Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,415
PENGANTIN BERSAYAP MERAH MUDA
Misteri

Pengantin Bersayap Merah Muda

Eriyandi Budiman

Inspirasi, bisa berkepak dari mana saja. Bahkan dari sarang burung. Warna, rajutan, bentuk visual, hingga dimensi lainnya, bisa mengundang lonjakkan ilham pada pikiranku. Aku menemukannya saat mengambil mangga di pohon warisan kakek yang sudah lama menancapkan tubuh hijau berlumutnya di sana.

Bila harum musim mangga tiba, aku tak sempat menghitung berapa kali aku memanjat. Arumanis di depan rumah ini memang terkenal manis. Namun menemukan sarang burung di pohon mangga itu, lalu jatuh menimpa mahkota legamku yang menjuntai tanpa pita, terbilang langka.

Saat itu aku sedang mencari ide unik untuk pembuatan bridal bouquet pesanan Syanelia, kakak kelasku di Fakultas Ekonomi Unpad. “Tapi harus yang familiar, dan tidak terlalu merepotkan saat kugenggam, ya!” katanya, saat kutemui di rumah makan bermenu Negeri Matahari Terbit di Bandung Trans Supermall.

“Kalau gaun pengantinnya?”

“Telah kupesan sebulan lalu ke Bu Rosalinda. Bahannya brukat putih keperakan, diramu dengan sifon dan bordiran gaya Tasikmalaya…”

“Waktunya masih lama, kan?”

“Ya…dua purnama lagi. Kamu bisa, kan?”

Aku memicingkan mata dan mengacungkan jempol: menyetujuinya. Syanelia mengetahui kemahiranku ini dari beberapa sahabatku, juga dari blog pribadiku. Sehabis kuliah, aku bertekad sekuat akar beringin memilih bekerja sendiri.

Membuat karangan bunga pengantin adalah pekerjaan langka. Orang lebih fokus menjadi disainer gaun pengantin hingga pembuatan kue, atau bahkan menjadi event organizer-nya. Bakat sebagai pengrajin, memang semacam darah yang mengalir dari kakek lalu ke ayahku.

Mereka adalah seniman handal pembuat mural serta asesori interior rumah mewah, hotel, hingga apartemen. Karir itu sendiri, berawal saat aku menghadiri acara pernikahan kenalan ayahku di Menteng,Jakarta. Saat itu, aku tertarik pada karangan bunga yang digengam pengantin perempuan berkereta kencana, bergaya putri Inggris saat pra wedding depan halaman hotel yang luas. Aku merasa ingin membuatnya.

Memang, sejak remaja hingga mahasiswa, aku gemar mencoret-coret, membuat gambar apa saja, terutama bentuk-bentuk ornamentik. Lalu saat libur panjang, aku mencari tempat kursus pembuatan bunga pengantin di Jakarta, yang alamatnya kutemukan dari internet.

Tante Janet, adik ibu, menemaniku mencarinya dan mendorongku untuk menjalaninya kemudian secara profesional. Tiga bulan aku bermukim di rumahnya yang bergaya aristokrat, sambil berbagi ide-ide segar. Tante Janet sendiri adalah pembuat gaun pengantin berkarakter kuat.

Kini kugenggam sarang burung yang jatuh tak sengaja itu. Aku hampir berteriak, saat kutemukan ide untuk membuat karangan bunga semacam sarang burung itu. Berhari-hari kubuat sketsa, dan meramu bahan.

Aku mencari materi flora yang cocok untuk sarangnya, telurnya, juga bahan penguat serta asesori lainnya. Kadang kutinggalkan dahulu, untuk menggarap pesanan lain yang tinggal separuh atau yang masih tinggal memberi asesori tambahan nan cantik. Mengerjakan keranjang untuk pernikahan memang butuh sentuhan seni yang tinggi. Selain tentu saja penguasaan materi tematik dan bahan yang dibutuhkan.

Jika sedang ramai, aku dapat mengerjakan dua atau tiga rangkaian dalam satu bulan. Aku tak pernah mengulang apa yang kubuat, atau pernah kulihat dari perancang lain. Pemesanku umumnya orang-orang yang menginginkan pernikahan eksklusif dan indah. Cita rasa seni mereka sangat tinggi.

Saat-saat tertentu, aku terus bereksperimen. Bagiku, keranjang bunga pengantin bagaikan karya yang separuhnya adalah nafasku. Nyawaku. Di situ hatiku terlibat. Aku harus tenggelam merasakan setiap lonjakan kegembiraan sang pengantin. Aura kebahagiaannya. Lautan harapanya. Luapan cintanya. Gelora hidupnya.

* * *

Engkau berdiri dibalik gordin beludru ungu itu sambil memandang hujan yang menjarum. Lelaki yang beberapa kali menyapa rumahmu itu, telah lenyap membawa kembali Pajero putihnya memasuki gerbang malam. Dingin merangkaki kulit bersihmu, mendirikan bulu-bulu halus di seluruh permukaan pori-porimu.

Engkau kembali menenggelamkan diri di sofa berbentuk lipstik itu, sambil memutar kembali ingatanmu.

Sebagai perancang bunga pengantin, engkau kadang larut, terlalu larut bahkan, hingga sering melupakan dirimu sendiri, bahwa suatu ketika, kau harus menuju altar: Mengenakan gaun pengantin, menggenggam keranjang bunga, lalu tersenyum kepada calon nakhoda yang akan membawamu ke pulau-pulau penuh keindahan.

Sering, kau sendiri terkejut, mengenang semua perjalanan cintamu yang selalu seperti kapal pesiar menubruk karang. Kau memang pemilih, sekaligus harus terbanting saat pilihanmu sendiri, memilih takdirnya. Cintanya yang lain.

Kau sering diputar kebimbangan. Kau sering meradang dalam puncak sepi. Kau tak biasa menebar cinta palsu, pesona gadungan, perasaan-perasaan yang tak penuh. Hati yang retak.

 “Sebentar lagi, usiamu masuk tiga puluh lima, sayang…Apalagi yang kau tunggu?” nasihat ibumu, saat kau utarakan kegelisahanmu, ketika Alfons mulai memasuki hari-harimu.

Kau memang tidak terlalu menyukainya. Kau tahu lelaki itu gemar berjudi, berkelahi, dan sering menyambangi diskotik, sebagaimana Prasetyo, putra uwakmu yang mengenalkannya padamu.

“Mungkin kalau sudah menjadi separuh sayapmu, ia akan berubah. Yang penting, dia bukan tipe Sang Joker…,” belai ibumu, yang tentu sudah rindu menimang cucu. Lapar melengkungkan janur depan pohon mangga itu.

Kini, sambil menata daun Asparagus Ekor Tupai yang kau ikatkan ke rangka kawat berbentuk mangkuk, kau mencoba menata hatimu. Ya, akan kucoba menerimanya nanti, pikirmu, saat kawat tersebut kau buat melingkari gagang busa bunga tangan pengantin.

Hujan masih sederas ingatanmu untuk menyegerakan karya berbentuk sarang burung itu. Saat Syanelia menyambangi rumahmu, ia menyukainya. “Lucu, sekaligus elegan!” puji Syanelia.

Begitu pula pasangannya, saat melihat pula bentuk sarang burung unik untuk jas pengantin prianya. “Wow, bunga krisan bulatnya dan bunga balonnya seperti telur juga, ya?” puji sang fotografer itu. Ia memotretnya hampir dari semua sudut bumi.

Kau tak hanya berbunga-bunga, namun menjadi ladang bunga yang disukai keindahan dan keharumannya.

Selanjutnya, kau begitu bersemangat mengisi hari-harimu dengan banyak bereskperimen untuk keranjang bunga pengantinmu. Kau juga mulai mendapatkan sedikit keindahan saat jalan-jalan, atau makan dalam tatapan bulan bersama Alfons.

