Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,831
MUTASI DARI KAMAR BEDAH
Misteri

       Mutasi dari Kamar Bedah

           Oleh Eriyandi Budiman

 

Engkau menolak bahwa ini cerita tentang Kau dan hantu. Namun cerita ini begitu menghantuimu. Lalu Kau mulai bercerita tentang orang-orang di rumah sakit itu. Rumah yang sering dijadikan ide-ide cerita hantu.

Engkau kemudian menjadi tokoh cerita ini, yang dimulai dari sebuah paragraf. Setelah Kau selesai membaca salah satu cerita pendek dalam sebuah buku pinjaman, Kau sematkan pembatas buku itu pada halaman judul cerpen baru.  

Setelah Kau tutup, Dream Life karya Alice Munro itu kini tergeletak pada selimut bayi yang dua bulan lalu Kau beli dari pedagang pasar Kojengkang, sebuah selebrasi ekonomi mingguan kaum marjinal yang merayakan perdagangannya di depan jalan rumah sakit.

Memang itu sejarah baru. Paska krisis moneter, pasar mingguan tumbuh di berbagai pelosok kota kecil seperti maraknya akun grup fikmin, cerpen pendek di Fesbuk. Juga Haiku. Pasar dadakan itu lalu menjadi kuburan, saat Corona menghantam. Mengubur impian dapur mereka.  

Begitulah.

Kota-kota, ribuan pedesaan, marak juga dengan produksi bayi. Paska reformasi yang dihujani krisis keuangan, membuat segalanya tumpah. Tak ada kendali. Tak ada lagi nasihat. Para istri, terutama yang muda-muda, tak lagi mengikuti anjuran memasang spiral atau menelan pil KB. Dan para suami, lebih memilih sebungkus rokok daripada belanja kondom.

Seperti yang Engkau lakukan. Memang angka perceraian juga menggunung. Tapi lebih banyak yang bertahan. Dan sebagian besar karena rasa prustasi. Juga hawa dingin. Hanya kehangatan yang dapat mencairkan harapan, sebelum semuanya beku di Kutub Utara.

Ini terulang saat anjuran ‘Di Rumahaja’. Ada ketegangan: bekerja di kantor untuk kemungkinan menjadi pasien, atau menjadi manusia kamar sambil nyaris lumpuh tanpa amunisi.

Kau tidak kehilangan pekerjaan, sebenarnya. Tapi, naskahmu banyak yang harus tertunda di folder-folder redaktur media lokal yang kini dirumahkan. Puluhan koran dan majalah, menutup ruang budaya, entah kenapa.

Bahkan sebuah majalah sastra ternama, menghentikan penerbitannya. Lalu Kau menumpahkan kegelisahanmu dengan terus membaca.

Memang, buku-buku koleksi mengantuk dalam daftar tunggu. Itu bagus. Ini saatnya mengisi bensin literasi untuk otakmu. Tukang bercerita, harus banyak tahu juga bagaimana orang lain bercerita. Sebagaimana ada yang sedang atau akan membaca ceritamu. Cerita pendek tentang Kau.

Tapi Engau tak mungkin membayar biaya persalinan dengan bercerita, meskipun hanya sebuah cerita pendek yang pendek untuk dibisikkan kepada dokter, bidan, atau pun perawat.

Tak ada cerpen yang dapat dibarter dengan obat bius, slang infus, jarum suntik, vitamin, belaian perawat, juga selimut bayi. Kini Kau hanya menatap paras istrimu yang pucat, sedikit terhalang slang oksigen.

Masih pembukaan satu, kata dokter.

Tapi istrimu merasakan mulas tingkat dewa. Kini dia terbang bersama pikiran kosongnya. Janinnya tak menendang-nendang lagi. Terlalu dini untuk memperkirakan apakah masa depannya akan menjadi seorang striker, seperti harapanmu.

“Tak ada jalan lain. Istri Anda harus di Cesar! Janinnya lemah, dan posisinya sungsang!” iba sang Bidan Desa di kampungmu, yang diam-diam Kau cita-citakan menjadi pacar gelapmu. Mak Paraji yang Kau undang juga angkat tangan. Apalagi dia belum sempat mengikuti sertifikasi dukun beranak, dan terancam kurungan penjara, karena dapat dianggap mal-praktek.

Kau tak lantas berpikir bagaimana menguji keabsahan do’a-do’a atau rajah tertentu para dukun beranak. Dalam dunia kedokteran, tak ada praktek mengibas-ngibaskan lidi di kamar sang calon ibu dan janinnya, menghafal aneka rajah atau jangjawokan pengusir hantu, dan menggunakan tangan kosong tanpa sarung tangan seperti para pendekar silat, saat menjemput sang jabang bayi.

Ini tengah malam yang membawa bongkahan es ke dalam ruang bersalin dekat kamar bedah. Teringat tajamnya pisau, Kau pun gelisah. Mirip ikan Cupang Mahacai atau pun Blue Rim dalam soliter seusai dikawinkan.

Kau sedikit tersenyum, mengelus kartu JKN, dan kwitansi iuran bulanan BPJS, seperti prajurit di medan tempur yang mengelus saputangan jingga dari sang pujaan.

“Penyakit bawaan Mamah yang menahun ini kan ikut kambuh. Biayanya pasti lebih tinggi...” bisik Kau pada istrimu, saat berkemas sebelum ke rumah sakit. Senyum terlembutnya adalah tempat bahagia dan kecemasan berarus putar di parasnya yang lebih licin. Kecantikan alami lain yang dihadiahkan bagi seorang calon ibu,

“Iuran BPJS kita kan lancar. Simpan saja kecemasan Papah di ruang tunggu yang lain”

###

Dahulu, Dia berharap bertemu seorang gadis yang tengah duduk di atas gerbong kereta api yang melaju. Gadis itu akan hampir jatuh, dan Dia telah sangat siaga untuk merengkuhnya. Tentu jangan ada bulan, karena kejadiannya harus siang hari atau cukup menjelang senja.

Dia juga pernah berharap menemukan calon istrinya di ketinggian Menara Eifel, agar indah untuk dijadikan cerita, atau saat diceritakan kepada anak cucunya, atau pun menjadi inspirasi para pembuat cerita. Menyematkan sekuntum mawar merah muda pada pujaanya di Garden By The Bay, juga pernah dijadikan cita-citanya, yang Dia tulis pada buku hariannya, termasuk pada kartu pos bergambar mulut singa menyemburkan air.

Selepas menyimpan rapi baju wisuda sarjananya, Dia memang pekerja serabutan yang selalu penuh atau banyak harapan. Termasuk berharap bahwa akan ada yang menceritakan harapan-harapannya itu.

Sebentar. Ada yang terlewat.

Saat menyusun skripsi, Dia bertemu dengan seorang penata make up di sebuah rumah produksi sinetron, dan berharap gadis yang selalu terlihat cantik dan modis itu mau mendampinginya untuk membetulkan topi hitam wisudanya.

Sayang, gadis yang selalu bertopi lebar seperti ningrat kerajaan Inggris itu pergi tanpa meninggalkan sebutir bedak pun, saat produksi sinetronnya berakhir. Dari peristiwa yang sangat indah untuk dijadikan cerita seperti dalam film India itu, Dia makin yakin, bahwa Tuhan telah memberikannya harapan baru.

Harapan adalah pengusir gagak hitam di perut orang-orang miskin.

 “Mungkin, hal itulah yang membuat puisi-puisi Dia, juga cerpen-cerpen Dia, terasa optimistik, meskipun getir!” sambut Ketua Panita Anugrah Sastra Romansa Khatulistiwa, yang lalu memberikan hadiah simbolis uang ratusan juta untuk buku-buku sastranya.

Dia berharap dapat membeli sebuah kereta api. Membeli sekian perjalanan dan persinggahan di kota-kota tua, untuk ia jadikan cerita yang lebih panjang daripada rel kereta api mana pun. Lalu Dia urungkan, dan hanya Dia tulis dalam sebuah cerita pendek yang sangat pendek, dan ditulis pada hari pertama di sebuah gerbong kereta api tua yang Dia beli cukup mahal.

Gerbong itu kemudian dijadikan cafe, tempat para sastrawan sahabatnya dari berbagai kota menyalakan berbatang-batang rokok, menyisakan dedak begelas-gelas kopi dari berbagai provinsi, memuja perempuan tipe apa pun, dan menemukan judul-judul aneh untuk puisi, cerpen, drama, hingga novel mereka.

Diskusi adalah nyawa kreativitas. Maka, ratusan buku budaya, dibedah di cafe itu. Lumayan, hasilnya juga dapat menyambung hidup.

“Untung laba bulan lalu masih tersisa banyak, Kang. Iuran bulanan JKN kita juga lancar, sehingga memudahkan urusan ke rumah sakit. Yang sisa laba ini cukup untuk membayar sebagian biaya bedah Cesar!” senyum adiknya, yang Dia jadikan manajer cafe dalam gerbong kereta api dekat kampungnya itu.

Sebuah kampung yang berseberangan dengan stasiun tua penuh rel yang tak lagi dilalui kereta api mana pun. Sebuah kampung yang mempertemukannya dengan gadis yang jadi guru TK, dan sering membawa murid-muridnya melintasi rel-rel kereta api, sambil bercerita tentang bahagianya melintasi kota-kota yang hanya dikenalnya dalam peta.

Gadis itu menerima lamaran Dia yang selalu menceritakan keajaiban-keajaiban yang masuk akal pada semua peron yang pernah ia singgahi.

Tapi Dia tak menemukan keajaiban apa pun, yang dapat membuat istrinya terhindar dari keharusan bedah Cesar. Ia hanya menemukan keajaiban dalam sedikit ketenangannya menghadapi perjalanan mengantar istrinya mamasuki lorong-lorong sepi menuju tempat obat bius dan pisau bedah. Pun keringanan ajaib lain dari rumah sakit berkat kartu BPJS, untuk mencicil kekurangan biayanya jika ada biaya lain yang di luar tanggungan.

Di ruang tunggu tempat sunyi bertengger pada detakan jarum jam dinding bulat di atas meja perawat bermasker, ber-face shield, dan bersarung tangan karet yang terkantuk-kantuk, Dia meraih kembali buku Dream Life karya Alice Munro. Menikmati lagi cerpen baru. Menanti keringat dinginnya menguap. Melupakan banyak harapan yang terbakar saat Pembatasan Sosial ini. Melupakan pandangan curiga para tetangganya saat mobil khusus Covid 19 menjemput mereka. Saat komplikasi jantungnya meraja lagi.

                                               ###

Aku merasakan kantuk memberat ketika udara bergabung bersama sepi pada detak jarum jam dinding bulat di atas meja perawat yang terus menguap.

Kututup buku kumpulan cerpen Dream Life karya Alice Munro itu yang kini menghuni tas kecil tempat telpon pintar dan dompet terkulai bersama semua kenanganku di dalamnya.

Kuluruskan kakiku yang tanpa sepatu, sambil merebahkan punggung pada kursi kayu panjang menghadap sang perawat bermasker, bersarung tangan dan berkacamata seperti perenang yang meletakan kepala dan mimpinya di atas meja. Kupejamkan mataku yang letih. Gelap yang samar meraja bersama gelombang datar kesunyian.

Pening. Dua lapis masker bergambar mulut Joker yang kukenakan juga membuat pengap.

Ada tusukan-tusukan di dada. Kantuk yang meremas kornea.

Lalu, entah pada detik keberapa kurasakan rasa ringan yang asing. Ada getaran aneh. Aku sedikit panik. Perlahan-lahan Aku mengapung, melayang perlahan, terbang pelan, melingkar, namun tak kulihat bayanganku pada lantai keramik putih mengkilat tempat kedua ujung kakiku bertumpu.

Aku terkejut, mencoba meraih apa pun. Aku gelagapan. Kulihat tubuh letihku yang tergelatak pada kursi kayu ruang tunggu itu. Tunggu, Aku tidak sedang bercerita padamu bahwa Aku menjelma hantu. Aku tidak tahu apa-apa tentang dunia roh dan mahluk-mahluk halus.

Aku hanya dapat bercerita bahwa tubuhku yang melayang dapat melihat tubuh lainku yang berhazmut tergeletak di bangku tempat aku mencuri-curi pandang pada perawat berkulit putih berambut panjang dan cantik yang kini pulas di meja kerjanya.

Seperti dibawa angin, aku melayang menuju lorong-lorong yang tadi kujejaki saat ikut mendorong blankar mengantar istriku yang harus diberi torehan horizontal pada perutnya.

Aku pun dapat menembus pintu kamar bedah tanpa harus mendorongnya, dan tak mengagetkan dua orang suster yang tengah mengganti kain sarung istriku dengan selembar kain putih pada blankar di atas sorotan lampu yang menyilaukan.

Seperti Superman, mataku dapat menembus janin dalam perut isriku, dan...tibata-tiba, seperti tanpa aba-aba, sebuah tarikan kuat membuat tubuhku melilit, mengecil, menyerupai kabut. Mungkin juga cahaya.

Aku tersedot, masuk ke dalam perut yang licin membuncit itu. Aku sulit menceritakan apa yang terjadi, karena tiba-tiba semuanya terasa gelap namun tubuhku terasa hangat.  

Seperti dimasukkan ke dalam roll coaster, Aku jumpalitan, berputar-putar, merasakan air yang anyir dan licin.  

Aku berteriak sekuatnya. Menendang-nendang sekuatnya. Menangis sekeras-kerasnya. Lalu sebuah dorongan yang sangat kuat, membuaku meluncur deras. Deras sekali.  

“Dokter...dokter...tolooongggg!!!” suara-suara ribut menajam di telingaku yang terasa basah. Aku terus berteriak namun tak kudengar suaraku, dan justru kian merasakan dingin yang menusuk dan penglihatan yang gelap.  

“Bayinya tiba-tiba ke luar, Dokter!”  

Duh, bagaimana mungkin dapat kuceritakan bahwa kemudian samar-samar Aku melihat beberapa sosok bayangan bermasker, bercadar kaca bening dan mengenakan hazmut mendekatiku. Seseorang mengangkat kakiku, menepuk pantat basahku, membuatku menangis kuat merasakan sakit yang tiba-tiba.  

Tak perlu menunggu lima puluh tahun peristiwa yang sangat rahasia tersebut baru dapat kuceritakan kepada Anda. Seharusnya mungkin dalam bentuk novel, tetapi di kotaku para penerbit lebih menyukai menerbitkan novel-novel terjemahan yang sudah bestseller, atau buku-buku cerita yang sudah mendapatkan hadiah Nobel.  

Kini Aku merasa lega setelah menceritakan sebagian cerita yang dapat kuingat itu kepada Anda, melepaskan beban berat yang selama ini menghantuiku.  

Tetapi, sungguh, ini bukan cerita pendek tentang hantu. Aku hanya mendongengkannya dari alam lain, melalui kepala dan tangan yang lain.  

 Ciwidey - Soreang, Bandung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi