Masukan nama pengguna
Bab 1 – Koleksi Terakhir
Deni menelusuri lorong-lorong sempit Pasar Loak Kebonjati, udara lembap bercampur aroma apek barang-barang lama menusuk hidungnya. Sebagai seorang kolektor seni antik, ia terbiasa dengan suasana seperti ini, di mana setiap debu menyimpan cerita dan setiap sudut bisa menyembunyikan permata yang tak ternilai. Namun hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam tarikan tak kasat mata yang membimbingnya menuju sebuah lapak di pojok paling belakang, yang jarang dikunjungi orang.
Di sana, di antara tumpukan keris berkarat dan topeng kayu yang usang, duduk seorang pria tua. Kulitnya keriput seperti kertas perkamen kuno, matanya tajam namun terlihat kosong, seolah telah menyaksikan terlalu banyak hal. Di sampingnya, tersandar sebuah patung yang segera menarik perhatian Deni. Patung itu, setinggi lutut orang dewasa, bukan terbuat dari perunggu atau batu mulia, melainkan dari semacam kayu gelap yang tidak Deni kenali, mungkin kayu ulin yang menghitam karena usia. Bentuknya menggambarkan sosok manusia dengan wajah yang tercabik, seolah ditarik paksa dari dalam, dan kedua tangannya mengikat erat lehernya sendiri, dalam posisi mencekik. Ada detail mengerikan pada ukiran wajahnya; mata cekung yang memancarkan penderitaan abadi, urat-urat menonjol di leher yang tercekik, dan mulut yang menganga dalam jeritan bisu.
Deni mendekat, merasakan aura dingin memancar dari patung tersebut, bukan dingin fisik melainkan dingin yang menusuk ke tulang sumsum. "Berapa ini, Pak?" tanyanya, suaranya sedikit serak.
Pria tua itu mengangkat kepalanya perlahan, menatap Deni dengan sorot yang menelanjangi. "Untukmu, Nak, harga tidak penting. Yang penting… ia harus memiliki tuannya yang baru." Suara serak itu terdengar seperti gesekan daun kering, membawa nada misteri yang membuat bulu kuduk Deni meremang.
Deni adalah seorang skeptis sejati. Baginya, setiap artefak memiliki sejarahnya sendiri, namun ia selalu percaya bahwa nilai sejati terletak pada keindahan estetika dan kelangkaannya, bukan pada mitos atau takhayul. Patung ini, dengan keunikan dan nuansa gotik yang kuat, akan menjadi mahakarya terakhir dalam koleksi pribadinya. Ia membayangkan patung ini diletakkan di sudut ruang kerjanya yang bernuansa gelap, menjadi poin fokus yang sempurna.
"Saya ambil," kata Deni, tanpa menawar. Ia merasakan dorongan aneh, semacam urgensi untuk segera memiliki patung itu. Sebuah dorongan yang bukan berasal dari akal sehatnya sebagai kolektor.
Pria tua itu tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Bagus. Pilihan yang… tepat." Ia membungkus patung itu dengan kain beludru hitam yang sudah usang, seolah-olah patung itu adalah mahkota kerajaan yang baru saja diwariskan. Deni membayar sejumlah uang yang tidak terlalu besar, jauh di bawah nilai yang seharusnya untuk patung seunik itu. Namun, pria tua itu tidak peduli, ia hanya menerima uang itu dan buru-buru pergi tanpa sepatah kata lagi.
Sepanjang perjalanan pulang, Deni merasakan sesuatu yang aneh. Patung itu, meskipun terbungkus, terasa berat, bukan hanya dalam berat fisik, tapi juga berat yang menekan batin. Udara di dalam mobil terasa dingin, padahal AC tidak Deni nyalakan. Ia mencoba mengabaikannya, menganggapnya hanya sugesti dari cerita pria tua tadi.
Setibanya di rumah, sebuah rumah dua lantai bergaya modern minimalis yang dipenuhi koleksi seni, Deni langsung membawa patung itu ke ruang kerjanya. Ruangan itu didominasi warna gelap, rak-rak buku menjulang tinggi hingga langit-langit, dan satu-satunya sumber cahaya alami berasal dari jendela besar yang menghadap taman belakang. Deni meletakkan patung itu di atas meja marmer hitam, tepat di bawah sorot lampu sorot yang ia gunakan untuk memamerkan koleksi unggulannya.
Saat kain beludru itu tersingkap, wajah patung itu seolah hidup di bawah cahaya. Ada sesuatu yang menatap balik dari mata cekungnya, semacam penderitaan yang begitu nyata hingga Deni merasa sedikit mual. Ia mencoba mengalihkan pandangan, sibuk mengagumi detail ukiran dan tekstur kayunya yang unik. Tapi setiap kali ia melirik patung itu, ia merasa seolah ada napas dingin mengembus di tengkuknya.
Deni menghabiskan sore itu dengan meneliti patung, mencari tanda-tanda sejarah atau petunjuk tentang asalnya. Tidak ada tanda tangan pengukir, tidak ada cap khusus, hanya goresan-goresan yang terlihat sangat kuno. Rasa penasaran Deni tumbuh bercampur dengan sedikit kegelisahan yang tak dapat ia jelaskan. Ia mencoba memotretnya, namun setiap kali ia membidik, lensa kameranya seolah berembun, dan hasil fotonya selalu buram, seolah ada kabut yang menyelimuti patung itu. Deni menghela napas, memutuskan untuk beristirahat. Mungkin ia terlalu lelah.
Malam harinya, setelah makan malam yang hening sendirian, Deni kembali ke ruang kerjanya. Ia menatap patung itu sekali lagi sebelum memadamkan lampu. Dalam kegelapan, ia bisa bersumpah melihat mata patung itu bersinar redup, seolah mengawasinya. Ia menggelengkan kepala, mencibir pada dirinya sendiri. Ini hanya imajinasinya. Efek cahaya dan bayangan.
Deni naik ke kamarnya, berharap tidur nyenyak. Namun, saat ia memejamkan mata, bayangan wajah patung itu terlintas. Ia merasakan hawa dingin yang sama seperti saat ia mengangkat patung itu di pasar, menusuk hingga ke tulang. Ada perasaan yang tak bisa ia lepaskan, bahwa patung itu bukan sekadar objek mati. Ia merasa… patung itu bernapas. Dan mengawasinya, bahkan dari ruangan yang berbeda.
Ia mencoba memejamkan mata lebih erat, memaksa dirinya tidur. Namun, malam itu, Deni tahu ia tidak akan tidur nyenyak. Perasaan yang tidak nyaman itu terus menemaninya, menjalar di setiap sudut pikirannya, membisikkan sesuatu yang tidak jelas, namun terasa mengancam. Ia tidak tahu bahwa koleksi terakhirnya ini, akan menjadi awal dari perjalanan menuju kegilaan yang tak pernah ia bayangkan.
Bab 2 – Mimpi yang Tidak Pernah Usai
Alarm ponsel Deni berdering, namun ia tidak langsung membukakan mata. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah baru saja menyelesaikan marathon. Keringat dingin membasahi sprei, dan napasnya memburu. Perasaan takut yang luar biasa masih mencengkeramnya, sisa dari mimpi yang baru saja ia alami. Mimpi yang terasa begitu nyata, terlalu nyata.
Ia bermimpi berada di sebuah hutan berkabut, dengan pepohonan tinggi menjulang dan udara yang menusuk tulang. Kabut tebal menyelimuti segalanya, membuat jarak pandang terbatas. Di depannya, terhampar sebuah desa kecil yang terbuat dari gubuk-gubuk kayu sederhana. Namun, desa itu bukan desa yang damai. Bau amis darah memenuhi udara, dan jeritan yang memilukan masih terngiang di telinganya.
Dalam mimpi itu, Deni tidak melihat dari sudut pandang dirinya sendiri. Ia melihat dari mata seorang algojo. Tangan-tangan kekar miliknya, yang terasa asing namun begitu familiar, menggenggam erat sebuah kapak berat yang berlumuran darah. Ia melihat dirinya – atau sosok yang ia tempati – menebas tanpa ampun. Wanita-wanita menjerit, anak-anak menangis, dan para pria mencoba melawan namun tak berdaya. Setiap ayunan kapak terasa begitu nyata, beratnya, impact-nya, bahkan cipratan darah yang mengenai wajahnya. Ia bisa merasakan kehangatan darah itu, dan bau anyir yang membuat perutnya bergejolak.
Sosok algojo itu, yang adalah dirinya dalam mimpi, tidak menunjukkan emosi. Mata Deni, yang dalam mimpi itu adalah mata algojo, terasa kosong, hanya ada kegilaan dan kekejaman. Ia melihat rumah-rumah dibakar, tubuh-tubuh tergeletak di lumpur, dan jeritan terakhir yang tercekat di tenggorokan. Mimpi itu berulang kali memutar adegan yang sama, seolah siklus pembantaian itu tidak pernah berakhir. Setiap kali ia berpikir itu akan berakhir, adegan dimulai lagi, dengan korban-korban baru, dan jeritan yang semakin memekakkan.
Saat akhirnya ia membuka mata, penglihatan Deni masih berkunang-kunang. Ia meraih ponselnya, mencari cermin. Wajahnya pucat pasi, matanya merah dan bengkak. Ia menyentuh keningnya, dan jari-jarinya merasakan lengketnya keringat dingin. Perutnya masih mual, dan kepalanya berdenyut.
Ia turun dari tempat tidur, kakinya terasa lemas. Saat ia berjalan menuju kamar mandi, ia merasakan ada sesuatu yang perih di lengan kirinya. Ia melirik, dan seketika darahnya berdesir. Di lengannya, ada tiga goresan dalam yang memanjang, seolah dicakar oleh sesuatu yang tajam. Goresan itu bukan goresan biasa, melainkan goresan yang terlihat disengaja, seperti bekas cakaran kuku yang panjang dan runcing. Ia tidak ingat kapan ia mendapatkan luka ini. Semalam ia tidur sendirian, dan tidak ada apa-apa di kasurnya yang bisa menyebabkan luka seperti itu.
Ketakutan mulai merayap naik. Mimpi itu, luka goresan ini… apakah ada hubungannya? Ia mencoba berpikir logis, mungkin ia menggaruk dirinya sendiri dalam tidur, atau ada sesuatu yang tajam di kasur yang tidak ia sadari. Namun, ia tidak bisa menjelaskan mengapa luka itu terasa seperti bekas cakaran, bukan goresan biasa.
Deni mencoba membersihkan diri, air dingin dari shower terasa seperti sengatan es di kulitnya. Ia menatap pantulannya di cermin kamar mandi. Wajahnya terlihat asing, ada lingkaran hitam tebal di bawah matanya, dan ekspresi ketakutan yang jelas tercetak di sana. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ini hanya mimpi buruk, akibat stres, atau mungkin kopi yang terlalu banyak kemarin.
Namun, ia tidak bisa melupakan detail mimpi itu. Kengerian yang ia rasakan sebagai algojo, suara-suara jeritan, bau darah yang amis. Semua terasa begitu nyata. Ia bahkan masih bisa merasakan berat kapak di tangannya.
Setelah mandi, Deni memutuskan untuk pergi ke ruang kerjanya. Patung itu. Ia ingin melihatnya lagi. Mungkin patung itu yang menjadi penyebab mimpi buruknya. Ide itu terdengar tidak masuk akal, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk melihat patung itu.
Saat ia membuka pintu ruang kerjanya, udara dingin menyambutnya. Patung itu berdiri tegak di atas meja marmer, seolah mengawasinya. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela tidak melunakkan kengerian pada ukiran wajahnya. Malahan, di bawah cahaya terang, detail penderitaan di wajah patung itu terlihat semakin jelas, semakin hidup.
Deni mendekat, memicingkan mata, mencari tanda-tanda perubahan. Tidak ada. Patung itu masih sama seperti saat ia meninggalkannya semalam. Namun, ia merasakan sensasi yang sama seperti semalam, sensasi di mana patung itu seolah memancarkan aura dingin dan mengerikan. Ia menyentuh permukaannya, dan terasa dingin, seperti batu nisan.
Ia teringat kata-kata pria tua di pasar, “Ia harus memiliki tuannya yang baru.” Dan bisikan tak jelas yang ia dengar semalam. Apakah ini semua ada hubungannya? Apakah patung ini benar-benar membawa sesuatu? Ia mencibir ide itu. Deni adalah seorang ilmuwan, seorang kolektor yang mengandalkan fakta dan sejarah, bukan takhayul kuno.
Namun, ketidaknyamanan itu tidak hilang. Ia merasa diawasi. Bukan oleh mata patung, melainkan oleh sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang bersembunyi di balik keberadaan patung itu. Ia merasa seperti ada yang menemaninya di ruangan itu, sebuah entitas yang tidak ia inginkan.
Deni mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengecek email dan berita di laptopnya. Namun konsentrasinya terus terpecah. Gambar-gambar dari mimpinya terus muncul di benaknya: kapak yang berlumuran darah, wajah-wajah ketakutan, jeritan yang terputus. Dan setiap kali ia melihat goresan di lengannya, ingatan akan mimpi itu semakin jelas.
Ia memutuskan untuk menghubungi Reni, adiknya. Reni adalah satu-satunya anggota keluarga yang ia punya, dan Deni selalu menganggapnya sebagai jangkar logikanya. Mungkin berbicara dengan Reni bisa sedikit menenangkannya, mengusir bayangan mimpi buruk itu.
Namun, saat ia meraih ponselnya, ia melihat bayangan hitam bergerak cepat di sudut matanya, di antara rak buku. Ia menoleh, namun tidak ada apa-apa. Hanya tumpukan buku-buku kuno yang berdebu. Deni menelan ludah. Ia mulai merasa paranoid.
Ia mematikan laptopnya. Ruangan terasa sesak. Patung itu, dengan tatapan kosong namun intensnya, seolah menghisap semua energi positif dari ruangan. Deni merasakan hawa dingin yang semakin menusuk, bukan dingin suhu, melainkan dingin yang berasal dari kedalaman jiwa.
Deni tahu, ini baru permulaan. Mimpi buruk itu, luka goresan itu, bayangan-bayangan yang ia lihat… semua terasa seperti pengantar, sebuah peringatan akan sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang akan datang. Dan patung itu, ia yakin, adalah kuncinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan keberadaan benda itu, dan ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya ia bawa pulang ke rumahnya.
Bab 3 – Potongan-potongan Nyata
Setelah mimpi mengerikan itu, hari-hari Deni mulai berubah menjadi rentetan kilasan yang mengganggu. Awalnya, itu hanya berupa bayangan-bayangan singkat, cepat berlalu seperti embusan angin. Namun, frekuensinya meningkat, intensitasnya menguat, dan kengeriannya semakin menusuk. Ia mulai melihat kilasan sadis di kehidupan nyata.
Suatu pagi, saat ia sedang menuangkan kopi, ia tiba-tiba melihat sesosok wanita tergantung di langit-langit dapurnya, dengan mata melotot dan lidah menjulur. Kilasan itu hanya berlangsung sepersekian detik, namun cukup untuk membuat Deni menjatuhkan cangkir kopinya. Pecahan keramik berserakan di lantai, dan jantungnya berdegup kencang di dadanya. Ia mengusap matanya, meyakinkan diri bahwa itu hanya ilusi optik atau kelelahan. Tapi bau kematian, bau yang sama seperti dalam mimpinya, tercium samar di udara.
Kemudian, saat ia berjalan di taman belakang, ia mendengar tawa anak-anak dari tetangga yang bermain. Namun, tiba-tiba, tawa itu berubah menjadi jeritan pilu yang diiringi suara isak tangis. Sekilas, ia melihat anak-anak itu, namun wajah mereka berlumuran darah, mata mereka kosong menatapnya, dan tangan-tangan kecil mereka terulur seolah meminta pertolongan. Kilasan itu begitu singkat, namun meninggalkan bekas luka di benaknya. Ia berteriak, "Tidak! Jangan!" dan segera berlari masuk rumah, napasnya tersengal-sengal.
Kilasan terburuk muncul saat ia sedang bersantai di tepi kolam renang. Tiba-tiba, air kolam yang jernih berubah menjadi merah pekat. Di dasar kolam, tergeletak mayat-mayat dengan posisi tidak wajar, kulit mereka pucat pasi, mata mereka menatap kosong ke langit. Mayat-mayat itu, meskipun tidak ia kenali, terasa begitu akrab, seolah ia pernah melihatnya dalam mimpinya. Mual menyeruak, Deni berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
Setiap kali kilasan itu muncul, Deni segera mengecek CCTV rumahnya. Ia memiliki sistem keamanan canggih yang merekam setiap sudut rumahnya. Namun, setiap kali ia memutar ulang rekaman, tidak ada apa-apa. Tidak ada wanita tergantung, tidak ada anak-anak berdarah, tidak ada mayat di kolam. Rekaman itu menunjukkan Deni yang bertingkah aneh, menjatuhkan cangkir, berteriak di taman, dan muntah di kamar mandi, sendirian. Kenyataan ini jauh lebih menakutkan daripada penampakan itu sendiri; ia mulai bertanya-tanya, apakah ia perlahan-lahan kehilangan akal sehatnya?
Perubahan lain yang paling mengganggu adalah hubungannya dengan cermin. Deni selalu percaya pada penampilan. Ia merawat dirinya dengan baik, rambutnya tertata rapi, pakaiannya selalu bersih dan modis. Namun kini, ia mulai menghindari cermin. Setiap kali ia melihat pantulan dirinya, ia melihat sesuatu yang mengerikan. Awalnya, hanya bayangan samar di belakangnya, seperti sosok tinggi kurus dengan mata merah menyala. Kemudian, pantulan dirinya mulai berubah. Matanya cekung, kulitnya pucat, seringai mengerikan muncul di bibirnya. Ada kalanya, ia melihat pantulan dirinya berubah menjadi sosok pembunuh dari mimpinya. Wajahnya tercoreng darah, matanya penuh kegilaan, dan senyuman mengerikan menghiasi bibirnya. Ia melihat kapak berlumuran darah di tangan pantulannya.
Suatu malam, saat ia sedang mencukur, ia melihat pantulannya. Mata Deni sendiri terlihat gelap, ada aura kejam yang terpancar dari sana. Tiba-tiba, pantulannya bergerak sendiri, tangan pantulannya meraih pisau cukur dan mengarahkannya ke lehernya sendiri. Deni berteriak, menjatuhkan pisau cukur, dan mundur terhuyung-huyung. Jantungnya berdetak seperti genderang perang. Ini bukan halusinasi sederhana, ini terasa seperti sesuatu yang lain, sesuatu yang mencoba merasukinya.
Ia mulai mengunci diri di rumah. Ketakutan akan apa yang akan ia lihat selanjutnya, atau siapa yang akan ia lihat sebagai pantulan dirinya, membuatnya enggan keluar. Ia melewatkan janji temu penting, mengabaikan panggilan telepon dari teman-temannya. Dunia luar terasa terlalu berbahaya, karena ia tidak tahu kapan kilasan mengerikan itu akan muncul lagi.
Reni, adiknya, mulai khawatir. Ia menelepon Deni setiap hari, namun Deni selalu beralasan sibuk atau tidak enak badan. Reni tahu ada yang tidak beres. Deni tidak pernah seperti ini. Ia selalu rapi, disiplin, dan sangat sosial.
Deni mencoba mencari penjelasan logis. Ia membaca buku-buku tentang ilusi optik, gangguan psikologis, dan bahkan mitos-mitos urban. Namun tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan apa yang ia alami. Kilasan itu, bayangan di cermin itu, terasa terlalu nyata, terlalu personal. Ia merasa seperti ada yang menargetkannya, sesuatu yang merayap masuk ke dalam pikirannya, mencemari persepsinya tentang kenyataan.
Suatu malam, ia memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Patung itu. Ia yakin patung itulah penyebab semua ini. Patung itu berdiri di sana, di bawah sorotan lampu, dengan ekspresi penderitaan yang tak berubah. Deni mendekat, mengamati setiap detailnya. Ada semacam daya tarik yang mengerikan, daya tarik yang ia benci namun tidak bisa ia tolak.
Ia merasa seolah patung itu mengawasinya, tidak dengan mata kosongnya, melainkan dengan esensi keberadaannya. Ada semacam energi gelap yang memancar darinya, meresap ke dalam ruangan, dan perlahan-lahan meracuni dirinya. Ia merasa dingin, meskipun suhu ruangan normal. Dingin yang menusuk ke tulang, dingin yang berasal dari kedalaman neraka.
Deni menatap patung itu, dan ia bisa bersumpah, ia melihat sebuah senyuman tipis muncul di bibir tercabik patung itu. Senyuman yang kejam, seolah patung itu menikmati penderitaannya. Deni berteriak, "Apa yang kau inginkan dariku?!"
Hening. Hanya gema suaranya yang memantul di dinding ruangan.
Deni merasakan cengkeraman ketakutan yang semakin kuat. Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi. Ia harus menemukan cara untuk menghentikan ini, sebelum ia benar-benar kehilangan akal sehatnya, sebelum kilasan mengerikan itu menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Pertempuran antara akal sehat dan kegilaan baru saja dimulai, dan Deni tahu ia sedang kalah telak.
Bab 4 – Luka yang Tidak Disadari
Kekhawatiran Reni terhadap Deni semakin memuncak. Panggilan teleponnya tidak dijawab, pesan singkatnya hanya dibalas singkat dan tak substansial. Ini bukan Deni yang ia kenal. Deni yang rapi, disiplin, dan selalu menjaga kesehatan mentalnya. Ia memutuskan untuk datang tanpa pemberitahuan.
Saat tiba di rumah Deni, Reni menekan bel berkali-kali. Tidak ada jawaban. Jantungnya berdebar kencang. Firasat buruk menyelimutinya. Ia memiliki kunci cadangan, dan tanpa ragu, ia memasukinya. Bau apek dan lembap langsung menyambutnya. Rumah itu terasa gelap, seolah semua tirai tertutup rapat.
"Deni? Kau di rumah?" Reni memanggil, suaranya bergema di keheningan. Tidak ada jawaban.
Ia menyusuri ruangan demi ruangan. Ruang tamu berantakan, majalah dan buku berserakan di mana-mana. Dapur kotor, dengan sisa-sisa makanan kering di piring-piring yang menumpuk di wastafel. Ini sungguh bukan rumah Deni.
Reni akhirnya menemukan Deni di ruang kerjanya. Pintu ruangan itu terbuka sedikit. Ia melihat Deni duduk meringkuk di sudut ruangan yang gelap, memeluk lututnya, matanya kosong menatap ke depan. Di depannya, di atas meja marmer, patung kayu itu berdiri tegak, seolah menguasai ruangan. Udara di ruangan itu terasa dingin dan berat, seolah ada energi tak kasat mata yang mencekik.
"Deni! Astaga, kau kenapa?" Reni berlari menghampiri, hatinya mencelos melihat kondisi kakaknya. Wajah Deni pucat pasi, kurus, dan ada kantung mata hitam yang tebal. Rambutnya acak-acakan, dan pakaiannya kotor.
Deni tidak merespons. Ia hanya menatap Reni dengan mata kosong, seolah ia tidak mengenalinya. Reni meraih bahu Deni, mengguncangnya perlahan. "Deni, bicara padaku! Ada apa?"
Deni akhirnya berkedip, pandangannya sedikit fokus. "Reni… kau di sini?" Suaranya serak dan pelan, seperti suara orang yang sudah lama tidak bicara.
"Tentu saja aku di sini! Aku khawatir sekali! Kenapa kau seperti ini?" Reni mencoba membantu Deni berdiri, namun Deni menolak. Saat itulah, Reni melihatnya.
Lengan baju Deni sedikit tersingkap, dan terlihat jelas goresan-goresan merah gelap di pergelangan tangannya. Bukan hanya goresan, melainkan sayatan-sayatan yang dalam, membentuk pola tertentu yang Reni kenali sebagai lambang kuno. Pola itu terlihat seperti simbol-simbol yang sering muncul dalam buku-buku okultisme yang pernah Deni baca. Ia juga melihat beberapa sayatan yang sama di dadanya, terlihat dari kemeja yang sedikit robek.
"Deni, luka apa ini?!" Reni berteriak, tangannya gemetar. Ia menarik lengan baju Deni lebih ke atas, dan melihat lebih banyak lagi luka sayatan di sepanjang lengan dan dadanya. Luka-luka itu terlihat segar, beberapa masih mengeluarkan sedikit darah, yang lain sudah mengering.
Deni menarik tangannya dengan kasar. "Bukan apa-apa! Aku… aku tidak tahu." Ia terdengar bingung, seolah ia sendiri tidak menyadari luka-luka itu.
"Tidak tahu bagaimana? Ini luka sayatan, Deni! Siapa yang melakukan ini padamu?" Reni panik.
Deni menggelengkan kepala. "Aku… aku tidak ingat. Kadang… kadang muncul begitu saja. Seperti… seperti polanya sudah ada di dalam kepalaku. Aku hanya mengikutinya."
Reni menatap kakaknya dengan ngeri. "Mengikuti pola? Pola apa?"
Deni memejamkan mata, memegangi kepalanya yang berdenyut. "Pola… dari mimpi. Atau… bisikan. Aku tidak tahu!"
Reni kemudian teringat bisikan-bisikan aneh yang Deni sebutkan sebelumnya. "Bisikan apa? Dari mana bisikan itu?"
Saat itulah, Deni tiba-tiba menunjuk ke arah patung itu. "Dari dia! Dia yang bicara! Dia membisikkan sesuatu padaku saat aku mandi, saat aku sendirian. Dia bilang… 'Bayar darah dengan darah.'"
Reni menoleh ke arah patung. Patung itu, dengan wajah tercabik dan tangan mencekik leher sendiri, terlihat menyeramkan di tengah ruangan. Tapi Reni adalah seorang rasionalis. "Deni, itu hanya patung! Bagaimana mungkin patung bisa bicara?"
"Kau tidak mengerti! Aku tidak gila, Reni! Aku benar-benar mendengarnya! Dia ingin darah! Dia ingin… ingin aku membunuh!" Suara Deni meninggi, penuh keputusasaan.
Reni mencoba menenangkan kakaknya. "Tenang, Deni. Aku akan membantumu. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi. Ini pasti ada penjelasannya."
Ia melihat sekeliling ruangan, pandangannya terpaku pada patung itu. Ada sesuatu yang aneh tentangnya. Patung itu memancarkan aura yang tidak menyenangkan, sebuah rasa dingin yang menusuk. Tapi Reni mencoba untuk tetap logis. Mungkin ini hanya halusinasi yang diperparah oleh kurang tidur dan stres.
"Deni, kau harus makan. Kau harus tidur. Kau terlihat seperti tidak tidur berhari-hari," kata Reni, mencoba mengubah topik pembicaraan.
"Aku tidak bisa tidur! Setiap kali aku menutup mata, aku melihat mereka! Aku melihat pembantaian itu! Dan dia… dia ada di sana. Dia melihatku." Deni menunjuk patung itu lagi.
Reni merasa khawatir. Ia tahu Deni harus mendapatkan bantuan profesional. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar gangguan mental biasa. Luka-luka sayatan itu terlalu spesifik, terlalu dalam, terlalu banyak untuk sekadar sayatan tak sengaja. Dan bisikan yang Deni dengar, “Bayar darah dengan darah”… itu terdengar seperti kutukan kuno.
Ia memutuskan untuk tidak langsung membawa Deni ke rumah sakit jiwa. Deni akan menolak, dan itu hanya akan memperburuk keadaannya. Reni tahu Deni perlu keyakinan bahwa ia tidak gila, bahwa ada penjelasan di balik semua ini.
"Deni, kita akan cari tahu tentang patung ini. Kita akan cari tahu tentang asal-usulnya, tentang apa pun yang bisa menjelaskan semua ini. Kau percaya padaku?" Reni menatap mata Deni, mencoba mencari kilasan kewarasan di sana.
Deni menatapnya dengan pandangan kosong, lalu perlahan mengangguk. "Aku… aku ingin semua ini berakhir, Reni. Aku tidak bisa menahannya lagi."
Reni memeluk kakaknya, merasakan tubuh Deni yang kurus dan bergetar. Ia bisa merasakan betapa takutnya Deni. Ada sesuatu yang mengerikan sedang terjadi, dan Reni tahu ia harus melindungi kakaknya. Ia akan mencari tahu tentang patung ini, tentang kutukan ini, dan ia akan mencari cara untuk membebaskan Deni dari semua ini, bahkan jika ia harus mempertaruhkan nyawanya sendiri. Patung itu, yang berdiri tegak di tengah ruangan, seolah menyeringai dalam kegelapan, mengawasi mereka, menunggu untuk melancarkan teror berikutnya.
Bab 5 – Sejarah yang Dilupakan
Reni tahu ia harus bertindak cepat. Kondisi Deni memburuk drastis. Setelah berhasil membujuk Deni untuk makan sedikit dan beristirahat, Reni segera kembali ke ruang kerja kakaknya. Ia menatap patung itu, berusaha menyingkirkan rasa takutnya. Ia harus mencari tahu tentang asal-usulnya.
Deni adalah seorang kolektor yang rajin mencatat. Reni tahu kakaknya pasti memiliki beberapa catatan atau informasi tentang patung ini, bahkan jika itu hanya detail kecil yang ia dapatkan dari penjualnya. Ia mulai mencari di antara tumpukan buku dan jurnal di meja kerja Deni. Akhirnya, ia menemukan sebuah kartu nama lusuh dari seorang spesialis artefak kuno, dan beberapa catatan tulisan tangan Deni yang sangat singkat: "Pria tua misterius, Pasar Loak Kebonjati. Patung kayu gelap, ukiran primitif. Sensasi aneh." Di balik kartu nama itu, Deni menulis alamat sebuah forum daring yang fokus pada artefak-artefak langka dan terkutuk.
Dengan tangan gemetar, Reni menyalakan laptop Deni dan membuka forum tersebut. Ia mencari kata kunci seperti "patung kayu tercabik", "patung mencekik diri", dan "kutukan patung". Ada ribuan hasil, kebanyakan hanya cerita takhayul dan gosip. Namun, setelah beberapa jam pencarian yang melelahkan, ia menemukan sebuah utas diskusi lama yang menarik perhatiannya.
Judulnya berbunyi: "Mencari Jejak Patung Algojo dari Utara". Reni mengklik tautan itu. Postingan pertama menceritakan tentang sebuah patung yang sangat mirip dengan patung milik Deni. Patung itu digambarkan terbuat dari kayu gelap, dengan ukiran wajah tercabik dan tangan yang mencekik lehernya sendiri. Postingan itu menyebutkan bahwa patung itu berasal dari sebuah wilayah terpencil di bagian utara pegunungan, yang kini sudah tidak berpenghuni.
Semakin Reni membaca, semakin merinding bulu kuduknya. Menurut utas itu, patung tersebut berasal dari abad ke-17, pada masa perang suku yang brutal. Dikatakan bahwa patung itu bukan sekadar patung biasa, melainkan sebuah "wadah kutukan" yang dibuat oleh seorang kepala suku terakhir dari suku yang kalah perang. Sebelum dieksekusi oleh suku musuh, kepala suku itu, yang juga seorang dukun kuat, menggunakan ilmu hitamnya untuk memindahkan semua penderitaan, kebencian, dan roh-roh pembantaian dari suku mereka yang terbunuh ke dalam patung itu. Ia mengukir wajah patung itu sesuai dengan penderitaan bangsanya dan tangannya yang mencekik sebagai simbol bunuh diri massal yang mereka alami untuk menghindari penangkapan. Kutukan itu bertujuan untuk membalaskan dendam, mencari "tuan baru" yang akan menjadi perantara bagi roh-roh tersebut untuk terus melancarkan teror dan pembantaian.
"Ia harus memiliki tuannya yang baru." Kata-kata pria tua di pasar kembali terngiang di telinga Reni.
Utas itu juga mencantumkan daftar singkat pemilik patung sebelumnya. Setiap nama diikuti dengan catatan yang mengerikan: "Mati bunuh diri dengan cara tak wajar," "Menghilang tanpa jejak setelah menunjukkan perilaku agresif," "Ditemukan tewas dengan luka sayatan misterius di tubuh." Semua pemilik sebelumnya mengalami nasib yang sama, dan semuanya terjadi setelah mereka memiliki patung itu. Patung itu selalu muncul kembali di pasar barang antik, dijual oleh seseorang yang tidak diketahui, seolah ia ingin terus berpindah tangan, mencari korban baru.
Reni merasa mual. Ini bukan hanya cerita horor. Ini adalah sejarah yang mengerikan, tersembunyi di balik sebuah benda seni. Deni, kakaknya, adalah salah satu dari "tuan baru" itu. Dan ia sedang dalam proses yang sama seperti pemilik-pemilik sebelumnya.
Ia teringat luka sayatan di tubuh Deni. Di utas forum itu, disebutkan bahwa para korban seringkali melukai diri sendiri atau orang lain dengan pola-pola aneh yang diyakini sebagai simbol ritual dari suku kuno tersebut. Ini persis seperti yang dialami Deni.
Ada juga diskusi tentang bagaimana kutukan itu bekerja. Roh-roh yang terperangkap dalam patung itu perlahan akan merasuki pikiran tuannya, memanipulasi persepsi mereka, dan mendorong mereka ke dalam kegilaan. Mereka akan melihat orang-orang terdekat sebagai musuh, sebagai target pembantaian yang harus mereka selesaikan. Dan bisikan "Bayar darah dengan darah" adalah mantra kuno yang digunakan dukun tersebut untuk memicu naluri membunuh.
Reni merasakan dingin yang merayap di punggungnya. Ini semua terlalu cocok. Semua gejala Deni, semua luka, semua kilasan mengerikan yang ia lihat. Itu bukan halusinasi semata. Itu adalah akibat dari kutukan patung tersebut.
Ia menutup laptopnya, tangannya gemetar. Ia harus memberitahu Deni. Tapi bagaimana caranya? Deni sudah berada di ambang kegilaan. Jika ia tahu bahwa ia terikat pada kutukan kuno, itu mungkin akan mempercepat kehancurannya.
Reni melihat ke arah patung itu lagi. Patung itu, kini, terlihat semakin hidup di matanya. Mata cekungnya seolah mengawasinya, dan seringai di bibirnya terlihat semakin kejam. Ia merasakan energi gelap memancar darinya, sebuah energi yang jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan.
Sebuah ide melintas di benak Reni. Catatan perbaikan dari sinopsis cerita ini: "Tambahkan latar belakang sejarah patung yang lebih mendalam agar kutukannya lebih punya 'akar'. Bisa disisipkan karakter paranormal atau ahli seni sebagai kontras logika vs supranatural."
Reni tidak bisa hanya pasrah. Ia harus mencari bantuan. Ia butuh seseorang yang memahami dunia supranatural, atau setidaknya seseorang yang bisa menawarkan sudut pandang alternatif untuk melawan kutukan ini. Seseorang yang bisa menjadi "kontras logika vs supranatural" seperti yang disarankan dalam catatan perbaikan.
Ia teringat seorang profesor sejarah seni yang dikenalnya, Profesor Anggara. Profesor Anggara bukan hanya ahli seni, tetapi juga memiliki minat mendalam pada mitologi dan kepercayaan kuno. Ia mungkin tidak percaya takhayul, tapi ia pasti bisa memberikan wawasan tentang sejarah atau simbolisme patung ini. Minimal, ia bisa memberikan sudut pandang akademis yang bisa Reni gunakan untuk meyakinkan Deni, atau setidaknya untuk memahami lebih jauh apa yang mereka hadapi.
Reni merasa sedikit harapan muncul. Ia tidak akan membiarkan patung terkutuk itu mengambil kakaknya. Ia akan berjuang, bahkan jika itu berarti ia harus menghadapi kekuatan yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Patung itu mungkin memiliki sejarah panjang dan mengerikan, tetapi Reni yakin, setiap kutukan pasti ada penawarnya. Atau setidaknya, ada cara untuk memutus siklus terornya.
Bab 6 – Dorongan Membunuh
Keesokan harinya, Deni bangun dengan perasaan aneh yang campur aduk. Ia merasa lebih jernih setelah Reni membujuknya untuk makan dan tidur, namun ada sensasi yang lebih menakutkan yang kini mencengkeramnya. Kilasan-kilasan mengerikan itu tidak lagi muncul secara acak. Kini, mereka terfokus pada satu objek: Reni, adiknya sendiri.
Ia melihat Reni berdiri di tepi balkon lantai dua rumah mereka, tersenyum padanya. Namun, senyum itu perlahan berubah menjadi seringai mengerikan, matanya memerah dan taringnya memanjang. Di belakang Reni, muncul bayangan hitam raksasa, seolah menarik-narik adiknya, memprovokasi Deni untuk melakukan sesuatu. Suara bisikan di telinganya semakin jelas, semakin mendesak: "Dia adalah musuh! Dia menghalangi jalanmu! Dorong dia! Bayar darah dengan darah!"
Deni berusaha melawan. Ia tahu itu adalah Reni, adiknya yang selalu peduli padanya. Tapi bisikan itu begitu kuat, begitu persuasif, seolah ia adalah kebenaran mutlak. Dorongan untuk membunuh itu begitu nyata, begitu mendesak, hingga otot-ototnya menegang.
Reni, yang tidak menyadari perjuangan internal Deni, mencoba untuk tetap berada di dekat kakaknya. Ia mencoba berbicara tentang Profesor Anggara, tentang rencana untuk mencari tahu lebih banyak tentang patung itu. Namun, Deni tidak mendengarkan. Pandangannya terpaku pada Reni, bukan sebagai adiknya, melainkan sebagai "sosok jahat" dari mimpinya, sebagai salah satu korban yang harus ia habisi.
Beberapa kali, Deni nyaris melakukannya. Saat Reni berdiri di dekat tangga, Deni merasakan dorongan kuat untuk mendorongnya hingga jatuh. Ia mengepalkan tangan, kuku-kukunya menusuk telapak tangannya sendiri, berusaha menahan diri. Namun, bisikan itu semakin kuat, membanjiri seluruh pikirannya. "Sekarang! Lakukan! Akhiri penderitaanmu dengan penderitaan orang lain!"
Puncak ketegangan terjadi saat Reni sedang menyiram tanaman di balkon lantai dua. Deni berdiri tidak jauh darinya, tubuhnya tegang, napasnya memburu. Ia melihat Reni bukan lagi sebagai adiknya, melainkan sebagai salah satu "korban" dari pembantaian dalam mimpinya. Wajah Reni dalam pandangannya berubah menjadi wajah yang penuh ketakutan, matanya melotot, siap menerima nasib tragisnya.
Tangan Deni terulur, perlahan-lahan mendekati punggung Reni. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul di dadanya seperti drum perang. Bisikan "Dorong dia!" bergaung di kepalanya, diulang-ulang tanpa henti. Ia bisa merasakan aura dingin yang memancar dari patung itu, seolah energi gelapnya mendorong tangannya.
"Deni, kenapa kau diam saja?" Reni berbalik, menyadari kehadiran kakaknya yang tiba-tiba tegang. Saat itulah, Reni melihat ekspresi mengerikan di wajah Deni. Matanya memerah, pupilnya melebar, dan ada seringai kejam yang samar di bibirnya.
Reni terkejut. Ia belum pernah melihat ekspresi seperti itu di wajah kakaknya. Ia mundur selangkah, nalurinya berteriak bahaya.
Melihat Reni mundur, Deni seperti tersentak dari transnya. Sesuatu di dalam dirinya melawan. Kilasan akal sehat kecil, secercah ingatan tentang siapa Reni sebenarnya, melintas di benaknya. Ini adiknya. Adiknya yang ia sayangi.
"Tidak! Jangan!" Deni berteriak, suaranya parau. Ia menarik tangannya kembali seolah tangannya terbakar. Ia berbalik, menjauhi Reni, bersandar ke dinding, dan meluncur jatuh ke lantai. Ia memeluk lututnya, kepalanya terbenam di antara lengannya, dan mulai menangis tersedu-sedu. Tangisan itu bukan tangisan sedih, melainkan tangisan frustrasi, ketakutan, dan rasa jijik pada dirinya sendiri.
"Reni… menjauh dariku," Deni terisak, suaranya putus-putus. "Ada sesuatu di dalam diriku… sesuatu yang ingin membunuhmu. Aku… aku tidak bisa mengendalikannya. Aku takut."
Reni berlutut di depannya, menatapnya dengan campuran ketakutan dan kesedihan. Ia bisa melihat perjuangan Deni, betapa mengerikannya pertarungan yang terjadi di dalam diri kakaknya. Deni bukan Deni yang ia kenal. Ada kekuatan lain yang merasukinya.
"Aku tidak akan menjauh darimu, Deni," kata Reni, suaranya lembut namun tegas. "Aku di sini bersamamu. Kita akan melewati ini bersama."
"Kau tidak mengerti!" Deni mengangkat kepalanya, matanya merah karena menangis. "Aku melihatmu sebagai… mereka. Aku melihatmu sebagai korban. Aku melihatmu sebagai musuh! Bisikan itu… bisikan itu nyata! Mereka ingin darahmu!"
Reni merasakan hawa dingin yang menusuk. Ini bukan lagi sekadar halusinasi. Ini adalah perang di dalam pikiran Deni. Ia tahu ia harus lebih cepat. Patung itu benar-benar menguasai kakaknya.
"Siapa 'mereka', Deni?" Reni mencoba mencari informasi lebih lanjut.
Deni menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu! Mereka adalah bayangan dari mimpi, wajah-wajah yang mati, yang terbunuh! Dan patung itu… dia adalah perantara mereka."
Reni memeluk Deni erat-erat. Ia merasakan tubuh kakaknya bergetar hebat. Ia bisa mencium bau ketakutan, dan bau aneh yang samar, seperti bau tanah basah dan darah kering yang menempel di tubuh Deni. Ia menyadari betapa parahnya kondisi kakaknya.
"Deni, aku akan menghubungi Profesor Anggara. Kita akan cari tahu tentang patung ini, tentang kutukan ini. Kita akan mencari cara untuk menghentikannya," kata Reni, mencoba memberikan harapan.
Deni hanya mengangguk pelan, masih terisak. Ia takut pada dirinya sendiri, takut pada apa yang bisa ia lakukan. Ia merasa seperti boneka yang ditarik-tarik oleh benang tak kasat mata, dipaksa untuk melakukan kejahatan yang tidak ia inginkan. Dan patung itu, di ruang kerja yang gelap, seolah tersenyum puas, mengetahui bahwa ia hampir berhasil meraih tujuannya. Dorongan untuk membunuh itu telah ditanamkan, dan itu hanya masalah waktu sebelum ia meledak.
Bab 7 – Penurunan Total
Setelah insiden di balkon, Deni semakin menarik diri. Ia mengunci diri di kamarnya, yang kini terasa seperti sel penjara. Reni mencoba membujuknya keluar, menawarkan makanan, tapi Deni menolak semuanya. Ia hanya ingin sendirian, atau lebih tepatnya, ia ingin sendirian bersama patung itu.
Ia telah membawa patung itu dari ruang kerjanya ke kamarnya. Entah mengapa, ia merasa perlu berada di dekatnya, seolah ada ikatan tak terlihat yang mengikat mereka. Patung itu diletakkan di samping tempat tidurnya, matanya yang cekung menatapnya tanpa henti. Di mata Deni, patung itu bukan lagi sekadar ukiran kayu. Ia adalah makhluk hidup, entitas gelap yang merasuki setiap inci keberadaannya.
Tiga hari berlalu tanpa Deni makan atau minum. Tubuhnya kurus kering, bibirnya pecah-pecah, dan matanya cekung. Ia tidak tidur, karena setiap kali ia memejamkan mata, mimpi-mimpi pembantaian itu kembali dengan detail yang semakin jelas dan mengerikan. Ia melihat wajah-wajah korban yang ia bunuh dalam mimpinya, mereka menatapnya dengan penuh kebencian, menuntut pembalasan.
Bisikan-bisikan dari patung itu semakin mendominasi pikirannya. Bisikan-bisikan itu kini bukan hanya sekadar dorongan, melainkan perintah langsung. "Bunuh! Bunuh! Bayar darah dengan darah! Mereka harus mati!" Suara-suara itu saling tumpang tindih, berteriak di kepalanya, membuatnya gila. Deni mencoba menulikan telinganya, namun suara itu seperti berasal dari dalam dirinya sendiri.
Dalam keadaan setengah sadar, Deni meraih buku catatannya yang selalu ia bawa. Ia mulai menulis, tangannya gemetar, tulisannya tak karuan, dipenuhi coretan-coretan tak beraturan. Ia menulis tentang suara-suara yang menghantuinya, tentang perintah membunuh yang tak bisa ia tolak, tentang penglihatan neraka yang kini menjadi realitasnya. Halaman-halaman itu dipenuhi simbol-simbol kuno yang sama dengan sayatan di tubuhnya, dan sketsa-sketsa wajah tercabik yang mirip dengan patung itu. Setiap kata adalah jeritan keputusasaan, setiap coretan adalah bukti dari kehancuran mentalnya.
"Mereka ada di mana-mana," ia menulis, dengan tulisan yang berantakan. "Mereka melihatku. Patung itu… dia adalah portal. Aku harus membersihkan dunia dari mereka. Darah… butuh darah…"
Reni mencoba masuk beberapa kali, menggedor pintu, memanggil namanya. Namun, Deni mengabaikannya. Reni adalah salah satu "mereka" sekarang, salah satu target yang harus ia habisi. Tapi ada sebagian kecil dari dirinya yang masih melawan, yang masih mengenal Reni sebagai adiknya, sebagai satu-satunya orang yang peduli padanya. Perlawanan internal itulah yang membuatnya tetap mengurung diri, untuk melindungi Reni dari dirinya sendiri.
Namun, bisikan-bisikan itu semakin kuat, menenggelamkan suara akal sehatnya. Patung itu, dengan mata kosongnya, seolah menghipnotis Deni, memancarkan energi gelap yang perlahan tapi pasti menguasai jiwanya. Ia merasa dingin, sangat dingin, seperti hawa kematian yang merayapi tubuhnya.
Dalam keadaan linglung, Deni bangkit dari tempat tidurnya. Kakinya terasa lemas, tubuhnya goyah, namun ada kekuatan tak terlihat yang mendorongnya. Ia berjalan keluar dari kamarnya, melewati Reni yang terus menggedor pintu, tanpa menoleh. Reni berteriak namanya, tapi Deni tidak mendengar. Ia seperti berjalan dalam trans, mengikuti perintah yang hanya ia dengar.
Patung itu seolah memimpinnya. Deni membawa patung itu bersamanya, memegangnya erat-erat seolah patung itu adalah satu-satunya penopang hidupnya. Mereka berdua berjalan menuju ruang tamu.
Ruang tamu yang biasanya terang dan lapang, kini terasa gelap dan menyesakkan. Deni menatap langit-langit, mencari sesuatu. Pandangannya terpaku pada sebuah balok kayu besar yang melintang di langit-langit. Bisikan itu, "Gantung dirimu! Bayar darah dengan darahmu sendiri!"
Air mata mengalir di pipi Deni. Ada bagian kecil dari dirinya yang menyadari kengerian ini, namun ia terlalu lemah untuk melawan. Ia merasa seperti tubuhnya tidak lagi miliknya, seperti ada kekuatan lain yang mengendalikannya.
Dengan tangan gemetar, Deni meraih tali tambang yang entah dari mana muncul di benaknya. Ia tidak ingat pernah memiliki tali seperti ini. Tapi bisikan itu… bisikan itu begitu kuat, begitu meyakinkan, seolah tali itu sudah ada di sana menunggunya. Ia menyiapkan tali itu, membuat simpul gantung diri yang sempurna. Tangannya bergerak otomatis, seperti telah melakukannya berkali-kali.
Ia menaiki sebuah kursi, tubuhnya bergetar hebat. Patung itu, ia letakkan di lantai di depannya, tepat di bawahnya. Patung itu seolah tersenyum, menyaksikannya, menunggunya untuk menyelesaikan "tugasnya".
"Maafkan aku, Reni," bisik Deni, suaranya nyaris tak terdengar. Ia melihat bayangan Reni yang berteriak di ambang pintu, wajahnya penuh ketakutan. Tapi ia tidak bisa berhenti. Dorongan itu, perintah itu, terlalu kuat. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan ini, untuk mengakhiri bisikan-bisikan itu.
Dalam keadaan setengah sadar, dengan air mata membasahi pipinya, Deni menempatkan tali itu di lehernya. Pandangannya kosong, hanya ada kegelapan yang menunggunya. Ia menendang kursi itu, dan tubuhnya menggantung tak bernyawa di tengah ruang tamu yang gelap, ditemani oleh patung terkutuk yang kini tampak lebih menyeramkan dari sebelumnya. Patung itu, seolah telah menyelesaikan misinya, kini berdiri tegak, siap menunggu "tuan baru" berikutnya.
Bab 8 – Setelah Kepergian Deni
Reni menggedor pintu kamar Deni untuk terakhir kalinya, keputusasaan merayapi hatinya. Ia sudah mencoba segalanya: memohon, mengancam, bahkan mencoba mendobrak pintu. Tapi Deni tetap terkunci di dalam, mengabaikan semua panggilannya. Ia sempat mendengar langkah kaki Deni keluar dari kamar, tapi ia tidak sempat menahannya.
Firasat buruk yang kuat mendorong Reni untuk berlari ke ruang tamu. Saat ia memasuki ruangan itu, ia merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya.
Tubuh Deni tergantung tak bernyawa di tengah ruang tamu, berayun pelan seperti pendulum yang mengerikan. Wajahnya pucat pasi, matanya melotot, dan lidahnya menjulur. Reni berteriak, jeritan yang menusuk hingga ke tulang, memecah kesunyian rumah yang gelap. Ia berlari menghampiri tubuh kakaknya, mencoba meraihnya, tapi sudah terlambat.
Air mata membasahi wajahnya saat ia memotong tali itu, tubuh Deni jatuh ke lantai dengan suara yang memilukan. Reni memeluk tubuh kakaknya, terisak-isak, tidak percaya pada apa yang baru saja ia saksikan. Kakaknya, satu-satunya keluarganya, telah pergi. Dan ia tahu, jauh di lubuk hatinya, patung itulah penyebabnya.
Di sudut ruangan, patung itu berdiri tegak, seolah mengawasinya. Wajah tercabik dan tangan mencekiknya tampak lebih menyeramkan dari sebelumnya, seolah patung itu tersenyum puas atas kematian Deni. Reni menatap patung itu dengan kebencian murni. Ia ingin menghancurkannya, membakarnya, melemparkannya ke laut. Namun, ada semacam ketakutan yang menahannya, ketakutan akan kekuatan tak terlihat yang mungkin akan melindunginya.
Hari-hari berikutnya adalah kabut kesedihan dan keputusasaan bagi Reni. Ia mengurus pemakaman Deni sendirian, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kerabat dan teman-teman dengan jawaban yang samar dan tidak jujur. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa kakaknya bunuh diri karena patung terkutuk? Tidak ada yang akan percaya padanya. Mereka hanya akan menganggap Deni menderita depresi dan Reni terlalu berduka untuk berpikir jernih.
Profesor Anggara, yang sempat ia hubungi sebelumnya, datang melayat. Reni menceritakan semua yang ia alami, tentang patung itu, tentang penelitiannya di forum daring. Profesor Anggara mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan campuran rasa ingin tahu ilmiah dan sedikit kekhawatiran. Ia tidak langsung percaya pada kutukan, tetapi ia mengakui bahwa patung itu memang memiliki karakteristik yang menarik dari sudut pandang sejarah dan seni. Ia berjanji akan membantu Reni mencari tahu lebih banyak tentang patung itu.
Namun, Reni tidak punya waktu. Ia tidak bisa lagi tinggal di rumah itu, di mana setiap sudut mengingatkannya pada kengerian yang Deni alami. Ia memutuskan untuk menjual semua koleksi seni Deni, termasuk patung terkutuk itu. Ia ingin menyingkirkan semua yang ada hubungannya dengan tragedy ini. Patung itu adalah yang pertama ia ingin hilangkan. Ia tidak peduli berapa harganya, yang penting ia ingin benda itu lenyap dari kehidupannya.
Ia menghubungi sebuah rumah lelang seni terkemuka, menjelaskan bahwa ia ingin menjual seluruh koleksi seni kakaknya secepat mungkin. Pihak rumah lelang setuju, tertarik dengan koleksi Deni yang memang cukup terkenal di kalangan kolektor.
Patung itu dikemas dengan hati-hati oleh petugas lelang. Saat patung itu diangkat dari rumahnya, Reni merasa seolah beban berat terangkat dari pundaknya. Namun, perasaan lega itu bercampur dengan kecemasan yang aneh. Ia tahu patung itu membawa kutukan, dan ia takut patung itu akan menemukan korban baru.
Beberapa minggu kemudian, rumah lelang mengadakan acara pelelangan. Reni tidak hadir. Ia tidak sanggup melihat benda-benda yang pernah menjadi bagian hidup Deni dilelang. Ia hanya ingin semua berakhir.
Namun, ia terus memantau hasil pelelangan. Banyak koleksi Deni terjual dengan harga tinggi. Patung itu, meskipun mengerikan, menarik perhatian beberapa kolektor eksentrik. Penawaran berjalan sengit, hingga akhirnya patung itu terjual.
Saat Reni menerima laporan penjualan, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat nama pembelinya. Sebuah nama yang tidak asing, sebuah nama yang langsung membuat darahnya berdesir dingin. Nama itu adalah "Tuan Anonymus", alamatnya tidak jelas, hanya sebuah kotak pos. Namun, deskripsi fisiknya – seorang pria tua dengan mata tajam dan kulit keriput – langsung mengingatkan Reni pada satu-satunya orang yang menjual patung itu kepada Deni. Pria tua misterius dari Pasar Loak Kebonjati.
Tidak mungkin. Reni mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya kebetulan. Mungkin ada banyak pria tua misterius yang membeli seni antik. Tapi nalurinya berteriak bahwa ini lebih dari sekadar kebetulan. Patung itu telah kembali kepada pemilik aslinya, atau setidaknya kepada perantaranya.
Reni merasa mual. Ia telah mencoba menyingkirkan patung itu, memutus siklusnya, tapi ternyata ia hanya memperpanjang rantai teror. Patung itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti tangan, menunggu saat yang tepat untuk kembali kepada "tuannya" yang sebenarnya, atau menunggu "tuan baru" yang bisa ia pancing ke dalam jebakannya.
Bab 9 – Sang Penjual Kembali
Di sebuah sudut tersembunyi di dalam rumah lelang, tepat di area pengambilan barang yang sunyi setelah keramaian pelelangan mereda, seorang pria tua kurus dengan jubah lusuh sedang menunggu. Udara di sekelilingnya terasa dingin, meskipun pendingin ruangan tidak terlalu kencang. Wajahnya yang keriput dan mata yang tajam, namun tampak kosong, mengamati sekeliling dengan cermat. Ia adalah orang yang sama yang dulu menjual patung itu kepada Deni.
Seorang staf rumah lelang, seorang pemuda yang tampak gugup, mendorong troli berisi sebuah peti kayu panjang yang terbungkus kain beludru hitam. Ia tahu isi peti itu adalah patung kayu yang aneh dan mengerikan yang baru saja terjual dengan harga yang tidak masuk akal. Pemuda itu merasakan hawa dingin yang menusuk setiap kali ia menyentuh peti itu.
"Tuan Anonymus?" tanya pemuda itu, suaranya sedikit bergetar.
Pria tua itu mengangguk pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya yang tipis. Senyum itu tidak menjangkau matanya, melainkan tampak seperti seringai yang kejam. "Ya. Ini untukku."
Saat peti dibuka, patung itu terungkap. Wajahnya yang tercabik dan tangannya yang mencekik leher sendiri tampak begitu hidup di bawah cahaya remang-remang gudang. Mata cekung patung itu seolah menatap langsung ke arah pemuda itu, membuatnya bergidik.
Pria tua itu mendekat, menyentuh patung itu dengan sentuhan yang lembut, seolah-olah ia sedang menyentuh kekasih lamanya. Ia mengusap permukaan kayu gelap itu, dan pemuda itu bisa bersumpah ia melihat cahaya merah samar berkedip di mata patung.
"Ia sudah menuntaskan tugasnya," bisik pria tua itu, suaranya serak namun terdengar penuh kepuasan.
Pemuda itu tidak mengerti, namun ia tidak berani bertanya. Ia hanya ingin pria tua itu segera pergi.
Tepat pada saat itu, Reni tiba di rumah lelang. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak datang. Meskipun ia sudah mencoba melupakan semua ini, nama pembeli patung itu terus mengganggu pikirannya. Ia harus melihatnya sendiri, memastikan kecurigaannya.
Ia melihat pria tua itu, berdiri di samping patung, persis seperti yang ia bayangkan. Pria tua yang sama. Pria yang menjual patung itu kepada Deni. Jantung Reni berdegup kencang, perasaannya campur aduk antara kemarahan, ketakutan, dan keputusasaan.
"Anda…" Reni memulai, suaranya tercekat. Ia ingin menanyakan mengapa pria tua itu menjualnya kepada Deni, mengapa patung itu kembali padanya.
Pria tua itu menoleh, matanya yang tajam menatap langsung ke mata Reni. Sebuah senyuman kejam muncul di bibirnya. "Kau adiknya, bukan? Gadis yang berhasil selamat."
Reni mundur selangkah, terkejut. "Bagaimana Anda tahu?"
Pria tua itu terkekeh pelan. "Oh, aku tahu banyak hal, Nona. Aku mengenal setiap 'tuan' yang pernah dimilikinya. Dan aku mengenal setiap 'tugas' yang berhasil ia tuntaskan." Ia menunjuk patung itu. "Ia sudah menuntaskan tugasnya. Sekarang, waktunya menemukan tuan baru."
Reni merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsumnya. Kata-kata pria tua itu mengukir ketakutan yang dalam di hatinya. Patung ini, kutukan ini, tidak akan pernah berakhir. Ia hanya berganti korban, mencari jiwa-jiwa baru untuk dirasuki.
"Mengapa? Mengapa Anda melakukan ini?" Reni bertanya, suaranya bergetar.
Pria tua itu hanya tersenyum simpul, senyum yang tidak ada kehangatan di dalamnya. "Ini adalah siklus, Nona. Sebuah takdir yang tidak bisa dihindari. Kutukan ini… ia abadi. Dan aku… aku hanyalah pengumpul. Pengumpul dari jiwa-jiwa yang telah ia klaim."
Reni menatap patung itu. Di matanya, patung itu bukan lagi sekadar ukiran kayu. Ia adalah perwujudan dari kejahatan murni, sebuah entitas yang hidup dan bernafas, yang haus akan penderitaan.
Pria tua itu mulai mendorong peti berisi patung itu keluar dari gudang. "Jangan khawatir, Nona. Nasibmu sudah menunggu di tempat lain. Tapi takdirnya… takdirnya akan terus berlanjut."
Reni ingin berteriak, ingin memperingatkan siapa pun yang akan menjadi korban berikutnya. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia merasa tak berdaya. Ia telah melihat kehancuran kakaknya, dan ia tahu ia tidak bisa menghentikan siklus ini.
Kamera keamanan di rumah lelang, yang merekam setiap sudut gudang, menangkap pria tua itu mendorong peti keluar. Ia berjalan perlahan, namun saat ia mencapai ujung lorong yang gelap, di mana cahaya redup menyorot, bayangannya memanjang, dan kemudian… ia menghilang.
Tidak ada langkah kaki, tidak ada suara pintu terbuka. Pria tua itu, dengan patung terkutuk di sisinya, lenyap seperti asap, meninggalkan Reni sendirian di lorong yang dingin. Rekaman CCTV itu hanya menunjukkan lorong kosong setelah bayangan pria tua itu menghilang, seolah ia tidak pernah ada di sana.
Reni tersentak, merasakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ia tahu apa artinya. Pria tua itu bukan manusia biasa. Ia adalah penjaga, atau mungkin perantara, dari kutukan itu sendiri. Dan ia akan terus memastikan patung itu menemukan "tuan baru" dan menuntaskan "tugasnya" untuk selamanya.