Kadang kau merasa perlu untuk iseng-iseng menelpon ke kantornya, sebuah bangunan baru untuk pemasaran apartemen mewah di Bandung Utara. Kau juga mulai bahagia, saat Prasetyo, yang sudah punya satu anak mungil berambut ikal dan masih cadel itu, berkata sambil tertawa,“Kau penyihir hebat.

Alfons tak lagi suka mabuk dan mengundi nasibnya lewat kartu dan dadu. Tapi hati-hati, ia punya banyak musuh, yang suatu ketika bisa saja mengirimnya ke tangga akhirat!”

Syukurlah, pikirmu. Tanpa perubahan menuju baik, hidup adalah neraka berjalan. Soal musuh, bisa surut jika ada pertobatan. Kau pun mulai menata jalan hidup untuk menjadi satu dengan jantung hatimu. Kau kian dapat meraba jalan baru yang akan kau tempuh.

Kau juga makin rajin membuat beragam rangkaian karangan bunga pengantin, yang lalu kau simpan pada etalase butik barumu, hadiah dari papahmu. Karirmu bahkan seperti menuju langit ke-7. Idemu meluas. Berbagai karangan bunga pengantin itu kau buat bukunya, saat sebuah penerbit besar menemuimu.

Karya-karyamu tak hanya menghuni gudang ingatan. Namun juga menyambangi toko-toko buku hingga perpustakaan, terpahat di jantung-jantung yang memujamu. Blog pribadimu kini dikunjungi ribuan pengunjung. Kau diminta memberi pelatihan di mana-mana.

Calon pasangan-pasangan pengantin baru dari berbagai kota di bebagai provinsi, banyak memesan karya-karyamu. Kau pun menjadi lebih sibuk, Lebih sering menunda hasratmu sendiri untuk melepas masa Barbie merah mudamu.

                                               ***

Merencanakan rangkaian bunga tangan pengantin perlu teknik-teknik khusus.

Sebelum disain dibuat, menangkap keinginan calon pengantin, keserasian dengan gaun pengantin yang akan dikenakan, gaya yang diinginkan, model flora yang akan dipakai, komposisi warna dan bahan, lama upacara pernilkahan, serta bagaimana memegang bunga pengantin itu saat upacara berjalan, merupakan sederat hal yang harus dipahami sang disainer. Termasuk kemiripan bunga pengantin yang akan disematkan pada jas calon mempelai prianya.

Bagi Freeska, pemahaman seperti itu tentu sudah di luar kepala. Bahkan jika rancangannya harus ia serasikan dengan jenis upacara adatnya. Rancangan bunga pengantinnya, sangat memukau.

Dia menguasai bentuk-bentuk disain tradisional, modern, kontemporer, serta karya-karya inovasi model Asia atau oriental, hingga yang senada dengan berbagai musim. Ia sering bereksperimen melahirkan karya-karya hibrida yang terkesan fantastik.

Di butiknya, yang terletak di daerah Buahbatu, dia juga mempunyai sepetak kebun mini beragam flora siap guna. Kebun itu bersebelahan dengan studio kecil yang akan terhubung ke lantai dua, tempat beragam stok rancangan disimpan, terutama yang menggunakan sebagian materi flora yang dikeringkan.

Karangan bunga itu, sebagian ia buat dalam standar industri rumahan, untuk melayani klien biasa.

 “Lalu, kapan kau sendiri akan membuat karangan bunga pengantin itu untuk kita?” tanya Alfons suatu waktu. Juga di beberapa putaran jarum jam lainnya. Namun jawaban Freeska tak seindah karangan bunga pengantin yang dilihat dan dirasakan Alfons. “Aku akan membuat yang istimewa sekali. Namun sekarang bukan saatnya!”

Suatu ketika, seorang perempuan terekam di telepon genggamnya. “Saya ingin karangan bunga pengantin berbentuk sarang burung. Saya tahu anda pernah membuatnya. Yang penting ini harus berbeda. Saya ingin anda menggunakan bulu burung merak. Detail pesanannya, sudah saya kirim ke surel anda...,” demikian bunyi pesan suara yang rasanya ia kenal itu.

Freeska kemudian melupakan hasrat untuk mengingat nada suara itu. Ia membongkar ingatannya pada bentuk sarang burung yang pernah ia buat. Ia buka surat elektronik yang dikirim sang pemesan untuk mengetahui detailnya.

Dia agak bimbang. Pesanan itu seperti sesuatu yang pernah ia angankan. Sesuatu yang ingin ia buat jika suatu ketika ia menggandeng tangan Alfons di antara tebaran bunga-bunga. Dia berkonsentrasi merancang pesanan yang menginginkan bulu merak itu.

Ini agak tidak biasa, karena harus mencampur bahan flora dengan fauna. Sesuatu yang janggal. Mungkin juga agak kontroversial, kalau tidak mau menyebutnya sebagai sangat fantastik.

Namun dia memang sudah terbiasa untuk melakukan hibriditas tak cuma menjadi soal gaya, namun juga pancaran citra eksklusif dirinya sebagai disainer. Saat segalanya siap, ia mengontak sang pemesan. Sangat susah bicara langsung. Dia pun mengirim pesan suara untuk bertemu.

Bangunan di pebukitan Dago Atas yang dijanjikan itu pernah ia dengar. Biasanya memang dipakai untuk pesta kalangan atas. Pemesannya itu pasti orang luar biasa. Saat dia menuju tempat yang dijanjikan, pesta nampaknya sedang berlangsung sangat meriah. Yang membuatnya terperangah, semua pesertanya mengenakan topeng.

Yang ditunggu kemudian datang sambil tersenyum lebar. Ia seperti mengenal sosoknya. Gayanya berjalan. Gerak-geriknya selalu seperti ia kenal. Namun Fresska kemudian mengenyahkan pikiran anehnya itu. Ia lalu tertuju untuk mengenalkan beragam kemungkinan rancangannya itu.

Perempuan bertopeng riasan burung merak itu tak banyak bicara, lalu menyetujui salah satu rancangannya. “Dalam pernikahan nanti, saya juga akan mengenakan topeng bulu merak ini!” tutur perempuan itu.

Saat pesanan itu diserahkan dalam pra wedding, biasanya ia tak pernah melihat sesi pemotretan sebelum acara pernikahan itu. Namun, kali ini ia penasaran.

Tubuh perempuan itu memang sintal. Tingginya hampir setara dengan Freeska. Gaun pengantinnya juga sangat bagus. Elegan. Bahan dan rancangannya sangat berkelas. Sesuatu yang sama ia idamkan. Namun Freeska sangat terkejut saat melihat pasangan calon pengantin prianya adalah sosok yang sangat ia kenal. Terlalu ia kenal.

Dari ruang agak gelap, jantungnya nyaris copot melihat Alfons menggandeng perempuan bertopeng bulu merak dan memegang tas bunga pengantin bentuk sarang burung itu. Yang membuat darahnya membeku, ialah saat perempuan itu membuka topengnya. Wajahnya terlalu ia kenal pula. Wajah dirinya sendiri.

Lampu blitz sang fotografer yang kadang bagai cahaya kilat, kemudian malah menggelapkan pikirannya. Namun sebelum kesadarannya hilang, ia mendengar suara tembakan. Alfons tersungkur dalam kubangan merah pada lantai keramik. Lalu suara tembakan susulan. Ia menjeritkan langit hitam yang tiba-tiba menyergapnya.

Freeska terjaga.

Ia menemukan dirinya terbaring di semacam ruangan penuh kaca. Pantulan yang ghaib dan misterius. Semacam lorong yang memantulkan puluhan bentuk tubuhnya. Ia merasakan suatu kejanggalan. Ia meraba punggungnya. Sepasang sayap merah muda telah tumbuh di situ.


Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

    


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi