Masukan nama pengguna
Dermaga ini seperti berujung di pertemuan laut dan langit. Meruncing pada persentuhan sublim biru gelombang, dengan warna-warna magenta yang menyemburat, menjadi lukisan impresif dalam kanvas besar cakrawala.
Memasuki lubang sejarah yang seperti kembali terbuka ini, langkahku memang terasa berat. Selalu seperti itu, meski hal ini telah kulakukan beberapa kali. Setiap tahun. Setiap hal yang kurasa harus kulakukan ini diulang, belati di denyut hati itu akan meraja. Selalu ada bayangan tetesan darah dari langit, menjadi jarum-jarum yang menusuki laut, hingga semuanya tampak menjadi darah.
Aku memimpin barisan pembawa bunga itu.
Di belakangku, puluhan perempuan yang telah mendekati senja napasnya, hingga yang masih ranum, berjalan pelan membawa ingatan kelam dalam tangis yang tertahan. Sebagaian dari mereka adalah korban, keluarga korban, dan beberapa simpatisan.
Kami larut dalam suasana muram dalam bibir tergembok. Hanya genangan hujan tertahan di kelopak pandang, yang menunjukkan bahwa masing-masing dari kami berbicara dalam raut yang seragam. Sempurna bagi perkabungan yang seperti takan berujung ini.
Tak ada pidato pembukaan seperti terjadi pada pertama kali hal ini kami lakukan. Hanya doa permulaan, yang dilantunkan seorang ustadzah, yang juga salah satu keluarga korban, mengawali tradisi kami ini.
Serempak setelah mengamini doa-doa, bersama perempuan-perempuan itu, kuraih keranjang bunga yang digenggam cucuku. Angin kemudian mencandai kelopak-kelopak yang berhamburan itu, sebelum mencumbu ombak dan buih. Segera, lautan bunga memenuhi gelombang pada dermaga, bersama tangan-tangan yang bergetar di udara, dengan tangis yang mulai pecah dari para perempuan itu.
Sebagian dari mereka, yang membawa anak-anak laki-laki maupun perempuan seusia cucuku, memeluk dan memangku anak-anaknya untuk memperlihatkan lautan bunga yang mulai dipecahkan gelombang.
Sebagian besar dari anak-anak itu tak tahu bahwa mereka dilahirkan dari sebuah kekejaman. Kekejian tak terduga akibat sebuah keputusan yang terpaksa dilakukan Sang Bupati. Suamiku sendiri. Ayah dari Marwah, putri bungsu kami yang menjadi setengah gila, lalu melemparkan tubuh sintalnya ke rahim lautan. Ke sayap badai menggila bersama calon bayi yang tak diharapkannya. Tak kami harapkan juga. Dan Marwah tak sendiri.
Sebelum dan sesudah Marwah, rahim lautan seolah merayu mereka yang senasib dengan Marwah, untuk mendahului tangan takdir: menyerahkan tubuh dan calon-calon bayi mereka, menjadi santapan para predator samudera.
Tak. Tak ada yang kembali. Tak ada mayat-mayat yang berniat mengunjungi lagi bibir daratan: tempat mereka dilukai. Dikhianati.
Dermaga tua ini seperti dipasangi magnet gaib, yang menarik mereka menyerahkan sisa jatah hidupnya, dalam kesia-siaan yang panjang. Lalu, seperti di tahun-tahun sebelumnya, Jeanete, cucu indo dari anak sulungku, Frizda, yang menikahi pria asal Finlandia, belum mau beranjak pulang saat upacara tabur bunga itu berakhir. Meski aku dan Frizda merayu Si Mata Biru itu, ia bergeming.
“Grandma…lihat! Mereka berdiri di atas bunga-bunga. Mereka sedang menari-nari!”
Jika sudah begitu, aku segera melambai pada Spielberg Mark, mantuku yang sedang memotret, dari atas gua kelelawar pinggir dermaga saat mulai dirayapi gelombang pasang, untuk menangani Jeanete. Bocah bule indigo itu. Keajiban yang sama-sama dimiliki ayahnya itu sejak dahulu.
