Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,760
MINARELLI MENELAN LAUT
Misteri

“Keajaiban adalah firman. Ada napas suci Sang Khalik di situ!” angguk Mang Kodir. Ia meyakininya seyakin malam dan siang selayaknya kekasih yang tak terpisahkan.

Keajaiban yang ia lihat pada Minarelli mencengangkan banyak orang, termasuk Mang Kodir yang menjadi ayah asuhnya, sejak perempuan berwajah Dewi Venus itu dititipkan orangtuanya untuk belajar menjadi penyair.

Sejak di bangku kayu semi lapuk Taman Kanak-kanak, anak berbolamata tajam itu dikenal hiperaktif. Guru-gurunya kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dari anak yang susah diajak duduk manis itu.

Meningkat di Sekolah Dasar, anak ini mengalahkan pikiran-pikiran anak-anak yang berada tiga tahun di atasnya. Para gurunya juga sama kewalahan, menanggapi pikiran-pikiran liarnya. Dan di Sekolah Menengah Pertama, anak miskin penjual kacang rebus dan lotek itu, sudah fasih berbicara filsafat yang membuat para gurunya sulit menyimpan kepala.

Maklum, novel tebal Dunia Sophie yang menjadi bestseller dunia saja, ia lahap dalam tiga hari. Sedangkan prosa-prosa karya Kahlil Gibran, selalu ia baca berulang-ulang.

Minarelli adalah kutu buku paling khusu. Sejak dini, ia sudah melahap bacaan dunia, yang membuat Kang Saeful Braga, pemilik Taman Bacaan Masyarakat di Cikandongdong, nyaris kehabisan stok buku untuk memenuhi hasrat literat anak berbakat itu.

Ia pun menganjurkan kepada orangtuanya, agar si anak yang juga penghapal Al Qur’an itu, sering dibawa ke perpustakaan di kota Terasik, 15 kilo meter arah timur dari kampung Cikadongdong. Namun, yang terjadi kemudian, Kang Saeful Braga sendirilah yang harus mengantarnya, karena orangtua anak berpipi kempot itu sibuk mencari dan mengetuk pintu-pintu rezeki yang kuncinya sulit dicari.

Ustad Ahamd Fawzy Imron, keponakan penyair terkenal dari Cipasung, Acep Zamzam Noor, menyebut anak itu sebagai indigo.

“Maksudnya India Goler kitu, Pak Fawzy?” Mak Mudrikah mencoba menghubungkan paras anaknya yang mirip Kajol itu, dengan pernyataan Ustad Fawzy. Ia lupa menghubungkannya dengan prilaku anaknya yang terkadang suka berbicara sendiri.

“Ha ha ha..boleh juga. Kan Mak Mudrikah oge mirip Aishwara Rai. Yang jelas, kalau Si Mimin sedang berbicara sendiri, sebetulnya ia sedang bercengkrama dengan mahluk gaib. Ia bisa melihatnya Mak!”

“Jadi bukan gila, Pak Ustad?”

“Bukan. Apan dia mah tidak makan isi tong sampah!”

Keanehan Minarelli yang sering dipanggil Mimin itu, malah sudah dirasakan Mak Mudrikah dan para tetangganya sejak bayi. Kalau menetek, ia bisa lama. Hingga stok ASI dari ibu aslinya itu sering habis. Maka, Minarelli sering menerima subsidi susu dari para ibu-ibu muda tetangganya.

Namun, itu pun hanya tahan beberapa bulan, karena kekeringan kemudian melanda payudara para ibu-ibu yang masih ranum itu. Mak Mudrikah kemudian menambahnya dengan air tajin, susu sapi dan kambing yang harus ia barter dengan lotek, serta membersihkan kandang-kandang ternak tersebut, yang sangat melimpah di kampung itu.

“Untung di kampung kita ada sentra peternakan. Kalau harus beli susu formula, kita harus menjual tanah dan rumah ini!” senyum Kang Azim, ayah Minarelli yang menambah angsuran tagihan susu sapi dan kambing itu dengan mencarikan rumput di kaki bukit Gunung Singa.

Saat mulai masuk ke Taman Kanak-Kanak, konsumsi minumnya beralih ke air kelapa. Kang Azim, sering mencarinya ke kampung-kampung lain, karena di kampung mereka sudah habis diteguk anak sematawayangnya itu.

Dan saat memasuki SD, sewaktu melahap banyak buku di perpustakaan desa dan kota, Minarelli suka sekali minum kopi hitam. Kang Saeful Braga, sang kuncen perpustakaan, kadang harus merelakan secangkir besar kopinya untuk anak jenius itu.

Yang membuat Kang Azim dan Mak Mudrikah nyaris pingsan ialah ketika mendapat kabar anaknya meminum spirtus, minyak tanah, bensin, solar, dan oli. Seisi kampung pun akhirnya dibuat geger. Karena meski meminum bahan bakar tersebut, Minarelli tetap mengedipkan mata.

Seperti api pada jerami kering, kabar itu berkelebat menyebar, hingga mengundang napsu liputan para juru warta cetak dan elektronik. Minarelli tak hanya menjadi buah bibir, ia juga menjadi buah mata, buah telinga, dan buah pikir para pemerhatinya.

Minarelli sendiri susah memahami cara kerja mesin alam di tubuh semampainya. Mengapa hal itu terjadi pada dirinya hanya dijawab kebuntuan. Ia sendiri hanya mengikuti nalurinya. Seolah ada dorongan besar untuk meminum bahan bakar tersebut.

Ia pun tidak bermaksud mencari popularitas. Bahkan ketika ia tidak mabuk saat mencoba semua jenis minuman keras.

“Saya lebih suka dikenal karena karya-karya saya, bukan karena hal remeh temeh seperti ini!” tuturnya kepada para pewarta.

“Saya akan bahagia dikenang sebagai penyair seperti Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Muhammad, Toeti Heraty, Baudelair, Kahlil Gibran, Rumi, dan lain-lain. Toh tidak mabuk karena minum BBM maupun alkohol, sungguh itu bukan presatasi,” jelasnya saat tampil di Kick Andy maupun ketika diwawancarai Deasy Anwar, Nazwa Shihab, Tukul Arawana, Deddy Cordbuzier, Soimah, Sarah Sechan, dan Arie Untung.

Merry Meriana dan para penotonnya, ribuan kali geleng kepala sambil serempak berkata,” Superrrrr Sekali!”

“I Love poetry. Al Qur’an had been me serve to a beautifull art language…know” senyumnya mengembang di Oprah Wimprey Show.

Kebiasaan meminum zat berbahaya itu pun hanya ia lakukan sewaktu-waktu, jika desakan dari dalam dirinya menguat.

“Pak Ustad Fawzy, apakah saya akan masuk neraka?” gundahnya suatu hari, saat menemui sang ustad yang baru meluncurkan buku fiksi mini sufi-nya di Kebun Kopi Cibutak Foundation, tempat yang dikelola bersama kakaknya, Ahmad Faisal Imron, kyai muda yang juga penyair dan pelukis.

“Soal masuk neraka dan sorga itu, hanya Tuhan yang tahu!” jawab Ustad Fawzy sambil menandatangani bukunya, lalu ia berikan pada Minarelli.

“Kalau tidak tahu akan masuk sorga atau pun neraka, mengapa Pak Ustad mengelola pesantren dan membuat fiksi mini sufi?” Minarellli menatap tajam. Mata galaunya berkilau.

Ustad Fawzy tertegun. Mulutnya seperti menelan musim gugur. Ia melirik Ustad Faisal yang tersenyum-senyum saja.

“Sini, Mina!” Ustad Faisal meminta anak yang sudah memasuki mimpi indah itu untuk mendekat. “Coba buka mulutmu!”

Meski membuat keningnya berundak lipatan, ia mendekat lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Kini giliran Ustad Faisal yang keheranan. “Astaghfirullohhh hal adzim…Subhanalloh…!” decaknya sambil mengusap muka dengan lembut setelah lama mematung saat melihat ke dalam mulut Minarelli.

Ustad Fawy yang penasaran, kemudian turut meminta Minarelli membuka mulutnya. Dan seperti kakaknya, ia pun nampak terlihat takjub sesudahnya. Seperti baru menelan empat musim cuaca sekaligus dalam satu detik.

“Mengapa Pak Fawzy? Ada apa Pak Faisal?” cemasnya sambil menyibakkan rambut panjangnya.

Jawabannya justru datang dari Mang Kodir, guru spiritualnya. Lelaki aneh di kampungnya yang mengajarinya membuat puisi.

Ya, lelaki berambut panjang putih keperakan yang sering bekerja sebagai buruh bangunan, dan gemar memancing ikan beunteur alias si baby fish di kali-kali kecil itu mencoba menjelaskan. Lelaki yang suka menghiburnya, jika ia menangis karena dikucilkan, diejek, bahkan dihina teman-teman kecil hingga sebayanya.

“Yang benar, Mang? Saya sendiri nggak melihatnya!” keheranan membuncah di dadanya, saat ia membuka lebar-lebar mulutnya di depan cermin.

“Mamang juga nggak bisa melihatnya. Ustad Faisal dan Ustad Fawzy yang bilang sama kamu dan mamang, kan? Ya, waktu mereka berkunjung di pesantren dekat sini. Mungkin memang hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat dan memahami ini. Yang penting, kamu jangan bilang siapa-siapa lagi!”

“Emak dan Bapak juga?”

“Ya. Yang kedua penting, tak perlu jadi beban pikiran. Jalani saja!”

“Mina hanya berpikir, apa artinya?”

“Kedewasaanmu kan perlu waktu, meskipun kamu jenius. Pemerolehan pengetahuan, berbeda dengan pemerolehan kedalaman batin. Nanti juga akan kau temui apa maknanya!”

Minarelli menemukan napasnya agak mengendur. Belum ada jawaban yang memuaskan. Mungkin bagus juga buatku, pikirnya. Masih akan banyak waktu untuk memahami semua ini.

Ya, tentu jika Tuhan memberi napas lebih untuk menjalani takdir ini. Ah, dia kemudian seperti menemukan pencerahan.

Kayaknya bagus buat bahan puisi, Mang Kodir…” Minarelli menatap Mang Kodir yang asyik menabur pakan ke kolam ikan depan rumahnya.

Perlahan, Minarelli bergumam,”Telah kutelan lautan dan kukaramkan ribuan kapal bajak laut. Ikan-ikan tengadah meciumi badai. Pulau demi pulau bersujud, menanam garam pada ingatanku…”

Mang Kodir tersenyum,”Nah, ayo cepat tuliskan! Itu diksi yang bernas, jangan sampai menguap!”

Hingga selesai SMA, Minarelli sudah menyelesaikan puluhan puisi yang mengangetkan para penyair senior yang mengenalinya. Puisinya memuat banyak metafora yang sulit dicari padanannya. Namun, Minarellli termasuk abai dalam mendokumentasikan karyanya.

Hanya satu dua yang ia publikasikan. Itu pun hanya di media lokal, serta antologi kecil para penyair di kotanya. Beberapa penerbit yang ingin menerbitkan buku kumpulan puisinya, hanya dijawab dengan kuakkan deretan giginya yang tanpa behel.

Meski banyak yang ingin membantunya memberikan beasiswa untuk kuliah di dalam maupun luar negeri, Minarelli malah menutup muka dengan rambut lurus panjangnya yang tanpa direbonding. Ia lebih suka berkelana dari kota ke kota, menyusuri desa, mencumbui hutan, menyetubuhi sungai, gunung dan pantai.

Ia tak takut pada ketinggian. Ia tak segan pada kesendirian. Ia relakan sepi memeluknya di mana dan kapan pun. Ia segan bercinta meskipun banyak pemuda membidikkan cupido dan memburunya seperti harta karun tanpa tuan.

Namun ia tak segan bergaul dengan petani, politisi, wartawan, nelayan, gelandangan, tentara, kyai, buronan, bahkan anak-anak punk. Ia menjadi mahluk unik, yang bisa datang dan pergi tanpa batasan. Tanpa hijab. Tanpa melihat kalender dan kompas.

Pada waktu-waktu tertentu, terutama saat banjir melanda sebuah wilayah, ia akan datang. Tanpa setahu siapa pun, ia akan menyedot air di wilayah itu, sehingga banjir cepat surut dan tak jadi menenggelamkan sebuah wilayah.

Ia juga pernah beberapa kali menyedot limbah minyak mentah yang tumpah di samudera. Dan jika sehabis itu, ia akan bersujud berhar-hari, tak terusik angin dan matahari.

“Sebaiknya kau cepat menikah. Terlalu banyak menghilang, membuat emak dan bapakmu cemas. Mamang juga begitu. Tanggungjawabnya berat. Ya, Mamang tahu kamu pernah jatuh cinta dan patah hati pada siapa. Tapi itu sudah tak penting lagi. Seluruh dunia sudah mengenalmu. Tinggal kamu tunjuk saja. Mamang akan melamarkannya untukmu!”

Minarelli hanya tertawa lepas.

“Memangnya apa yang kamu cari? Jarum di padang jerami?”

Minarelli menahan tawanya,“Masih banyak puisi yang ingin saya tuliskan, Mang Kodir!”

“Ah, setelah menikah pun kamu masih bisa berpuisi. Ini pertanyaan klasik: Apa yang kamu tunggu, penelan laut?”

Minaraelli tersenyum, menjawab pelan,”Lamaran Nabi Khidir!”

                       

                                                            ####.

Bandung, saat banjir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi