Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,023
Lelaki Yang Tersesat Dalam Imajinasi
Misteri

Lelaki Yang Tersesat Dalam Imajinasi

Sentuhan Mozart lewat The Marriage of Figaro Overture, menjelajahi kafe bernuansa klasik itu. Rudi nampak menikmati benar rokok ikon kuda itu, sambil sesekali menghembuskan asapnya menuju langit-langit beratap ijuk. Kami seringkali menikmati suasana seperti ini kalau sedang santai. Atau terkadang membicarakan masalah yang memang penting. Termasuk berbagi kritik apa saja, dan saling menanggapi ide-ide gila.

 “Idenya sederhana. Ini muncul ketika aku sedang bermain-main dengan Si Adam, anakku yang baru dua tahun itu. Waktu itu aku kan main petak umpet. Aku sembunyi di balik pintu. Dari situ aku lihat bagaimana Si Adam kebingungan. Mencari ke sana ke mari. Aku lihat ekspresinya yang lucu. Keheranan. Dan kunikmati tawaku ketika ia mulai menangis, sambil memanggil-manggilku. Nah dari situ, tiba-tiba aku punya pikiran lain. Bagaimana kalau aku terus sembunyi. Menghilang. Bukan sehari atau sebulan, tapi bertahun-tahun. Hebat kan?”

 Aku tersenyum. Untuk hal-hal gila, dia memang jarang ada duanya. Tapi, kupikir sangat sulit mewujudkan gagasan itu dalam bentuk lukisan.

“Nah, aku kan pelukis, bukan sastrawan. Jadi ide ini dapat kau garap dalam cerpen, novel atau skenario. Ini kupikir ide bagus. Seorang lelaki mapan, tiba-tiba ingin merasakan dunia lain. Menikmati bagaimana reaksi keluarganya, ketika ia menghilang.”

“Si tokoh itu tetap bisa melihat?”

 “Itu terserah kamu. Aku hanya memberi ide awal. Lagi pula ideku hanya segitu saja. Kau kan lebih tahu bagaimana mengembangkannya.

 Kuhisap rokokku sambil menyapu pandang ke sekeliling. Beberapa pengunjung nampak asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Senja jatuh. Tak ada hujan. Mozart terus menggerus udara.         

“Hai, ideku bagus kan?”

Aku tak mengiyakan. Tak juga menolaknya. Di kalender gaya Cina pada tembok kafe, tanggal 5 Desember 2003 menunjukkan keakuannya dalam warna hijau pupus.

                                               * * *

 Hari-hari kemudian aku disibukan menulis esai hingga feature untuk beberapa harian di Jakarta. Namun gagasan Rudi sering terlintas. Mungkin aku tertarik. Tapi mengembangkannya memang cukup sulit. Alasan kuat apa yang bisa membuat seorang lelaki, bersembunyi dari keluarganya? Apakah hanya karena ingin menikmati kebingungan keluarganya? Menikmati tangis lucu anak-anaknya? Apakah memang ada kenikmatan melihat seorang istri kebingungan dengan suaminya yang tiba-tiba menghilang? Apakah ada istilah psikologi untuk menjelaskan kasus kelainan psikologis tokoh lelaki itu? Atau memang bukan kelainan? Ah…

  Aku agak gamang untuk menuliskan cerita semacam itu. Pertemuanku dengan Rudi beberapa kali kemudian, kadang membahas ide itu. Tapi lebih banyak tidak. Kami lebih asyik membicarakan gagasan-gagasan dalam wacana kebudayaan yang sedang trend. Atau perdebatan politik. Dan tentu saja, jika dua lelaki atau lebih berkumpul, sering berujung ke soal perempuan. Ya, sudah tradisi.        

Namun, suatu hari, gagasan itu begitu menggodaku. Aku pun mencoba mulai menuliskannya. Cukup sulit memang mengembangkan ide yang datang dari luar. Dan baru kali ini rasanya aku mencoba menggarap ide dari orang lain. Biasanya ide menulisku berjalan sendiri. Dari diri sendiri, meski peristiwanya dialami orang lain.

Namun, otak dan komputerku tak mau kompromi. Berulang-ulang aku membuka file baru, kelanjutannya selalu mentok. Buntu. Jalan tol dalam imajinasiku justru makin bercabang-cabang. Penuh lingkaran tak berujung. Tanganku tak juga berhasil menjinakkan huruf-huruf di tuts komputer. Terkadang, hingga berhari-hari komputerku hanya berdengung dengan layar yang kosong. Istriku hanya bengong saja melihatku seperti pesakitan.

Bi Laimah, pembantu kami hanya menggelengkan kepala kalau banyak makanan yang dihidangkannya untukku jarang disentuh. Mereka mungkin terbiasa melihatku bengong ketika mencari ide penulisan. Tapi melihatku berhari-hari seperti pelamun sejati, membuat mereka terusik.

 “Bapak lagi sakit?”

  Aku menggeleng sekenanya. Bi Laimah nampak maklum.  

“Papah, main kuda-kudaan lagi, yuk!”

“Sama Mamah dahulu, ya sayang! Papah lagi sibuk!”

“Papah jatuh cinta lagi, ya?”

 Istriku bertanya dengan nada merajuk. Mungkin takut membuatku tersinggung. Aku tentu saja kaget. Ia baru mengerti setelah kuterangkan. Entahlah, dia percaya atau tidak. Istriku rupanya juga menelpon Rudi dan istrinya. Makanya, Rudi juga menelpon balik sambil tertawa-tawa. “Nah ideku bagus, kan? Sampai membuatmu jarang ke kafe dan membuat istrimu cemburu!” gelaknya.

Aku memang jadi penasaran, kemudian pergi ke beberapa perpustakaan. Mungkin ada ide lain yang bisa menyambungnya. Beberapa buku psikologi hingga filsafat kubuka kembali. Aku pun mulai sedikit mendapat bensin untuk ideku.

Aku pun mulai melanjutkan kembali keinginanku untuk menulis gagasan dari Rudi itu. Aku tak berpikir apakah akan jadi novel, cerpen, atau apa pun. Aku terus saja menulis. Namun begitulah. Jalan buntu itu menyergapku kembali.

Dan tiba-tiba, aku berpikir lain. Tapi kupikirkan berkali-kali. Aku menimbang baik buruknya. Aku terus berpikir pula bagaimana memecahkan cara tersebut, bila itu kulakukan. Dan cara itu begitu menggodaku. Aku makin berpikir keras, hingga beberapa telpon yang meminta tulisan atau ceramah dan diskusi pun kuabaikan.

Aku harus mengelola gagasan atau keinginanku yang gila itu dengan baik. Beruntung istri dan anakku yang baru bisa berlari, juga tak banyak mengusik keseringanku menyendiri. Bi Laimah apalagi. Ia lebih suka bercanda dengan anakku, atau para pembantu tetangga lainnya.

Gila? Mungkin. Tapi aku sering menghadapi kegilaan dalam hidup ini. Tak Cuma dalam karya-karya fiksi. Dalam kehidupan pun kegilaan lebih banyak lagi. Ada yang punya versi sama, tapi lebih banyak yang berbeda.

Gila? Ini memang sudah gila. Aku hidup dalam zaman yang dikatakan Ronggowarsito zaman edan. Tapi otakku kadang berpikir lain. Ini tidak gila. Biasa-biasa saja. Hidupku cukup mapan. Sebuah mobil tua yang awet dan tidak cerewet ke bengkel, dan rumah bertingkat dua dengan halaman luas dari jerih payahku sejak muda, sudah kumiliki.

Istriku juga termasuk orang terpelajar. Ia malah lebih kaya dari aku. Jadi, jika aku mencoba gagasan itu, kupikir sama sekali bukan keisengan orang terpelajar yang jenuh dengan rutinitas.

Absurd? Ah, hanya tokoh-tokoh dalam fiksiku saja yang kusebut absurd. Atau disebut para pembaca karya-karyaku sebagai si sastrawan absurd.

Hatiku sudah mantap. Ini harus kucoba. Maka kemudian kusiapkan rencanaku dengan matang. Untuk menghindari kecurigaan, aku melakukannya saat istriku tak ada di rumah.

