Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,557
Keserakahan berujung Kehancuran
Thriller

Keserakahan Berujung Kehancuran


Di masa depan, jauh setelah abad ke-21 yang kita kenal, dunia tidak lagi berwarna hijau. Itu adalah warna yang kini hanya eksis dalam lukisan kuno atau rekaman digital yang nyaris pudar. Bumi, sang Planet Biru yang dulu disebut rumah, telah berubah menjadi palet kusam yang didominasi oleh abu-abu, cokelat, dan hitam.

Langit tak biru lagi, melainkan selalu diselimuti kabut kelabu pekat yang bercampur asap. Lautan, yang dulunya biru jernih dan penuh kehidupan, kini tak lagi bening. Permukaannya tampak seperti genangan minyak berwarna hitam kehijauan, memantulkan bayangan gedung-gedung pencakar langit yang kusam. Pohon-pohon, yang dulu menjulang tinggi dengan dedaunan rimbun, kini tak lebih dari kenangan yang hanya bisa dilihat melalui dokumen kuno—foto-foto yang tergeletak di museum digital yang jarang dikunjungi, atau teks-teks sejarah yang menceritakan tentang ekosistem yang telah musnah.

Hutan-hutan, paru-paru dunia yang dulu dipuja, kini hanya tinggal guratan cokelat tanah mati, penuh kerikil tajam, sisa-sisa batuan padas, dan galian-galian raksasa yang menyerupai luka menganga yang tak pernah sembuh di permukaan bumi. Bekas tambang terbuka membentang sejauh mata memandang, membentuk kawah-kawah raksasa yang mengumpulkan air hujan asam. Udara yang terhirup terasa panas, berat, dan berbau logam berkarat, sisa dari jutaan ton gas buangan yang tak pernah diolah.

Kota-kota menjulang dengan megah, siluetnya menembus kabut tebal, namun ironisnya, semua kemegahan itu dibangun di atas kehancuran. Fondasinya adalah lapisan-lapisan puing, polusi, dan tanah yang tak lagi subur. Dinding-dindingnya adalah beton yang diresapi keserakahan. Asap dari cerobong-cerobong besar yang tak terhitung jumlahnya terus-menerus memuntahkan asap hitam pekat, memenuhi langit seperti kabut kematian yang tak pernah hilang, menyaring cahaya matahari hingga hanya menyisakan sorot pucat yang menyeramkan.

Dan di tengah dunia yang telah berubah wujud itu, di antara reruntuhan peradaban yang berbau besi dan debu, mereka—para kucing—masih bertahan.

Makhluk-makhluk kecil itu, yang dulu hanya dianggap sebagai peliharaan yang manja dan sekadar penghibur manusia, kini menjadi saksi bisu peradaban yang jatuh. Mereka menyaksikan dengan mata keemasan mereka bagaimana manusia menggali isi perut bumi tanpa ampun, merobek lapisan-lapisan geologis yang telah terbentuk jutaan tahun. Mereka melihat bagaimana manusia membelah pegunungan untuk batu bara, meninggalkan ngarai raksasa yang kering. Mereka menyaksikan bagaimana manusia menebang hutan demi kayu dan lahan, mengubah belantara hijau menjadi gurun berdebu. Dan mereka melihat bagaimana manusia mengeringkan rawa demi tambang emas, menghancurkan ekosistem basah yang menjadi rumah bagi ribuan makhluk hidup.

Tidak ada yang tersisa selain kerakusan yang tak terpuaskan, yang diukur dengan angka-angka di layar monitor dan grafik pertumbuhan ekonomi. Kucing-kucing itu, dengan naluri bertahan hidup mereka yang kuno, mengamati, bersembunyi, dan beradaptasi. Mereka adalah saksi bisu dari kebodohan manusia yang mengira bisa menguasai alam tanpa konsekuensi.

Keruntuhan yang Tak Terelakkan

Peradaban manusia telah terperosok ke dalam jurang tanpa dasar yang mereka gali sendiri. Penambangan dilakukan secara terus-menerus, siang dan malam, tanpa henti, tanpa jeda. Dan yang paling banyak adalah tambang batubara, sumber energi kotor yang memuntahkan karbon ke atmosfer tanpa ampun. Selain itu, penebangan hutan liar atau yang biasa disebut Illegal Logging menjadi praktik umum, meratakan jutaan hektar hutan hujan, mengubahnya menjadi padang tandus dalam hitungan bulan. Akibatnya, kerusakan alam menjadi sangat parah, tak terpulihkan.

