Masukan nama pengguna
Amarah Sang Raja Air
Di balik ombak samudra yang menggulung, yang tak pernah lelah menghantam garis pantai, dan badai yang terus mengamuk tanpa henti, menciptakan suara gemuruh yang abadi, terdapat sebuah legenda kuno. Legenda itu bukan tentang para dewa di kahyangan atau pahlawan di daratan, melainkan tentang makhluk raksasa penghuni lautan yang dikenal sebagai Sang Raja Air. Bagi penduduk pesisir, terutama suku-suku laut yang hidup dari dan bersama samudra, namanya disebut dengan campuran rasa hormat, takut, dan kepercayaan.
Wujud Sang Raja Air adalah mimpi buruk sekaligus keajaiban. Ia menyerupai ikan purba raksasa, namun dengan dimensi yang tak terbayangkan. Sisiknya berkilau seperti baja basah di bawah cahaya bulan, memantulkan gradasi warna biru gelap hingga abu-abu keperakan. Setiap sisik seolah menyimpan rahasia kedalaman. Matanya menyala seperti kilat biru di tengah badai, memancarkan kebijaksanaan ribuan tahun namun juga kemarahan yang bisa membakar. Gerakannya mampu menelan kapal dalam satu hentakan ekor, menciptakan gelombang raksasa yang meluluhlantakkan apa pun di jalurnya. Ia adalah perwujudan kekuatan murni, penjaga esensi lautan.
Selama ribuan tahun lamanya, sejak manusia pertama kali membangun rakit dan berlayar di atas permukaannya, Sang Raja Air menjaga keseimbangan lautan. Ia adalah penyeimbang ekosistem, memastikan arus tetap mengalir, ikan-ikan berenang dalam jumlah yang tepat, dan terumbu karang tetap hidup. Ia tak pernah mengganggu manusia—asal manusia tak mengusik lautan. Ada semacam perjanjian tak tertulis yang dijaga oleh Sang Raja Air dengan ketat.
Namun, waktu berubah. Bukan hanya musim atau pasang surut, tetapi juga jiwa manusia. Populasi bumi membengkak, kebutuhan energi tak terkendali, dan ambisi untuk menguasai setiap jengkal planet ini semakin membara. Keserakahan mulai mencemari samudra. Awalnya hanya tumpahan minyak kecil dari kapal tanker yang lalai, lalu gunungan sampah plastik yang mengambang seperti pulau-pulau baru, mencekik biota laut. Kemudian datanglah praktik pengeboman ikan yang merusak seluruh ekosistem, dan yang terburuk, tambang bawah laut mulai menggali jantung samudra, mencari mineral langka dan energi tersembunyi, merusak habitat purba yang tak tersentuh selama jutaan tahun. Suara mesin bor yang memekakkan telinga merobek kesunyian dasar laut, menghancurkan keseimbangan yang dijaga Sang Raja Air.
Hingga suatu hari, sebuah garis dilampaui. Sebuah terumbu karang suci, tempat bersemayamnya nenek moyang makhluk laut, dihancurkan oleh penambangan ilegal. Di saat itulah, kesabaran Sang Raja Air mencapai puncaknya. Ia bangkit dari dasar lautan, bukan sebagai penjaga yang damai, melainkan sebagai perwujudan amarah purba.
Badai pertama datang tanpa peringatan. Langit yang cerah tiba-tiba gelap, diselimuti awan hitam pekat. Ombak setinggi gunung menghantam garis pantai, menerjang desa-desa pesisir, termasuk desa tua Tano, yang kini tinggal puing. Bangunan-bangunan kayu roboh, kapal-kapal nelayan terlempar jauh ke daratan. Air laut yang dingin dan asin membanjiri rumah-rumah, menenggelamkan apa pun yang tidak melekat kuat. Banyak kapal-kapal besar di tengah laut hilang tanpa jejak, ditelan gelombang raksasa atau diseret ke dasar. Langit seolah murka, kilat menyambar tak henti, diikuti gemuruh guntur yang memekakkan telinga.