Ia memang biasa pergi ke rumah teman-temannya, atau ke rumah ayah ibunya yang berada di batas kota. Tak begitu jauh. Namun, itu cukup menyediakan ruang dan waktu bagiku untuk memulai persiapan itu. Ia jarang ke rumah orang tuaku. Maklum, jaraknya memakan waktu lima jam dari rumah kami. Jadi, kalau ke sana, harus selalu denganku. 

Aku naik ke para. Memeriksa eternit, dan membuat beberapa lubang kecil pengintaian. Memaku batang-batang kayu atau mengganti plafon dan reng yang sudah lapuk. Juga genting yang pecah atau retak.

Kubuat juga kunci rahasia dan pintu baru yang seolah-olah bukan pintu. Pintu itu kelak menghubungkan ruang para dengan gudang di tingkat dua, yang kadang-kadang juga kugunakan untuk menulis puisi. Menyendiri.

Kupikirkan juga jalan lain untuk ke luar rumah lewat bangunan belakang, bagaimana cara mendapat makanan, hingga mendapatkan uang tanpa diketahui anak istriku, atau tetangga-tetanggaku, yang untungnya agak berjauhan. 

Aku menyusunnya dengan detail, dari cara bagaimana mandi, dimana mendapatkan berita baru, menelpon yang aman, sampai membuat KTP palsu untuk membuat rekening baru di bank lain yang berada di luar kota.

Aku juga membeli laptop berakses internet dari ponsel. Kugunakan kartu prabayar agar tak membuat repot soal tagihan. Tentu kurancang pula bagaimana aku mengambil lsitrik, dan menyimpan laptopku, serta makanan.

Ya, semuanya harus kupikirkan secara matang.  

Tapi kadang aku disergap keraguan. Apakah aku sudah mulai gila? Benarkah ini hal yang absurd? Aku pernah ingin mencoba berkonsultasi dengan spikolog atau sekalian minta advis psikiater, lalu kuutarakan keinginanku. Namun kuurungkan.

Lagi pula, persiapanku sudah kadung jauh dan mendetail. Bekal materi juga menolong. Tiga kumpulan cerpenku, dua novel, dan satu kumpulan puisiku dicetak ulang. Aku juga mendapat fee yang lumayan besar dari skenario film yang kubuat dari salah satu cerpenku, yang kemudian kukembangkan. 

Dua minggu sebelum hari “H”, aku sering mengajak anak istriku ke mana mereka suka. Makan dan bermain di Mall, hingga membeli bebeberapa baju baru dan mainan. Istriku malah tertawa-tawa ketika kuhadiahi selusin BH dan celana dalam berenda. Dan lebih terbahak ketika aku membeli obat-obat kuat. Juga “sarung keajiban untuk burung”.

Aku juga berkunjung ke semua saudaraku serta kerabat istriku. Kepada mertua dan orang tuaku, aku banyak menghadiahi pakaian, juga makanan. Untungnya, mereka tak banyak bertanya-tanya. Namun, pernah juga istriku bertanya-tanya tentang kelakukanku yang seperti tiba-tiba. Aku hanya menjawab,”Mumpung lagi ada waktu dan uang, Mah. Aku kan freelancer, bukan pegawai negeri!”

Mungkin nalurinya berkata lain. Aku tak tahu. Yang paling jelas, aku menghindari bertemu Rudi. Entahlah.

Pada hari yang kutentukan sebagai hari “H”, saat kabut masih turun di sekitar kampungku yang terletak dekat kaki bukit, aku permisi, bilang mau ke kota. Mobilku kubiarkan menganggur dan memang sudah kurencanakan tak perlu dibawa. Istriku pasti memerlukannya.

Aku pun naik bis, disambung angkot, lalu naik bis lagi ke kota lain. Juga lain provinsi. Tentu saja ke kota kecil yang jarang dihuni sastrawan, agar aku tak bertemu dengan satu atau dua kenalanku.

Aku tinggal di hotel yang kusewa selama seminggu. Dan selama itu, ponsel ku tentu tak berbunyi. Nomornya telah kuganti. Pada malam ke delapan, aku pun pulang diam-diam menuju rumahku. Tak ada kesulitan berarti. Dan tubuh malam juga menyelamatkan niatku.

Dari para, dari lubang kecil yang kubuat, kuintip semua sudut ruangan bawah. Dan aku cukup terkejut ketika melihat istriku nampak melamun, dan kadang terkantuk-kantuk dekat pintu masuk dari halaman depan. Aku ragu kembali. Ada rasa kasihan. Juga penyesalan. Namun aku berusaha untuk kuat.

Hari-hari pun berlalu. Berganti minggu. Berganti bulan. Hingga suatu hari kudengar Rudi dan istri serta anaknya berkunjung. Dari lubang para kulihat Rudi nampak pucat. Ia kemudian menceritakan segalanya. Istriku tercenung. Ia menangis. Ada pertengkaran kecil Rudi dan istrinya, tapi tak berlangsung lama. Ah, mereka pasti akan melanjutkannya di rumah mereka.

“Di atas para-para sudah Ibu periksa?” tanya Rudi yang masih pucat.

Istri saya menggeleng. Tanpa diperintah, Rudi segera memeriksa rumah. Ia kemudian nampak mengambil senter dan tangga. Aku hanya tersenyum. Usahanya jelas akan sia-sia. Segalanya telah kupersiapkan dengan matang, Rudi.

Bulan berikutnya ayah ibunya, kedua mertuaku, datang. Menginap beberapa hari. Bulan berikutnya adik kakaknya datang. Menginap juga. Bulan berikutnya lagi, ayah ibuku datang. Menginap lebih lama lagi. Pada saat itu aku paling bimbang. Apalagi mendengar anakku yang terus menangis. Tapi niatku sudah bulat. Polisi yang didatangkan, hanya berjanji dan menghibur.

Hingga berganti tahun, keadaan rumah masih cukup normal. Istriku menambah pembantu baru. Uangnya memang cukup. Sebagai direktur pemasaran sebuah produk kosmetik, ia memang tak terlalu perlu bergantung pada suami. Namun aku sadar, bagaimana pun, aku harus tetap mengirmkan uang.

Internet memang dapat melakukan segalanya. Aku menulis di beberapa koran dan majalah dengan nama samaran tentu. Mulanya agak sulit tapi kemudian berjalan lancar, meski tak selancar jika kugunakan namaku.

Yang paling sulit adalah menyesuaikan gaya tulisan. Maka aku pun beralih menulis karya-karya pop, yang selama ini kuhindari. Lewat internet banking, honor-honornya aku transfer ke rekening ayah ibuku, juga istriku tentu saja. Kepada ayah ibuku, kugunakan nomor pengiriman dari istriku, dan sebaliknya.

Namun itu tak berlangsung lama. Entah bagaimana kemudian mereka menemukan kejanggalan pengiriman uang. Aku mendengar dan melihat mereka bercakap-cakap, ketika ayah ibuku datang. Tadinya mungkin mau menengok cucu. Dan akhirnya berujung kepada ucapan terima kasih pengiriman uang. Mereka baru sadar, bahwa masing-masing dari mereka tak banyak melakukan pengiriman.

“Kalau begitu, Kang Ramlan masih hidup, Bu! Aku yakin, dialah yang mengirimkan uang itu” sedu istriku sambil memeluk ibuku.

“Ya, tapi mengapa dia tak pulang? Untuk apa dia sembunyi begitu lama? Apakah menurutmu dia sudah gila?” Ibuku memeluknya juga. Mereka nampak menangis, sementara ayahku nampak bermain kuda-kudaan. Ah…ingin benar aku memeluk dan mencium anakku.

Tahun berganti terus. Suasana rumah masih tidak terlalu banyak berubah. Aku pun masih terus asyik dengan niat bersembunyi. Aku lalu mulai menuliskan ceritaku. Menuliskan bagaimana semua reaksi yang terjadi. Menuliskan bagaimana koran dan majalah ternyata sibuk memberitakan kehilanganku. Televisi hanya sesekali saja. Dari internet, cyber sastra juga ramai menggunjingkan ketiadaanku. Sebagian menganggap aku sudah gila. Atau sudah mati.

Suatu hari, aku merasakan ada hal yang tidak beres. Istriku lebih sering menelpon, juga menerima telpon malam-malam. Sambil tertawa-tawa lagi. Dan darahku mulai naik ke kepala, ketika ada akhiran “yang” di ujung percakapan itu. Bulan-bulan berikutnya aku mulai paham. Ya, pria itu datang pada suatu malam.

Entah habis dari mana mereka.

Lalu kulihat istriku nampak mesra. Wah…wah, wah, wah…ini harus segera kuakhiri. Aku pun turun dari para, mengendap-ngendap. Dan aku melihat adegan yang kurang mengenakan. Mereka duduk dekat kamar tengah. Pria itu mulai mendekati istriku. Tapi, entah apa, kemudian istriku menamparnya.

Selamat!

Hari, minggu, dan bulan berikutnya, pria keparat itu tak datang lagi. Pria goblok tolol hina dina bin kurang ajar itu tak datang lagi. Istriku pun tak lagi ber’yang-yang” di ujung percakapan. Aku sering melihat ia lebih dekat lagi dengan anakku. Anak kami.

Jika kerinduan hampir meledak, kadang aku nekad mencium anakku yang tertidur di sofa. Untung ia sering tak bangun. Aku tentu saja ingin juga mencium istriku, tapi aku takut. Kalau dia bangun, segalanya akan berakhir.

Ah, sungguh besar pengorbanan untuk sebuah gagasan. Ya, gagasan yang edan. Ya, aku ini sudah gila. Sudah edan.

Suatu malam, mungkin sepuluh tahun perayaan suksesku menghilang, aku pergi ke pasar. Tentu saja dini hari. Tapi di kampung kami yang setengah kota itu, pasar kecamatan sudah dimulai sejak pukul 02.00 dini hari.

Aku memang sering belanja pada dini hari dengan cara menyamar. Lalu kubeli beberapa persediaan makanan. Sebelum pulang, kusempatkan minum di sebuah warung dan makan dengan lahap.

Sampai di tempat persembunyian, perutku terasa perih. Kepalaku berkunang-kunang. Kurasakan seluruh pori-poriku mendingin. Semua yang kulihat terlihat kuning dan bergoyang. Aku kemudian tak ingat apa-apa lagi.  

                                  * * *  

Aku tersentak. Kakiku terasa ditusuk-tusuk. Dan ketika kusentakkan, terdengar cericit yang ramai. Sialan! Tikus-tikus sebesar anak kucing itu tak bisa membedakan makanan dan calon pembunuhnya. Aku pun segera mengangkat tubuh. Menggeliat.

Aku agak tertatih ketika membuka pintu rahasia, lalu masuk ke kamar gudang. Aku memegang perutku. Terasa melilit. Dari jendela, langit masih agak gelap. Hanya sayup-sayup orang mengaji. Di lain speaker, terdengar suara adzan. Mungkin adzan awal.

Dengan mata siaga, aku mulai menuruni tangga. Atau...ah kupikir sebaiknya diakhiri saja. Lilitan di perutku terus bertambah.

Tangga itu menuju sebelah dapur. Sunyi. Dapur tak memperlihatkan asap. Aku mencari minum. Dan segera kubuka lemari makanan. Wuiiihh ada sisa sop dan acar ikan gurami kesukaanku. Aku tak banyak berpikir lagi. Langsung melahapnya. Rani. Zahraniku memang paling tahu kesukaanku.

Saat suapan terakhir, aku mendengar bentakkan.

“Hai, siapa kamu?”

Tangan menuju mulutku terhenti. Aku memutar kepala. Samar-samar kulihat sosok tegap berdiri di gang dapur menuju ruang tengah. Astaghfirullohhal Adzim! Lelaki itu…lelaki itu. Aku sedikit tercenung. Tapi aku malah segera bereaksi.

“Kamu juga siapa?” Aku mencoba menenangkan diri dari keanehan yang kurasakan.

“Kamu ini bagaimana. Saya yang harus bertanya, kamu siapa? Ada apa subuh hari di dapur orang lain? Mau mencuri, hah?” Ia pun nampak marah dan agak keheranan.

Aku tak menjawab. Sisa makanan kutaruh dalam piring. Aku mulai berpikir tentang ketidakberesan ini. Lalu aku mencoba tenang. Selirik mataku, terlihat otot sosok lelaki yang kukenal itu menegang. Ia mengepalkan tangannya. Matanya siaga.

“Duduklah! Kita bicara baik-baik!”

“Kamu jangan mengatur saya! Ini rumahku! Kamu yang duduk, dan jawab, siapa kamu? Aku tak kenal kamu, dan mau apa kamu di sini! Kamu masuk dari mana hah?” Sosok yang paling sangat kukenal itu dengan cepat memeriksa pintu dan jendela dapur. Lalu perlahan menghampiriku.

“Yang jelas aku bukan maling!” kataku. Aku berusaha setenang mungkin, sambil berpikir mengapa semua ini terjadi. Kukucek mataku, dan kucubit tanganku. Reaksinya adalah aku tidak mimpi. Yang mebuatku terkejut, kulitku nampak lebih keriput. “Sabar, dahulu Ramlan!”

Dia mengernyitkan dahinya.

“Tenang. Ini memang keajaiban. Namamu Ramlan, kan?” Aku terus berpikir. Tiba-tiba aku mendapatkan ketenangan. Mungkin juga semacam kebijakan.

Ia menggangguk.

“Kamu lahir di Tasikmalaya, dua Maret sembilan belas enam-enam. Ibumu bernama Nendah. Dan Ayahmu Subardi. Dua orang adikmu meninggal saat mereka masing-masing berusia lima tahun. Kamu sekolah di SD dan SMP Muhammadiyah meskipun kamu seorang warga Nahdhatul Ulama. lalu kamu malah sekolah ke SMEA Negeri Ciamis, lalu ke IKIP Bandung, dan hampir tidak lulus karena kamu malas kuliah. Kamu menghabiskan sarjana tujuh tahun. Lalu…”

“Itu memang biografiku. Kamu atau maaf, Anda pasti sudah membacanya dalam biografi buku-buku saya. Yang penting lagi, saya yang harus menginterogasi Anda. Bukan sebaliknya!” Ia makin mendekat.

Aku tertunduk. Aku juga terus berpikir. Kuambil minum dengan sekali tegukkan. Ia tetap nampak waspada.

“Namaku juga Ramlan, semuanya kemudian sama saja dengan kamu, maaf aku juga panggil Anda saja!”

“Jangan main-main! Atau segera saya bangunkan tetangga?”

“Tenang dahulu. Saya juga sedang berpikir ada apa dengan semua ini. Ini keajaiban. Okey…sekarang tahun berapa?”

“Dua ribu, tepatnya tanggal dua Maret” Ia terasa dan terlihat malas menjawab. Sedikit angkuh. Ah…masa mudaku.

“Kalau begitu kita berulang tahun!Dan Anda baru menikah tiga bulan lalu. Eh, Zahrani masih tidur?”

Ia nampak mulai kebingungan. “Anda juga kenal istri saya?”

“Istriku juga. Ia punya tahi lalat dekat pusarnya. Juga ada bekas operasi di lingkar pinggangnya, bukan?” Aku kian bersemangat meski pun juga masih merasa terkejut.

Ia juga makin terkejut. “Bagaimana mungkin?” Perlahan ia menghampiriku. Lalu diam-diam mengamatiku. Kemudian dia duduk. Kami berhadapan. Segalanya memang tak bisa kuyakini dengan sempurna. Tapi inilah kenyataanya.

Aku melihat masa mudaku terhampar dengan jelas. Baju yang masih bau pengantin yang ia kenakan, aku tahu itu dibeli di Marlioboro dengan Zahrani.

“Ini tidak mungkin!” ia mengucek matanya, juga menampar mukanya.

“Kita tidak sedang bermimpi. Sudah kulakukan juga hal seperti itu tadi, bukan?”

