Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,495
Teror
Misteri

Bab 1: Bungkusan Pertama

Udara Makassar di pagi hari biasanya membawa kehangatan yang lembut, aroma kopi yang menguar dari warung-warung sudut jalan, dan suara riuh kendaraan yang memulai hari. Namun, bagi Aditya, rumah warisan orang tuanya yang berlokasi di Jalan Anggrek, sebuah jalan sepi dengan pohon-pohon tua yang rimbun, terasa seperti dunia lain. Dinding-dindingnya yang kusam, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, seolah menyimpan bisikan masa lalu, bisikan yang hanya dia, sebagai satu-satunya penghuni, yang mendengarnya.

Aditya hidup dalam rutinitas yang nyaris monoton sejak orang tuanya meninggal empat tahun lalu. Ayahnya, seorang kolektor barang antik, pergi mendahului ibunya karena komplikasi jantung, meninggalkan rumah penuh kenangan dan barang-barang kuno yang tak terhitung jumlahnya. Setahun kemudian, ibunya menyusul, akibat depresi yang tak kunjung pulih. Sejak itu, rumah ini menjadi benteng sunyinya, dunianya yang terisolasi dari hiruk pikuk kota. Pekerjaannya sebagai ilustrator lepas memungkinkan dia untuk jarang keluar, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan meja gambar, ditemani tumpukan buku-buku lama dan keheningan yang memekakkan telinga.

Pagi itu, hari Selasa yang cerah, langit biru bersih membentang luas. Aditya turun dari kamarnya di lantai dua, langkah kakinya memecah kesunyian tangga kayu yang berderit. Dia mengenakan kaus oblong longgar dan celana pendek, rambutnya sedikit acak-acakan bekas tidur. Tujuan pertamanya adalah dapur, untuk menyeduh kopi hitam pekat, ritual pagi yang tak pernah dia lewatkan. Saat melintasi ruang tamu yang luas, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di balik pintu utama. Sebuah gumpalan gelap, kontras dengan ubin teras yang cerah.

"Apa itu?" gumamnya, mendekat dengan sedikit rasa penasaran.

Saat pintu terbuka, bau busuk langsung menyeruak, menusuk hidung Aditya. Ia terkesiap. Di atas keset lusuh yang bertuliskan "Welcome Home", tergeletak sebuah bungkusan kain lusuh berwarna cokelat gelap, seukuran telapak tangan orang dewasa. Kain itu tampak kotor, seperti bekas terinjak lumpur. Dengan perasaan jijik yang samar, Aditya membungkuk. Bungkusan itu tidak diikat, hanya dilipat asal. Saat ujung kainnya sedikit tersibak, mata Aditya membelalak. Di dalamnya, terbaring seekor bangkai tikus yang sudah kaku, matanya melotot kosong, giginya menyeringai mengerikan.

"Sialan!" umpatnya refleks, melompat mundur. Bau anyir dan busuk itu semakin kuat, seolah merasuki udara pagi yang segar.

Jantung Aditya berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena rasa jijik dan keheranan. Siapa yang akan melakukan hal seaneh ini? Anak-anak iseng? Mustahil. Anak-anak di kompleks ini tidak pernah sejauh ini kenakalan mereka. Apalagi rumahnya berada di ujung jalan buntu, jarang dilewati orang. Ia melongok ke kanan dan kiri, hanya ada gerbang tinggi rumah tetangga dan tembok kusam yang membentang. Jalanan sepi.

Dengan napas tercekat, Aditya mengambil sarung tangan plastik dari dapur, membungkus bangkai tikus itu dengan beberapa lapis koran, lalu memasukannya ke dalam kantong plastik hitam. Ia segera membuangnya ke tempat sampah umum di ujung gang, berharap baunya cepat hilang. Sepulangnya, ia menyemprot disinfektan di teras dan mencuci tangannya berkali-kali, berusaha menghilangkan sisa rasa jijik dan bayangan bangkai tikus yang terus melekat di benaknya.

"Ulah orang iseng paling," gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Atau mungkin kucing liar bawa mangsa." Meski begitu, ada perasaan ganjil yang mengganjal di hatinya. Tikus mati dibungkus kain? Itu bukan kebetulan atau ulah binatang.

Beberapa hari berikutnya berlalu tanpa insiden. Aditya kembali tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba melupakan kejadian pagi itu. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di studio kecilnya di lantai dua, ruangan yang dulunya adalah kamar kerja ayahnya. Aroma khas kertas tua dan tinta masih melekat, memberinya rasa nyaman sekaligus kesepian yang dalam.

Namun, perlahan, hal-hal kecil mulai terjadi.

Awalnya, itu hanya hal-hal sepele, sesuatu yang bisa dengan mudah disalahkan pada kelupaannya sendiri. Suatu pagi, setelah selesai menggambar semalaman, Aditya meletakkan pensil favoritnya di atas meja, di samping sketsa yang belum selesai. Ketika ia kembali setelah mengambil minum, pensil itu sudah berpindah tempat, tergeletak di lantai, di bawah meja.

"Aneh," gumamnya, memungut pensil itu. Ia yakin sekali sudah meletakkannya di atas meja. Mungkin ia menyenggolnya tanpa sadar?

Beberapa hari kemudian, insiden serupa terjadi. Kali ini, sebuah buku sejarah seni yang sering ia baca, yang selalu dia simpan di rak paling atas dekat jendela, ditemukan tergeletak terbuka di meja kopi ruang tamu. Aditya ingat betul dia tidak membawanya turun. Ia bahkan tidak membacanya beberapa hari terakhir.

"Aku mulai pikun ya?" ia mencoba tertawa, namun ada kerutan di dahinya. Pikun di usia 27? Rasanya terlalu dini.

Keanehan itu berlanjut. Remote TV yang biasanya ia letakkan di bantal sofa, suatu pagi ditemukan di atas kulkas dapur. Kacamata baca yang selalu dia gantung di bingkai kasur, berada di meja nakas samping tempat tidur, padahal dia ingat tidak pernah meletakkannya di sana. Awalnya, Aditya berusaha keras untuk tidak memikirkannya. Ia adalah pria yang rasional, tidak percaya takhayul atau hal-hal mistis. Pasti ada penjelasan logis. Mungkin ia berjalan dalam tidur? Atau terlalu lelah hingga lupa.

Tapi kejadiannya semakin sering. Setiap pagi, setelah ia terbangun, ada saja satu atau dua barang di rumah yang berpindah posisi. Sebuah majalah yang diletakkan di meja makan, kini ada di rak sepatu dekat pintu masuk. Gelas air minum yang semalam ia taruh di samping tempat tidur, paginya ditemukan di wastafel dapur, seolah ada yang mengembalikannya. Tidak ada yang hilang, tidak ada kerusakan. Hanya pergeseran. Pergeseran yang halus, tapi konsisten.

Rasa aneh yang tadinya samar, kini mulai merayap menjadi kecurigaan. Rumah ini, benteng kesunyiannya, mulai terasa... berbeda. Seperti ada kehadiran lain di dalamnya, kehadiran yang tidak terlihat, namun aktif. Kehadiran yang bergerak dalam senyap malam, saat ia terlelap.

Aditya mulai merasa tidak nyaman. Tidurnya tidak lagi senyenyak dulu. Ia sering terbangun di tengah malam, dengan perasaan gelisah yang tak bisa dijelaskan. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, telinganya menajam, mencoba menangkap suara sekecil apa pun di balik dinding. Hawa dingin yang aneh sering menyergap, padahal cuaca Makassar cenderung hangat. Ia mulai memeriksa setiap pintu dan jendela sebelum tidur, memastikan semuanya terkunci rapat. Seolah-olah, ia sedang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang tidak ia pahami.

Suatu malam, ia bahkan melakukan eksperimen kecil. Ia menaruh kunci mobil di atas meja makan, persis di tengah-tengah. Setelah itu, ia mengambil foto dengan ponselnya. "Kita lihat besok pagi," bisiknya pada diri sendiri, sedikit geli dengan tingkah lakunya.

Pagi berikutnya, jantung Aditya berdebar kencang saat ia melangkah ke ruang makan. Dan benar saja. Kunci mobil itu tidak lagi di tengah meja. Ia bergeser, sedikit ke pinggir, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang mendorongnya. Aditya memeriksa foto di ponselnya, membandingkannya dengan posisi kunci sekarang. Tidak ada keraguan. Kunci itu memang berpindah.

Senyum geli di wajahnya perlahan luntur, digantikan oleh kerutan serius. Ulah iseng? Kucing? Jalan dalam tidur? Semua alasan logis yang ia coba yakini mulai runtuh satu per satu. Rasa aneh itu berubah menjadi kecemasan. Ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang bukan dari dunia ini, atau setidaknya, bukan sesuatu yang bisa dijelaskan secara rasional.

Keheningan rumah yang dulu menenangkan, kini terasa mencekam. Setiap derit lantai, setiap hembusan angin yang menyelinap dari celah jendela, terdengar seperti bisikan, seperti langkah kaki. Aditya mulai merasa tidak sendirian di rumahnya. Dan pikiran itu, alih-alih memberinya rasa nyaman, justru menghadirkan sensasi dingin yang merayap di tulang punggungnya. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah ini, rumah orang tuanya, rumah tempat ia tumbuh besar, kini terasa asing dan penuh misteri. Misteri yang bersembunyi dalam bayangan, dan hanya muncul saat pagi tiba.

Bab 2: Gangguan yang Konsisten

Kecemasan yang samar itu kini telah bermetamorfosis menjadi ketakutan yang nyata, dingin, dan menusuk. Setelah insiden kunci mobil, Aditya tahu ia tidak bisa lagi mengabaikan keanehan yang terjadi di rumahnya. Logika dan rasionalitasnya, yang selama ini menjadi tameng pelindungnya, mulai runtuh di hadapan bukti-bukti yang semakin tak terbantahkan. Ada sesuatu di rumah ini, dan itu bukan imajinasinya.