* * *
Lima tahun lalu, dari balik pintu raksasa pendopo kabupaten peninggalan kolonial itu, aku menyimak perdebatan itu. Perdebatan klasik sebetulnya. Perdebatan yang sama pernah terjadi sebelum suamiku menjabat Bupati.
Persoalan itu, dahulu berhenti sebatas wacana, dan Mazguaro, sebuah pulau agak besar yang masuk ke wilayah kabupaten kami, serta banyak disinggahi kapal-kapal para pelaut mancanegara itu, tak jadi ditutup.
Mazguaro memang mempesona. Ada pasir putih, dan gua kelelawar yang muncul jika air surut, dan dipercaya penduduk setempat sebagai tempat Gadumbo, raksasa berkepala naga berkaki katak yang dapat terbang, dan menculik perawan maupun istri orang yang kelayapan saat purnama.
Di tempat paling tinggi seberang dermaga, ada juga Bukit Lamunggay, sebuah tempat yang dianggap penuh berkah. Sebuah dataran berkarang terjal yang dianggap sebagai tempat perantara bagi para penduduk bertemu dengan Tuhan dalam doa-doa. Pengharapan dan ampunan.
Pulau dengan luas sepuluh hektar itu, kemudian menjadi magnet wisata. Para pemancing, peselancar, para backpaperian, hingga kapal-kapal niaga dan nelayan lain singgah di sana. Pulau itu berkembang pesat, sehingga mengundang para investor untuk membuat villa ataupun cottage. Tak terkecuali tempat prostitusi.
Karang Merah, adalah istilah kami bagi tempat prostitusi yang kian melebar itu. Komplek yang dikelola germo asal ibu kota itu, kemudian banyak mengerjakan wanita-wanita penghibur dari kota-kota lain, termasuk dari anak-anak nelayan miskin Pulau Mazguaro sendiri.
Dari data Dinas Sosial, aku mengetahui memang ada penduduk setempat yang terjun ke Karang Merah, namun jumlahnya bisa dihitung sebatas jari. Malangnya, Mazguaro kemudian lebih terkenal oleh nila yang setitik itu. Nila yang kemudian mendanau. Nila yang banyak memberikan sumbangan pada Pajak Asli Daerah.
Perdebatan panas yang kembali dipicu para pemuka agama di kabupaten kami saat itu, muncul kembali saat suamiku baru setahun menjabat Bupati. Kali ini, suamiku yang dahulu menjabat Sekda itu, mengambil keputusan terberat dalam hidupnya.
Gelombang demonstrasi, untuk menutup tempat yang ratusan kilo meter jaraknya dari ibu kota kabupaten itu, membuatnya terdesak. Karang Merah kemudian dinyatakan tertutup: dibubarkan.
Evakuasi itu bukan tanpa kericuhan. Perkelahian dan pembakaran, mewarnai penutupan Karang Merah. Banyak tangan yang tiba-tiba bermunculan dengan bendera-bendera ratusan nama, entah dari mana.
Namun yang lebih parah dari itu, dua minggu setelah penghancuran Karang Merah, kota kabupaten dipenuhi para penjaja cinta di taman-taman, hingga yang tersamar di rumah-rumah mewah dan kontrakkan.
Dari data Dinas Kependudukan, para wanita penghibur itu memang beberapa di antaranya telah memiliki tanah dan rumah di kota kabupaten. Sebagian lagi telah mempunyai suami sah dan suami siri di kota maupun dengan penduduk Pulau Mazguaro yang kemudian hijrah ke kota kabupaten.
Aku sendiri sudah agak menduga kemungkinan itu. Spielberg Mark yang saat itu baru menjadi mantuku, malah menerawang lebih jauh. Tetapi persoalan klasik ini memang selalu menjadi simalakama, dan tak terputus karena mata lain seorang indigo. Termasuk mata batin Kyai Malna, guru spiritual kami.
Dari para pembantu suamiku, para mantan penghuni Karang Merah, memang umunya berasal dari kabupaten terdekat yang sering mengalami gagal panen, serta para penguasanya yang korup menjual ratusan gunung dan lahan pasir besi ke mancanegara dan kota-kota lain. Sedangkan kota kabupaten kami termasuk paling maju, karena merupakan daerah perlintasan wisata dan niaga, dan bermunculannya sekolah tinggi selain ratusan pesantren, beberapa paroki, kelenteng, serta puluhan sekolah berbasis gereja.
Enam bulan kemudian - aku sendiri sangat enggan mengingatnya - terjadilah geger Mazguaro. Geger kelam yang memompa bensin emosi terdalam. Geger yang kini menghuni ribuan situs di internet. Geger yang mematahkan sayap Marwah, anak bungsu kami yang ingin melanjutkan sekolah tari di Kota Provinsi. Geger yang membuatku pingsan tanpa terhitung. Bahkan dalam bilangan tahun.
* * *
Kini, sehabis tabur bunga di dermaga dan Jeanete berhasil dirayu ayahnya, kami melangkah berat menuju rumah kedua kami. Laut mulai mengaspal. Gua kelelawar akan segera muncul.
Ya, sudah lama kami mempunyai sebuah tempat peristirahatan di Pulau Mazguaro. Aku membeli tanah dan membangunnya dari sisa warisan pemberian ayah ibuku. Rusdi, anak kedua kami yang menjadi arsitek, mampu mewujudkan keinginanku membuat rumah bergaya kolonial dipadu dengan gaya medeteranian yang agak modern. Liburan panjang, kemudian akan menghangatkan tempat itu.
Anak-anakku paling suka berlama-lama di sana. Dan saat Karang Merah mulai terkenal, aku menghabiskan banyak uang membeli perabotan dan fasilitas lain, agar suami dan anak lelakiku, tak tersesat ke Karang Merah.
Marwah lah yang paling sering berlibur ke rumah kedua kami itu. Saat liburan pendek pun, ia tak akan melewatkan celah berbunga baginya itu. Ia sering membawa teman-teman dan guru tarinya, untuk mengolah kreasi baru. Aku pun menjadi pendukung utamanya, berlawanan dengan suamiku yang menghendakinya menjadi seorang dokter.
Di hari naas itu. Di hari tergelap dalam sejarah hidupku dan penduduk pulau Mazguaro, sebetulnya aku tak mengizinkan Marwah dan suamiku mengikuti liburan sekaligus kunjungan kerja yang telah terjadwal ke Pulau Mazguro.
Namun keduanya bersikeras. Lalu, firasat burukku sendiri, tenggelam oleh beberapa hal terpaut jabatanku sebagai Ketua Dharmawanita.
Kabar tergelap itu mengguntur dari ponselku, senja usai meresmikan sebuah Posyandu. Ratusan pelaut yang dimuntahkan sebuah kapal besar, mengamuk, saat mengetahui Karang Merah hanya ditinggali padang ilalang. Mereka seperti mahluk dari planet tanpa hati, memburu dan menyiksa, lantas merudapaksa puluhan wanita penduduk Pulau Mazguaro.
Tak puas dengan itu, mereka juga membakar rumah, villa, cottage, juga warung-warung tepi pantai. Banyak lelaki warga Pulau Mazguaro dan warga asing terbunuh, juga yang tenggelam saat melarikan diri.
Saat kusaksikan dengan mata telanjang usai bencana itu, aku nyaris tak punya jantung. Ya, bayangkanlah ketika seorang ibu menyaksikan anaknya yang sepucat mayat, dengan tatapan kosong, meringkuk di kamarnya yang porak poranda dalam keadaan tanpa sehelai benangpun. Jeritanku seakan mampu meledakkan bulan.
Saat itu.
Juga di saat-saat lain yang takkan terhitung oleh kalender.
Menziarahi rumah kedua kami kali ini, sepertinya akan menjadi ziarah yang terakhir bagiku. Usai melewati pintu gerbang dan taman, aku melihat suamiku tersenyum. Mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar di tepi kolam berbunga puluhan teratai merah dan putih. Bangkit dari kursi goyang tempat tubuhnya dahulu ditemukan tanpa denyut nadi lagi.
Jeanete memapah tanganku yang bergetaran. Aku tersenyum dan mengagguk, mengiyakan dengan sesungguhnya, sepenuhnya, ketika bocah berambut hitam panjang itu berseru,”Grandma…lihat, Bibi Marwah menari di atas bunga-bunga teratai!”
Bandung.