Masukan nama pengguna
Mentari pagi menyapa Danu dengan sinarnya yang hangat, menembus celah-celah ventilasi tempat tinggalnya. Di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, Danu sudah akrab dengan bau amis darah segar bercampur aroma ayam mentah. Setiap subuh, sebelum hiruk pikuk pasar menggema, ia sudah sibuk menata dagangannya: ayam-ayam potong yang digantung rapi, menunggu pembeli di lapaknya yang sederhana, tepat di pelataran depan masjid pasar.
Bagi Danu, berjualan ayam potong bukan sekadar mencari sesuap nasi. Ini adalah mata pencaharian utama, tulang punggung bagi dirinya dan ibunya di rumah. Ia tekun menjalani rutinitas ini, dari memilih ayam segar di pemasok subuh buta, membersihkannya dengan cermat, hingga menawarkannya kepada setiap calon pembeli dengan senyum ramah.
Namun, tantangan selalu hadir di tengah riuhnya pasar. Beberapa pedagang ayam potong lain menjual dengan harga yang jauh lebih murah, bahkan terkadang di bawah modal. Danu menghela napas. Seharusnya, sesama penjual bisa saling menjaga harga, menciptakan persaingan yang sehat. Tapi kenyataannya, perang harga seringkali tak terhindarkan, membuat Tirta harus memutar otak lebih keras agar dagangannya tetap laku.
"Ayam segar, Bu! Baru dipotong pagi ini!" seru Danu kepada seorang ibu yang melintas. Ibu itu melirik dagangannya, lalu menunjuk ke lapak di ujung pasar. "Di sana lebih murah, Mas."
Danu hanya bisa tersenyum pahit. Ia tahu, kualitas ayamnya terjaga, kesegarannya terjamin. Ia tidak mau mengorbankan kualitas demi harga murah. Baginya, rezeki yang berkah lebih penting daripada keuntungan sesaat.
Di tengah gempuran persaingan harga, Danu mencoba berbagai cara. Ia menjaga kebersihan lapaknya, menimbang dengan jujur, dan selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik. Ia juga tak pernah lupa menyapa para jamaah masjid yang lewat, terkadang memberikan potongan harga kecil sebagai bentuk syukur.
Suatu siang, setelah salat zuhur, seorang bapak tua menghampiri lapak Danu. "Nak, ayammu terlihat segar. Berapa sekilonya?"
Danu menyebutkan harganya dengan sopan. Bapak itu mengangguk. "Saya sering lewat sini, tapi baru kali ini tertarik membeli. Kamu terlihat jujur dan ramah."
Setelah menimbang beberapa potong ayam, bapak itu bercerita bahwa ia memiliki acara keluarga dan membutuhkan ayam yang berkualitas baik. Ia juga sempat mengeluhkan harga ayam di lapak lain yang terlalu murah dan membuatnya curiga akan kualitasnya.
Danu mendengarkan dengan saksama. Ia menyadari, meskipun harga murah menarik sebagian pembeli, masih banyak yang mencari kualitas dan kejujuran. Dari percakapan itu, Danu mendapatkan sedikit harapan. Mungkin, dengan terus menjaga kualitas dan integritas, rezekinya akan tetap mengalir, meskipun di tengah persaingan yang ketat.
Setiap kali adzan berkumandang dari masjid di depannya, Danu selalu menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, berdoa agar dagangannya laris dan rezekinya berkah. Ia percaya, di balik riuhnya pasar dan kerasnya persaingan, selalu ada aroma rezeki yang adil bagi mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh dan menjaga kejujuran.
Hari-hari Danu terus berjalan dengan rutinitas yang sama. Subuh di pasar, berjualan di depan masjid hingga sore menjelang, lalu kembali ke rumah untuk membantu ibunya. Persaingan harga memang masih terasa berat, namun Danu tidak patah semangat. Ia meyakini bahwa rezeki tidak akan tertukar.
Suatu pagi, saat Danu sedang menata ayam-ayamnya, seorang pria berpakaian rapi menghampirinya. Pria itu terlihat berbeda dari kebanyakan pembeli di pasar.
"Selamat pagi, Mas," sapa pria itu dengan sopan.
"Pagi, Pak," jawab Danu, sedikit heran.
"Saya sedang mencari pemasok ayam potong untuk restoran saya. Saya perhatikan lapak Anda cukup ramai, dan ayamnya terlihat segar. Apakah Anda bisa memasok dalam jumlah yang lebih besar?" tanya pria itu.
Jantung Danu berdebar kencang. Ini adalah kesempatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama ini, ia hanya berjualan dalam skala kecil untuk kebutuhan rumah tangga.
"Tentu saja, Pak. Saya bisa mengusahakannya," jawab Danu, berusaha menyembunyikan kegembiraannya.
Pria itu memperkenalkan diri sebagai Pak Herman, pemilik sebuah restoran cukup terkenal di kota. Ia menjelaskan bahwa restorannya membutuhkan pasokan ayam potong segar setiap hari dengan kualitas yang terjamin. Setelah melihat kualitas ayam Danu dan keramahannya, ia tertarik untuk menjalin kerjasama.
Mereka berdiskusi tentang jumlah pasokan, harga, dan jadwal pengiriman. Danu dengan sigap mencatat semua permintaan Pak Herman. Ia merasa ini adalah jawaban atas doa-doanya selama ini.
Tentu saja, ini bukan tanpa tantangan. Danu harus memikirkan bagaimana cara meningkatkan kapasitas produksinya, menjaga kualitas dalam jumlah besar, dan mengatur logistik pengiriman. Namun, semangatnya berkobar. Ia yakin, dengan kerja keras dan kejujuran, ia bisa mengatasi semua itu.
Setelah mencapai kesepakatan awal, Pak Herman memberikan uang muka dan berjanji akan kembali lagi besok untuk detail lebih lanjut. Sepanjang hari itu, Danu tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Para pembeli yang datang pun merasakan aura positif dari dirinya.
Sore harinya, Danu bergegas pulang dan menceritakan kabar baik ini kepada ibunya. Sang ibu terharu dan ikut bersyukur. Mereka berdua bermimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Malam itu, Danu tidak bisa tidur nyenyak. Ia memikirkan semua persiapan yang harus ia lakukan. Ia berencana untuk mencari pemasok ayam yang lebih besar dan terpercaya, mungkin juga mempekerjakan beberapa orang untuk membantunya.
Keesokan harinya, Pak Herman datang sesuai janjinya. Mereka membahas detail kerjasama lebih lanjut. Pak Herman ternyata sangat menghargai kualitas dan ketepatan waktu. Ia bersedia membayar dengan harga yang lebih baik asalkan Danu bisa memenuhi standarnya.
Kerjasama Danu dengan restoran Pak Herman berjalan lancar. Permintaan terus meningkat, dan Danu mulai mengembangkan usahanya. Ia menyewa tempat yang lebih besar, merekrut beberapa karyawan, dan mengatur sistem pasokan yang lebih efisien.
Meskipun sudah sukses, Danu tidak pernah melupakan akarnya. Ia tetap berjualan di lapaknya di depan masjid setiap pagi, menyapa para pembeli lamanya, dan sesekali memberikan harga khusus sebagai bentuk terima kasih. Ia juga tidak pernah lupa untuk bersyukur dan berbagi rezeki dengan sesama.
Persaingan harga di pasar memang masih ada, tetapi kini Danu tidak terlalu terpengaruh. Ia memiliki pelanggan setia dari restoran Pak Herman dan juga pelanggan tetap di pasar yang menghargai kualitas dan pelayanannya.
Aroma ayam potong di depan masjid kini bercampur dengan aroma kesuksesan dan berkah. Danu, pemuda yang dulunya berjuang keras di tengah persaingan, kini telah menjadi pengusaha ayam potong yang sukses, namun tetap rendah hati dan selalu mengingat dari mana ia berasal. Sedikit Danu tidak ingin menjadi orang yang tinggi hati.
Pesan moral nya adalah.
Tetap lah menjadi orang jujur walaupun itu sulit. Karena disetiap kesulitan, pasti ada kemudahan. Percayalah bahwa Tuhan akan memberikan anugerah-Nya pada hamba-Nya yang tak kenal putus asa.