Masukan nama pengguna
Sayapku masih merah. Masih seperti nyala cinta. Seperti kasih yang membentang hingga batas impian itu. Maka, aku begitu berat, jika harus mematahkan sayap-sayap Clara Bianca: wanita karir yang sedang lara. Ya, aku harus menjemputnya saat ini.
Ia memang tak tahu. Sejak ia lahir, aku telah mempunyai catatan kapan ia kusapa nafas terakhirnya...Dalam catatan takdir, ia harus kujemput sehabis mata sayunya menikmati Toute la beaute du monde, sebuah film karya sutradara Marc Esposito berdurasi 103 menit.
Clara tertarik pada film itu yang mirip kisah dirinya, ketika ia membaca sinopsisnya dalam sebuah katalog film-film Prancis. Film yang dibintangi Marc Lavoine, Zo Flix, dan Jean-Piarre Darrousin itu, bercerita tentang sepasang manusia: Franck dan Tina.
Franck mencintai Tina, tetapi Tina tidak dapat mencintainya, karena pria yang dicintainya baru saja meninggal dunia dan ia depresi. Dalam perjalanan di Asia, khususnya Bali dan Lombok, Tina mencoba untuk hidup kembali. Dengan sikap lembut, Franck menempatkan dirinya sebagai pemandu, sebagai teman seperjalanan, kemudian sebagai seorang teman…
Titik-titik itulah yang menurutku paling menabuh genderang jiwa Bianca, untuk mengetahui, kemana tangan penulis skenario melabuhkan sayap cinta mereka.
Ya, dalam skenario takdir, Clara Bianca semestinya kujemput setelah meeting dengan beberapa disainer dekat kaki-kaki jenjang Eiffel. Saat guguran salju membentuk senyum murung sungai Seine. Namun saat ini, seminggu sebelum seharusnya nafas lembutnya terbang, sebutir peluru, sebilah belati, atau pun mungkin setebasan pedang, tengah mengincarnya.
Kenapa harus ada tangan lain yang bisa merampasnya dariku?
Dua penjaga Clara kemana pun ia pergi, masing-masing tengah menghitung neraca hidup Clara. Sahabatku, Si Sayap Biru dan Si Sayap Orange, hanya pasrah ketika tahu bahwa ada kemungkinan percepatan tutup buku itu. Tapi mereka tahu, bahwa itu bukan karena percepatan dari jadwal yang ada padaku.
* * *
Aku tahu. Aku paham. Aku mengerti, bahwa ini mungkin kesalahan terbesar dalam karirku. Tapi aku merasa akan lebih bersalah lagi, bila membiarkan sahabat terdekatku, akan tercerabut maut jika tak sempat kutolong.
Aku telah kehilangan sebelah jantungku ketika Kang Indra meninggal. Ia tak berterus terang tak mampu cuci darah. Lelaki yatim piatu itu terlalu sibuk mengurus anak jalanan. Terlalu mengaduk emosi dan tubuh dengan LSM-nya yang tak punya jaminan untuk dokter. Tanpa donatur semacam Ford atau Asia Foundation. Ah, ia lupa melayani rontaan tubuhnya sendiri. Atau melupakan?
Aku telah kehilangan sorga yang kubayangkan. Sebagian jantungku terbakar. Dan sejak itu, di kantor aku hanya menjadi sekretaris yang kurang produktif. Kebodohan melamarku dalam setiap pekerjaan. Kesalahan menjadi klienku. Sesuatu yang dahulunya hampir tak pernah terjadi.
“Kau bisa minta cuti tanpa tanggungan perusahaan dahulu, Clara!” Begitulah Jasmine yang telah menjadi sebagian sayapku sejak taman kanak-kanak. Ia tahu warna kesukaanku.
Ia tahu iklan pembalut wanita mana yang paling efektif mempromosikan produknya. Ia lebih tahu daripadaku cara memilih lipstik sampai perhiasan unik yang murah tapi elegan. Ia tahu memilih lelaki yang tidak munafik dari caranya membetulkan dasi, juga dari tatapan matanya.
“Indra itu lelaki yang dapat membawamu ke sorga, meskipun tidak melewati jalan tol”candanya. “Dan bukan Zaky. Direkturku yang hanya menyediakan taman indah, namun penuh bara bagimu!” candanya lagi.
Aku menuruti sayap kata dan telunjuknya. Ia selalu benar. Lebih sering tepat melihat sesuatu daripada aku. Sejak kecil kami selalu berbagi makanan, mainan, juga kesempatan-kesempatan indah. Kemesraan yang putih.
Kami bersekolah di sekolah yang sama hingga SMA. Dan kami tetap saling menjahit kasih hingga saat menjadi wanita dengan pekerjaan dan posisi yang membuat silau pria. Juga wanita sebaya. Ya, kuturuti nasihatnya untuk cuti di luar tanggungan perusahaan.
Tapi hampir segalanya tak pernah sama lagi tanpa Kang Indra. Ke tempat-tempat ke mana kami menatah ingatan dan singgah tentu kuhindari. Maka kucoba ke Pattaya hingga menikmati panggung Broadway.
Bosan di luar, kukunjungi kebun strawberry paman di dataran tinggi Ciwidey, Bandung. Memang lumayan. Minimal aku tak terlihat bodoh, atau terjebak membuat direktur dan para manajerku kesal.
Dan, ada rasa bersalah, ketika muncul sesuatu yang di luar dugaan. Seorang pangeran lain muncul dari puing-puing yang tak berasap. Mencoba mengulurkan sejenis panah lain, dari busur masa depan yang ditawarkannya.
“Cobalah bersikap yang terbaik. Tak membuat dia tersinggung atau patah arang!” Jasmine selalu muncul dengan chat WA, video call, atau nada dering telponnya yang nyaris tak pernah putus. “Ia pun sama seperti kau, ditinggal sebagian jantungnya, Nissabella yang cantik itu bukan? Cobalah pahami telenovela sehari-hari yang sulit kita duga itu!” candanya terus. Tulus dan tepat.
“Maaf, Clara! Jangan tersinggung,ya! Sorga yang nyaris sebenarnya itu kan ada di telapak kaki ibu. Ibumu. Maaf, mungkin bukan pada seseorang yang dahulu kau bayangkan sebagai sorga itu. Apalagi…maaf…pada…seseorang lain yang mungkin…masih selalu berharap ini!”
Begitulah pangeran baru itu selalu cemas untuk mengatakan apa pun yang berhubungan dengan perasaanku.
Tapi dari dialah aku mencoba merajut hidup kembali. Menata apa yang masih mungkin. Ia telah menemukan kebangkitan hidupnya. Dan aku belajar dari dia, bagaimana ‘hidup setelah setengah kematian’.
Tapi hidup mungkin untuk menerima banyak serangkaian tragedi. Jasmine justru kehilangan pekerjaan karena penyakitnya, yang juga baru kuketahui. Di saat aku bangkit, sebagian jantungku yang lain terkapar. Itukah sebabnya ia menjadi workacholik dan shopacholik, hingga tak pernah mau menjalin hubungan dengan lelaki?
“Penciuman lelaki biasanya ada di mata. Dan matanya sering disimpan di dengkul!” Jasmine selalu punya alibi berkomidi putar. “Aku mungkin Melati sebagaimana ke-Jasmine-anku. Tapi lelaki tak tahu bahwa akarku bunga bangkai!” Ah, ia keterlaluan dengan itu. Termasuk agak keterlaluan menyamakan semua lelaki dengan ayahnya, yang menikah lagi. Menyalib ibu dan dirinya di tiang berduri tanpa akhir.
Ah, Jasmine, aku akan melakukan apa pun untuk menolongmu. Aku tak peduli dengan seribu pesan yang mengancam untuk membunuhku. Lagi pula, sebulan setelah pemotretan yang terpaksa kulakukan itu, dokter juga memvonis usiaku di ujung tanduk keropos.
Ya, di otakku dokter menemukan teroris yang sangat ganas. Aku merasa tak terlalu bersalah. Aku tak berlindung dibalik kesan seni atau nilai estetik. Meski ini memang kesalahan terbesar yang pertama dalam hidupku.
Meski aku membuat seorang pangeran baru tertampar. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang kuanggap terbaik. Sebelum aku menggantung nafasku.
* * *
19.05. 2025. 21.30
081355774848
Sory ku gnt no baru trs. Banyak
Ancaman. Kpn jd ke Paris tu?
Aku ingin nonton film yang
kau jg bilang bagus tu. Ok. Clara
Ah, Clara. Aku juga bilang apa? Berteman pun malas kalau sudah begini. Kamu menolong sahabat dengan cara mencelakai diri sendiri. Itu konyol. Aku kan bilang tunggu dahulu. Aku bisa pinjam sama papaku. Aku jamin bisa, meski perlu beradu kata sebelum transfer tiba.
Oh Tuhan, tadinya kuharap seorang pengganti Nissabella ini tak bikin heboh semacam ini. KAU juga marah kan? Aku yakin ini bukan skenario-MU. SkenarioMU yang benar adalah membuat dadaku menjadi genderang perang saat aku mengenalnya, lewat sebuah feature majalah.
Ia sekretaris dengan pestasi terbaik versi majalah itu. KAU mempertemukanku dengannya karena persamaan nasib. Itu kusyukuri. Meski ia masih mengangapku teman. Tapi kenapa mesti ada versi cerita semacam ini? Ia memang jadi selebritis kini. Selebritis dadakan yang mengancam karir seorang menteri, ketua DPR, bahkan mungkin Presiden.