Malam itu, setelah bergumul dengan pikiran-pikirannya hingga larut, Aditya memutuskan untuk mengambil langkah konkret. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencari toko elektronik daring yang bisa melakukan pengiriman cepat. Pilihannya jatuh pada satu set kamera pengawas nirkabel dengan fitur night vision dan sensor gerak. Jika ada yang bergerak di rumahnya, ia akan menangkapnya. Ia tak peduli lagi apakah itu pencuri atau sesuatu yang lain. Yang jelas, ia butuh bukti visual.

Kamera tiba dua hari kemudian. Dengan tangan gemetar, Aditya memasangnya di beberapa titik strategis: satu menghadap ruang tamu dan pintu depan, satu lagi di lorong menuju dapur, dan satu di lantai dua, menghadap tangga. Ia menyambungkannya ke ponselnya, memastikan semua feed terpantau. "Sekarang, kita lihat siapa yang bermain-main," gumamnya, ada sedikit kepuasan tercampur kecemasan dalam suaranya.

Malam pertama kamera terpasang, Aditya tidak bisa tidur. Matanya terus terpaku pada layar ponsel, memantau setiap sudut rumahnya. Detik demi detik berlalu, jam merangkak melewati tengah malam. Tidak ada yang terjadi. Semua rekaman kosong. Pukul 02.00 dini hari, ia bahkan melihat sekilas kilatan cahaya di kamera ruang tamu, seperti flare lensa, yang membuatnya terkejut. Namun, tidak ada pergerakan apa pun setelahnya. Ia merasa sedikit konyol, mungkin hanya kelelahan yang memicu paranoia. Akhirnya, ia terlelap dengan ponsel masih di genggamannya.

Pagi harinya, Aditya terbangun dengan perasaan sedikit lega. Ia buru-buru memeriksa rekaman. Namun, yang ia temukan hanya kekecewaan. Rekaman dari semua kamera kosong. Tidak ada aktivitas terekam sama sekali. Ia mencoba memutar ulang, maju cepat, dan memperlambat, tapi hasilnya sama: hamparan waktu kosong yang tak merekam apa-apa. Lebih aneh lagi, beberapa file rekaman menunjukkan kerusakan. Ada glitch aneh, garis-garis acak, atau gambar yang terdistorsi. Seolah-olah ada gangguan elektromagnetik yang aneh setiap kali kamera seharusnya merekam sesuatu.

"Tidak mungkin," bisiknya, menggesek layar ponselnya berulang kali. Bagaimana bisa? Kamera ini baru dan canggih.

Rasa lega yang sempat ia rasakan lenyap, digantikan oleh gelombang frustrasi dan kemarahan. Rasanya seperti sedang dipermainkan. Semakin ia mencoba mencari penjelasan logis, semakin ia terdorong ke sudut yang gelap. Kejadian ini membuatnya semakin yakin. Ini bukan sekadar ulah iseng atau kelalaian. Ada sesuatu yang ghaib, sesuatu yang lebih cerdas dan licik dari yang dia duga.

Gangguan itu tidak berhenti. Barang-barang tetap berpindah. Remote TV ditemukan di dalam laci pakaiannya. Kunci motor, yang ia letakkan di rak dekat pintu, kini berada di pot tanaman hias di teras. Pola pergeseran ini menjadi semakin aneh dan tidak terduga. Seolah-olah, entitas itu sengaja menantangnya, menertawakan upayanya untuk membuktikan keberadaannya.

Setiap pagi, rutinitas Aditya berubah menjadi investigasi penuh ketegangan. Ia akan berkeliling rumah, mencatat setiap perubahan, setiap anomali. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat karena kurang tidur. Nafsu makannya menurun. Ia menjadi mudah terkejut, bahkan oleh suara dering telepon. Fokusnya pada pekerjaan ilustrasi pun buyar. Garis-garis yang biasanya presisi kini sering goyah, dan warna-warna yang ia pilih terasa mati.

Pada suatu pagi yang mendung, Aditya turun ke ruang makan dengan langkah gontai. Udara terasa dingin menusuk, padahal ia sudah memastikan semua jendela tertutup rapat. Ada aroma aneh yang tercium, bau busuk yang familiar, bercampur dengan sesuatu yang lain—aroma rempah dan tanah. Perasaan dingin merayap dari kakinya, naik ke tulang punggung.

Di atas meja makan, persis di tengah, tergeletak sebuah bungkusan. Kali ini, bukan kain lusuh. Itu adalah kain putih bersih, seperti kain mori, dibungkus rapi seperti buntalan kecil, diikat dengan benang hitam. Jantung Aditya berdebar kencang, lebih cepat dari biasanya. Kain ini terlalu… terencana. Bukan seperti bungkusan asal-asalan yang pertama.

Dengan tangan gemetar, ia mendekat. Aroma busuk dan rempah semakin kuat. Ada semacam pola di lipatan kain itu, seperti dilipat dengan hati-hati oleh seseorang. Ia menjulurkan jari, menyentuh bungkusan itu. Dingin. Dan berat.

Perlahan, ia membuka ikatan benang hitam. Lipatan kain itu tersingkap satu per satu, dengan sensasi yang mengerikan. Dan di dalamnya, tergeletak seekor bangkai burung gagak. Mata hitamnya melotot ke atas, paruhnya sedikit terbuka seolah menganga dalam keheningan. Bulu-bulunya hitam legam, berkilau mengerikan, dan beberapa sudah mulai rontok. Bau busuknya, bercampur aroma amis dan rempah, memenuhi hidungnya hingga ia terpaksa menahan napas. Ini bukan sekadar bangkai yang ditinggalkan kucing. Ini adalah bangkai yang disiapkan. Dimakamkan. Dalam kain kafan mini.

Aditya merasakan mual yang luar biasa. Ia terhuyung mundur, punggungnya menabrak dinding. Otaknya terasa kosong, hanya ada satu pikiran yang berputar-putar: Ini bukan ulah manusia. Tidak ada manusia waras yang akan melakukan hal sekejam dan seaneh ini.

Ia melihat sekeliling, matanya mencari sesuatu, apa saja, yang bisa menjelaskan. Kamera di sudut ruangan, yang seharusnya merekam semua ini, terpaku diam, lampu indikatornya mati. Aditya merasa sesak. Seolah-olah ada sesuatu yang melihatnya, menikmati ketakutannya.

Rasa ngeri itu perlahan berubah menjadi kemarahan. Ia merasa diejek, diteror di rumahnya sendiri. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan baginya.

Ia buru-buru mengambil sarung tangan, membungkus bangkai gagak itu dengan beberapa lapis plastik, dan membuangnya ke tempat sampah umum sejauh mungkin. Setelah itu, ia kembali ke rumah, membersihkan meja makan dengan disinfektan. Tapi aroma itu, dan bayangan bangkai gagak yang dikafani, terus membayanginya.

Sejak hari itu, kehidupan Aditya di rumah menjadi neraka. Ia mulai mendengar suara-suara. Awalnya samar, seperti bisikan jauh atau langkah kaki ringan di lantai atas saat ia berada di bawah. Terkadang, ia seperti mendengar desahan, atau suara sesuatu yang diseret di loteng. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara rumah tua, derit kayu, atau angin. Namun, suara-suara itu semakin jelas, semakin sering.

Suatu malam, saat ia sedang menggambar di studionya, ia mendengar suara ketukan halus dari balik lemari tua ayahnya. Tok. Tok. Tok. Tiga kali. Ia membeku. Napasnya tertahan. Ia menunggu. Tidak ada lagi suara. Ia mencoba melanjutkan gambarnya, tapi tangannya gemetar. Lima menit kemudian, suara itu kembali. Tok. Tok. Tok. Kali ini lebih dekat, seolah-olah ada yang mengetuk dari dalam lemari.

Aditya melompat, berdiri tegak, matanya menatap lemari itu dengan tajam. Lemari kayu jati besar yang sudah ada sejak ia kecil, penuh dengan koleksi buku ayahnya. Ia tidak pernah berpikir ada yang aneh dengan lemari itu. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh daun pintu lemari yang dingin. Tidak ada apa-apa di dalamnya, hanya tumpukan buku-buku.

Ia mulai merasa seperti sedang diawasi. Setiap kali ia membalikkan badan, ia merasa ada bayangan sekilas di sudut matanya, bayangan yang lenyap saat ia menoleh. Udara di sekitarnya sering terasa dingin secara tiba-tiba, meskipun suhu di luar tidak berubah. Rambut di tengkuknya sering meremang tanpa sebab.

Aditya mencoba mencari tahu tentang kejadian-kejadian aneh ini di internet. Ia membaca tentang poltergeist, entitas jahat, rumah berhantu, dan berbagai teori paranormal. Semakin banyak ia membaca, semakin bingung dan ketakutan ia. Beberapa artikel menyarankan untuk menghubungi ahli spiritual. Ide itu, yang dulunya akan ia tertawakan, kini menjadi satu-satunya harapan yang tersisa.

Ia mulai mengunci pintu kamarnya sebelum tidur, meskipun ia tahu itu percuma. Jika sesuatu bisa menggeser barang-barang di dalam rumahnya, mengunci pintu tidak akan menghentikannya. Ia mulai tidur dengan lampu menyala, berharap cahaya bisa mengusir apa pun yang bersembunyi dalam kegelapan.

Ketakutan itu merayap perlahan, menggerogoti setiap sendi kehidupannya. Aditya yang biasanya tenang dan logis, kini menjadi sosok yang paranoid dan tertekan. Wajahnya terlihat lelah dan kusam, matanya terus-menerus mencari, seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Bahkan dalam mimpi, ia tidak merasa aman. Ia mulai bermimpi buruk, mimpi-mimpi yang samar dan mengganggu, tentang bayangan-bayangan yang bergerak dalam kegelapan rumahnya.

Rumah yang dulu menjadi tempat ia merasa aman, kini terasa seperti penjara, sebuah labirin mengerikan yang dihuni oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia merasa terjebak, sendirian menghadapi ancaman yang tak kasat mata. Langkah kakinya di lantai terasa berat, seolah setiap pijakan membawa beban ketakutan yang semakin besar. Malam-malam yang sunyi kini terasa panjang dan penuh dengan bisikan tak terlihat. Aditya tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu. Apa pun. Sebelum ia benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Bab 3: Pengusiran yang Gagal

Rasa putus asa mulai mencengkeram Aditya dengan erat, menggeser ketakutan menjadi keputusasaan yang pahit. Setelah insiden bangkai gagak yang dikafani, ia tahu bahwa pendekatan logis atau bahkan teknologi seperti kamera pengawas tidak akan mempan. Ini bukan masalah duniawi yang bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang kuno dan menyeramkan.

Aditya menghabiskan dua hari berikutnya dalam keadaan setengah sadar, nyaris tidak tidur. Matanya yang cekung memancarkan kelelahan ekstrem, dan kulitnya tampak pucat pasi. Ia mencari di internet, membaca forum-forum tentang fenomena supranatural, mencari kisah-kisah serupa dan solusi yang mungkin. Banyak yang menyarankan bantuan spiritual. Ide itu, yang dulu akan ia tertawakan sebagai omong kosong, kini terasa seperti satu-satunya harapan.

Ia menghubungi seorang kenalan lama ibunya, seorang wanita paruh baya yang dikenal memiliki koneksi dengan dunia spiritual. Wanita itu, Bu Lastri, adalah sosok yang tenang dan bijaksana, sering menjadi tempat curhat ibunya dulu. Setelah mendengar cerita Aditya, Bu Lastri tidak menunjukkan ekspresi terkejut, melainkan anggukan pelan dan tatapan prihatin.

"Nak Aditya, ini bukan hal main-main," kata Bu Lastri dengan suara lembut namun tegas melalui telepon. "Sepertinya ada 'penghuni' yang tidak senang di rumahmu. Ibu kenal seorang dukun, Pak Harjo, yang punya keahlian membersihkan hal-hal seperti ini. Dan mungkin juga baik jika ada pemuka agama yang ikut berdoa."

Maka, pada hari Jumat yang terik, rumah Aditya yang biasanya sunyi mendadak ramai. Bu Lastri datang bersama Pak Harjo, seorang pria tua dengan rambut ubanan yang diikat ke belakang, mengenakan kemeja batik dan celana hitam longgar. Tatapan matanya tajam, seolah bisa menembus dinding. Bersamanya, juga datang Pendeta Daniel, seorang pria paruh baya yang ramah dengan janggut rapi, membawa Alkitab di tangannya. Aroma dupa dan wewangian mistis langsung memenuhi udara, bercampur dengan keharuman parfum yang dibawa Pendeta Daniel.

Pak Harjo memulai ritualnya di ruang tamu. Ia meletakkan berbagai sesajen di sudut ruangan: bunga-bunga tujuh rupa, kemenyan yang dibakar hingga asapnya mengepul tebal, beras kuning, dan air dalam mangkuk keramik. Ia mulai menggumamkan mantra-mantra dalam bahasa yang tidak dimengerti Aditya, suaranya berat dan bergetar. Sesekali, ia menutup mata, menggerakkan tangannya di udara seolah menyapu sesuatu yang tak terlihat. Wajahnya serius, dan keringat mulai membasahi dahinya.

Sementara itu, Pendeta Daniel duduk di sofa, dengan tenang membaca ayat-ayat suci dari Alkitabnya. Suaranya yang khusyuk mengisi ruangan, memberikan nuansa ketenangan yang kontras dengan aura misterius yang diciptakan Pak Harjo. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon perlindungan dan pengusiran roh jahat dari rumah itu.

Aditya duduk di sudut ruangan, jantungnya berdebar tak karuan. Antara skeptis dan berharap. Ia mengamati setiap gerakan Pak Harjo, setiap kata yang diucapkan Pendeta Daniel. Ia sangat ingin ini semua berakhir. Ia ingin rumahnya kembali menjadi tempat yang aman.

Ritual berlangsung selama hampir tiga jam. Atmosfer di dalam rumah terasa berat, seolah ada energi yang bergejolak. Pada satu titik, asap kemenyan membentuk pola aneh di udara, dan Aditya bersumpah ia mendengar suara berdesir samar dari arah loteng. Pak Harjo sempat terbatuk dan terlihat sedikit kelelahan, sementara Pendeta Daniel tetap teguh dalam doanya.

Akhirnya, Pak Harjo berdiri, membersihkan sesajen, dan mengusap wajahnya. "Energinya kuat, Nak Aditya," katanya, suaranya serak. "Tapi sudah Ibu bersihkan. Jangan khawatir. Pastikan selalu berdoa dan jaga kebersihan rumah." Pendeta Daniel mengangguk setuju. "Percayalah pada kekuatan Tuhan, Nak Aditya. Jika ada yang mengganggu, lawanlah dengan doa dan iman."

Aditya merasakan secercah harapan. Mungkin ini berhasil. Mungkin semua gangguan ini akan berhenti. Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Pak Harjo dan Pendeta Daniel, serta Bu Lastri. Setelah mereka pergi, rumah kembali sunyi. Namun, kali ini, ada kelegaan yang tipis. Ia membersihkan sisa-sisa ritual, lalu pergi tidur dengan perasaan yang sedikit lebih tenang dari biasanya.

Namun, kelegaan itu hanya bertahan semalam.

Pagi berikutnya, Aditya terbangun dengan perasaan cemas yang familiar. Ia melangkah ke dapur untuk membuat kopi, dan jantungnya langsung mencelos. Di atas meja makan, persis di tempat kemarin ritual dilakukan, tergeletak sebuah bangkai cicak yang sudah kering dan mati, kepalanya terpenggal dan diletakkan terpisah di samping tubuhnya yang kaku. Bau amis yang samar masih tercium.

Aditya merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat. Ini bukan hanya pertanda bahwa ritual itu gagal. Ini adalah tantangan. Seolah-olah entitas itu ingin mengatakan: Kalian tidak bisa mengusirku. Aku masih di sini. Dan aku tidak akan pergi.

Ia membersihkan bangkai cicak itu dengan amarah yang meluap, membuangnya jauh-jauh. Kemudian ia berkeliling rumah, dengan mata nyalang mencari-cari. Dan benar saja. Sebuah bingkai foto keluarga, yang tadinya terpajang rapi di lemari pajangan ruang tamu, kini tergeletak terbalik di lantai. Gelas minum di dapur berpindah ke wastafel kamar mandi. Sebuah buku tebal milik ayahnya, yang ia simpan di rak buku tinggi, ditemukan tergeletak terbuka di lantai kamar tidur utama, di halaman yang menampakkan gambar ukiran topeng kuno.

Ritual pengusiran yang gagal itu menghantam psikologis Aditya dengan sangat telak. Harapan yang sempat muncul kini hancur berkeping-keping, digantikan oleh keputusasaan yang lebih dalam dan kemarahan yang membara. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam rumahnya sendiri, diejek oleh sesuatu yang tak terlihat.

Kondisi psikologis Aditya mulai menurun drastis. Ia kesulitan tidur. Setiap malam, ia berbaring di tempat tidur, mata terbuka lebar, mendengarkan. Ia mulai mendengar lebih banyak suara: bisikan yang lebih jelas dari loteng, suara gesekan di dinding, bahkan terkadang seperti suara langkah kaki pelan di koridor. Ia akan melompat dari tempat tidur, memeriksa, tapi tidak pernah menemukan apa-apa.

Kurang tidur dan tekanan mental membuat emosinya tidak stabil. Ia menjadi gelisah, mudah terkejut, dan cepat marah. Telepon berdering keras saja bisa membuatnya terlonjak dan membanting ponselnya. Suara ketukan pintu, bahkan dari pengantar makanan, membuatnya waspada dan curiga. Ia mulai berteriak-teriak sendiri di dalam rumah, menantang entitas itu untuk menunjukkan diri.

"Keluar! Tunjukkan dirimu, pengecut!" teriaknya suatu malam, suaranya serak karena emosi. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang mencekam.

Ia mulai mengabaikan kebersihan diri dan rumah. Piring kotor menumpuk di wastafel. Bajunya berserakan di lantai kamar. Aroma yang tak sedap mulai menguar dari sudut-sudut rumah yang diabaikan. Rambutnya gondrong dan tak terawat, janggutnya tumbuh tak beraturan. Matanya cekung, merah, dan tatapannya sering kosong.

Pekerjaan ilustrasi yang dulunya menjadi pelariannya kini terasa seperti beban. Tangannya terlalu gemetar untuk menggambar garis lurus. Inspirasinya mengering, digantikan oleh bayangan-bayangan gelap dan perasaan tertekan. Klien-kliennya mulai mengeluh karena keterlambatan dan kualitas karyanya yang menurun. Aditya tidak peduli. Pikiran utamanya hanya satu: apa yang terjadi di rumah ini?

Ada saat-saat ia merasa sangat putus asa hingga ingin berlari keluar rumah dan tidak pernah kembali. Namun, ada sesuatu yang menahannya. Rasa tanggung jawab terhadap rumah warisan orang tuanya, dan rasa penasaran yang mengerikan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa harus melawan, harus mencari tahu.

Suatu malam, ia duduk sendirian di ruang tamu yang gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang samar dari jendela. Ia menatap ke dalam kegelapan, mencoba merasakan kehadiran itu. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk, seolah ada seseorang berdiri tepat di belakangnya. Ia menoleh dengan cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Namun, saat ia menoleh kembali ke depan, ia melihat bayangan hitam bergerak cepat di sudut matanya, melesat ke balik pilar.

Aditya terkesiap. Jantungnya berpacu seperti drum. Itu bukan imajinasi. Ia melihatnya dengan jelas. Bayangan.

Ia mulai merasa seolah-olah ada yang memperhatikannya setiap saat. Bahkan saat ia makan, mandi, atau mencoba tidur, perasaan diawasi itu tidak pernah hilang. Bisikan-bisikan samar sering kali terdengar seolah dari dalam kepalanya sendiri, bukan dari luar. Ia mulai mempertanyakan kewarasannya. Apakah dia benar-benar gila? Atau apakah gangguan ini memang dirancang untuk membuatnya gila?

Pagi berikutnya, ketika ia membuka mata, ia melihat sebuah pesan tertulis dengan rapi di cermin meja rias kamarnya. Ditulis dengan sesuatu yang tampak seperti lumpur atau tanah kering.

"KAU TAK BISA LARI."

Aditya menatap tulisan itu, napasnya tercekat. Itu bukan tulisan tangannya. Ia tidak pernah punya kebiasaan seperti itu. Ini adalah pesan langsung. Ancaman. Dari sesuatu yang tak terlihat, tapi nyata. Ketakutan kini bercampur dengan kemarahan yang membara. Ini perang. Dan ia tidak tahu bagaimana cara melawannya. Rumah ini bukan lagi tempat tinggalnya, tapi medan pertempuran psikologis yang tak berkesudahan.

Bab 4: Bayangan di Cermin

Pesan di cermin pagi itu menjadi titik balik bagi Aditya. Rasa takut dan putus asa bercampur dengan amarah yang membara. Ini bukan lagi sekadar gangguan; ini adalah interaksi langsung, sebuah ancaman yang tak terduga. Entitas itu, apa pun wujudnya, telah menunjukkan bahwa ia tidak hanya bisa menggerakkan benda, tetapi juga berkomunikasi. Aditya merasa seolah ada jerat yang semakin mengikatnya, dan setiap tarikan membuat napasnya terasa sesak.

Dengan tangan gemetar, Aditya menghapus tulisan di cermin itu. Namun, meskipun pesannya hilang, bayangannya tetap melekat di benaknya, menggerogoti sisa-sisa kewarasannya. Ia mencoba mencerna: bagaimana sesuatu yang tak terlihat bisa meninggalkan jejak fisik sejelas itu?

Setelah berhari-hari dalam kondisi mental yang rapuh, Aditya memutuskan untuk mandi. Ia berharap air dingin bisa sedikit menjernihkan pikirannya yang kusut. Ia melangkah ke kamar mandi, sebuah ruangan tua dengan ubin keramik putih yang sudah menguning, dan sebuah cermin besar berbingkai kayu yang menempel di atas wastafel. Cermin itu sudah buram di beberapa bagian, berembun dengan mudah, dan memantulkan pantulan yang sedikit terdistorsi.

Aditya menyalakan keran, membiarkan air membasahi wajahnya. Ia mengangkat kepala, menatap pantulannya di cermin. Wajahnya terlihat mengerikan: mata merah dan cekung, kulit pucat, janggut tak terawat, dan rambut yang acak-acakan. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.

Saat itulah, sesuatu terjadi.

Di belakang pantulan dirinya, di dalam refleksi cermin itu, Aditya melihat bayangan samar seorang wanita. Siluetnya tipis, transparan, seolah terbuat dari asap, namun jelas terlihat oleh matanya. Bayangan itu berdiri di belakang bahu kirinya, seolah melayang, dan kepalanya sedikit miring, seolah mengamatinya dengan rasa ingin tahu yang dingin. Jantung Aditya langsung mencelos. Darah seolah berhenti mengalir di pembuluh darahnya.

Ia membeku, napasnya tertahan. Matanya terpaku pada bayangan di cermin, tak berani bergerak. Itu bukan halusinasi. Ia melihatnya dengan sangat jelas. Wanita itu ada di sana. Di balik pantulan dirinya.

Ketakutan murni menyergapnya. Aditya memalingkan kepalanya dengan cepat, menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjukkan cermin.

Tidak ada siapa-siapa.

Hanya dinding kamar mandi yang kusam, rak handuk kosong, dan kesunyian yang tiba-tiba terasa begitu berat.

Ia kembali menatap cermin. Bayangan wanita itu sudah menghilang. Hanya ada pantulan dirinya yang ketakutan, dengan mata membelalak dan bibir sedikit terbuka. Aditya menekan telapak tangannya ke cermin, seolah ingin memastikan ia tidak gila. Permukaan cermin terasa dingin di kulitnya, nyata.

Keringat dingin membasahi tubuhnya. Pikirannya kalut. Ia melihatnya. Ia yakin melihatnya. Ini bukan lagi sekadar barang berpindah atau suara samar. Ini adalah penampakan. Sesuatu yang telah menunjukkan dirinya, bahkan jika hanya sekilas, bahkan jika hanya dalam refleksi.

Ia terduduk lemas di lantai kamar mandi, Lututnya bergetar. Selama ini, ia selalu berpikir entitas ini adalah sesuatu yang mengganggu secara acak, atau mungkin roh penasaran. Tapi penampakan wanita itu di cermin mengubah segalanya. Itu terasa begitu... personal. Seperti ada cerita di baliknya.

Tiba-tiba, sebuah ide melintas di benaknya, sebuah pemikiran yang selama ini ia tepis. Roh jahat di rumah ini... mungkinkah itu adalah korban dari masa lalu? Mungkin ada seseorang yang meninggal di sini dengan tidak tenang, dan arwahnya terjebak, atau marah. Pikiran itu terasa sedikit menenangkan sekaligus lebih mengerikan. Jika ini adalah roh, setidaknya ada alasan.

Aditya teringat akan sebuah kotak kayu tua yang ia temukan di loteng beberapa bulan lalu, saat mencari-cari buku lama. Kotak itu penuh dengan barang-barang pribadi ibunya. Di antara jepit rambut, bros tua, dan surat-surat lama, ada sebuah buku harian kecil dengan sampul kulit yang usang. Ia sempat melihatnya sekilas, tapi tidak pernah membacanya. Sekarang, dorongan kuat menariknya ke sana. Mungkin ibunya tahu sesuatu. Mungkin ada petunjuk di dalamnya.

Ia bergegas menaiki tangga menuju loteng. Udara di loteng terasa pengap dan berdebu, namun Aditya tidak peduli. Ia menyalakan senter ponselnya, menyoroti setiap sudut yang gelap, mencari kotak kayu itu. Akhirnya, ia menemukannya, tersembunyi di balik tumpukan koran dan selimut tua.

Dengan tangan gemetar, ia membuka buku harian itu. Aroma kertas tua dan aroma khas ibunya yang samar tercium. Ia mulai membalik halaman-halamannya, membaca tulisan tangan ibunya yang rapi. Awalnya, isinya adalah catatan kehidupan sehari-hari, resep masakan, hingga curahan hati tentang tetangga. Aditya melewati semua itu, mencari sesuatu yang relevan.

Dan kemudian, ia menemukannya. Sebuah halaman yang diawali dengan tanggal puluhan tahun yang lalu, saat ia masih kecil, jauh sebelum orang tuanya meninggal.

23 September 19XX

"Hari ini, Papa kembali mengalaminya. Barang-barang di meja kerjanya bergeser lagi. Kacamata yang diletakkan di buku, tiba-tiba di lantai. Beliau bersumpah melihat bayangan di sudut mata. Aku tahu beliau kesal, tapi aku melihat ketakutan di matanya. Ini sudah sering terjadi belakangan ini. Aku mulai khawatir. Aku berdoa semoga ini hanya kelelahan Papa saja."

Aditya terkesiap. Matanya membelalak, membaca kalimat itu berulang-ulang. Gangguan serupa? Ayahnya? Kilas balik masa kecil tiba-tiba menyeruak dalam ingatannya. Ia ingat ayahnya sering terlihat lelah, mudah marah, dan sering mengunci diri di kamar kerja. Dulu, ia hanya menganggap ayahnya sibuk. Sekarang, semua itu memiliki arti yang berbeda.

Ia melanjutkan membaca.

12 November 19XX

"Papa semakin aneh. Beliau sering berbicara sendiri, terkadang seperti berbisik-bisik. Pernah kudengar beliau berteriak 'Pergi!' di tengah malam, padahal tidak ada siapa-siapa di kamar. Beliau bilang, ada yang mengawasinya. Aku mulai tidak yakin ini hanya karena stres pekerjaan. Ada aura dingin yang menyelubungi rumah ini, terutama di malam hari. Aku takut Papa akan... kehilangan dirinya."

Aditya merasakan getaran dingin merayap di tulang punggungnya. Ayahnya juga mengalaminya. Hal yang sama persis. Ini bukan hanya tentang dia. Ini adalah sesuatu yang menimpa keluarganya, di rumah ini, selama bertahun-tahun.

3 April 19YY

"Semalam, aku mendengar suara tangisan dari loteng. Aku memeriksa, tapi tidak ada apa-apa. Papa bilang itu hanya suara tikus, tapi aku tahu itu bukan. Wajah Papa semakin pucat, matanya kosong. Beliau mulai tidak tidur. Beliau bilang 'dia' tidak akan membiarkannya tidur. 'Dia' ingin Papa tetap terjaga. Aku melihat Papa mengambil beberapa barang lama dari gudang, dan menaruhnya di tempat yang aneh. Aku bertanya kenapa, beliau hanya diam dan menatapku dengan tatapan kosong. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku merasa rumah ini bukan lagi rumah kami, tapi... sarang sesuatu."

15 Juni 19YY

"Papa... pergi. Dokter bilang jantungnya. Tapi aku tahu, ada yang lebih dari itu. Beberapa hari sebelum kepergiannya, Papa sempat menggambar sesuatu di dinding kamarnya. Gambar yang aneh, simbol-simbol yang tidak aku mengerti. Aku menghapusnya, tapi rasa takut itu tidak hilang. Aku merasa seperti ada yang menatapku dari sudut-sudut gelap rumah ini. Apakah 'dia' sekarang mengincarku? Aku harus melindungi Aditya. Dia tidak boleh mengalami apa yang dialami Papa."

Aditya menjatuhkan buku harian itu. Tangannya gemetar hebat. Simbol di dinding? Itu menjelaskan coretan di kamarnya setelah ia bermimpi. Dan suara tangisan dari loteng? Itu menjelaskan bisikan yang sering ia dengar. Ibunya tahu. Ibunya mengalami ketakutan yang sama. Dan ayahnya... ayahnya meninggal karena ini?

Membaca buku harian itu seolah membuka gerbang gelap ke masa lalu. Aditya mulai mengingat fragmen-fragmen yang dulu ia abaikan. Ayahnya yang kadang termenung menatap kosong ke cermin. Ayahnya yang sering berbicara dengan nada rendah, seperti berbicara pada seseorang yang tidak ada di sana. Ayahnya yang pernah suatu malam ditemukan sedang memindahkan kursi dari ruang tamu ke lorong tanpa alasan jelas.

Semua potongan teka-teki itu mulai menyatu, membentuk gambaran yang mengerikan. Ini bukan roh asing yang baru datang. Ini adalah sesuatu yang sudah ada di rumah ini, menyiksa ayahnya, dan sekarang mengincarnya. Entitas itu telah berinteraksi dengan keluarganya selama beberapa generasi. Dan yang paling mengerikan, "dia" seolah-olah bermain-main, mendorong mereka ke ambang kegilaan, hingga salah satu dari mereka tak sanggup lagi.

Pikiran itu membuatnya bergidik. Jika roh itu telah menyebabkan kematian ayahnya, apakah ia juga akan berakhir sama? Atau lebih buruk?

Ia kembali ke kamar mandi, menatap cermin itu lagi. Kali ini, tidak ada bayangan. Hanya pantulan dirinya yang tampak sangat lelah dan takut. Tapi sekarang, ia tahu. Wanita di cermin itu mungkin bukan sembarang hantu. Mungkin itu adalah korban lain. Atau mungkin... ia adalah manifestasi dari kegilaan yang menular, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di dalam rumah ini.

Malam itu, Aditya tidak bisa tidur sama sekali. Ia tetap terjaga, membaca ulang buku harian ibunya berulang kali, mencoba menemukan petunjuk lain, mencari cara untuk memutus rantai kutukan ini. Ia merasa tidak lagi sendirian, tapi bukan karena kehadiran fisik. Ia merasa terhubung dengan penderitaan ayahnya, dengan ketakutan ibunya. Sebuah beban berat yang tak terlihat kini bertumpu di pundaknya.

Di tengah kegelapan, Aditya menatap ke sudut-sudut kamar. Apakah "dia" sedang mengawasinya? Tersenyum licik dalam kegelapan? Rasa dingin yang menusuk kembali menyergapnya, dan ia yakin, ia mendengar bisikan samar. Bukan kata-kata yang jelas, hanya desauan pelan, seperti napas seseorang yang sangat dekat. Ia mencengkeram buku harian ibunya erat-erat, satu-satunya penghubung ke masa lalu yang kini terasa begitu hidup. Rumah ini, dulunya adalah surga masa kecilnya, kini berubah menjadi museum horor pribadi, tempat ia menjadi pajangan utama, ditonton oleh mata tak terlihat yang bersembunyi dalam bayangan. Dan ia tahu, ia harus melakukan sesuatu, apa pun, untuk melepaskan diri dari cengkeraman rumah terkutuk ini.

Bab 5: Jual Saja Rumah Ini!

Setelah membaca buku harian ibunya, kesadaran pahit itu menghantam Aditya seperti gelombang pasang: rumah ini adalah penjara, dan kutukan yang mengikatnya bukanlah hal baru, melainkan warisan kelam yang telah menelan ayahnya. Wanita di cermin, suara-suara di loteng, barang-barang yang berpindah—semuanya bukan sekadar gangguan acak, melainkan bagian dari pola mengerikan yang telah merusak keluarganya selama beberapa generasi. Ada sesuatu yang ingin ia tetap di sini, dan itu telah berhasil. Ayahnya meninggal di sini. Ibunya depresi dan akhirnya menyusul. Kini, giliran Aditya.

Rasa takut yang semula membakar kini digantikan oleh tekad membara: ia harus keluar. Ia harus menjual rumah ini. Apa pun risikonya, ia tidak akan membiarkan dirinya berakhir seperti ayahnya. Hidup dalam lingkaran horor psikologis yang perlahan menggerogoti kewarasannya.

Keesokan paginya, Aditya menghubungi seorang agen properti lokal yang direkomendasikan oleh Bu Lastri. Namanya Pak Heru, seorang pria paruh baya yang ramah dengan senyum meyakinkan. Mereka membuat janji untuk survei rumah. Aditya mencoba terdengar tenang di telepon, menyembunyikan keputusasaan yang menggerogoti jiwanya. Ia bahkan membersihkan rumah sedikit, berusaha membuatnya tampak layak, meskipun ia tahu gangguan itu bisa muncul kapan saja.

"Rumah ini sangat strategis, Pak Aditya," kata Pak Heru saat pertama kali datang, matanya menjelajahi setiap sudut rumah dengan tatapan menghargai. "Bangunan tua memang, tapi kokoh, dan lokasinya tenang. Pasti banyak yang minat."

Aditya hanya mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya yang pucat. Dalam hati, ia berdoa agar tidak ada hal aneh yang terjadi selama survei. Pak Heru menjelaskan proses penjualan, harga taksiran, dan bagaimana mereka akan mulai mempromosikan rumah itu.

Tidak butuh waktu lama. Dua hari kemudian, Pak Heru menelepon Aditya. "Pak Aditya, saya punya calon pembeli yang sangat serius. Pasangan muda, mereka suka arsitektur klasik. Besok siang mereka akan datang melihat rumah. Bisakah Anda siapkan?"

Harapan kembali menyala dalam diri Aditya. Ini mungkin kesempatannya. Ia harus membuat kesan terbaik. Ia bersih-bersih lagi, menyapu daun-daun kering di teras, membersihkan debu di ruang tamu. Ia bahkan menyalakan lilin aromaterapi untuk menghilangkan bau apek dan menciptakan suasana yang lebih nyaman.

Pukul dua siang, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah. Sepasang suami istri muda, terlihat ceria dan antusias, turun dari mobil. Mereka adalah Bapak dan Ibu Wijaya. Pak Heru menyambut mereka dengan senyum lebar, dan Aditya mencoba menampilkan wajah paling ramah yang ia bisa.

"Selamat datang, Bapak dan Ibu Wijaya," sapa Aditya.

"Terima kasih, Pak Aditya. Rumahnya terlihat asri sekali," kata Ibu Wijaya, matanya berbinar menatap fasad rumah.

Mereka mulai tur. Aditya dan Pak Heru mengantar pasangan itu berkeliling. Awalnya, semuanya berjalan lancar. Pasangan Wijaya tampak terkesan dengan luasnya ruang tamu, ukiran-ukiran kayu di pintu, dan taman belakang yang rimbun. Aditya mulai merasa lega. Mungkin entitas itu sedang tertidur, atau mungkin… ritual Pak Harjo memang sedikit berpengaruh.

Saat mereka melintasi lorong menuju dapur, tiba-tiba, suara bantingan keras terdengar dari lantai atas. Suara itu begitu menggelegar, seperti sebuah lemari besar yang jatuh. Pasangan Wijaya langsung terlonjak kaget. Ibu Wijaya mencengkeram lengan suaminya.

"Suara apa itu, Pak Aditya?" tanya Bapak Wijaya, dahinya berkerut.

Jantung Aditya langsung mencelos. Ia merasakan hawa dingin familiar merayap di tulang punggungnya. "Oh, itu... mungkin kucing. Atau angin, Pak. Rumah tua kan memang suka berderit," Aditya berbohong, suaranya terdengar canggung.

Pak Heru mencoba menenangkan mereka. "Betul, rumah tua memang begitu, Bapak Ibu. Tapi tidak perlu khawatir."

Namun, suasana sudah terlanjur tegang. Saat mereka mencapai dapur, suara pintu lemari yang menutup dan terbuka sendiri terdengar dari salah satu lemari di dapur, disusul dengan bunyi piring yang berdenting samar. Tidak ada angin, tidak ada siapa-siapa di dekat lemari itu. Ibu Wijaya terkesiap, matanya membelalak.

"Maaf, sepertinya... ada yang mengganjal, Pak Aditya?" tanya Bapak Wijaya, suaranya kini terdengar tidak nyaman.

Aditya hanya bisa tersenyum kaku. Ia tahu siapa yang mengganjal.

Mereka bergegas keluar dapur, menuju halaman belakang. Namun, saat melintasi ruang makan, tiba-tiba sebuah vas bunga kristal di meja, yang semula diam, bergeser sendiri dan jatuh ke lantai dengan suara berderai pecahan kaca. Vas itu adalah vas kesayangan ibunya.

PRAAANG!

Kejadian itu menjadi puncaknya. Ibu Wijaya menjerit kecil. Bapak Wijaya langsung menarik istrinya ke belakang, tatapan matanya penuh ketakutan. Pak Heru tampak pucat pasi.

"Maaf, Pak Aditya, sepertinya... kami harus mempertimbangkan lagi," kata Bapak Wijaya, suaranya tercekat. "Ada hal-hal aneh di sini."

"T-tapi, Pak—" Aditya mencoba menahan.

"Terima kasih atas waktunya, Pak Heru." Bapak Wijaya langsung menarik istrinya keluar rumah, nyaris berlari.

Pak Heru menatap Aditya dengan ekspresi campur aduk antara simpati dan kekecewaan. "Pak Aditya, ini... saya tidak tahu harus berkata apa. Saya akan coba cari pembeli lain, tapi ini akan sulit."

Aditya hanya bisa berdiri diam di tengah ruang tamu yang berantakan, menatap pecahan vas bunga ibunya. Amarah, frustrasi, dan keputusasaan membaur menjadi satu. Entitas itu... entitas itu tidak ingin ia pergi. Ia ingin Aditya tetap di sini, terperangkap.

Upaya menjual rumah terus berlanjut, tetapi setiap kali ada calon pembeli datang, hal-hal aneh dan mengerikan selalu terjadi. Seorang pembeli lain yang tertarik dengan ruang studio di lantai dua, mendengar suara tawa melengking dari loteng saat ia masuk ke sana. Yang lain, saat sedang memeriksa kamar mandi, bersumpah melihat bayangan bergerak di cermin, persis seperti yang Aditya alami. Sebuah keluarga yang membawa anak kecil, melihat mainan anak-anak mereka sendiri bergeser di lantai saat mereka tidak melihat, padahal mereka yakin sudah meletakkannya di tempat aman. Beberapa bahkan mengeluh tentang bau busuk yang muncul tiba-tiba di beberapa ruangan.

Satu per satu, calon pembeli kabur, dengan alasan yang sama: "Rumah ini ada yang tidak beres, Pak." Pak Heru semakin jarang menelepon, dan ketika ia melakukannya, suaranya terdengar lelah dan putus asa. "Maaf, Pak Aditya, sepertinya belum ada yang cocok. Mereka semua... agak keberatan dengan suasana rumahnya."

Aditya tahu itu bukan "suasana". Itu adalah perang yang dilancarkan entitas tak terlihat itu.

Ia menjadi depresi berat. Rasa putus asa itu merayap ke setiap sendi hidupnya. Ia merasa terjebak sepenuhnya di dalam rumah yang seolah menolaknya keluar. Sebuah penjara yang tak terlihat, tapi nyata. Ia tidak bisa lari. Entitas itu tidak akan membiarkannya.

Aditya berhenti menggambar. Peralatan ilustrasinya terbengkalai di meja. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya hanya duduk di sofa ruang tamu yang gelap, menatap kosong ke dinding. Tidak makan, tidak mandi. Hanya sesekali minum air untuk bertahan hidup. Aroma tak sedap mulai menguar dari tubuhnya dan seluruh rumah.

Rambutnya panjang dan kusam, wajahnya ditumbuhi janggut tebal yang tidak terurus. Matanya yang cekung menatap tanpa ekspresi, mencerminkan kekosongan yang ia rasakan di dalam. Ia sering bergumam sendiri, terkadang berteriak ke dalam keheningan, menantang entitas itu, memohon agar ia dilepaskan.

"Apa maumu?! Biarkan aku pergi!" teriaknya suatu malam, suaranya parau. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang mencekam, seolah entitas itu menikmati penderitaannya.

Ia mulai mengalami halusinasi pendengaran yang lebih parah. Bisikan-bisikan menjadi lebih sering, lebih jelas. Terkadang ia mendengar namanya dipanggil dengan suara samar, atau tawa pelan yang bersembunyi di balik dinding. Ia sering mengira ada orang lain di rumah, padahal tidak ada. Setiap derit lantai, setiap suara dari luar, membuatnya terlonjak dan jantungnya berpacu.

Aditya merasa energinya terkuras habis. Ia tidak punya motivasi untuk melakukan apa pun. Harapan untuk menjual rumah telah mati, terkubur di bawah tumpukan pengalaman traumatis. Ia adalah tawanan, dan entitas itu adalah sipirnya.

Suatu sore, saat ia duduk merenung di ruang tamu, ia menatap cermin besar di dinding yang dulunya adalah tempat ia melihat bayangan wanita itu. Cermin itu kusam, berdebu, memantulkan bayangan ruangan yang remang-remang. Aditya menatap pantulannya sendiri. Ia melihat seorang pria yang nyaris tak dikenalinya. Pria itu tampak hancur, mata kosong, wajah kusut.

Ia tersenyum pahit. "Kau menang," bisiknya pada pantulannya sendiri. "Aku terjebak. Aku kalah."

Perasaan aneh menyeruak dari dalam dirinya. Sebuah rasa lelah yang begitu mendalam, namun disertai dengan ketenangan yang menakutkan. Seolah-olah, setelah semua perjuangan, ia akhirnya menyerah. Dan dalam penyerahan itu, ada kedamaian yang semu.

Di tengah kegelapan yang semakin pekat, Aditya memejamkan mata. Ia merasa dingin, sangat dingin. Dan ia mendengar bisikan itu lagi, kali ini lebih dekat, seolah di telinganya. Bukan kata-kata yang jelas, hanya desauan yang lembut, seperti bisikan rahasia.

Ia membuka matanya. Pandangannya kosong. Rumah itu, entitas itu, telah mengklaimnya sepenuhnya. Ia merasa seperti boneka yang digantung, jiwanya perlahan terkikis, menunggu nasib yang sama seperti ayahnya. Rumah ini adalah kuburannya, dan ia adalah arwah yang menunggu giliran untuk bergabung dengan bayangan-bayangan yang menari di setiap sudutnya.

Bab 6: Mimpi atau Kenyataan?

Aditya telah menyerah. Depresi berat telah mengikatnya dalam rantai tak terlihat, menjadikannya tawanan di rumahnya sendiri. Hari-hari berlalu dalam kabut kelelahan dan keputusasaan. Ia nyaris tidak makan, hanya minum sesekali, tubuhnya semakin kurus dan lemah. Aroma tak sedap mulai menguar dari tubuhnya dan seluruh rumah, seolah-olah rumah itu ikut membusuk bersamanya. Rambutnya gondrong tak terurus, janggutnya lebat, dan matanya selalu merah, cekung, memancarkan kekosongan yang mengerikan.

Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di sofa ruang tamu yang gelap, menatap kosong ke dinding, atau sesekali ke cermin buram yang tergantung di sana, yang dulunya menampilkan bayangan wanita itu. Terkadang, ia akan bergumam pada dirinya sendiri, terkadang berteriak ke dalam keheningan, menantang entitas yang tak terlihat itu, memohon agar ia dilepaskan. Namun, yang ada hanya keheningan mencekam, atau bisikan-bisikan samar yang hanya ia dengar.

Pada suatu malam yang terasa lebih panjang dari biasanya, Aditya terlelap dalam kondisi yang sangat buruk. Tubuhnya terasa berat, jiwanya lelah. Namun, tidurnya bukan pelarian yang damai. Justru sebaliknya, ia terlempar ke dalam serangkaian mimpi yang begitu nyata, begitu vivid, hingga batas antara alam sadar dan bawah sadar menjadi kabur.

Dalam mimpinya, ia tidak menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi orang lain di rumah itu.

Mimpi dimulai dengan pemandangan familiar: ruang tamu rumahnya, namun dalam nuansa yang lebih gelap dan kusam, seperti diselimuti kabut. Aditya melihat sosok seorang pria, samar-samar seperti dirinya, bergerak dalam kegelapan. Pria itu berjalan gontai, napasnya berat dan tak teratur. Matanya terlihat kosong, seperti mata orang yang tidak memiliki jiwa.

Aditya, sebagai pengamat dalam mimpinya, melihat pria itu mendekati sebuah rak buku. Pria itu mengangkat sebuah buku tebal tentang sejarah seni, buku yang sama persis dengan yang ia temukan terbuka di lantai kamar tidurnya dulu. Dengan gerakan lambat, pria itu membawa buku itu ke dapur. Aditya melihatnya meletakkan buku itu di wastafel, di samping tumpukan piring kotor. Gerakan-gerakan pria itu terasa asing, namun anehnya familiar.

Mimpi berlanjut. Pria itu kini berada di luar rumah. Aditya melihatnya membungkuk di balik semak-semak, mencari sesuatu. Kemudian, pria itu kembali dengan sebuah bungkusan kecil di tangannya. Bungkusan itu serupa dengan bungkusan kain lusuh yang berisi bangkai tikus yang Aditya temukan di awal dulu. Dengan gerakan lambat dan hati-hati, pria itu meletakkan bungkusan itu di depan pintu, di atas keset.

Aditya merasakan gelombang kebingungan dan kengerian. Mengapa pria itu melakukan ini? Siapa pria itu? Mengapa ia tampak begitu... familiar?

Lalu, adegan dalam mimpi berubah lagi. Kali ini, pria itu berada di loteng. Aditya melihatnya membawa sebuah bangkai. Ya, sebuah bangkai, tapi kali ini bukan tikus. Pria itu menyelimuti bangkai itu dengan selembar kain putih, membungkusnya rapi, lalu mengikatnya dengan benang hitam. Bangkai gagak yang dikafani. Aditya menyaksikan adegan itu dengan ngeri, seolah-olah ia sedang menonton film horor yang sangat nyata. Pria itu kemudian membawa bungkusan bangkai itu ke bawah, menaruhnya di meja makan.

Yang paling mengerikan adalah ekspresi di wajah pria itu. Kosong, dingin, tapi sesekali ada senyum tipis, nyaris tak terlihat, yang muncul di bibirnya. Senyum yang membuat bulu kuduk Aditya merinding.

Mimpi itu terus berlanjut, menunjukkan lebih banyak lagi kejadian aneh yang pernah Aditya alami. Pria itu memindahkan remote TV ke kulkas, menggeser kunci mobil di meja makan, membanting pintu lemari di dapur, bahkan menumpahkan vas bunga kristal. Setiap kali pria itu melakukan sesuatu, ada semacam aura gelap yang mengitarinya, seolah dia sedang dalam kondisi trance yang aneh.

Pada satu titik, pria itu berdiri di depan cermin kamar mandi. Aditya melihat pantulan pria itu. Matanya kosong, tapi perlahan, senyum mengerikan muncul di bibirnya. Lalu, pria itu mengulurkan jari, mencoretkan sesuatu di permukaan cermin. Tulisan: "KAU TAK BISA LARI."

Aditya merasakan darahnya membeku. Ini semua adalah kejadian yang ia alami. Tapi mengapa ia melihat dirinya, atau sosok seperti dirinya, yang melakukannya?

Adegan terakhir dalam mimpi itu adalah yang paling mengerikan. Pria itu berada di kamarnya sendiri, di depan tembok kosong. Dengan sebuah spidol hitam, ia mulai mencoret-coret dinding. Bukan tulisan, melainkan simbol-simbol aneh, garis-garis acak yang membentuk pola yang tidak dimengerti, namun terasa sangat familiar. Simbol-simbol yang sama persis seperti yang Aditya temukan di dinding kamarnya setelah bangun dari mimpi buruk, dan seperti yang disebutkan dalam buku harian ibunya.

Pria itu selesai mencoret. Ia melangkah mundur, menatap hasil karyanya dengan pandangan puas. Lalu, ia berbalik, menatap langsung ke arah Aditya. Wajahnya perlahan berubah, kerutan menghilang, mata kosong itu menjadi lebih jelas, dan bibirnya membentuk senyum lebar, dingin, dan mengerikan.

Itu adalah wajah Aditya sendiri.

Aditya terkesiap. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.

Aditya terbangun dalam kondisi keringat dingin, tubuhnya basah kuyup. Jantungnya berdebar-debar seperti genderang perang di dalam dadanya. Ia megap-megap mencari napas, seolah baru saja muncul dari dalam air. Pikirannya kalut, kacau balau. Mimpi itu terlalu nyata. Terlalu mengerikan.

Ia duduk tegak di tempat tidur, matanya bergerak liar di sekitar kamar yang gelap. Cahaya rembulan samar menembus celah gorden, menciptakan bayangan-bayangan menari di dinding. Kepalanya terasa pening, dan ia merasakan mual yang luar biasa.

"Hanya mimpi," bisiknya, mencoba meyakinkan diri. "Hanya mimpi buruk."

Namun, pandangannya kemudian jatuh pada tembok di samping tempat tidurnya. Di sana, di atas cat dinding yang kusam, ada coretan-coretan hitam yang sama persis seperti yang ia lihat dalam mimpinya. Simbol-simbol aneh, garis-garis tak beraturan yang membentuk pola mengerikan. Coretan itu terlihat jelas, nyata. Bukan ilusi optik.

Aditya menatap coretan itu dengan mata membelalak, lalu menatap tangannya. Tidak ada noda spidol. Spidol hitamnya ada di meja kerjanya. Ia tidak mungkin melakukannya.

Tapi… dalam mimpinya, ia melihat dirinya sendiri yang melakukannya.

Realitas dan mimpi bercampur aduk dalam benaknya. Ia tidak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya imajinasinya. Apakah ia benar-benar melakukannya dalam tidur? Berjalan dalam tidur dan melakukan semua hal aneh itu? Tetapi bagaimana dengan bayangan wanita di cermin? Bagaimana dengan suara-suara? Bagaimana dengan bungkusan bangkai?

Pikiran itu, bahwa ia mungkin adalah penyebab semua kekacauan ini, adalah pikiran yang paling mengerikan dari semuanya. Itu berarti ia tidak hanya diteror oleh sesuatu dari luar, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Ini adalah bentuk teror yang lebih dalam, lebih personal, dan lebih menghancurkan.

Kepalanya terasa sakit luar biasa, seolah ada palu yang memukul-mukul dari dalam. Ia merasakan keputusasaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Jika itu dirinya, siapa yang mengendalikan dirinya? Kenapa?

Ia bangkit dari tempat tidur, kakinya gemetar. Ia berjalan ke arah cermin meja rias. Pantulan dirinya terlihat hancur, mata merah, wajah pucat, dan janggut yang berantakan. Ia mengamati pantulan itu dengan seksama, mencari tanda-tanda kegilaan. Apakah ia sudah benar-benar gila?

Aditya mengulurkan tangan, menyentuh wajah pantulannya. Dingin. Perasaan aneh menyelimuti dirinya. Seperti ada orang lain di dalam tubuhnya, yang bergerak saat ia tidur, yang melakukan hal-hal mengerikan ini.

Ia kembali ke sofa di ruang tamu. Mencoba memproses semua yang terjadi. Ia teringat kata-kata ibunya di buku harian: “Papa bilang ‘dia’ tidak akan membiarkannya tidur. ‘Dia’ ingin Papa tetap terjaga. Aku melihat Papa mengambil beberapa barang lama dari gudang, dan menaruhnya di tempat yang aneh.”

Bukankah itu persis seperti yang ia lihat dalam mimpinya? Ayahnya juga melakukan hal yang sama. Jadi, apakah ayahnya juga memiliki "orang lain" di dalam dirinya? Apakah ini semacam penyakit mental yang diturunkan?

Aditya menatap keheningan di sekelilingnya. Rumah ini terasa hidup, namun bukan karena kehadiran hantu. Melainkan karena kehadiran dirinya sendiri yang lain. Sebuah bagian dari dirinya yang gelap, yang tersembunyi, yang hanya muncul saat ia tidak sadar.

Ia merasakan mual. Jika semua ini adalah perbuatannya sendiri, lalu siapa yang berkomunikasi dengannya lewat pesan di cermin? Siapa bayangan wanita di cermin? Apakah itu hanya halusinasi yang diciptakan oleh pikirannya yang sakit? Atau apakah "mereka" adalah bagian dari dirinya juga?

Kebingungan itu lebih buruk daripada ketakutan. Ia tidak tahu lagi siapa dirinya. Ia tidak tahu lagi apa yang nyata dan apa yang bukan. Ia merasa seperti kehilangan pijakan di dunia ini. Rumahnya bukan lagi penjara fisik, melainkan penjara mental, tempat ia berjuang melawan musuh yang paling mengerikan: dirinya sendiri.

Aditya menarik lututnya ke dada, memeluk dirinya sendiri erat-erat. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, melainkan karena rasa ngeri yang mendalam. Ia ingin sekali terbangun dari mimpi buruk ini, tapi kenyataan jauh lebih mengerikan daripada mimpi apa pun. Ia benar-benar sendirian, dan musuh terbesarnya selama ini adalah refleksi di cermin, bayangan gelap yang bersembunyi di dalam jiwanya sendiri. Ia membutuhkan bantuan. Mendesak. Sebelum ia benar-benar hancur.

Bab 7: Mata Ketiga yang Terbuka

Kengerian yang dirasakan Aditya setelah menyadari kemungkinan bahwa ia adalah pelaku di balik semua gangguan itu jauh melampaui ketakutan terhadap hantu. Itu adalah teror eksistensial, sebuah keraguan fundamental terhadap dirinya sendiri. Coretan di dinding menjadi bukti nyata dari mimpi buruknya, dan hal itu membuatnya terombang-ambing antara kegilaan dan kenyataan. Ia tidak tahu lagi siapa dirinya, atau bagian mana dari dirinya yang sedang menguasai. Ia tahu ia butuh bantuan, dan kali ini, bukan dari dukun atau pendeta.

Dalam keputusasaan yang mendalam, Aditya teringat akan seorang teman lama, Rian, yang kini berprofesi sebagai psikiater di sebuah rumah sakit ternama di Makassar. Mereka sudah lama tidak bertemu, tetapi Rian adalah salah satu dari sedikit orang yang pernah Aditya percaya sepenuhnya. Dengan tangan gemetar, Aditya meraih ponselnya, mencari kontak Rian. Ia ragu sejenak—bagaimana ia akan menjelaskan semua ini? Apakah Rian akan percaya padanya, atau justru langsung menganggapnya gila?

Namun, dorongan untuk bertahan hidup lebih kuat dari rasa malu. Aditya menelepon Rian. Suara Rian yang ceria di ujung telepon terasa seperti oase di tengah gurun kegilaan yang ia alami.

"Adit? Astaga, apa kabar? Lama banget nggak dengar kabar lo!" sapa Rian.

"Rian... gua... gua butuh bantuan lo," suara Aditya parau, nyaris tak terdengar. "Gua nggak tahu lagi harus gimana."

Rian, yang peka terhadap nada bicara Aditya yang begitu putus asa, langsung menanyakan keadaannya. Aditya, dengan susah payah, mencoba menceritakan semuanya: dari bangkai tikus, barang-barang yang berpindah, kegagalan ritual pengusiran, penampakan di cermin, hingga mimpi-mimpi mengerikan di mana ia melihat dirinya sendiri melakukan semua itu. Ia juga menceritakan isi buku harian ibunya tentang ayahnya. Rian mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong, meskipun ada jeda panjang saat Aditya kesulitan menahan isak tangisnya.

"Gua tahu ini kedengaran gila, Ri. Gua sendiri nggak ngerti lagi," kata Aditya di akhir ceritanya, suaranya bergetar.

Ada keheningan di ujung telepon. Lalu, Rian berkata dengan nada tenang, namun serius, "Adit, dengar baik-baik. Kondisi lo saat ini sangat mengkhawatirkan. Ada kemungkinan lo mengalami gangguan psikosis berat atau disosiatif. Gue harus datang ke sana, sekarang juga. Gue janji, gue akan bantu lo."

Rian tiba di rumah Aditya beberapa jam kemudian, membawa sebuah tas berisi peralatan medis kecil dan sebuah tas ransel. Wajahnya terlihat prihatin saat melihat penampilan Aditya yang sangat berantakan: rambut acak-acakan, mata cekung, bau badan tak sedap, dan tatapan kosong.

"Adit, lo butuh mandi, makan, dan istirahat," kata Rian pelan, namun Aditya hanya menggeleng.

"Gua nggak bisa tidur, Ri. Nanti kejadian lagi."

Rian menghela napas. "Baik, kalau gitu, kita beresin ini dulu."

Rian tidak meremehkan cerita Aditya tentang hantu atau gangguan supranatural, setidaknya tidak secara langsung. Sebagai psikiater, ia tahu bahwa pengalaman subjektif pasien adalah kunci. Ia tidak akan langsung membantah, melainkan mencari penjelasan yang lebih ilmiah untuk fenomena yang Aditya alami.

"Adit, gue percaya lo merasakan ini semua," kata Rian. "Tapi untuk membuktikan apa yang sebenarnya terjadi, gue butuh data. Gue akan pasang kamera tersembunyi di beberapa titik. Kali ini, bukan kamera yang biasa dijual di pasaran. Ini kamera khusus yang nggak bisa terdeteksi frekuensinya."

Rian mengeluarkan beberapa kamera tersembunyi super kecil, seukuran korek api, lengkap dengan perekam mini yang langsung menyimpan data ke kartu memori terenkripsi. Ia memasangnya dengan cermat: satu di ruang tamu, tersembunyi di balik pot tanaman. Satu di dapur, di balik rak bumbu. Satu di lorong lantai dua, tersembunyi di balik pigura foto. Dan yang paling penting, satu di dalam kamar Aditya, terpasang di langit-langit, nyaris tak terlihat. Ia juga memasang satu kamera di halaman depan, menghadap pintu utama.

"Kita akan rekam ini selama beberapa hari," jelas Rian. "Dan kali ini, nggak akan ada gangguan rekaman. Gue jamin."

Aditya hanya bisa pasrah. Ia terlalu lelah untuk berdebat. Rian juga membawakan makanan dan minuman. Ia memaksa Aditya untuk makan, sedikit demi sedikit. Kemudian, Rian mencoba bicara dengan Aditya, bertanya tentang masa kecilnya, tentang hubungannya dengan orang tuanya, tentang perasaannya setelah mereka meninggal. Aditya, dengan enggan, mulai menceritakan masa kecilnya yang sunyi, bagaimana ia merasa sering diabaikan karena kesibukan orang tuanya, dan betapa ia sering merasa sendirian bahkan saat mereka masih hidup. Ia juga menceritakan bagaimana ia merasa 'terkurung' dalam rumah itu setelah kematian mereka, karena ia tidak punya siapa-siapa lagi.

Rian mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat di buku kecilnya. Ia melihat pola. Kesepian, trauma kehilangan, isolasi berkepanjangan—semua itu adalah pemicu kuat untuk gangguan psikologis.

Beberapa hari berlalu. Rian tidur di rumah Aditya, mencoba mengamati perilakunya. Ia melihat Aditya sering terbangun di tengah malam, gelisah, berbicara sendiri. Ia mendengar Aditya mengeluh tentang bisikan dan bayangan. Rian sesekali melihat Aditya mondar-mandir di malam hari, namun belum ada kejadian aneh yang terjadi di depan matanya.

Setiap pagi, Rian akan memeriksa rekaman kamera. Hari pertama, kosong. Hari kedua, masih kosong. Rasa frustrasi mulai menyergap Aditya. "Gue bilang kan, Ri. Mereka itu licik. Mereka nggak akan muncul kalau ada kamera."

Rian tidak menjawab. Ia hanya terus memutar ulang rekaman, melihat setiap detik. Ia tahu gangguan seperti ini bisa jadi rumit.

Pada pagi keempat, Rian kembali memeriksa rekaman. Kali ini, ia melihat sesuatu. Sebuah aktivitas yang terekam dengan jelas.

"Adit! Ke sini!" panggil Rian, suaranya tegang namun penuh eksitasi.

Aditya, yang sedang duduk termenung di sofa, bangkit dengan malas. Ia berjalan ke arah Rian yang sedang memegang laptopnya.

"Lo lihat ini," kata Rian, memutar ulang rekaman dari kamera di ruang tamu.

Rekaman itu menunjukkan pemandangan ruang tamu yang gelap, hanya diterangi cahaya rembulan yang masuk dari jendela. Jam menunjukkan pukul 03.15 pagi. Lalu, muncul sebuah sosok dari arah lorong. Sosok itu berjalan perlahan, gontai, seperti orang yang berjalan sambil tidur.

Aditya menatap layar dengan mata membelalak. Sosok itu adalah dirinya sendiri.

Di rekaman itu, Aditya melihat dirinya yang terekam, dalam kondisi trance yang dalam. Matanya terbuka, namun tatapannya kosong, tak bernyawa. Pria itu, dirinya sendiri, berjalan ke meja kopi, mengambil remote TV yang tadinya diletakkan rapi, lalu memindahkannya ke bawah sofa. Gerakannya lambat, mekanis.

Rian memutar rekaman dari kamera dapur. Aditya melihat dirinya yang lain masuk ke dapur, membuka laci, mengambil sebuah sendok, lalu meletakkannya di dalam gelas di wastafel. Tidak ada suara, tidak ada bisikan. Hanya dirinya yang bergerak dalam keheningan.

Kemudian, Rian memutar rekaman dari kamera di kamar Aditya. Rekaman itu menunjukkan dirinya yang lain sedang berdiri di depan cermin, mengulurkan jari, dan menulis sesuatu di permukaan cermin dengan cairan gelap. Aditya melihat dengan jelas tulisannya: "KAU TAK BISA LARI."

Jantung Aditya berpacu. Ia menelan ludah. Ini adalah bukti. Bukti yang tidak bisa disangkal.

Rian kemudian beralih ke rekaman kamera halaman depan, yang terhubung ke kamera malam inframerah. Rekaman menunjukkan Aditya yang lain keluar rumah, berjalan ke semak-semak. Ia membungkuk, mengambil sesuatu, lalu kembali dengan sebuah bungkusan kecil di tangannya. Ia meletakkannya di depan pintu, di atas keset. Bungkusan kain berisi bangkai tikus.

Dan yang paling mengerikan, Rian menunjukkan rekaman dari kamera di loteng. Kamera itu menyorot sebuah sudut gelap yang dipenuhi barang-barang tua. Dalam rekaman, Aditya yang lain masuk ke sana, membawa sebuah karung kecil. Ia mengeluarkan isinya: sebuah bangkai burung gagak. Ia membungkusnya dengan kain putih bersih, mengikatnya, lalu membawanya ke bawah. Rekaman itu bahkan menangkap ekspresi kosong, nyaris tak berekspresi, di wajahnya.

"Adit..." kata Rian, suaranya pelan. "Lo lihat sendiri kan?"

Aditya hanya bisa menatap layar laptop, napasnya tercekat di tenggorokan. Kakinya lemas. Ia merasa seolah-olah seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Semua ketakutan, semua kebingungan, semua teror yang ia alami selama berminggu-minggu, kini terungkap dengan cara yang paling brutal dan tak terduga.

Bukan hantu. Bukan roh jahat. Itu adalah dirinya sendiri.

Ia melihat dirinya yang lain, yang bergerak, yang menakuti, yang melakukan hal-hal mengerikan itu dalam tidurnya sendiri. Wajah kosong itu, gerakan mekanis itu, adalah cerminan dari dirinya yang selama ini ia kira sedang diteror oleh entitas gaib.

Mata Aditya berkaca-kaca. Ia merasakan perpaduan syok, malu, dan kengerian yang tak terhingga. Tangannya gemetar hebat. Selama ini, ia melawan musuh yang ada di dalam dirinya sendiri. Roh yang ia sangka dari luar, ternyata adalah bagian dari jiwanya yang sakit, yang tersembunyi, yang muncul saat alam bawah sadarnya mengambil alih.

Rian mematikan rekaman. Ia menatap Aditya dengan tatapan penuh simpati. "Adit, ini... ini adalah manifestasi dari trauma berat dan isolasi yang lo alami. Ini bukan hantu. Ini adalah gangguan disosiatif, mungkin bentuk ringan dari DID, atau psikosis yang terkait dengan stres pasca-trauma."

Kata-kata Rian seperti palu yang menghantam, mengakhiri semua keraguan. Aditya akhirnya melihat kebenaran. Kebenaran yang lebih menakutkan daripada hantu mana pun. Ia adalah teror itu sendiri.

Bab 8: Yang Aku Takuti Adalah Diriku

Aditya menatap layar laptop, wajahnya pucat pasi, matanya membelalak penuh kengerian. Rekaman itu terus berputar, menampilkan dirinya sendiri yang bergerak seperti boneka, melakukan semua hal yang selama ini menerornya. Bukan hantu, bukan roh, melainkan dirinya sendiri. Kesadaran itu menghantamnya seperti gelombang kejut, menghancurkan sisa pertahanan mentalnya.

Rian segera mendekat. "Adit, tenang. Ini bukan salah lo. Ini cara otak lo mengatasi trauma yang terpendam. Lo nggak gila, lo sakit."

Tapi kata-kata itu seolah tak sampai. "Gua... gua yang melakukannya? Gua yang naruh bangkai? Gua yang nulis di cermin?" Suaranya parau, dipenuhi rasa tidak percaya yang mendalam. Ia telah menjadi monster yang ia takuti.

Rian mengangguk pelan. "Kemungkinan besar iya, Adit. Dari cerita lo dan buku harian ibu lo, ada indikasi kuat ayah lo juga mengalami hal yang sama. Trauma yang tidak diproses bisa termanifestasi dalam bentuk seperti ini, terutama jika ada kecenderungan genetik atau isolasi."

Penjelasan Rian, meskipun logis, terasa seperti pukulan telak. Jadi, "kutukan" ini bukan hantu, melainkan penyakit mental yang diwariskan, diperparah kesendirian. Bayangan wanita di cermin, suara-suara, mungkin adalah proyeksi alam bawah sadarnya yang terluka.

"Kita harus ke rumah sakit, Adit," kata Rian tegas. "Lo butuh perawatan. Gue akan bantu lo."

Aditya awalnya menolak, tubuhnya gemetar, tapi Rian mendesak. Ia menjelaskan ini langkah pertama penyembuhan. Setelah perjuangan singkat, Aditya akhirnya menyerah, terlalu lelah untuk melawan.

Beberapa hari kemudian, Aditya dirawat di rumah sakit jiwa. Ia didiagnosis mengidap Dissociative Identity Disorder (DID) ringan, dengan kecenderungan psikosis yang dipicu stres pasca-trauma dan isolasi kronis. Kehilangan orang tua dan hidup menyendiri di rumah itu, ditambah kecenderungan genetik ayahnya, telah menciptakan "identitas" lain dalam dirinya.

Selama perawatan, Aditya mulai menjalani terapi untuk memahami "roh" yang ia takuti adalah bagian dari dirinya. Proses ini tidak mudah. Ada rasa malu dan bersalah.

Sementara Aditya dirawat, rumah itu tetap berdiri sunyi di Jalan Anggrek. Pak Heru, agen properti, menyerah. Tidak ada pembeli yang mau mendekat. Rumah itu tetap tidak terjual.

Di akhir cerita, kamera-kamera tersembunyi Rian di rumah itu tetap aktif. Rekaman menunjukkan rumah yang sepi. Namun, pada suatu pagi, kamera di kamar Aditya, yang kini kosong, menunjukkan sesuatu yang meremang.

Aditya, yang seharusnya di rumah sakit, terekam duduk sendirian di lantai kamar itu. Ia terlihat kurus, pucat, namun tatapannya kini samar. Ia duduk di depan cermin, tersenyum tipis pada bayangan kosong di depan cermin itu. Seolah ia berbicara dengan seseorang di sana.

Rekaman berhenti. Akhir yang menggantung.

Apakah gangguan itu benar-benar berhenti? Ataukah roh itu… kini telah sepenuhnya menyatu, menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya? Dan apakah rumah itu telah berhasil mengklaim jiwa terakhir dari garis keturunan itu, selamanya?


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)