Di tengah kekacauan dan keputusasaan itu, seorang pemuda bernama Tano, anak nelayan dari suku laut kuno, suku yang konon memiliki darah para penjaga lautan, mendapat panggilan dalam mimpinya. Ia terbaring di tanah basah bekas desanya yang hancur, basah kuyup oleh hujan badai, namun jiwanya dibawa pergi ke alam lain.
Dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah pantai yang tenang, di bawah langit senja berwarna keemasan. Dari ombak yang lembut, muncul seorang wanita tua—berpakaian dari sisik ikan yang berkilauan dan rambutnya seperti aliran sungai yang mengalir lembut ke bahu. Matanya sebiru samudra terdalam, penuh kebijaksanaan dan kesedihan. Ia mendekati Tano, wajahnya memancarkan cahaya lembut.
"Tano," suara wanita itu berbisik, selembut ombak yang menyapu pantai, "darahmu mengalir dari para penjaga lautan. Nenek moyangmu telah bersumpah untuk melindungi keseimbangan ini. Kini, keseimbangan itu hancur. Hanya kau yang bisa berbicara dengan Sang Raja Air."
Wanita itu mengulurkan tangannya, dan di telapaknya, terbaring sebuah liontin berbentuk sirip ikan, memancarkan cahaya biru samar. "Ini adalah pusaka leluhurmu. Ini akan menjadi pemandu dan perisaimu. Dengarkan lautan, Tano. Lautan membutuhkanmu."
Tano terbangun dengan jantung berdebar kencang, napasnya tersengal. Ia masih basah kuyup, namun telapak tangannya kini menggenggam erat liontin berbentuk sirip yang baru saja ia lihat dalam mimpi. Liontin itu terasa dingin, namun memancarkan energi samar yang menenangkan kegelisahannya. Mimpi itu terasa begitu nyata, dan liontin itu adalah bukti tak terbantahkan.
Perjalanan ke Kedalaman
Dengan liontin pusaka di tangan dan bisikan mimpi yang terus terngiang, Tano merasakan beban berat di pundaknya. Penduduk desa yang tersisa menatapnya dengan pandangan campur aduk—sebagian putus asa, sebagian lagi mencari secercah harapan. Mereka semua tahu legenda Sang Raja Air, dan badai yang tak kunjung reda ini adalah buktinya. Tano, dengan segala keraguannya sebagai pemuda biasa, memutuskan untuk bertindak. Ia adalah satu-satunya yang tersisa dari garis keturunan penjaga laut.
Berbekal keyakinan baru, Tano mengumpulkan sekelompok nelayan yang tersisa, yang masih memiliki sedikit keberanian di tengah ketakutan. Mereka adalah para pria tua yang berpengalaman, wajah mereka terpahat oleh terpaan angin dan garam, dan beberapa pemuda yang berani. Mereka hanya memiliki satu perahu motor tua, sisa dari kehancuran.
“Kita akan mencari Raja Air,” kata Tano, suaranya mantap meskipun jantungnya bergemuruh. “Aku mendapat panggilan.”
Sebagian ragu, menganggapnya gila. “Itu sama saja bunuh diri, Tano! Lautan sedang murka!” teriak salah seorang nelayan. Namun, melihat sorot mata Tano yang penuh tekad, dan juga putus asa karena tidak ada pilihan lain, mereka akhirnya setuju. Ini mungkin satu-satunya kesempatan mereka, meskipun peluangnya tipis.
