Masukan nama pengguna
PROLOG
Katanya, cinta itu indah.
Tapi kenapa… justru karena cinta, banyak hati yang patah?
Hubungan yang diawali dengan janji setia, sering kali berakhir dengan luka, perpisahan… bahkan saling menyakiti.
Mereka bilang cinta adalah anugerah. Tapi di balik anugerah itu, terselip kecewa, air mata, bahkan dendam.
Lalu, apa sebenarnya makna cinta itu?
Apakah cinta hanya sebatas kata?
Luka Pertama dan Langkah Pertama
Dimas, seorang pemuda berusia 32 tahun, masih melajang hingga kini.
Bukan karena tak laku, apalagi karena menyukai sesama jenis—bukan. Tapi karena ada trauma lama yang masih menghuni hatinya.
Trauma dari cinta.
Dimas pernah mencintai, pernah mengenal indahnya jatuh hati, dan... pernah pula dihancurkan oleh harapannya sendiri.
Dia hanyalah seorang lelaki sederhana, lulusan SMP, bekerja serabutan ke sana kemari.
Namun tak sekalipun ia malu akan statusnya. Ia tahu, harga diri bukan ditentukan dari ijazah atau isi dompet.
Ia mulai mengenal cinta saat duduk di bangku SMA.
Saat itu, dia mengenal seorang gadis bernama Rindi—teman sekolah yang sederhana namun manis.
Awalnya semua terasa biasa, seperti kisah remaja lainnya. Tapi bagi Dimas, cinta itu bukan main-main. Ia mulai menata mimpi dan harapan, membayangkan masa depan bersama.
Namun, seperti banyak cinta masa muda lainnya, hubungan itu kandas.
Dimas tak tahu di mana letak kesalahannya.
Apakah karena dia tak bisa memberi hadiah setiap hari?
Apakah karena dia tak bisa selalu ada?
Atau memang karena cinta remaja memang belum cukup kuat menghadapi kenyataan?
Ia mencoba melupakan semuanya, meski hatinya masih penuh tanya.
Lalu, badai lain datang.
Ketika naik ke kelas tiga SMA, Dimas harus berhenti sekolah karena masalah keluarga.
Ibunya meninggal saat ia masih duduk di kelas dua, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Ia tinggal bersama sang ayah—seorang pria keras kepala yang seringkali mempermalukan Dimas di depan umum hanya karena hal sepele.
Dimas merasa semakin terkekang. Hidupnya terasa sempit.
Dan akhirnya, ia memutuskan kabur dari rumah.
Dengan niat mandiri dan tak mau terus membebani sang ayah, Dimas merantau ke kota.
Di sana, ia bertemu kembali dengan teman lamanya semasa sekolah—teman yang dulu pindah sekolah ke kota.
Dimas sempat menumpang beberapa hari, sebelum akhirnya menyewa kos sendiri.
Ia mendapat pekerjaan sebagai karyawan toko sembako. Gajinya kecil. Tapi cukup.
Cukup untuk makan, untuk bayar kos, dan yang terpenting... cukup untuk merasa sedikit lebih bebas.
Bukan karena ia benci rumah. Tapi karena di sanalah, luka-luka masa lalu tumbuh terlalu dalam.
Antara Sunyi dan Kesadaran
Selama bekerja di kota, Dimas tak pernah melupakan adik-adiknya. Diam-diam, ia tetap menghubungi mereka sesekali. Ia tak ingin ayahnya tahu—bukan karena membenci, tapi karena luka hati yang masih menganga sejak kepergian ibunya.
Hari-hari Dimas di kota tergolong tenang. Ia bekerja sepenuh hati di toko sembako tempatnya mengadu nasib. Sepulang kerja, ia langsung kembali ke kosan. Tak pernah neko-neko. Obrolannya bersama teman-teman kos sekadar melepas lelah, bukan melampiaskan keresahan.
Meski begitu, rasa sepi tak bisa dibohongi.
Beberapa temannya mencoba mengenalkannya pada wanita, tapi Dimas hanya menanggapi dengan senyum datar. Bukan karena tak tertarik, tapi karena hatinya belum sembuh sepenuhnya. Ia takut luka lama kembali berdarah. Walaupun ada keinginan kuat untuk memiliki teman berbagi cerita… Dimas tetap memilih menahan diri.
Sebagai karyawan toko, Dimas tentu sering melayani para pelanggan perempuan—dari anak-anak hingga ibu-ibu. Diam-diam, ia sempat jatuh hati pada seorang pelanggan setia. Seorang gadis keturunan Tionghoa yang ramah dan selalu menyapa sopan. Tapi Dimas tak berani berharap lebih. Bukan karena gadis itu tak pantas, tapi karena Dimas merasa… dialah yang tidak pantas.
"Aku ini cuma lulusan SMP. Gak punya masa depan yang pasti. Gak mungkin dia mau sama aku," begitu batinnya bergumam setiap kali melihat gadis itu pergi sambil tersenyum.
Hari-hari di kota membuat pandangan Dimas mulai terbuka. Ia mulai paham: ternyata dunia tak seindah desa yang ia tinggalkan. Dulu, ia mengira cinta hanya berakhir karena maut. Tapi di kota, ia melihat kenyataan lain. Cinta bisa kandas oleh harta, status sosial, bahkan hal-hal sepele. Ia melihat anak-anak sekolah pacaran dengan intensitas yang lebih dewasa dari usianya. Ia melihat wanita muda yang sudah menjadi janda. Bahkan ada yang masih remaja namun telah menggendong anak.
Malam-malam di kosan terasa sunyi. Tapi di balik kesunyian itu, ada perenungan.
"Apakah cinta benar-benar seperti yang aku bayangkan? Bukankah cinta seharusnya kuat seperti akar pohon besar? Bukankah cinta bisa melawan badai, ombak, bahkan gempa bumi? Kenapa justru cinta sering kandas hanya karena alasan sepele?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam kepala Dimas. Membuatnya semakin waspada, semakin sulit membuka hati. Trauma itu bukan hanya tentang rasa sakit… tapi tentang ketakutan untuk merasakan sakit yang sama, untuk kedua kalinya.
Luka Karena Cinta (Lagi)
Kehidupan Dimas di kota ternyata tak berlangsung lama. Hanya beberapa bulan saja ia bertahan. Semua berubah saat sebuah peristiwa tak terduga mengguncang kos-kosan tempat ia tinggal.
Salah satu teman kosnya terlibat tawuran dengan pemuda pribumi setempat. Dan alasan di balik keributan itu? Lagi-lagi… cinta.
Dimas yang penasaran akhirnya bertanya pada salah satu temannya. "Kenapa bisa sampai tawuran segala?"
Temannya menjawab dengan napas berat,
> "Dulu ada anak kos di sini. Mahasiswa dari kota lain. Dia pacaran sama cewek lokal. Tapi cewek itu ternyata punya cowok lain juga. Si mahasiswa itu gak terima. Dari situlah semuanya mulai… dan makin ribet sampe sekarang."
Dimas tercengang.
> "Cinta… lagi-lagi cinta. Apa sebenarnya arti dari cinta ini?"
Batin Dimas semakin bergejolak. Baginya, kata cinta semakin tak punya bentuk. Yang ada hanya luka dan konflik.
Keributan itu pun berbuntut panjang. Polisi datang ke kos-kosan. Suasananya mencekam. Semua penghuni dikumpulkan di ruang tamu untuk diinterogasi. Walau Dimas sama sekali tidak terlibat, bahkan tidak tahu-menahu, tetap saja ia harus ikut merasakan imbasnya.
Ketika seorang polisi bertanya dengan nada tinggi, Dimas hanya menjawab apa adanya. Tapi mungkin karena emosi sudah memuncak, tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
"Saya cuma numpang tinggal, Pak..." ucapnya pelan, menahan perih di pipi dan hati.
Tamparan itu bukan hanya menyakiti fisiknya, tapi juga melukai harga dirinya. Ia hanya anak muda biasa yang ingin mencari kehidupan lebih baik. Tapi bahkan di tempat baru pun, ia tetap saja harus menelan kenyataan pahit.
Keesokan harinya, Dimas memutuskan untuk pergi. Ia pamit baik-baik pada pemilik toko tempatnya bekerja.
"Saya harus pergi, Pak. Saya gak mau terlibat hal-hal begini lagi."
Namun, bukan kampung halaman yang ia tuju. Ia memilih melanjutkan perantauan ke kota lain yang tak begitu jauh—sekitar satu jam perjalanan dari tempat sebelumnya.
Dimas tahu, hidup bukan tentang terus berlari dari masalah. Tapi kadang, untuk menjaga kewarasan dan keselamatan diri, pergi adalah satu-satunya cara.
Dan begitu lah, ia memulai lagi… dari nol. Di kota baru. Dengan hati yang makin dingin terhadap kata cinta. Tapi entah kenapa, rasa sepi tetap mengikuti ke mana pun ia pergi.
Secercah harapan
Setelah peristiwa itu, Dimas merasa bimbang. Haruskah ia bertahan di tempat ini, atau pergi saja? Lingkungan sudah tidak lagi mendukung, dan hatinya pun tak lagi tenang.
Akhirnya, Dimas memberanikan diri bicara pada pemilik toko, menyampaikan niatnya untuk pamit undur diri. Malam itu di dalam kamar kos, ia termenung. Pandangannya kosong menatap langit-langit. Ia tak tahu harus ke mana. Pulang kampung? Rasanya bukan pilihan. Ia tak ingin menjadi beban bagi ayahnya, dan ia pun masih menyimpan luka yang belum sembuh.
Tinggal kembali bersama teman lamanya juga bukan pilihan. Teman itu masih tinggal bersama kakaknya. Dimas tak ingin jadi beban di rumah orang lain.
Ketika sedang larut dalam pikirannya sendiri, salah satu teman kosnya melihatnya duduk dengan wajah kusut.
“Bro, kusut amat muka lo? Lagi banyak pikiran, ya? Udahlah, gak usah dipikirin terus kejadian kemarin,” ucapnya sambil menyodorkan kopi.
Dimas hanya tersenyum tipis. Ia pun bercerita bahwa ia sudah berhenti bekerja dan sedang mencari tempat baru, tapi belum tahu ke mana harus pergi.
Temannya itu lalu berkata,
“Eh, kebetulan banget. Di kampung tetangga, cuma sejam dari sini, ada tempat outbound gitu yang lagi cari tukang kebun. Gue gak bisa kerja di sana soalnya kuliah gue bentrok. Tapi kayaknya cocok buat lo.”
Dimas terdiam sejenak, lalu bertanya,
“Kamu punya nomor kontaknya, bro? Biar aku coba hubungi.”
Temannya pun memberikan sebuah nomor.
Dimas langsung menelpon. Di seberang, terdengar suara laki-laki paruh baya. Dimas menjelaskan tentang informasi dari temannya, dan pria itu memperkenalkan diri sebagai Pak Herman. Beliau membenarkan bahwa mereka sedang mencari tenaga kerja untuk bagian taman dan kebersihan. Tempat tinggal dan makan ditanggung. Saat ini ada lima karyawan, namun satu baru saja pulang kampung karena istrinya melahirkan dan tak bisa lanjut bekerja.
Dimas sempat ragu.
“Tapi Pak, saya cuma lulusan SMP... gak punya pengalaman apa-apa.”
Pak Herman tertawa ringan.
“Saya nyari tukang kebun, Mas... bukan calon anggota dewan. Yang penting mau kerja, udah cukup.”
Jawaban itu membuat Dimas tersenyum lega. Akhirnya, dengan sedikit tabungan hasil kerja selama beberapa bulan, Dimas memantapkan diri. Ia berkemas dan bersiap untuk pindah ke tempat baru. Dengan semangat yang tersisa, ia melangkah meninggalkan kos-kosan, mengucapkan terima kasih kepada temannya yang telah membantunya membuka jalan.
Hari itu, Dimas melangkah menuju tempat baru, kehidupan baru... dan harapan baru.
Tempat Baru, Harapan Baru
Setelah menerima alamat dari Pak Herman, Dimas pun bersiap meninggalkan kos-kosan itu. Ia berpamitan dengan teman sekamar dan juga pemilik kos, menyampaikan terima kasih atas semua kebaikan yang pernah ia terima.
Dengan langkah mantap, Dimas berjalan menuju halte bus yang hanya berjarak sekitar 10 menit. Di tangannya, ia menggenggam seplastik kecil cemilan—bekal untuk perjalanan menuju tempat baru yang ia harap akan lebih baik dari sebelumnya.
Setelah hampir satu jam perjalanan, bus akhirnya sampai di daerah tujuan. Dimas pun turun, dan langsung menghampiri seorang bapak tukang ojek untuk menanyakan alamat yang diberikan oleh Pak Herman. Ternyata, lokasi itu masih berjarak sekitar dua kilometer masuk ke perkampungan.
Tanpa pikir panjang, Dimas naik ojek. Motor melaju menyusuri jalan kecil yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Angin sejuk pedesaan menyambutnya—berbeda sekali dengan hiruk-pikuk kota sebelumnya.
Tak lama, ia sampai di depan sebuah rumah besar yang tampak asri dan megah. Dimas tertegun sesaat. Rumah itu ternyata milik Pak Herman sendiri. Ia langsung menghubungi nomor yang diberikan, dan tak lama kemudian gerbang rumah terbuka. Seorang satpam mempersilakannya masuk.
Setelah memperkenalkan diri, Pak Herman menyambut Dimas dengan ramah. Tak menunggu lama, beliau langsung mengajaknya naik mobil menuju lokasi kerja—hanya sekitar 15 menit dari rumah tersebut.
Sesampainya di lokasi, Dimas dibuat kagum. Sebuah taman luas seluas enam hektar terbentang di hadapannya. Tertata rapi, dikelilingi tembok tinggi sebagai pembatas. Di dalamnya terdapat berbagai fasilitas: beberapa rumah karyawan yang tersebar di beberapa titik, kolam permainan, mushola, kamar mandi umum di berbagai sudut, sebuah villa kecil, dan bangunan kantor sederhana.
Pak Herman memperkenalkan Dimas kepada rekan-rekan kerja barunya:
Pak Dedi, duda berusia sekitar 50 tahunan. Beliau adalah karyawan paling lama di tempat itu, sosok yang dihormati dan disegani.
Arif, pemuda berusia 20-an yang baru bekerja beberapa bulan.
Bang Hamdan dan istrinya, Mbak Imah, pasangan pekerja yang diberi izin kerja bersama karena saling membantu dalam keseharian.
Pak Irwan dan Bu Neneng, pasangan paruh baya yang bukan hanya karyawan, tapi juga kerabat dekat Pak Herman.
Setelah itu, Dimas diarahkan menuju rumah tinggalnya yang terletak di dekat kolam. Bangunan sederhana tapi nyaman. Pekerjaan Dimas pun mulai dikenalkan: ia bertugas membersihkan bangunan, mengepel kamar mandi, menyapu daun-daun kering di taman, dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Di lokasi tersebut tumbuh berbagai macam tanaman: pohon durian, pohon kelapa, bunga hias, hingga beberapa kolam yang digunakan untuk kegiatan outbound para pengunjung.
Sementara itu, Bang Hamdan tak hanya bekerja sebagai tukang kebun, tapi juga merangkap sopir pribadi Pak Herman bila ada urusan luar kota.
Bagi Dimas, semua ini terasa asing... namun perlahan mulai menenangkan. Ada harapan baru di tempat baru. Meski kenangan pahit masih menggantung di hati, setidaknya kini ia punya awal baru untuk mencoba bangkit dan menata hidup kembali.
Gejolak
Tak terasa, sudah tiga bulan Dimas bekerja di tempat wisata outbound milik Pak Herman. Meski hanya sebagai tukang kebun, ia merasa lebih tenang dibanding saat merantau sebelumnya. Setidaknya, hidupnya kini lebih terarah dan jauh dari tekanan.
Namun tanpa disadari, perhatian seseorang mulai tertuju padanya—Mbak Imah, istri dari Bang Hamdan, salah satu karyawan yang juga sopir pribadi Pak Herman. Awalnya, Dimas tak berpikir macam-macam. Setiap kali berpapasan, Mbak Imah tersenyum ramah. Dimas hanya menganggap itu wajar, mungkin memang orangnya ramah dan murah senyum.
Tapi suatu hari, ketika Dimas sedang membersihkan kamar mandi yang letaknya berdekatan dengan rumah Bang Hamdan, Mbak Imah datang diam-diam. Ia mengajaknya ngobrol. Dimas sempat merasa aneh, tapi mencoba menepis pikiran negatifnya.
Semua berlalu begitu saja…
---
Hingga suatu hari, Pak Herman harus keluar kota selama beberapa hari, dan Bang Hamdan ikut serta karena tugasnya sebagai sopir pribadi. Sore itu, setelah selesai bekerja dan mandi, Dimas duduk santai di teras rumahnya yang menghadap ke kolam. Seperti biasa, ia menelpon adik-adiknya, memastikan bahwa ia baik-baik saja.
Malamnya selepas Sholat Isya, turun hujan deras mengguyur tempat itu. Saat Dimas sedang duduk di ruang tamu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
Saat dibuka, Dimas terkejut.
“Mbak Imah? Malam-malam gini? Ada apa, mbak?” tanyanya.
Mbak Imah hanya tersenyum… dan berusaha memeluk Dimas.
Dimas refleks mundur.
“Kamu kenapa, Dimas? Gak suka sama aku?” tanya Mbak Imah, pelan.
Dimas menatapnya serius.
“Mbak… sadar. Mbak itu sudah menikah. Tolong jaga suami mbak. Jaga pernikahan mbak.”
Namun Mbak Imah tetap melangkah masuk ke dalam rumah Dimas.
Ia mengaku takut sendirian di rumah, dan ingin bermalam bersama Dimas malam itu. Dimas menolak dengan tegas. Ia tetap berdiri tegak, tak membiarkan dirinya jatuh ke dalam godaan.
“Aku gak bisa, mbak. Jangan bawa setan ke rumah ini,” kata Dimas tegas.
Dengan senyum kecewa, Mbak Imah pun melangkah pergi. Tapi sebelum itu, Mbak Imah berkata:
“Baiklah. Tapi… bolehkah aku memelukmu sekali saja?”
Dimas diam. Tapi ia tidak mengiyakan.
Setelah kejadian itu, Dimas semakin sering merenung. Ia bertanya dalam hati:
“Benarkah cinta itu suci? Bahkan mereka yang sudah menikah pun... bisa mengkhianatinya?”
Beberapa hari berlalu. Situasi kembali seperti biasa. Hingga kejadian itu terulang kembali.
Kali ini, saat Dimas sedang membersihkan kamar mandi di ujung area perbatasan, Mbak Imah datang lagi. Diam-diam.
Tiba-tiba, ia memeluk Dimas dari belakang.
Dimas kaget. Ia segera melepaskan diri.
“Mbak! Apa-apaan ini? Istighfar, mbak!” serunya.
Namun Mbak Imah malah berkata,
“Aku suka kamu, Dimas. Kamu tampan, baik, dan perhatian. Sejak menikah, aku dan suamiku belum dikaruniai anak. Aku merasa sepi. Aku ingin... merasakan hangatnya cinta dari seseorang seperti kamu…”
Dimas terdiam. Terlalu banyak yang berputar di pikirannya. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi perusak rumah tangga orang lain.
“Mbak, tolong pulang. Jangan ulangi ini lagi.”
Mbak Imah hanya menatapnya, kecewa. Tapi kemudian ia pergi, dan mereka sama-sama menyimpan kejadian itu rapat-rapat.
Namun takdir tetap berjalan.
Beberapa minggu kemudian, Mbak Imah tertangkap basah berselingkuh dengan salah satu orang kepercayaan Pak Herman yang biasa datang mengecek tempat kerja.
Berita itu cepat menyebar. Pak Herman, yang merasa malu dan kecewa karena perbuatan orang kepercayaannya itu akhirnya memberhentikan Bang Hamdan dan istrinya sebagai bentuk teguran dan tanggung jawab moral.
Dimas tak berkata apa-apa. Ia hanya diam.
Tapi di dalam hatinya, ia sadar satu hal besar:
Cinta bukan sekadar kata.
Cinta bukan soal perhatian atau rayuan.
Cinta adalah tanggung jawab.
Dan jika tidak dijaga, cinta bisa berubah menjadi luka yang sangat dalam...
Retak yang Menyatu
Setelah kejadian yang menimpa Bang Hamdan dan istrinya, suasana di tempat kerja perlahan kembali normal. Dimas dan karyawan lainnya, meski jarang berkumpul atau ngobrol bersama, tetap menjaga solidaritas dan saling menghormati.
Namun waktu terus berjalan. Usaha Pak Herman mulai sepi, kalah bersaing dengan tempat-tempat wisata outbound lain yang lebih modern dan memiliki fasilitas lengkap. Karyawan pun mulai merasakan dampaknya—terkadang gaji terlambat, bahkan beberapa bulan tidak dibayar penuh.
Satu per satu karyawan memilih mundur, termasuk Dimas. Pak Herman tidak marah. Justru ia menerima keputusan itu dengan bijak. Ia sadar, usahanya sudah tidak sekuat dulu. Dengan penuh hormat, Dimas pun berpamitan.
Setelah hampir satu setengah tahun merantau, Dimas akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Ia naik bus dan menempuh perjalanan panjang, membawa pulang segudang cerita hidup yang tak mudah. Sesampainya di rumah, ia disambut oleh adik-adiknya dengan pelukan hangat dan tawa haru.
Namun di balik kehangatan itu, terselip rasa cemas. Ia khawatir akan reaksi sang ayah. Apakah ayahnya masih marah? Apakah luka lama akan kembali terbuka?
Tapi kekhawatiran itu seketika sirna ketika sang ayah datang menghampiri...
Memeluk Dimas erat—sambil menangis.
Tangis penyesalan. Tangis dari hati seorang ayah yang akhirnya menyadari betapa kerasnya ia dahulu memperlakukan anaknya. Dimas terpaku. Dalam pelukan itu, ia merasa... ada sesuatu yang utuh kembali dalam hidupnya.
Dari sinilah Dimas mulai memahami...
"Mungkin... inilah cinta yang sesungguhnya."
Bukan hanya kepada pasangan. Tapi cinta kepada keluarga. Kepada rumah yang pernah ia tinggalkan, dan kini menyambutnya kembali dengan hangat.
Dimas menceritakan semua pengalamannya selama merantau. Sang ayah mendengarkan dengan seksama. Air matanya beberapa kali jatuh, namun senyum perlahan muncul di wajah tuanya. Ia kemudian bertanya:
“Nak... apa kamu sudah menemukan apa yang kamu cari selama ini?”
Dimas tersenyum. Menatap langit kampung yang senja, lalu menjawab pelan:
“Sudah, Yah.”
“Cinta itu... bukan hanya tentang memiliki seseorang. Tapi tentang bagaimana kita bisa menerima, memahami, dan memperjuangkan—termasuk untuk diri kita sendiri.”
“Cinta itu... hadir di saat kita mampu melihat kekurangan orang lain, dan tetap memilih untuk mencintainya. Sama seperti ayah dan aku hari ini...”
TAMAT.