Lama kami bertatapan. Ia tetap saja merasa kebingungan. Ia nampak tak tahan, lalu mengajakku ke dalam. Aku mengikutinya. Dan aku begitu terkejut, ketika dari cermin yng tersimpan dekat ruang tengah, kudapatkan cambang dan jenggotku yang melebat.

Uban juga menghiasinya dengan mantap.

Pantas ia tak mengenaliku.

Aku kemudian terus berpikir. Gila. Ini sungguh gila.

Ia kemudian mempersilahkanku duduk di ruang tengah. Menyalakan lampu. Lalu segalanya tampak begitu jelas. Banyak barang yang hilang. Satu lukisan masih ada. Dua lagi pemberian Rudi hilang. Televisi juga masih televisi lama. Perabotan belum banyak. Aku kembali memutar otakku.

“Saya masih belum yakin!” Ia mengambil minumannya. Meneguknya dengan segera. Ia terlihat ragu. Lalu menatapku masih dengan rasa heran yang dalam.

“Baik. Anda punya banyak buku tentu. Namun yang paling bersejarah adalah buku Nasihat Perkawinan yang Anda beli bersama Zahrani di Kios Ampera, Palasari, yang semula Anda rencanakan sebagai mas kawin. Anda juga membeli In The Name of The Rose-nya Umberto Eco di Gramedia, untuk hadiah ulang tahunnya Zahrani yang ke dua puluh lima. Waktu di rumah mertuamu, saat apel, Anda juga memberinya surprise dengan memberikan celana dalam warna hitam, dengan renda-renda. Ya, kan? Dan setelah menikah, Anda merencanakan menamai anak Anda Muhammad Raihan kalau dia laki-laki, lalu Khanza Marshanda kalau dia perempuan…”

“Gila! Ini mustahil!” 

Aku terus mencoba meyakikannya, dengan menyebutkan beberapa hal pribadi yang tak mungkin ada dalam sebuah biografi. Bahkan untuk diketahui teman, orang tua, juga pasangan hidupnya. Aku juga menyebut beberapa saudara Zahrani di Bali, Lampung, dan Bogor, lengkap dengan alamatnya.

“Baik…baiklah, kalau pun itu benar, lalu mengapa Anda ada di sini? Untuk apa kita dipepertemukan, dan tunggu dulu...!” Ia nampak berpikir keras.

“Jorge Luis Borges” kami hampir bersamaan mengucapkan nama pengarang kelahiran Argentina 24 Agustus 1899 itu. Lalu kami berpandangan hampir tak percaya. Lalu tergelak bersama-sama. Aku menjadi terasa santai.

“Tepat. Anda benar. Pertemuah semacam ini pernah dibuat fiksi oleh Borges. Borges bertemu dengan dirinya ketika muda di sebuah taman, dalam The Other, dari antologi The Book of Sand, terbitan Penguin 1979, halaman…”

“Tiga sampai sepuluh..” Ia menambahkan. “Dan Anda akan mengatakan bahwa buku itu saya beli di pasar loak Cikapundung, bukan?”

Aku tertawa. Lepas. Ya Tuhan, sudah berapa lamu aku tidak tertawa?

Lama kemudian kami menikmati rasa heran dan keajaiban ini. Bagaimana mungkin bahwa kami hidup dalam sebuah fiksi yang pernah kami baca? Aku kemudian tersadar, di mana Zahrani.

“Tadi malam ditelpon ibunya. Ia menginap di sana”

“Di kampung Babakan, nomor 40, rumah bercat bi…”

“Sudahlah…” Ia menggelang lagi sambil tersenyum. “Kita seperti berada dalam film Time Tunel

“Ya,ya! Ah, kalau saja aku yang menulis cerita semacam ini, aku takan melakukan ketololan alur atau plot semacam itu. Seperti disengaja pengarangnya, agar pertemuan semacam ini nampak tidak terlalu rumit. Kalau aku yang menulisnya, Zahrani pasti kuhadirkan. Bukankah itu lebih seru?”

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu tertawa-tawa lagi. Lama kemudian kami terdiam, menikmati sunyi. Langit mulai terang dari kaca samping rumah ruang tengah itu.

