, dan selalu bersyukur dengan rejeki sekecil apa pun!”
Nasihat itu masih selalu terngiang di jantungku, di pikiranku. Kalimat sugestif dari Kang Edward Marthasanjaya itu, menjadi darah segar sekaligus kiblatku menuju tahapan jalan hidup ke depannya.
Ya, saat itu, sehabis lulus dari Akademi Seni Teater Indonesia, Bandung, aku dihadapkan pada dinding kebingungan memilih jalan hidup.
Semasa kuliah di jurusan teater, aku hanya sebentar bertahan ikut bermain sebagai aktor. Minatku justru lebih tersedot untuk membuat aransemen dalam menata musik pertunjukkan.
Kadang sebagai penguat suasana adegan, atau mengisi kekosongan saat pergantian adegan bersama propertinya. Beberapa dosen, yang sering merangkap sutaradara, banyak yang memintaku menjadi peñata musik pertunjukkan mereka.
Di kampus, pengisi tata musik memang sangat langka. Sedangkan beberapa sahabatku bermusik, lebih banyak yang tertarik membuat grup band.
Suatu waktu, aku diminta untuk membuat lagu tema, untuk pertunjukkan Kang Ismet Majalaya, dosen penyutradaraan. Berbekal gitar tua warisan ayahku, kubuat sebuah lagu dengan lirik-lirik naratif sesuai muatan naskahnya.
Lagu itu disetujui menjadi pembuka dan penutup pertunjukkan. Tangisku bak samudra, saat usai pertunjukkan, para penonton pulang sambil menyenandungkan laguku. Aku serasa terbang, saat beberapa hari kemudian, pada tulisan kritik pertunjukkan di koran Pikiran Rakyat, lagu dalam pertunjukkan itu juga menjadi sorotan dalam paragrap khusus.
Penulisnya memuji karyaku, sebagai darah baru dalam penataan musik dan lagu di pertunjukkan teater. Punggungku bersayap.
Beberapa lama kemudian, aku bertemu dengan sang penulis itu. Kang Edward Marthasanjaya memang telah dikenal sebagai kritikus dan pengamat budaya yang dihormati. Kami kemudian berteman baik, dan selalu bertemu dalam beberapa pergelaran lainnya.
Saat kuutarakan kegelisahanku, saat aku merasa harus meninggalkan dunia musikku untuk bekerja, lahirlah petuah itu, bersama anjuran lainnya. “Bertahanlah satu atau dua tahun lagi. Dalami lebih kuat lagi dunia musik itu. Ingat…Man Jadda Wa Jadda…barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Penyanyi dan penulis lagu balada itu langka. Kalu kamu sungguh-sungguh, nanti akan banyak dicari orang!”
Aku menuruti anjurannya, meski harus bersitegang dengan calon istri, calon mertua, saudara, bahkan ayah ibuku sendiri. Namun motivasiku menjadi lebih besar menekuni musik balada.
Berbekal kepercayaan diri, juga berguru pada sekian pemusik, aku mencoba membuat lagu-lagu yang melawan arus pasar.
Aku menciptakan pasar baru sendiri. Arus yang lain. Memang tak mudah pada awalnya. Namun aku bersyukur, jalanku dimudahkan Tuhan.
Aku punya banyak penggemar, dan kian meluas saat aku berani menyanyi solo dalam pertunjukkan khusus, juga saat kubuat grup balada sendiri.
Lagu ‘Yogyakarta’ kemudian menjadi ‘gong’ bagi keberhasilaku di dunia musik balada. Penggemarku, terutama di kalangan anak muda kampus, makin banyak. Aku pun diundang ke berbagai kampus, di berbagai kota. Baik sebagai penyanyi solo, maupun jika harus membawa grup.
Lagu-laguku mulai lepas mengudara, terutama di radio-radio komunitas. Sayapku makin anggun, lebar, dan menantang.
Kini, tarikan untuk membuat lagu tentang Borobudur ini makin kuat. Kupejamkan mata, menikmati, mengingat kembali sentuhan telapak kakiku saat menginjak semua pelataranya, merasakan lebih dalam lagi pada rabaan tanganku pada setiap dindingnya.
Aku merasa terlempar kembali ke masa keemasan bangsa ini, ratusan ribu tahun lalu.
Kucoba memasuki pikiran perancangnya, kumasuki jalan darah para penguasanya, kurasuki denyut nadi dan lelehan keringat sampai darah pekerjanya. Tanganku memilih kata. Memilih narasi keagungan bangsa besar ini.
Menjelang magenta melumuri cakrawala, aku menuruni undakan tangga candi. Lalu bergegas mengambil gitar akustikku yang kusimpan di mobil VW Safari Mas Mathori, ketua panitia yang mengundangku konser di Yogyakarta.
Dia menggelengkan kepala, saat aku mulai suntuk membuat lagu. Di dalam mobil kap terbuka itu, sambil memandang candi super megah itu, aku mulai merangkai nada. Kubuat lagu dasarnya, mencocokkan irama lagu dengan syairnya.
Saat kurasa mencapai akhir pengembaraan nadaku, kuambil telepon genggam, lalu mulai kurekam. Saat jeda, kuambil nafas, tersenyum pada Mas Mathori.
“Bagaimana, suka?”
Lelaki berkumis tipis alumni Fakultas Budaya UGM dengan blangkon dan baju lurik kesayangannya itu, tersenyum,”Ayo kita putar ulang lagunya!”
Hembusan angin dari arah pebukitan dan ladang-ladang sekitar candi, lalu membawa gema lagu baru ciptaanku itu pada gendang telinga. Kupejamkan mata. Kubiarkan jiwa laguku itu mengalir, menembus kedalaman batin.
* * *
Engkau terjaga.
Mimpi buruk itu menyergapmu membawa malaikat bersayap kelam. Keringatmu melaut, membasahi pakaian hingga sprei kamar tidur hotel Yogyakarta Art Houase & Spa Hotel itu.
Untung tak ada igauan keras ataupun teriakan, sehingga kau tak membangunkan Mas Mathori yang sudah terlelap di ranjang lain kamar itu.
Ingatanmu kembali berkomidi putar. Kau ingat, bagaimana kau segera bergegas memacu motor sktutik kesayanganmu usai pergelaran di Pusat Kebudayaan Prancis itu. Lalu kau melolong saat melihat api besar menjilat-jilat rumah yang belum lama kamu beli dari keringatmu menyanyi itu.
Kau terisak memeluk kayu-kayu gosong sisa bakaran. Mukamu merah padam. Bukan hanya karena cahaya api, namun juga kecemasan lain. Ah, masih beruntung, istrimu selamat. Namun air matamu tetap lebih deras daripada air terjun Niagara. Dadamu lebih bergelora dibanding ombak pantai Parangtritis.
Tak pernah terbayangkan beberapa koleksi gitarmu hangus di ujung api. Ijazah, piagam, surat-surat penting lain, terbang bersama abu dan asap yang mengepul bagai kepundan baru anak gunung yang meledak.
Kau ingat, hari-hari naas dan berat itu, kau lalui sambil tersuruk-suruk menitipkan yang tersisa pada saudara-saudara dan sahabatmu. Keluargamu berduka. Namun tentu tak bisa mengembalikan abu menjadi kayu.
Engkau seakan kembali ke titik nol. Sakit dan terluka.
Untung kau tersadar. Menangisi sejarah hanya akan membuat berhenti jalan darahmu. Lalu kau bersujud, saat bantuan datang dari para penggemarmu. Simpatisanmu. Perlahan-lahan kau membangunnya kembali, meski tak sesempurna pada awalnya.
Kau mulai kembali melantunkan lagu, meski dengan berbekal satu gitar akustik tua yang tak sempat terbakar. Ayahmu tetap mewariskan sesuatu yang paling berharga bagimu. Lalu engkau mengalami jeda cukup panjang. Menenangkan pikiran, sambil membuat lagu-lagu baru.
Engkau mengingat kembali, saat suatu waktu mendatangi pabrik pembuatan gitar lokal di Cibiru, gudang industri kreatif di Bandung Timur. Saat itu, kau menemukan sesuatu. Telingamu yang terlatih dengan bunyi nada, melengkapi keinginan sang pemilik industri rumahan itu, untuk menghasilkan gitar baru yang lebih baik.
Engkau mulai rajin menyambangi tempat itu, melihat proses produksi dari awal hingga pengetesan suara. Lalu kau terlibat dalam perbaikan mutu suaranya. Engkau juga mengusulkan bentuk dengan disain baru yang labih variatif.
