Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,206
Panen Manggis, Nyawa hampir Menangis
Komedi

Judul: Panen Manggis, Nyawa Hampir Nangis

Penulis: Bang Jay


Bagian 1: Ayo Panen, Tapi Jangan Panik


Mentari pagi di ufuk timur masih malu-malu menampakkan diri, sinarnya yang kekuningan baru sehangat teh yang belum diseruput. Namun, semangat Jay sudah membara seperti kompor gas baru. Bersama Nanda yang masih menguap lebar, mereka berdua menyusuri jalan setapak berbatu menuju kebun belakang rumah nenek. Tiga pohon manggis raksasa menjulang tinggi, batangnya kokoh dan rimbun, buah ungunya menggelayuti dahan bagaikan permata yang siap dipanen. Hari itu, misi mereka lebih penting dari mencari harta karun: memanen manggis kesukaan sang nenek.

“Nih, Nand, lihat! Manggisnya udah pada montok kayak pipi bayi,” kata Jay penuh semangat sambil menunjuk buah-buah yang tampak ranum. “Gue yakin, dengan ketampanan dan keahlian memanjat gue, ini bakal selesai secepat kilat!”

Nanda mendengus sinis, matanya masih setengah terpejam. “Ketampanan lo nggak ada hubungannya sama tinggi pohon, Jay. Itu pohon tingginya udah kayak utang negara, susah banget diraih. Bukan kayak pete yang tinggal petik.” Sambil berkata begitu, Nanda menyeret karung goni kosong yang tampak lebih bersemangat darinya.

Jay tertawa sambil melakukan peregangan yang berlebihan, kakinya diayun-ayunkan seperti baling-baling helikopter rusak. “Justru makin tinggi, makin menantang! Ini namanya Manggis Vertical Expedition! Lo di bawah jadi tim support gue, oke?”

Nanda menguap lagi. “Tim support yang tugasnya nampung lo kalo tiba-tiba jadi meteor jatuh.”

Tanpa menghiraukan komentar pedas sahabatnya, Jay dengan lincah (menurut versinya sendiri) melompat ke batang pohon pertama. Gerakannya lebih mirip monyet yang baru belajar salto daripada Tarzan, tapi semangatnya patut diacungi jempol—atau mungkin dikasih helm. Pohon pertama berhasil ditaklukkan dengan gaya pendaki gunung kurang oksigen. Pohon kedua dengan teknik siput mendaki tembok. Nanda di bawah terus memberikan “motivasi” yang bikin Jay makin bersemangat (atau malah ingin melemparinya dengan kulit manggis). “Jangan lupa istirahat, Jay! Itu bukan diskon 70% yang dikejar!”

Tibalah mereka di pohon ketiga, sang maharajanya ketinggian. Batangnya lebih besar, dahannya lebih bercabang-cabang, dan buah manggisnya tampak paling menggoda, bersembunyi di antara rimbun daun seperti bintang di langit malam.

Bagian 2: Antara Manggis, Cabang, dan Nyawa

Jay dengan penuh percaya diri (yang sayangnya tidak diimbangi dengan kemampuan memanjat yang mumpuni) terus merayap naik. Ia sudah hampir mencapai dahan paling atas, tempat manggis super jumbo yang tampak seperti bola ungu raksasa itu bergelayut manja. “Sedikit lagi, Nand… ini dia jackpotnya!” serunya penuh kemenangan.

Namun, saat tangannya terulur untuk memetik si buah impian, KRAK! Suara retakan kayu itu menggelegar seperti petir di siang bolong, membuat jantung Jay serasa melakukan headbang di dalam dadanya. Cabang tempat Jay berpijak, yang tadinya tampak kokoh seperti janji politikus, ternyata rapuh seperti kerupuk basi. Tubuh Jay langsung meluncur bebas, seperti harga saham yang anjlok mendadak.

Ajaibnya (atau mungkin karena celana Jay tersangkut di ranting kecil), ia tidak langsung jatuh ke tanah. Ia nyangkut! Di antara dua cabang yang membentuk huruf “Y” terbalik, posisinya sungguh memilukan sekaligus menggelikan. Kepalanya di bawah, kakinya di atas, persis seperti boneka yang digantung terbalik di toko mainan bekas.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara angin berbisik dan napas Jay yang tersengal-sengal. Lalu…

“HUAAAAHAHAHAHA!” Jay tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema memecah kesunyian kebun.

“JAY! KAMPRET! LO KENAPA MALAH KETAWA?! TURUN CEPETAN! ITU BUKAN POSISI YOGA!!” teriak Nanda dari bawah, wajahnya pucat pasi bercampur merah padam menahan tawa sekaligus panik. Ia memegangi batang pohon seolah pohon itu adalah satu-satunya pegangan hidupnya.

Jay berusaha menjawab di antara sisa tawanya. “Gue… gue barusan lihat… malaikat maut… lagi main suit sama setan… rebutan nyawa gue… HAHAHAHA! Eh, tapi kayaknya setannya menang!”

Nanda mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Ya ampun, Jay! Kalo lo jatuh terus manggis nya rusak semua,, siapa yang mau beli nanti. Yang ada nenek malah marah-marah”

Komentar Nanda yang sama sekali tidak membantu itu justru membuat Jay semakin histeris. Di ketinggian yang mengancam nyawa, dengan posisi memalukan dan pandangan dunia terbalik, Jay malah berusaha menahan tawa agar tidak semakin memperparah situasinya yang sudah absurd.

Akhirnya, setelah berpikir keras (dan mencoba beberapa ide bodoh seperti menyuruh Jay melompat ke tumpukan daun kering yang ternyata hanya setinggi mata kaki), Nanda menemukan ide yang sedikit lebih masuk akal. Ia melepaskan sarung lusuhnya, mengikat ujung-ujungnya hingga membentuk tali darurat yang lebih mirip benang layangan raksasa. Dengan instruksi yang kacau dan gerakan Jay yang lebih mirip ulat bulu yang sedang senam, perlahan tapi pasti Jay berhasil digiring turun, dengan lutut lemas seperti agar-agar dan muka merah padam menahan sisa-sisa tawa yang masih menggelitik perutnya.

Bagian 3: Hadiah dari Pohon dan Pelajaran dari Awan

Begitu kakinya menyentuh tanah dengan selamat, Jay langsung mencium tanah dengan dramatis, air mata haru (dan sedikit air liur) menempel di pipinya. “Oh, ibu pertiwi… kau sungguh alas yang lebih nyaman daripada pelukan dahan pengkhianat!”

Nanda duduk di sampingnya, mengipasi wajah Jay yang berkeringat dengan daun pisang yang sudah layu. “Udah drama queen-nya? Sekarang bantu gue beresin ini manggis sebelum nenek ngira kita habis bikin pesta dugem di kebun.”

Dengan sisa tenaga dan tawa yang sesekali meledak seperti petasan banting, mereka akhirnya berhasil mengumpulkan semua manggis ke dalam karung besar. Hasil “perjuangan hidup dan mati” ini terasa lebih berharga dari emas batangan, karena setiap buahnya mengingatkan mereka pada adegan Jay menjadi hiasan pohon dadakan.

Sesampainya di rumah, nenek Nanda—wanita mungil dengan selendang batik yang selalu rapi dan tatapan mata setajam silet—menyambut mereka di teras dengan alis terangkat setinggi awan.

“Kalian ini kenapa seperti habis ikut lomba lari karung di lumpur? Kotor sekali!” tanyanya sambil berkacak pinggang, menatap mereka dengan curiga.

Jay langsung memasang wajah polos. “Anu, Nek… tadi… ada sedikit… demonstrasi anti-gravitasi yang gagal.”

Nanda menyeringai lebar, tidak bisa menahan tawanya. “Enggak, Nek. Tadi Jay main cilukba sama pohon manggis, eh malah nyangkut kayak layangan putus.”

Sang nenek melotot, tangannya sudah siap mencubit. “APA?! Kalian ini! Disuruh panen kok malah bikin sirkus di atas pohon!”

Jay buru-buru menyodorkan karung manggis yang sudah penuh. “Tapi hasilnya maksimal, Nek! Liat nih, manggisnya manis-manis kayak senyum nenek!”

Sang nenek akhirnya tertawa terbahak-bahak, tawanya renyah seperti kerupuk baru digoreng. Ia menjewer telinga Jay pelan. “Dasar cucu nakal! Lain kali hati-hati! Buah bisa dicari lagi, tapi kalian… cuma satu-satunya cucu dan sahabat yang nenek punya. Jangan bikin jantung nenek copot!”

Malam itu mereka habiskan dengan teh hangat yang manis, ubi rebus yang pulen, dan cerita Jay nyangkut yang diceritakan ulang berkali-kali dengan bumbu dramatisasi dan efek suara yang berlebihan. Tapi di balik tawa yang mengalir deras, ada kehangatan persahabatan yang semakin erat dan pelajaran berharga tentang pentingnya berhati-hati—terutama saat berurusan dengan pohon tinggi dan gravitasi yang tidak bisa diajak bercanda. Bekas cakaran di tangan Jay dan memar di kaki Nanda menjadi medali kehormatan atas petualangan panen manggis yang hampir merenggut nyawa, tapi justru memberikan kenangan yang tak ternilai harganya.

Pesan Moral :

Dalam hidup yang penuh dengan lika-liku dan kejutan tak terduga, terkadang pengalaman yang paling menakutkan justru menjadi bahan tertawaan paling ampuh di kemudian hari. Seperti memanjat pohon manggis yang tinggi, hidup ini penuh risiko—terutama risiko terlihat konyol saat nyangkut di posisi yang tidak terhormat. Namun, di tengah segala bahaya dan potensi malu, persahabatan yang setia, keberanian yang kadang kebablasan, dan selera humor yang tinggi adalah bumbu penyedap yang membuat setiap cerita, bahkan yang hampir tragis, menjadi lebih berwarna dan berkesan. Dan ingatlah selalu nasihat orang tua (terutama nenek)—jangan pernah meremehkan gravitasi dan selalu utamakan keselamatan, kecuali kalau memang niatnya mau jadi bintang sirkus dadakan di atas pohon manggis.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)