Perjalanan mereka adalah neraka di atas air. Ombak besar setinggi tiga kali kapal terus mencoba menenggelamkan mereka, menghantam lambung perahu dengan kekuatan dahsyat. Hujan badai tak berhenti mencambuk, jarak pandang nyaris nol. Kilat menyambar begitu dekat hingga terasa bisa membakar rambut. Air laut yang dingin menusuk hingga ke tulang, membuat setiap gerakan terasa kebas. Namun, setiap kali ombak hendak menelan mereka, liontin pusaka di tangan Tano memancarkan cahaya biru yang semakin terang. Cahaya itu tidak hanya menerangi, tetapi juga membelah badai seakan lautan mengakuinya. Ombak-ombak raksasa yang seharusnya menenggelamkan mereka, justru terpecah, membentuk lorong singkat yang memungkinkan perahu mereka melaju, seolah lautan itu sendiri membuka jalan bagi cucu penjaganya. Para nelayan terpaku, menyaksikan keajaiban itu dengan takjub bercampur ngeri.
Setelah berjam-jam melawan badai yang tak berkesudahan, di tengah samudra yang tak terbatas, mereka menemukan sebuah fenomena yang tak pernah mereka lihat sebelumnya: pusaran raksasa. Lingkaran air yang berputar dahsyat, airnya berwarna kebiruan gelap, dan di pusatnya terhampar kegelapan yang tak berdasar. Pusaran itu mengeluarkan suara gemuruh yang bukan dari ombak, melainkan desisan dan tarikan kuat, seolah itu adalah pintu menuju tempat Sang Raja Air bersemayam.
“Aku harus pergi sendiri,” kata Tano, menatap pusaran itu. Liontinnya berdenyut hangat di tangannya.
“Gila! Itu akan menelanmu!” teriak seorang nelayan tua.
“Tidak ada pilihan lain. Liontin ini memanggilku,” jawab Tano, tatapannya penuh tekad. Ia tahu ini adalah takdirnya. Ia memeluk singkat setiap nelayan, berjanji akan kembali jika ia berhasil.
Dengan satu tarikan napas dalam, Tano melompat dari perahu, membiarkan dirinya ditarik masuk oleh pusaran air raksasa itu. Ia menyelam sendiri, ditemani cahaya liontin yang kini bersinar begitu kuat hingga menerangi setiap inci kegelapan di sekitarnya. Air berputar di sekelilingnya, membawanya semakin dalam, melewati lapisan-lapisan tekanan yang luar biasa, hingga ia tiba di sebuah gua bawah laut yang megah sekaligus menyeramkan.
Gua itu bukan terbuat dari batu biasa, melainkan dari karang purba yang telah membatu selama jutaan tahun. Di dalamnya, terserak tulang belulang kapal-kapal besar yang telah hancur, bangkai-bangkai pesawat laut yang tak teridentifikasi, dan bahkan kerangka makhluk laut purba yang ukurannya fantastis, belum pernah tercatat dalam sejarah biologi modern. Cahaya redup dari liontinnya memantulkan kilauan dari sisik-sisik raksasa yang tergeletak di dasar gua, sisa-sisa dari mereka yang pernah menghadapi Sang Raja Air dan kalah.
Dan di tengah gua, terhampar di dasar, Sang Raja Air menatapnya. Wujudnya begitu masif hingga memenuhi hampir seluruh gua. Matanya yang menyala seperti kilat kini memancarkan amarah yang dingin, namun juga kepedihan yang tak terhingga. Suara gemuruh, bukan dari ombak, melainkan dari dalam tubuh raksasa itu, mengisi ruang gua.
"Mengapa kalian mencemari rumahku?" suara itu tidak terdengar dari mulutnya, melainkan bergemuruh langsung di kepala Tano, mengguncang jiwanya, dipenuhi kesedihan dan murka yang mendalam. "Kalian mengikisnya, meracuninya, membunuh penghuninya! Janji para leluhur kalian telah diingkari!"
Tano berlutut di dasar gua, tanpa rasa takut, hanya dengan kesadaran penuh akan kesalahannya. "Ampunilah kami, Raja Air yang Agung," ucap Tano, suaranya bergetar namun jelas. "Aku bersumpah akan memulihkan keseimbangan. Aku bersumpah akan membela lautan dari keserakahan manusia." Ia menatap lurus ke mata Raja Air, menunjukkan ketulusan dan tekad yang kuat.
Sang Raja Air hening. Matanya yang menyala menelisik jiwa Tano, mencari jejak kebohongan atau keserakahan. Beberapa detik terasa seperti keabadian. Hening yang mencekam, hanya suara detak jantung Tano yang bergemuruh di telinganya. Kemudian, suara itu kembali, sedikit lebih tenang, namun masih dipenuhi keagungan.
"Aku akan memberimu waktu," kata Sang Raja Air. "Satu kesempatan terakhir. Pergilah, manusia. Bawa peringatan ini ke bangsamu. Tapi ingat, lautan punya batas sabar. Dan jika batasan itu terlampaui lagi, maka bukan hanya lautan yang akan kuambil, tetapi juga peradaban kalian." Ada ancaman yang jelas dalam perkataan itu, namun juga secercah harapan. Sang Raja Air memberinya sebuah ujian.
Waktu yang Terbuang
Tano kembali ke permukaan. Perahu nelayan yang menunggunya di luar pusaran melihatnya muncul dengan takjub. Badai mereda, ombak mulai tenang, seolah kemarahan Sang Raja Air mereda sesaat. Tano kembali dengan peringatan yang tak terbantahkan, dengan sebuah misi yang terasa mustahil.
Setibanya di daratan, Tano tidak membuang waktu. Ia mendesak pemerintah, ilmuwan, dan dunia untuk menghentikan eksploitasi laut. Ia bercerita tentang pertemuannya dengan Sang Raja Air, tentang ancaman yang ia dengar langsung. Ia menunjukkan liontin pusaka sebagai bukti, menceritakan kehancuran desanya.
Sebagian kecil mendengarkan Tano. Para ilmuwan kelautan yang putus asa menemukan harapan baru dalam kisahnya. Beberapa pemimpin yang lebih visioner mulai mendengarkan seruan Tano untuk moratorium penambangan laut dan kampanye pembersihan plastik. Namun, sebagian besar menganggapnya dongeng belaka. “Hanya delusi seorang nelayan yang trauma,” ejek mereka. Perusahaan-perusahaan besar, yang mata mereka dibutakan oleh keuntungan, terus menggali dasar laut, mengabaikan setiap peringatan. Lobi-lobi mereka terlalu kuat, uang mereka berbicara lebih keras dari suara Tano.
Tragedi demi tragedi kembali datang. Lautan, seolah marah atas pengabaian manusia, mulai menunjukkan kekuatannya lagi. Perubahan iklim ekstrem terjadi di seluruh dunia. Laut menelan pulau-pulau kecil, memaksa jutaan orang menjadi pengungsi. Gelombang panas di kutub mencairkan gunung es dengan kecepatan mengerikan, menyebabkan permukaan air laut naik drastis. Badai menjadi lebih sering, lebih dahsyat, dan lebih mematikan. Cuaca makin kacau, siklus musim bergeser, dan bencana alam menjadi rutinitas harian. Ekosistem laut kolaps; ikan-ikan mati massal, terumbu karang memutih, dan plankton, dasar dari rantai makanan laut, menghilang.
Tano menyaksikan semua itu dengan hati hancur. Ia telah berusaha. Ia telah memperingatkan. Namun keserakahan manusia terlalu besar untuk dihentikan. Setiap hari, ia merasa waktu yang diberikan Sang Raja Air semakin menipis. Frustrasi melingkupi dirinya, namun ia tak bisa menyerah. Ia terus berbicara, terus berjuang, meskipun suaranya seringkali tenggelam di antara kebisingan industri dan politik.
Hingga akhirnya... hari yang ditakutkan itu tiba. Sang Raja Air kembali. Kali ini bukan dengan peringatan—tapi dengan murka yang tidak bisa lagi ditawar. Seluruh samudra Atlantik, Pasifik, dan Hindia bergejolak secara bersamaan. Gelombang tsunami yang belum pernah terjadi sebelumnya menghantam setiap benua, menenggelamkan kota-kota besar, melenyapkan peradaban modern dalam sekejap mata. Lautan tidak hanya mengambil kembali apa yang dicuri, tetapi juga menuntut balas dendam. Ini adalah pembalasan yang mengerikan, sebuah akhir dari kesabaran yang tak terbatas.
Senjata Terakhir
Dalam pelarian terakhirnya, ketika dunia seolah runtuh di sekelilingnya, Tano kembali ke sisa-sisa desa nenek moyangnya yang kini hampir sepenuhnya ditelan laut. Ia mencari sesuatu yang hanya disebut dalam legenda kuno, bisikan-bisikan dari generasi terdahulu yang diwariskan dari mulut ke mulut: Taring Lautan. Sebuah senjata rahasia leluhur yang konon tersembunyi di dasar terumbu karang suci, sebuah lokasi yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memiliki darah penjaga lautan murni.
Tano harus melawan arus, menyelam ke kedalaman di mana terumbu karang itu dulu berdiri. Dengan liontinnya sebagai pemandu, ia menembus kegelapan, menghindari puing-puing kota yang tenggelam. Ia akhirnya menemukan terumbu karang suci, yang kini hanya tersisa kerangkanya, sebagian besar hancur oleh tangan-tangan serakah manusia. Namun, di tengah kehancuran itu, ia menemukan sebuah celah sempit, sebuah rongga kecil yang entah bagaimana tetap utuh.
Di dalamnya, ia merasakan energi kuno yang menariknya. Ia mengulurkan tangan, dan menemukan sebuah benda yang dingin namun memancarkan cahaya redup. Taring itu bukan pedang yang tajam, bukan tombak yang menusuk, melainkan sebongkah kristal biru tua seukuran tangan orang dewasa. Permukaannya halus, memancarkan cahaya batin yang lembut, seperti lautan itu sendiri yang terkandung di dalamnya.
Saat Tano menyentuh kristal itu, sebuah bisikan melayang di benaknya, bukan suara, melainkan getaran langsung ke dalam jiwanya, seperti roh leluhur yang berbicara dalam angin dan ombak:
"Ini bukan senjata untuk membunuh, cucuku," bisik suara kuno itu. "Bukan untuk melukai atau menghancurkan. Tapi untuk menunjukkan pengorbanan. Pengorbanan sejati yang datang dari hati yang bersih. Pengorbanan untuk memulihkan, bukan memusnahkan. Pengorbanan yang berbicara lebih keras dari amarah, lebih kuat dari kehancuran."
Tano tahu, waktunya tinggal sedikit. Dunia di atas sana sedang hancur. Ia tidak punya pilihan lain. Ia naik perahu kecil seorang diri—perahu terakhir yang tersisa di desanya—menuju pusat badai yang kini mengamuk di tengah samudra. Di sana, di tengah putaran angin puyuh dan ombak raksasa, Sang Raja Air kini muncul dengan tubuh membesar, ukurannya melampaui gunung tertinggi, dan ia penuh luka akibat perlawanan kapal-kapal militer yang mencoba menghentikannya—luka yang tampak seperti bekas ledakan bom dan serangan laser, namun tak mampu menghentikan murka purbanya.
“Berhentilah, Raja Air yang Agung!” teriak Tano, berdiri tegak di ujung perahu kecilnya, melambaikan kristal Taring Lautan di atas kepalanya. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh badai, namun entah mengapa, suara itu menembus ke kedalaman jiwa Sang Raja Air. “Lihat aku! Aku cucu dari para penjaga laut! Aku tahu kami telah mengkhianati kepercayaanmu! Tapi aku datang bukan untuk melukaimu!”
Tano mengangkat kristal itu tinggi-tinggi. “Aku tak membawa senjata untuk melukaimu. Tapi aku bawa kepercayaan! Aku bawa permohonan atas nama mereka yang masih memiliki hati untuk mencintai lautan! Aku akan mengembalikan keseimbangan ini, aku bersumpah!”
Sang Raja Air yang agung, dengan matanya yang menyala merah karena amarah, menatap Tano. Mata itu berkedip, seolah terkejut dengan keberanian dan kata-kata pemuda itu. Kemudian, muncullah kilatan petir yang sangat dahsyat, menyambar tepat di atas kepala Tano. Disusul oleh ombak raksasa yang menggulung dan menghantam perahu Tano dengan kekuatan ribuan ton air. Perahu itu pecah berkeping-keping. Tano terlempar ke dalam pusaran air yang dingin dan gelap.
Namun, sebelum tubuh Tano tenggelam lebih dalam, sebelum ia sepenuhnya ditelan oleh kemarahan lautan, kristal Taring Lautan di tangannya bersinar kuat, memancarkan cahaya biru yang menyilaukan dan melindungi tubuh Tano. Pada saat yang sama, entah bagaimana, waktu seolah berhenti sejenak. Suara badai lenyap, ombak membeku, dan kilat di langit membeku di udara. Dunia menjadi sunyi, hanya ada Tano, kristalnya, dan mata Sang Raja Air yang agung.
Pengorbanan dan Janji Baru
Dalam keheningan yang membeku, di kedalaman yang sunyi, Sang Raja Air menatap Tano yang terbaring tak berdaya, terbungkus dalam cahaya pelindung dari kristal. Ini adalah momen kebenaran. Raja Air melihat bukan hanya seorang manusia yang lemah, tetapi jiwa yang tulus, yang rela mengorbankan segalanya untuk menepati janji. Mata Tano, meskipun lelah, memancarkan keberanian dan kesedihan yang dalam, mencerminkan penderitaan lautan dan harapan yang tersisa.
Dari matanya yang menyala seperti kilat, kini air mengalir seperti air mata, membasahi sisik-sisiknya. Bukan air asin lautan, melainkan tetesan cahaya yang purba, penuh emosi. Air mata itu adalah kesedihan atas kehancuran yang terjadi, dan juga pengakuan atas pengorbanan yang baru saja disaksikan.
"Manusia ini berbeda..." suara Sang Raja Air kembali bergema di benak Tano, kali ini tidak lagi marah, melainkan penuh keheranan dan kesedihan yang mendalam. "Ia tidak menghunuskan pedang untuk melukaiku, tapi mengulurkan harapan yang telah lama kukira mati."
Sang Raja Air menundukkan kepalanya yang raksasa. Energi kemarahannya yang membara perlahan meredup, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Bukan karena kalah dalam pertarungan, bukan karena tak mampu lagi melampiaskan amarah. Tapi karena ia memilih percaya. Ia memilih untuk memberikan satu kesempatan terakhir, bukan hanya pada Tano, tetapi pada seluruh umat manusia yang Tano wakili. Pengorbanan Tano dan kristal Taring Lautan telah membuka mata Sang Raja Air, menunjukkan kepadanya bahwa masih ada kebaikan dan kesadaran di hati manusia.
"Jagalah lautan ini, wahai cucu para penjaga," suara Raja Air kini terdengar lebih lembut, namun masih penuh otoritas. "Pulihkan apa yang telah hancur. Bersihkan apa yang telah tercemar. Jika kau mengkhianati janjimu, jika lautan kembali menderita karena keserakahan, aku akan kembali. Dan kali ini, tak ada lagi pengampunan."
Tubuh raksasa itu perlahan memudar, berubah menjadi ribuan cahaya kebiruan yang gemerlap. Cahaya-cahaya itu menari-nari di dalam air, seperti ribuan ikan kecil yang berenang bebas, lalu perlahan kembali menyatu dengan laut itu sendiri, kembali ke dasar samudra, kembali ke esensinya. Murka sang Raja Air telah reda, dan energinya kembali menjadi bagian dari lautan yang ia jaga.
Saat tubuh Sang Raja Air menghilang, waktu kembali bergerak. Badai yang mengamuk tiba-tiba berhenti. Kilat meredup. Langit yang gelap perlahan cerah, memperlihatkan rona keemasan dari matahari yang terbit. Laut yang tadinya bergejolak dahsyat kini kembali tenang, seolah tidak pernah ada amarah yang melandanya. Hanya ombak-ombak kecil yang lembut menyapa pantai, seolah mengusap luka-luka yang tersisa.
Tano ditemukan terdampar di pantai, beberapa jam kemudian, oleh nelayan yang selamat dari desanya. Ia terbaring lemas di pasir, basah kuyup, namun selamat. Di tangannya, ia masih memegang erat liontin pusaka yang kini bersinar redup, dan kristal Taring Lautan yang kini telah retak di beberapa bagian, seolah telah menanggung beban yang tak terhingga. Retakan itu bukan kerusakan, melainkan bekas pengorbanan, bukti dari janji yang terukir.
Epilog
Bulan-bulan berlalu. Dunia perlahan mulai pulih dari kehancuran yang ditimbulkan oleh amarah Sang Raja Air. Kota-kota yang hancur dibangun kembali, namun dengan arsitektur yang lebih ramah lingkungan, lebih adaptif terhadap kekuatan alam. Kejadian itu menjadi peringatan mengerikan yang takkan pernah dilupakan umat manusia. Mereka akhirnya sadar, bahwa kekuatan alam jauh melebihi teknologi dan keserakahan.
Bertahun-tahun kemudian, Tano tidak lagi menjadi nelayan biasa. Ia menjadi penjaga laut dan guru bagi generasi baru. Di desanya yang telah dibangun kembali, kini berdiri sebuah prasasti megah yang terbuat dari batu karang purba. Di atasnya, terukir tulisan dalam bahasa kuno dan bahasa umum Federasi Dunia:
> “Laut bukan milik kita. Kita hanyalah penjaganya. Kehormatan dan pengorbanan kita akan menjadi jaminan kedamaian.”
>
Tano berkeliling dunia, berbicara di forum-forum global, berbagi kisahnya tentang Sang Raja Air. Ia tidak hanya mengajar tentang pelestarian lingkungan, tetapi juga tentang pentingnya menghormati alam, tentang keseimbangan, dan tentang pengorbanan. Ia mendirikan akademi "Penjaga Laut" yang melatih anak-anak muda untuk memahami lautan, membersihkan sampah, dan melindungi ekosistem. Liontin pusaka kini menjadi simbol akademi itu.
Program-program pembersihan laut besar-besaran diluncurkan, tambang bawah laut dihentikan, dan hukum lingkungan diperketat. Perlahan, sangat perlahan, laut menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Ikan-ikan kembali berenang di perairan yang jernih, terumbu karang mulai tumbuh lagi, dan udaranya terasa lebih bersih.
Dan di dasar samudra yang luas, jauh di bawah sana, di kedalaman yang tak terjangkau oleh cahaya, sang Raja Air masih tidur. Tidur yang panjang, dipenuhi kepercayaan yang rapuh namun nyata. Ia menunggu. Dan ia percaya. Percaya bahwa ada seorang pemuda bernama Tano, cucu para penjaga laut, yang akan menepati janjinya. Dan selama Tano dan generasi-generasi selanjutnya menjaga lautan, sang Raja Air akan tetap dalam tidur damainya, menjadi saksi bisu dari janji yang baru.
— Tamat —