Engkau kemudian bersyukur saat dikabari gitar-gitar baru itu diterima pasar dengan baik, dan industri rumahan yang mengkhususkan pembuatan gitar itu mengalami kemajuan. Hasilnya dieskpor ke berbagai Negara.
Gitar-gitar itu terbang berlimpah pesanan.
Engkau sendiri memesan sebuah gitar akustik khusus, dengan ukiran di ujung seteman-nya. Engkau juga memesan sebuah gitar listrik, dengan ukiran sosok Mahadewi memenuhi badan gitarnya. Keduanya kau disain secara cermat.
Kau amati proses pembuatannya lebih teliti lagi. Gitar-gitar rancanganmu itu lalu kau bawa di setiap pergelaran. Kau pun merasa mendapat kekuatan lain dengan gitar-gitar baru itu, tanpa melupakan gitar akustik tuamu.
Penggemarmu kemudian seperti menemukan kembali semangatmu yang bangkit, bersama lagu-lagu yang seperti dimuntahkan dari sorga.
Saat Mas Mathori menghubungimu untuk mengadakan kembali konser di Yogyakarta, engkau makin menemukan darah segar kembali. Menegakkan kembali semangatmu yang nyaris mati itu.
Engkau bangkit dari peraduanmu. Mengambil gitar akustik tuamu yang selalu kau bawa, seperti kau selalu membawa nama dan bayangan ayah ibumu kemana pun engkau terbang.
Engkau menuju beranda kamar, memeluk gitarmu, sambil memandang gunung Merapi yang kabut di puncaknya mulai tersibak.
Lalu engkau tertidur kembali di kursi kayu jati panjang berukiran Jepara beranda kamar itu. Tanpa bermimpi api lagi.
“Ada tamu ingin bertemu, Tuan!” kata resepsionis itu, menunjukkan jempolnya ke arah lobby hotel, pagi hari saat engkau dan Mathori hendak menuju ruang makan.
Tamu pria setengah baya berkulit putih, berambut pirang, dan mata bagai bulan dilautan itu tidak kau kenal. Setelah mengambil kopi susu, kau bersalaman dengannya, sambil memperkenalkan Mathori, seorang penyair yang juga piawai mengelola acara budaya.
“Saya, Henry, utusan dari perusahaan Gitar Vivender, Amerika Serikat. Kami sudah lama memantau anda dalam sepuluh tahun terakhir ini. CEO kami pernah melihat beberapa penampilan anda dalam You Tube, juga beberapa blog dan web. Aktivitas terbaru anda di facebook dan twitter pun kami pantau. Kami juga terkesan dengan penampilan dan lagu-lagu Anda…terutama saat melihat langsung pertunjukkan anda kemarin itu!”
Engkau mengangguk,”Terima kasih..Mister Henry!”
“Nah, perusahaan kami, mau meluncurkan produk baru. Untuk seri baru ini, kami akan menggunakan nama Anda!”
Engkau terkejut, hampir menumpahkan kopi susu yang akan kamu teguk. “Maaf…ini dalam hal apa?”
Pria tampan dan terkesan masih segar itu, tersenyum kembali,”Ya, begini. Nanti pada gitar itu, kami mencantumkan nama Anda. Jadi seri gitar baru ini nantinya bernama Fery Curtis Vivender. Saya harap anda menyukainya…”
Engkau terhenyak. Seolah bermimpi,”Apakah Mister Henry tidak salah pilih?”
“Tentu tidak, Tuan Fery,” jawab Mr. Henry sambil kembali tersenyum ramah,”Kami telah lama mempertimbangkannya.”
Engkau menoleh ke arah Mathori, yang sudah kau anggap sahabat dekat. Dia hanya angkat bahu, tentu juga sambiltersenyum. Percakapan itu kemudian berlangsung lebih serius. Bagimu, penghargaan besar itu tentu mengejutkan. Membahagiakan. Apalagi ini datang dari sebuah perusahaan gitar yang besar dan terkenal.
Engkau menunda kepulanganmu ke Bandung, untuk mengurus berbagai hal dengan perusahaan gitar itu. Engkau pun berdiskusi dengan Mas Mathori, serta beberapa pemusik Yogyakarta.
Lewat ponselmu, kau ceritakan pula hal itu kepada Pak Edward Marthasanjaya, yang sudah kau anggap saudara, juga guru spiritualmu.
Ada usulannya yang menarik, agar perusahaan gitar itu, mengambil gitarnya dari Indonesia, bukan hanya bahan baku atau bahan mentahnya saja. Itu bisa dilakukan dengan membuka cabang perusahaanya, atau lewat sistem franchais.
Engkau kemudian menyatakan kesediaan penggunaan namamu. Sedangkan usul bagus dari penulis yang membuatmu memilih jadi pemusik balada itu, kau sampaikan juga. Mr.Henry bersama beberapa rekan kerjanya, berjanji mempertimbangkannya.
Engkau pun kembali ke Bandung, dengan uang muka royalti, yang setidaknya cukup untuk membangun kembali rumahmu yang belum sempurna sehabis terbakar itu.
Sayap di punggungmu mengepak.
***
Setiba di kota Parisj Van Java itu, dengan sekeranjang kenangan manis dari kota Gudeg, dia segera menemui istri tercintanya. Sengaja ia tak memberitahukannya lewat ponsel. Ia ingin membuat kejutan indah buat perempuan yang kini menjadi guru di salah satu sekolah swasta di Bandung itu.
Maya, tentu saja merasakan sorga diturunkan kepada mereka, saat suaminya yang sempat diragukan karirnya oleh banyak orang itu, membawa kabar yang membahagiakan. Dahulu, saat segalanya masih dalam tahap penjajagan, Maya sendiri sempat terombang-ambing.
Maya memang sudah lama menjadi penggemar lagu-lagu balada karya Fery Curtis.
Namun saat pemuda ramah asal Purwakarta itu melamarnya, ia dihadapkan pada pilihan orangtuanya yang sudah punya calon lain. Calon yang sudah punya karir jelas. Namun kegigihan Fery, membuatnya takluk.
Ia pun kemudian bersedia ikut jatuh bangun bersama pemusik balada yang bersahaja itu. Menata dunia.
Keraguan terbesar, jutsru terjadi saat beberapa personel grup baladanya mengundurkan diri. Tidak semua orang, meskipun punya kemampuan bermusik handal, yang ingin mengabdikan dirinya pada dunia musik.
Apalagi pada grup balada, yang secara ekonomi berbeda jauh dengan para pemusik pop atau pun dangdut. Satu dua mereka mundur teratur, dengan meninggalkan kerumitan yang tidak mudah diurai.
Bahkan bukan hanya Maya. Suaminya itu terkadang cukup lelah bergonta-ganti personel. Beradaptasi dengan pemain baru akan selalu memakan waktu, apalagi jika dihadapkan pada undangan yang sudah disetujui.
Pada puncaknya, grup balada yang dikomandani Fery itu terpaksa bubar. Fery memilih bersolo karir, dan tersaruk-saruk kembali. Ia terus merangkak di antara sepinya undangan. Ia nyaris mengantungkan gitar saat ditawari bekerja di sebuah bank.
Namun pertemuannya kembali dengan sang penulis yang menjadi gurunya, membuatnya kembali melangkah di dunia musik balada.
“Kamu tak perlu cemas. Kekuatanmu bukan hanya pada sebuah grup. Kamu sendiri sudah punya bekal sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Itulah kekuatan utamamu. Kamu harus tetap konsisten. Lihat para pemusik balada lain, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, ataupun Frankie Sahilatua, bahkan Bob Dylan dan Bruce Springfield, mereka bisa tetap eksis meski jika tanpa sebuah grup…”
Segalanya lalu tinggal jejak langkah yang tersimpan di musium kenangan. Kebahagiaan, kesedihan, keraguan, hingga harapan, selalu dia lalui sebagai bagian
dari warna-warni hidupnya.
Saat namanya hendak diabadaikan dalam sebuah seri gitar, ia merasa makin mantap memilih ‘jalan gitar’.
“Sebetulnya, Maya juga punya kejutan buat Kang Fery!”
Fery merandeg. Ia menatap lekat mata bening istrinya itu. Mata yang pernah ia bawa ke pantai-pantai indah di wilayah Jawa barat. Fery memang paling suka menatap mata istrinya.
Mata yang bening. Mata yang selalu tulus.
Di Pantai Santolo yang menawan, juga pemandian-pemandian air panas di daerah Kabupaten Garut yang bagai persembahan air mata sorga, ia akan melihat reaksi kebahagiaan atau kedukaan itu pada mata Maya.
Juga saat ia mengajaknya ke gua bersejarah di Pamijahan, pantai Cipatujah, hingga wilayah adat unik bernama Kampung Naga di Tasikmalaya, cahaya terang maupun buram pada Maya, selalu menjadi pedoman Mukti, apakah tempat yang ia tawarkan disukai istrinya itu atau tidak.
“Cepat katakan, Akang sudah tidak tahan, nih!” Fery tersenyum sambil menggelitik pinggang Maya.
Maya menatap lekat penyanyi idolanya itu. Ia kembangkan senyum paling indahnya, “Kang,Maya hamil lagi!”
Fery terperangah. Dadanya serasa meledak, “Betul, nih?”
Maya mengangguk. Lalu tiba-tiba tangis Maya meledak.
Dia terpaku. Tangis itu pernh hinggap bertahun lalu. Tangis bahagia saat pertama kali Maya mengatakan hal yang sama. Tangis jugalah yang ia tumpahkan sepeti hari ini, saat Maya mengalami pendarahan hebat.
Dia teringat kembali, saat-saat airmatanya melimpah melihat sosok mahluk sangat kecil usia tiga bulan dalam kandungan pada genggaman Mak Ratmi, paraji atau dukun beranak tetangganya yang membantu Maya saat kegugura.
“Lihat, Den Fery! Rambutnya agak panjang. Nampaknya ini anak perempuan. Meski baru calon janin, kita kuburkan baik-baik. Bersabarlah! Anak Aden Fery dan Neng Maya ini akan menyambut kalian di sorga, kelak. Pliharalah kuburannya!” Mak Ratmi menatap sendu.
Saat itu, dia hanya bisa pasrah. Anak pertama yang ia idamkan, gugur dalam kandungan. Kini kebahagiaan datang kembali. Dia berharap, kali ini anaknya lahir sempurna.
“Syukurlah…semoga kali ini selamat, ya sayang! Untuk merayakanya, aku ingin mengajakmu ke pantai Pangandaran. Pantai super indah yang pertama kali mempertemukan kita. Lalu kita akan kembali napak tilas ke Batu Hiu, hingga ke Green Canyon menikmati gua dan airnya yang sangat jernih itu, kau perlu istirahat banyak…,” kata Fery, sambil menyeka sungai kecil di pipi lunak istrinya.
“Hmmm…iya…,kau juga perlu rehat. Beberapa bulan ini, kamu sangat sibuk ke berbagai acara…,” ujar Maya. ”Kau juga bisa sambil membuat lagu. Pangandaran itu sangat inspiratif…aeh, lupa,ini ada surat dari Ibu Marwah Daud. Aku belum membacanya…,” kata Maya sambil meraih sebuah amplop berkop Kementrian Lingkungan Hidup.
Dia segera membuka, lalu membacanya agak keras agar turut didengar istrinya. Usai membaca, dia tengadah sambil mengangkat kedua tangannya.
Seperti ingin meraih langit, “Subhanalloh…alhamdulillah…Maha suci Engkau ya Alloh. Kami bersyukur atas karuniamu ini…Terima kasih, Tuhanku!” dia kemudian bersujud syukur.
Kini di benaknya, terbayang tanah airnya yang maha kaya dan luas. Ini kesempatan emas dan penghargaan yang tinggi.
Melalui undangan Ibu Marwah itu, dia mulai berniat mempersiapkan diri lebih matang, untuk bernyanyi di berbagai kota di Indonesia. Ini juga berkah atas beberapa lagu bertema lingkungan alam yang ia ciptakan beberapa waktu lalu.
Suatu hari ia bertemu Ibu Marwah Daud yang tertarik pada lagunya. Uh, dia seperti ingin segera terbang, menghibur para pecinta musik baladanya, lalu menikmati alam-alam indah pada seantero kota-kota eksotis dan desa-desa yang kaya budaya itu.
Kuta, Bunaken, Musi, Dayak, Gorontalo, Papua, Padang Panjang, Batam, Bangka Belitung, hingga beragam budaya lainnya, membayang indah di matanya. Sorga-sorga kecil Nusantara itu, memenuhi kepalanya.
Dia kemudian beranjak, meraih gitar akustik tuanya. Ia menciumnya, lalu mendekapnya erat, “Kita akan terbang sayang…”
Maya geleng kepala.
Tersenyum.
Senyum yang penuh cemburu. Cemburu pada sayap-sayap ghaib yang akan membawa sang komposer jiwanya itu, terbang bersama gitarnya.
Bandung.