“Ya, kembali pada pertanyaan saya. Lalu untuk apa kita dipertemukan seperti ini?” Ia mulai gelisah kembali.

Aku tercenung. Apa yang harus kukatakan? Segalanya seperti berjalan tanpa kurencanakan. Bagaimana mungkin aku bisa terjebak seperti ini? Aku berpikir keras.

“Begini, Ramlan. Ini mungkin masih barangkali. Kita tak tahu bagaimana hidup kita kemudian. Yang jelas, jika pada suatu hari Anda diberi ide oleh Rudi, sahabat Anda yang pelukis, gagasan cerita tentang seorang lelaki yang bersembunyi dari keluarganya sendiri bertahun-tahun, Anda tulis saja ide itu hanya dalam bentuk cerita/ Fiksi saja. Jangan kemudian dilakukan!”

“Kenapa?”

“Itu namanya penyiksaan diri. Anda nanti akan merasa sangat menyesal tak bisa lagi memeluk Zahrani dengan bebas, atau mengelus Raihan, anak anda itu dengan bebas.”

“Jadi saya nanti akan punya anak laki-laki?”

“Ya, Jangan kecewa, karena saya tahu, bukankah Anda sebenarnya ingin punya anak perempuan?”

Lama kami tercenung. Entah menikmati atau malah masygul dengan pertemuan ini. Aku kemudian permisi untuk ke kamar mandi. Ia mau memapahku, tapi aku menolaknya, meski aku berjalan agak tertatih.

Keletihan memang menderaku. Kulihat ia memandangku, kemudian berjalan gelisah sambil memegang keningnya.

Kunikmati satu dua hajatku yang kemudian meluncur menuju kloset. Dan kunikmati sedotan rokokku, sambil memejamkan mataku yang agak berat. Pikiranku berlintasan. Antara percaya dan tidak, mengambang di batas kenisbian yang menderaku. Kantuk menyergapku.

Aku merasakan pikiranku melayang. Terbang melintasi apa pun yang berkecamuk dalam dada, dalam otakku yang lelah.

Aku tersentak ketika merasakan panas di jariku. Api rokok mengenai jari-jariku dan menimbulkan perih. Dan kusadari kemudian kamar mandi ini penuh debu dan jaring-jaring halus laba-laba. Di bak hanya tersisa sedikit air dan nampak kotor. Aku cepat membersihkan diri, lalu bergegas membuka pintu.

Dan aku terkejut ketika mendapat pemandangan lain. Lantai nampak bolong-bolong. Tegelnya sebagian terkuak, penuh debu dan jaring-jaring laba melebat di sana-sini. Aku segera menuju ruang tengah. Aku berteriak memanggil Ramlan. Memanggil masa mudaku.

Namun masa mudaku sepertinya ditelan jam yang tak lagi berdentang.

Semua perabotan nampak berdebu dan tak terurus. Tikus dan kecoak membangun cerita misteri pada tembok retak dan lumutan. Dengan rasa heran yang sangat, aku segera melangkah ke kamar tidur. Pintunya tak terkunci. Dan ketika kubuka, pintu itu nyaris rubuh, dan menderitkan engsel berkarat.

Kamar itu nampak remang, beberapa berkas cahaya menerobos dari atap kamar yang bolong, dan kaca jendela yang pecah. Dan aku tersentak ketika melihat sosok kerangka manusia dalam posisi santai dalam kursi goyang.

Kerangka itu dipenuhi debu dan jaring laba-laba. Aku memburunya. Memandangnya dengan perasaan yang hebat.

Aku meraih tangan kerangka yang masih nampak utuh itu. Pada tangan yang lain ia memegang jarum untuk menyulam. Di jari manisnya, kudapatkan cincin emas yang sangat kukenal.

Ya Tuhan…bukankah ini…bukankah ini?

Aku segera meraih jari-jari itu dan kucium perlahan. Zahraniku…   

Lalu tangisku meledak.

 

                                                                       Bandung, Mei – Juli 2004-2025.

 

 

 

 

 

 

 

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi