Masukan nama pengguna
Tekadku sebulat planet. Aliens itu pantas ditembakkan ke tempat lain. Sebuah panti jompo, Aquarium raksasa para lansia itu, bersedia menyediakan sebuah soliter baru.
Kadang aku melihat betta aliens yang hampir punah itu mabuk oleh kesendirian. Juga kesepian yang ganas. Tak seperti ketika masa mudanya, gagah di atas sepeda sport, tersenyum bangga melahap dunia riang di hadapannya, kini bahkan pundaknya menjadi Sysypus yang batunya tak terlihat, bungkuk dan berat.
Langkahnya membawa rantai gaib di betisnya yang lengkung. Lamban dan demam. Gemetaran di atas lantai berbau pesing miliknya. Urine yang gagal meloncat ke toilet.
Tiga panci, mungkin sepuluh piring ditambah beberapa gelas dan mangkuk beling, rusak dan pecah oleh ototnya yang kendur. Yang lebih parah, mulutnya sering memuntahkan magma kata-kata yang memerahkan telinga, membakar hati, jika terlambat diberi makan, atau menginginkan hal-hal kecil yang tak bisa lagi dipahami.
Mulut keriputnya, begitu sukar merangkai kalimat. Lamban dan terbata-bata. Juga pelupa yang parah.
Aku sudah angkat hati. Kepalaku serasa retak, terintimidasi sifat kakunya, keras, dan obsesif. Namun, sebagai menantu, sebagai manusia, aku tak bisa lepas untuk merawatnya. Selalu kutata agar hatiku pualam.
Sejak istrinya meninggal lima tahun lalu, dan stroke ringan menyerangnya, suamiku membawanya ke rumah kami. Sebetulnya hal ini sudah agak kubayangkan. Menikah dengan anak tunggal, besar kemungkinan, kelak akan menjadikanku suster bagi orangtuanya.
Dan kini, akulah suster itu. Suster yang hampir ngesot dibebani batu waktu. Sepulang ngantor, kelelahanku berlipat. Dan saat pagi tadi kami mengirmkannya ke sebuah panti, setelah berdiskusi yang memompa air mata dengan ayah, ibu, dan suamiku, lahirlah keputusan yang berat itu. Aku berharap tak lagi ada batu yang harus sering kubawa ke puncak bukit terjal yang sering menggelindingkannya lagi.
###
Tak ada senapan yang perlu disiapkan. Tak ada racun yang disebarkan dalam pring dan gelas. Aku tak perlu menjadi setan pengabdi kejahatan untuk meringankan beban. Bukan saja karena ayat-ayat Tuhan.
Bukan hanya karena nasihat para ustadz dan petuah ibu. Namun, di jantungku yang paling dalam, lelaki tua tanpa laut yang tak ada di novelnya Hemingway itu, yang sering disebut istriku seperti betta aliens itu, tetaplah pahlawan.
“Spaghetinya rekomendid juga, Pah! Tapi masakan Papah tetap lebih enak!” Fla tersenyum. Aku memang beruntung telah mempersunting perempuan tercantik yang telah mengayuh 120 kali purnama bersamaku.
Resto tepi bukit bertahtakan alam yang dibuat Tuhan sambil tersenyum itu, membuatnya terlihat seperti anggrek lain yang lebih segar.
Fla memang tak pernah kehilangan sihir parasnya, meski kumparan beban mengepungnya, terutama ketika bapak yang kami rawat, sering mengguncang ketentraman keluarga kami.
Bapak memang kasar. Umpatannya meluncur seperti tak pernah berpikir aliran kata-katanya akan melukai. Apalagi setelah roh Ibu dibawa Izrail, dan aku membawanya ke rumah istriku, emosinya lebih cepat pasang.
Belum lagi gangguan kecil yang kadang rutin. Minta di antar ke toilet tengah malam, memecahkan piring dan gelas, membuat bubur di rice coocker hingga airnya tumpah dan menimbulkan konsleting, berdahak saat kami makan, memukul-mukul pintu jika keinginannya tak segera dipenuhi, hingga beragam bebauan yang sering tercium saat kami lewat depan kamarnya.
Lima tahun kemudian, kami memutuskan untuk mengirimkannya ke sebuah panti. Pertahanan istriku sudah bobol. Apalagi kami tak punya pembantu. Meski berat, keputusan itu sendiri, kuanggap lebih baik buat Bapak. Rumah sering kosong. Aku dan istriku banyak menghabiskan waktu di kantor.
Dan tiga anak kami, kadang pulang sore usai sekolah. Beberapa kali Bapak jatuh, dan hanya baru bisa kami tolong saat kami ada. Hanya saat libur, jika ada kami di rumah, pertolongan akan segera datang.
Saat kami bicara baik-baik, bapak sangat keberatan. Ia mengira kami akan membuangnya. Namun aku meyakinkannya, bahwa di panti ia akan menemukan banyak pemain catur, atau yang akan berbagi cerita masa lalu. Bahkan, mungkin mendapatkan cinta yang baru.
“Mamah merasa lebih baikkan?”
la tak menunjukkan reaksi jelas. Ia kembali mengaduk spagheti, menyuap pelan.
Kami memang belum sempat sarapan saat mengantar bapak ke panti. Apalagi, saat menemaninya untuk pertama kali beradaptasi di tempat barunya, butuh durasi lama.
Sore menggambar awan seperti naturalisme Basoeki Abdullah. Usai merasakan kelezatan kuliner resto, tempat kami masih dapat memandang panti itu dari kejauhan, kuputuskan mengajak Fla ke bioskop di jantung kota. Tradisi yang sudah begitu lama tak kami rawat.
“Oke. Anak-anak Papah telpon saja. Biar mereka tidur di rumah neneknya!”
Semua poster film yang terpajang di dinding dekat pintu teater, menyedot hasrat. Kami memutuskan menonton dua film saja. Seperti merayakan kenangan berkarat, yang kini terkelupas, menyeruak seperti daging tumbuh yang tak kami duga.
Purnama berkalang masih bertahta saat kami memarkir mobil di setengah lingkaran halaman yang ditumbuhi rumput Jepang. Lapangan parkir di tempat kami menaman cinta itu memang dirancang membulat, mengelilingi sebuah air mancur.
Kami berpegangan tangan, seperti pasangan kekasih di film tadi yang baru merayakan malam minggu perdana.
Saat menaiki ujung tangga halaman, di teras temaram, kami seperti menemukan dongeng yang tiba-tiba bercerita sendiri, meloncat dari buku tua: Bapak, dengan piyama berlogo panti, tertdur pulas di kursi tua rumah kami.
###
Seorang lelaki tua dari masa purba, yang juga memiliki semacam kutukan atau warisan purba, memang harus punya rahasia.
Fla, bahkan darah dagingku sendiri, tak pernah kuberi kunci jalan purba yang pernah kutempuh. Aku gelap di satu sisi. Sisi yang hanya diketahui ayah ibuku. Bahkan tak disadari istriku.
“Cepat, lemparkan daging itu, Gra!”
Ya, itulah pertama kali aku merasakan keanehan dalam rumah. Keanehan sikap ibuku juga. Saat itu, aku lupa pesannya: jangan pernah makan daging di belakang rumah, apalagi malam. Saat pesan itu kulanggar, ibu terkejut dan marah.
Peta di kepalaku porak poranda. Namun karena melihat magma di mukanya, aku segera melemparkannya. Dan tepat di sudut pohon Kiara yang tumbuh di belakang rumah kami itu, dua sinar menyala dalam gelap. Reman-remang, aku melihat seperti ekor yang berkibas.
Berhari-hari setelah ledakan bibir ibu, aku hampir sukar menutup mata dan telinga. Ibu melunak dan terus menemani kegelisahanku, tanpa pernah menjawab jelas mengapa mengapa memakan daging di sana disebut kesalahan.
Keanehan lain terjadi saat aku remaja. Dini hari, usai menonton pertunjukkan wayang, dua kilo meter dari kampungku, aku dan dua teman sekampung, dicegat sepuluh sosok asing. Mengepung berkalimat ancaman dan senjata berkilatan.
Kami segera lari. Dua temanku berhasil lolos, namun aku terjatuh dan terdesak. Di remang cahaya purnama, tawa dan ancaman mereka, memanaskan keringat di tubuhku. Namun, saat mereka mendekat, tiba-tiba dadaku serasa mau pecah. Jantungku berdebar hebat. Lalu, sekelebat menyerupai bayangan, mencelat dari dadaku dan menyerang para pengepung itu. Teriakan ngeri dan suara denting senjata, meraja sejenak di tepi hutan bambu dekat jembatan perbatasan kampung itu.
Lalu gelap. Aku pingsan dalam rasa takut dan kengerian.
Ada beberapa cerita lain, tentu. Terlalu banyak, bahkan. Dan kusadari kemudian dongengan purba itu, menjadi bagian yang lekat dengan jalan yang harus kutempuh.
Sudah kama aku ingin menguburnya. Apalagi saat istriku harus meraih alam lain, dan anak sematawayangku merawat dan mendekatkanku pada cucu-cucuku yang menggemaskan.
Namun kepada Fla, ibunya mereka, aku menyangsikan ketulusannya. Namun aku sadar. Sepenuhnya malu juga. Aku, si tua sempoyongan pemarah dan selalu merepotkan itu, memang susah diurus.
Lalu, saat aku yakin dibuang, dijauhkan dari cucu-cucu tercintaku, dongeng purba itu menyeruak lagi. Bangkit bersama belasan kilometer yang harus kutempuh dari penjara sebuah panti.
Kini, dalam kepura-puraanku di teras rumah mereka, dari sedikit celah pejaman mataku, aku menyaksikan keterkejutan yang sempurna. Kepurbaanku tumbuh tanpa kendali. Dadaku berdebar keras. Tanganku kembali menarik sejarah purbanya, menajamkan kuku-kuku dan membesarkan jari-jari tangan dan kakiku.
Tolong, jangan dicatat, bahwa kemudian ada jeritan!
Bandung