Masukan nama pengguna
Pemburu Batu
Banjir bandang. Longsor. Gempa bumi. Teroris yang meledakkan gedung. Extrim kuliner. Selebritis yang bercerai. Kisruh politik. Pedagang yang digusur. Praktek aborsi. Angin puting beliung. Tabrak lari. Korupsi. Perang diskon. Handphone dan laptop terbaru. Atau hal-hal popular lainnya, luput dari mulut keriput Nenek Sajem.
Ia tengah memikul putaran kepala dan jantungnya yang penuh kabut.
Hilir mudik truk-truk besar pengangkut batu, sering membuat rumahnya seperti terkena gempa. Kegaduhan itu juga mengganggu mimpi-mimpinya. Satu-satunya penghibur di malam hari, setelah sepanjang siang meladeni para pembeli di warung kopinya. Sebuah bangunan kecil dari bambu dan ijuk, yang ditinggalkan suaminya, yang telah terbujur di bukit sebelah gunung batu.
“Mereka itu seperti tak pernah puas. Siang malam terus mengangkut batu-batu itu. Mungkin mereka juga mau memakannya!” gerutu Nek Sajem, sambil menyodorkan segelas kopi hitam panas kepada seorang pelanggannya. Seorang perkuper yang ditemani sopirnya yang tengah melahap ketan bakar.
“Ah, Nenek…memangnya ada yang suka makan batu?”
“Ya ada. Eh, apa saya ndak pernah cerita gitu?” Nek Sajem memandang si perkuper klimis yang tengah menghitung uang dari tas kulitnya.
“Cerita apa, Nek? Janda muda yang dekat gunung batu itu? Memangnya dia makan batu? Yang saya dengar sih dia makan hati. Bukan makan batu. Makan hati karena digodain terus sama penggali batu-batu itu. Tapi nggak ada yang serius!” si perkuper perlente itu tertawa kecil sambil menyeruput kopi kentalnya.
“Bukan. Ini serius. Dahulu, menurut cerita Ibu Nenek, ada seorang buruh tani yang miskin. Sangat miskin. Suatu hari, karena sudah tak punya persediaan beras dan ubi, dia nekad memakan pohon. Mulanya pohon pisang, kemudian memakan pohon-pohon lainnya.”
“Ah, masa sih?” sopir berbibir tebal sang perkuper tersenyum sinis.
“Eh, bener lho. Masa Ibu Nenek bohong. Nah, suatu hari, ia pun mencoba makan tanah. Ia tetap sehat. Lama-lama ia kemudian memakan batu. Dan tetap sehat!”
Sang perkuper dan sopirnya tertawa-tawa. Sambil memandang ke gunung batu yang tak seberapa jauh dari warung itu, keduanya kemudian dengan santai meminum kopinya.
“Anak istrinya juga makan batu, Nek?” goda si sopir, sambil mengernyitkan alis tebalnya.
“Waktu itu, ia masih bujangan. Nah setelah menikah, istrinya juga ketularan. Begitu pula anaknya. Saat masih kecil, ia sering makan obat nyamuk, lalu makan tanah. Dan setelah besar, ia juga bisa makan batu-batu…” Nek Sajem terlihat serius. Ia memang agak kecewa, bahwa ceritanya terasa tak begitu dipercaya.
“Di mana mereka sekarang, Nek?” si perkuper kemudian menghabiskan kopinya.
“Ia dahulu tinggal dekat gunung batu itu. Mereka juga dimakamkan di dekat sana!” Nek Sajem menunjuk ke sebuah bukit yang bersebelahan dengan gunung batu itu.”Tapi anaknya entah ke mana. Penduduk di sini tak ada yang tahu. Katanya sih ke kota. Tapi entah kota mana!”
“Kenapa mesti pergi, ya? Bukankah batunya di sini melimpah?” si sopir makin ingin menggoda Nek Sajem.
“Ya, nggak tahu, Aden. Tapi mungkin karena malu. Ia suka diejek teman-temannya!”
“Hmmm sayang sekali. Coba kalau dia tetap tinggal, lalu jadi kepala desa di sini. Pasti ia tak akan memberi surat izin penggalian!” senyum si perkuper. Ia kemudian menyerahkan uang pembayaran kepada Nek Sajem.
Sepeninggal keduanya, Nek Sajem merasakan lidahnya pahit.
Ya, jika habis bercerita tentang Sang Pemakan Batu itu, terutama kepada pelanggan yang mulai dikenalnya, lidahnya sering mendadak pahit. Dan ia sering menelan kekecewaan.
Sepertinya, tak ada seorang pun dari mereka yang mempercayai cerita itu.
Cerita itu memang cerita dari ibunya. Tapi ia sendiri memang menyaksikan, bagaimana pamannya itu memakan batu dengan enaknya. Sangat lahap. Begitu pula anak semata wayangnya, Draga, mewarisi kegemaran pamannya itu. Atau lebih tepatnya “keajaiban” gigi hingga perut sang paman.
Dahulu, di sekitar gunung batu ini memang belum banyak penduduk. Keluarganya, keluarga kakek neneknya, beberapa gelintir keluarga lain, dan keluarga pamanya lah yang ada di sekitar pegunungan batu ini.
Mereka, termasuk ayah ibunya, juga Nek Sajem, bekerja menjadi buruh tani kepada seorang tuan tanah, yang mempunyai puluhan hektar lahan kebun dan pesawahan.
Tahun berganti, maka penduduknya pun makin banyak. Apalagi setelah tiba-tiba gunung di desa itu, digali. Dan puluhan truk, hilir mudik tak henti-henti. Mereka membawa orang-orang entah dari mana. Mereka membawa batu-batu itu, entah ke mana.
Nek Sajem terkadang merindukan Draga, sepupunya yang kini entah di mana. Pamannya, memang berhasil menyekolahkan Draga hingga sekolah menengah. Mungkin karena pamannya itu tak perlu membeli makanan, jadi ia bisa menabung. Draga-lah satu-satunya orang yang berhasil bisa sekolah ke kota dari desa ini. Kata pamanya ia kuliah di perguruan tinggi. Tentu saja sambil bekerja.
Nek Sajem masih ingat, ia terakhir bertemu dengan Draga saat pemakaman ayahnya, setahun setelah ibunya meninggal. Itu sudah lama sekali. Draga sekarang bahkan pasti sudah punya cicit. Sayang, ia belum pernah bertemu dengan anak,cucu, hingga cicit Draga.
Ia sering bertanya-tanya, apakah keturunannya juga suka memakan batu?
* * *
Gravato telah berhasil meyakinkan teman-teman sekelasnya, bahwa memakan batu itu, lebih enak daripada makan Pizza, Sukiyaki, Hotdog, Burger, Martabak, Spagheti, atau pun Kebuli. Georgel, asal San Francisco, perlu waktu tiga bulan, untuk kemudian membenarkan ajakan Gravato. Ini lebih lama dua minggu daripada Yumikoz, mahasiswi asal Kyoto, yang berhasil diyakinkan Gravato setelah dikencani terlebih dahulu.
Yang lain, seperti Bercamex asal Irlandia, Sharangkhan dari New Delhi, Micadoz asal Nicaragua, Shararuparov dari Rusia, Zindagor dari Frankfurt, Helenoti dari Milano, Corconita dari Paris, dan Maryorg dari Canberra, hanya butuh satu bulan untuk menganggukkan kepala dan mengacungkan dua jempolnya kemudian kepada Gravato.
Hanya Surkazep dari Taiwan dan Chou Youn Mei temannya dari Tiananmen, yang perlu waktu enam bulan, untuk kemudian bergabung dengan komunitas kecil pemakan batu itu.
Di Sekolah internasional itu, Gravato memang dikenal sebagai mahasiswa paling cerdas. Tapi kecerdasan saja tentu tidak cukup, untuk membuat orang lain percaya, sekalipun teman dekat, bahwa memakan batu itu lebih lezat daripada makan apa pun.
“Ini memang bakatku sejak lahir. Menurut ayahku, ini warisan dari kakekku. Ayahku sendiri, tentu saja pemakan batu. Ketika remaja, kami suka jalan-jalan ke berbagai pegunungan. Setiap gunung di negeri ini, mempunyai batu-batu yang kaya sekali. Sangat banyak jenis, dan macamnya. Dan setiap jenis batu, punya kelezatannya masing-masing,” tutur Gravato di suatu hari, ketika ia mulai yakin bahwa beberapa teman sekelasnya, mulai agak percaya.
Tentu setelah beberapa kali ia melakukan demo kecil-kecilan di hadapan teman-temannya itu.
“Apakah ibumu juga memakan batu?” heran Yumikoz.
Gravato tersenyum. “Tidak. Ia tidak seperti ayahku, dan tidak mau seperti ayahku, atau seperti anaknya ini. Ibuku sendiri baru tahu, bahwa ayahku pemakan batu, ketika melihatku mulai makan batu saat berusia lima tahun. Ayahku memang pandai menyembunyikan hobinya itu. Aku sendiri terkadang heran, mengapa batu-batu yang kumakan itu lebih lezat daripada daging ayam atau pun kaviar!” tawa Gravato.
“Okey…okey. Taruhlah itu memang benar. Ini pun aku bertaruh untuk sedikit menjadi agak gila…he he he. Ya, kamu kan keturunan pemakan batu. Jadi..okey lah kamu bisa begitu. Lalu apa mungkin kami bisa? Kami lahir dari keluarga yang tak memiliki keajaiban, Grav. Mengapa kau begitu yakin bahwa kami bisa diajak menjadi gila?” tanya Surkazep, sambil kemudian melipat bibirnya.
Teman-teman lainnya juga berkomentar yang macam-macam.
“Ya, ya, ya. Sory, ini bukan soal keyakinan. Aku sendiri belum yakin. Aku tidak tahu apakah kalian bisa seperti aku. Aku hanya ingin kalian mencobanya sedikiiiittttt saja. Aku justru ingin tahu, apakah yang kurasakan ini, dapat pula kalian rasakan? Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan. Aku ingin kalian merasakan kenikmatan, seperti kenikmatan yang sungguh nikmatnya kurasakan. Kalian kan teman baikku. Apa kalian pikir hal ini kusampaikan kepada para Dosen, Dekan atau pun Rektor kita? Tidak. Aku menyayangi dan menghormati mereka. Tapi mereka kan bukan teman baikku?” serius Gravato, seperti seorang marketing yang sangat yakin akan sangat sukses, karena apa yang ia tawarkan akan sangat membahagiakan kliennya.
“Apakah ayahmu melakukan ini?” Tanya Corconita.
“Tidak. Kakekku juga tidak. Ayahku bahkan menyembunyikan ini sangat lama kepada ibuku bukan? Orangtuaku dahulu hampir berpisah gara-gara ini. Ayahku sendiri mengaku malu jika orang lain tahu. Saat memburu hingga memakan batu-batu itu, kami memang sering sembunyi-sembunyi. Dan kami sering berpindah gunung. Selain ingin mencoba rasa batu yang baru, kami memang takut dan malu dilihat orang!” ujar Gravato agak termenung.
“Lalu, kenapa kau memperlihatkannya pada kami?” heran Bercamex.
“Ya, apa kami ini bukan orang?” canda Shararuparov.
“Atau kau sudah tak punya kemaluan, hah?” tawa Zindagor, yang disambut tawa teman-teman Gravato lainnya.
Gravato ikut tertawa. “Nggak…ngakkk. No no no. Aku tak tahu pasti. Aku kan berbeda dengan kakek dan ayahku. Mungkin…karena aku tak ingin…sendirian. Aku tak ingin kesepian!” lanjutnya kemudian.
Kesendirian dan kesepian Gravato kemudian berakhir. Entah karena keajaiban, atau karena ada upaya dan kebiasaan dari teman-teman dekatnya itu, maka kemudian Gravato tak harus terlalu capek untuk menggali batu-batu yang ia sukai.
Mereka bahkan banyak yang ketagihan. Mereka memburu batu ke mana saja. Berbagai macam jenis batuan, seperti Onix, Suseki, hingga jenis batu-batu mulia seperti Shapire, Zamrud, Kecubung, Pirus, dan lain-lain, mereka gali dan makan dengan sekenyang-kenyangnya.
Setelah lulus sekolah, kecuali Yumikoz yang kemudian ia nikahi, semua teman-temannya pulang ke negaranya masing-masing. Beberapa waktu kemudian, semua sahabat di komunitas pemakan batu itu, meminta Gravato untuk mengirimkan batu-batu yang ada di negerinya itu ke negeri mereka.
Alasanya bermacam-macam. Ada yang bilang bahwa batu dari negeri Gravato lebih lezat, lebih gurih, lebih semriwing, atau lebih merangsang. Ada pula yang beralasan bahwa di negeri mereka, batu-batu termasuk gunung-gunungnya, dijaga sangat ketat. “Lagi pula, kalau musim salju, batunya jadi lebih keras, dan lebih dingin! Nggak enak, jadi seperti menthol” tutur beberapa teman lainnya.
“Ya, sudah. Kita kan bisa jadi eksportir. Nanti aku minta ayahku untuk menambahi modal kita. Lalu kita beli atau kita sewa beberapa gunung itu, ya sayang!” senyum Yumikoz, sambil membelai bayi perempuannya yang bermata zamrud.
* * *
Zenithiya Grakoz memandangi langit merah delima sepanjang perjalanan. Tubuhnya yang seindah marmer, bersandar santai pada kursi jok di samping kemudi. Kedua tangannya yang seputih kapur barus, menggengam erat gelas plastik berisi Coca-cola yang dicampur butiran beberapa batu akik.
Si semampai blasteran Jepang yang punya mata zamrud itu, sesekali memiringkan kepalanya melewati pintu mobil.
“Jadi, Er, selain dijuluki Kota Santri dan Kota Dangdut, kotamu ini pantas dijuluki Kota Gunung, ya?” senyumnya, sambil kemudian meminum Coca-colanya, dan mengunyah batu-batu akik itu seperti mengunyah candil.
“Boleh juga, tuh. Di kotaku ini, dahulu berkumpul banyak gunung. Ada Gunung Singa, Gunung Sabeulah, Gunung Jati, Gunung Pereng, Gunung Kicau, Gunung Putri, Gunung Dengkeng, Gunung Limpung, Gunung Cupu, Gunung Cihcir, dan lain-lain. Kini semuanya telah hilang. Ada yang jadi pertokoan, perumahan, terminal, perkantoran, dan entah apa lagi”.
“Kalu begitu, nanti buatlah cerita tentang gunung, setelah kau buat cerita tentang manusia seperti aku!”
“Ha ha ha…bisa saja!”
“Sekarang kita kemana, nih?”
“Ke pedesaan bagian Selatan. Ke Gunung Blek!”
“Gunung Black? Black kelam atau black manis?” senyum Zenithya Grakoz.
“Maksudnya bukan hitam. Tapi gunung itu mirip blek kerupuk. Kata temanku sih bentuknya seperti kotak memanjang. Jaraknya agak jauh di pedalaman. Aku sendiri belum pernah ke sana. Tapi ia sudah ngasih peta. Seumur hidupku, baru tahu kemarin bahwa di kotaku, ada yang bernama Gunung Blek!“
Sehabis jalan mulus berkelok-kelok di batas kota, mobil itu memasuki jalanan panjang berbatu dan naik turun. Sial. Jalan itu berakhir buntu. Dan rumah-rumah penduduk pun Nampak berjauhan. Itu pun jarang, dan letaknya di perbukitan.
Keduanya kemudian turun, dan terus menyusuri jalan kecil yang licin di antara rumput setinggi pinggul, dan dinaungi pohon-pohon mahoni yang tinggi dan lebat.
Hutan itu berakhir pada bibir jurang, dan dibatasi sungai besar. Dari ketinggian itu, mereka kemudian disuguhi pemandangan yang mencengangkan.
Di hadapan mereka, batu-batu yang membentuk deretan gunung dan menyerupai blek kerupuk itu, tak lagi berpijak di bumi. Gunung-gunung hitam itu melayang. Ribuan batu-batu aneka bentuk dan warna terbang mengikutinya.
Beberapa sulur dan akar pohon yang tumbuh pada gunung itu tergantung, dan nyaris tak bergerak, seperti pesawat luar angkasa pada ruang hampa udara.
Zenithya Grakoz menggigit bibirnya sambil agak tengadah, kemudian ternganga dengan mata yang seperti mau terjun bebas. Jari-jarinya yang gemetar, kemudian menggenggam erat tangan Eriyandi Budiman yang juga gemetaran dan berkeringat.
Apakah menurutmu mereka juga akan melayang-layang?
***