Ini bukan sesuatu yang kubayangkan. Aku juga yakin ini bukan bayangan dari impiannya. Itu bukan impiannya. Tapi kenapa tiba-tiba seperti tak ada jalan keluar, sehingga jadinya seperti ini?
Aku tak pernah takut dengan ancaman. Sejak kecil aku biasa bertempur jika dijahati. Aku biasa memprotes para direktur yang sok jagoan. Kumaki pejabat yang minta komisi besar untuk tawaran tender tertutup. Jadi, begini Clara…bahkan jika aku terbunuh disampingmu pun, aku siap.
Tak apa.
Mencintaimu adalah jalanku. Dan kuharap ini jalan terakhir.
Masih kuingat apa yang kau katakan,”Seorang idealis adalah selebritis bagi jantungnya sendiri, bukan untuk otaknya!”. Aku yakin itu bukan pendapatmu yang murni. Mungkin kau baru saja mencomotnya. Entah dari fotografer perayumu, atau bosnya yang tak tahu masalah etika budaya itu
Ya. Akan kutemui kau di Paris. Republik Cinta itu. Di sini terlalu banyak mata kamera. Buaya-buaya gosip yang lahap. Guguran salju, gemulai Seine, keranuman Effel, film itu, mungkin akan membukakan mata hatimu.
Di sebuah e-mail, telah kusiapkan sajak biru untukmu. Sebuah kemurungan lain dari tamasya tanpa batas. Seperti ini:
Dalam Sebuah Roman Yang Sedang Ditulis
Dapatkah kau bayangakan cinta itu batu: keras dan padat. Kau lemparkan padaku hingga aku menjelma laut merah. Begitulah jika takdir menuliskannnya untukku, dimana aku merasa hidup dalam sebuah roman yang sedang ditulis.
Aku tak tahu pasti kapan kemungkinan itu lahir di benakku, seperti sebagaimana tiba-tiba dari cahaya matamu bermekaran bunga-bunga: sebuah revolusi dari taman tentang wewangian dan aura cinta. Kau dan aku pun terjebak antara menciptakan alur, suspense, dan kalimat-kalimat sendiri atau malah mengalir dalam arus takdir. Keterhanyutan lain dari roman yang entah berakhir di kedalaman muara yang mana.
Ke lembah dengan jembatan mana aku singgah seluruhnya menjadi sesuatu sewarna rambutku. Tersembunyi bagai peta tanpa arah angin. Dan kuteriakkan namamu hingga bergema sepanjang jeram dan tafakur ikan-ikan biru.
Semampunya kupilih tema cinta dengan sentuhan melodrama, walau sewaktu-waktu tinta takdir menulis jalur politik hingga air mata tanpa isakan, sebagaimana cermin mengabarkan seorang lelaki yang menemui jalan buntu di hadapan dinding cinta menjulang.
Kupilih engkau saja bidadariku, sebagaimana kupilih jalan sunyi dalam roman yang membawaku dari satu kejutan pada keyakinan lain. Dan kutemui selalu cintamu menggenang dalam do’aku: tersenyum bagai laut yang sabar, gunung yang ikhlas, dan angin yang setia mengelus kelebat hari-hari.
Aku berada dalam sebuah roman yang sedang ditulis. Bersamamu.
Ah, kelak kau akan membacanya.
* * *
Siapa yang patut dicurigai di pesawat ini? Semuanya tampak sopan. Elegan. Takan ada pedang. Peluru apa lagi. Sejak banyak peledakan bom, pemeriksaan di bandara diperketat. Tapi tangan dan sayap merahku bergetar. Ini pertanda akan ada yang tercabut di sini. Dan radarnya menuju Clara Bianca yang tengah memandang gumpalan awan tersilet sayap pesawat, pada kaca jendela dekat baling-baling itu.
Sayap Biru dan Sayap Orange sahabatku terlipat di samping Clara Bianca. Dan aku baru tersadar tanganku kian bergetar, ketika Si Sayap Hijau muncul dari Kabin lalu menuju pintu dapur pesawat. Di depannya, seorang pramugari membawa mangkuk. Si Sayap Hijau mengangkat bahu dan tangannya. Lalu menunjuk mangkuk itu. Memperagakan kematian lewat perutnya.
Mie goreng dan jus jeruk? Gadis bingung itu di Munir-kan? Aduh, ini bukan politik! Tak perlu ada Pollycarpus ke dua! Aduh! Jangan makan mie itu Clara, Jangan! Kau perlu menonton Toute la boute du monde dulu !
* * *
19.05. 2025. 22.00
+628500702366
Aku jg diancam ternyata.
Entah dari mana mrk tahu
Nomorku. Aku jg sdg
dibuntuti. Ha ha. Ini
No baru ku.
Jgn tkt honey.
Mati with you adlh jalanku.
Kau kan pernah bilang
Cinta bisa sehijau rumputan
Atau seguguran salju.
Bandung, 2006-2025.