Hewan-hewan kehilangan tempat tinggal, sebagian besar punah, sisanya harus berjuang keras mencari makan dan tempat berlindung di tengah lanskap yang tandus. Udara menjadi sesak oleh partikel debu dan polusi, setiap tarikan napas terasa berat dan membakar paru-paru. Tanah tak lagi subur, erosi terjadi di mana-mana, dan hujan tak turun pada musimnya, digantikan oleh badai asam yang merusak tanaman. Musim kemarau menjadi lebih panjang, kekeringan meluas. Semua karena keserakahan umat manusia yang tak terbatas, yang menganggap sumber daya bumi sebagai sesuatu yang tak terbatas untuk dieksploitasi.

Namun, yang paling ironis dan menyedihkan adalah reaksi manusia ketika bencana alam terjadi. Jika terjadi bencana alam seperti banjir bandang yang membawa lumpur hitam, kebakaran hutan yang melahap sisa-sisa pepohonan, dan longsor yang menelan desa-desa, manusia justru saling menyalahkan. Pemerintah menyalahkan warga, warga menyalahkan pemerintah, kelompok satu menyalahkan kelompok lain. Mereka bukan sadar akan perbuatannya sendiri, malah menyalahkan alam yang dianggap tak bersahabat. Mereka lupa bahwa yang mereka rusak adalah rumah mereka sendiri, bahwa kemarahan alam adalah respons terhadap kekejaman yang telah mereka lakukan. Mereka lupa bahwa keseimbangan yang mereka ganggu akan selalu menuntut balas.

Dan ketika semuanya telah runtuh, ketika ekosistem telah kolaps dan iklim telah mencapai titik tak bisa kembali, umat manusia pun mulai merasakan akibatnya. Kota-kota yang dibangun megah dengan ambisi langit-tinggi mulai hancur dari dalam. Fondasi beton mereka retak, gedung-gedung pencakar langit condong dan roboh satu per satu karena tanahnya tak lagi stabil, kehilangan daya dukungnya akibat galian tambang di bawahnya dan erosi yang tak terhentikan. Sungai-sungai meluap, bukan lagi membawa air jernih, melainkan lumpur hitam pekat dan racun dari limbah pertambangan yang tak terurus, mengalir deras melalui jalan-jalan kota, menenggelamkan apa pun yang dilewatinya. Badai datang tanpa ampun, bukan lagi badai musiman, melainkan siklon raksasa yang berputar-putar, menghantam pemukiman seperti murka yang selama ini ditahan oleh bumi yang telah sabar. Populasi manusia menyusut drastis, sebagian besar binasa karena kelaparan, penyakit, dan bencana yang tak terhindarkan.

Dalam kerusakan yang total dan kehampaan yang mencekam itu, sebuah peluang muncul. Sebuah peradaban baru mulai mengambil alih. Namun, peradaban itu tidak dibangun oleh manusia.

Pewaris yang Tak Terduga

Di antara reruntuhan kota-kota yang dulu megah, kini hanya tersisa kerangka beton yang ditumbuhi lumut beracun—lumut yang tumbuh subur dari polusi dan radiasi yang tersisa. Di atas puing sebuah gedung pencakar langit yang dulunya menjulang tinggi, kini hanya menyisakan beberapa lantai teratas, seekor kucing hitam berdiri. Postur tubuhnya anggun, namun bulunya tampak kusut dan kotor oleh debu kehancuran. Matanya menyala keemasan di tengah kegelapan, memancarkan kecerdasan dan kewaspadaan yang tidak biasa untuk seekor kucing biasa. Namanya adalah Guso, salah satu dari "Tiga Penjaga" terakhir, yang uniknya, lahir sebelum kehancuran besar terjadi, namun entah bagaimana mampu bertahan dan beradaptasi lebih cepat dari yang lain. Ia memiliki indra keenam terhadap bahaya, mampu merasakan getaran tanah dan perubahan atmosfer jauh sebelum bencana datang.

Di sampingnya, Pedro, si pemimpin tenang, duduk dengan postur tegap. Bulunya berwarna abu-abu arang, berpadu sempurna dengan warna reruntuhan. Sorot matanya tajam, memancarkan kebijaksanaan yang mendalam, seolah ia telah melihat seluruh sejarah kehancuran ini. Ia mengawasi horizon yang dipenuhi kabut dan percikan api dari letusan kilat yang sesekali terlihat di kejauhan, sisa-sisa energi bumi yang masih bergejolak. Pedro adalah kucing yang paling tua di antara mereka, memiliki pengalaman bertahan hidup yang tak terhitung, dan ia adalah jembatan antara masa lalu yang hancur dan masa depan yang tak pasti.

Dan terakhir, ada Opet, si paling nakal dan lincah di antara ketiganya. Bulunya berwarna oranye cerah, kontras dengan latar belakang abu-abu. Ia adalah mata dan telinga mereka, mampu melesat dengan kecepatan luar biasa melintasi reruntuhan, menyusup ke celah-celah terkecil. Kini, kenakalan Opet telah berubah menjadi keterampilan vital; ia menjadi penghubung antar koloni kucing yang bertahan di reruntuhan kota-kota mati, membawa pesan, informasi, dan terkadang, kebutuhan dasar. Ia adalah semangat muda yang tak pernah padam.

Manusia sudah jarang terlihat. Sebagian besar telah pergi ke koloni bawah tanah, tempat mereka mencoba membangun kembali peradaban dengan teknologi yang tersisa, namun terputus dari permukaan bumi. Sisanya... tak diketahui. Mereka yang berani bertahan di permukaan, yang tersisa dari bencana, tampak kurus, putus asa. Beberapa di antara mereka mulai menyesal akan perbuatan leluhur mereka, melihat langsung akibat dari keserakahan yang membutakan. Namun, bagi mereka, sudah terlambat untuk melakukan perubahan berarti. Mereka hanya bisa bertahan, bersembunyi dari badai, dan menyaksikan dunia diubah oleh para pewaris baru.

Para kucing, dengan kemampuan adaptasi luar biasa mereka yang telah teruji selama ribuan tahun evolusi, justru tumbuh kuat di tengah kehancuran. Mereka berburu di antara puing-puing, menemukan sumber air di genangan hujan, dan menghindari bahaya dengan naluri tajam. Mereka tidak mencoba membangun kembali kota atau teknologi, melainkan membentuk komunitas yang longgar, saling membantu, berbagi wilayah berburu, dan beradaptasi dengan lingkungan keras yang telah mereka warisi. Mereka menjelajahi sisa-sisa dunia, dari gurun berdebu hingga hutan lumut beracun, dan… seakan menjadi pewaris baru dari planet yang hancur ini, penjaga dari bumi yang mereka cintai dengan cara yang manusia tak pernah bisa.

Ancaman Baru, Amarah Lama

Suatu sore yang muram, ketika kabut polusi menggantung rendah di cakrawala, "Pedro..." suara Opet terdengar lemah saat melompat dengan lincah ke atap reruntuhan, bulunya sedikit basah oleh embun asam. Ia baru saja kembali dari misi pengintaian yang panjang, melintasi puluhan kilometer reruntuhan kota yang mati. Napasnya terengah, menunjukkan bahwa ia membawa berita penting.

"Ada yang datang dari arah timur," lanjut Opet, meliuk-liuk di samping Pedro, matanya yang cerah memancarkan kegelisahan. "Kabarnya, manusia kembali membuka tambang. Mereka ingin mengambil sisa lithium di Gunung Merah."

Wajah Pedro, yang biasanya tenang, sedikit menegang. Ekornya yang tebal bergoyang pelan—tanda bahwa pikirannya tengah bekerja keras, menganalisis informasi yang baru didapat. Ada campuran kemarahan dan kekecewaan di matanya.

"Apakah mereka tak belajar apa pun?" gumamnya, suaranya pelan namun mengandung beban ribuan tahun pengamatan. Ia menatap ke arah timur, ke siluet Gunung Merah yang samar di kejauhan, kini tidak lagi merah oleh mineral alami, melainkan oleh debu pertambangan yang membekas.

Guso, yang sedari tadi duduk diam mengamati, kini mendesis tajam. Bulu di punggungnya sedikit berdiri. "Kalau mereka kembali menggali, gunung itu bisa runtuh. Dan di bawahnya... masih ada kantong-kantong api. Gas-gas metana dan sisa panas bumi yang terperangkap. Bisa meledak kapan saja." Gunung Merah, dulunya adalah gunung berapi purba, kini menjadi tambang yang tidak stabil, sebuah bom waktu geologis.

Pedro mengangguk, sorot matanya kini penuh tekad. "Kita harus bertindak. Kali ini bukan untuk kita saja, tapi untuk seluruh makhluk hidup yang tersisa di permukaan ini. Untuk sisa-sisa alam yang masih bertahan." Ia memandang Guso dan Opet. Mereka adalah satu-satunya harapan.

Malam Aksi Para Penjaga

Malam itu, badai kembali datang. Bukan badai biasa, melainkan badai yang membawa angin kencang, hujan asam yang terasa perih di kulit, dan sambaran petir yang membelah langit dengan suara menggelegar. Petir itu menerangi bayangan hutan mati yang menyedihkan, memperlihatkan siluet pohon-pohon yang hanya tinggal ranting-ranting tanpa daun, berdiri seperti nisan di atas tanah yang tandus. Di atas reruntuhan pusat kota tua, yang dulunya adalah jantung peradaban manusia, ketiga kucing penjaga berdiri, siluet mereka tampak kecil namun teguh di tengah kegelapan. Mereka menatap ke arah Gunung Merah. Di kejauhan, lampu-lampu mesin bor menyala terang, bergerak seperti serangga raksasa yang menggerogoti tubuh bumi. Suara dentuman mesin, bor raksasa, dan truk-truk pengangkut terdengar menggema hingga ke langit, menciptakan simfoni kehancuran yang tak berkesudahan.

Pedro menatap langit yang kelam, seolah berbicara pada bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan tebal. "Kita tak bisa menghentikan mereka sendiri dengan kekuatan fisik. Mereka terlalu banyak, terlalu kuat dengan mesin-mesin mereka. Tapi kita bisa membuat mereka melihat... siapa yang benar-benar berkuasa di bumi ini. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan peringatan."

Rencana telah disusun. Pedro akan memimpin, Guso akan menjadi pengalih perhatian dan pencerah jalan dengan inderanya, dan Opet akan menjadi kecepatan dan kelincahan untuk menyusup ke lokasi yang sulit dijangkau. Ini adalah misi mereka yang paling berbahaya, menghadapi makhluk yang pernah menghancurkan diri mereka sendiri.

Keesokan harinya, fajar menyingsing, membawa serta keheningan yang aneh di sekitar Gunung Merah. Para penambang mulai berdatangan, namun mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan. Mesin-mesin mereka rusak total. Bor-bor raksasa terhenti, motor-motor listrik hangus, dan panel kontrol pecah. Kabel-kabel berukuran besar yang menghubungkan peralatan vital terputus rapi, seolah dipotong oleh sesuatu yang sangat presisi dan kuat. Bahkan truk-truk besar mereka dibalikkan oleh sesuatu yang tak terlihat, ban-bannya terangkat ke udara, muatannya tumpah ruah. Kekacauan meliputi area penambangan. Mereka panik, bingung, dan mulai menyalahkan satu sama lain.

Di layar kamera pengawas yang masih berfungsi, meskipun sebagian besar telah rusak, hanya satu hal yang terekam sebelum sinyal hilang sepenuhnya: Sepasang mata kuning yang menyala di kegelapan, bergerak cepat. Dan samar-samar, bayangan tiga makhluk kecil yang berdiri di atas bukit reruntuhan yang menghadap area tambang, sebelum kabut asam kembali menyelimuti pandangan. Para penambang tidak tahu apa yang mereka hadapi. Mereka mengira itu adalah sabotase dari kelompok anti-tambang atau bahkan makhluk mutan yang hidup di reruntuhan. Ketakutan merayapi mereka.

Harapan yang Rapuh

Berita tentang kehancuran tambang di Gunung Merah mencapai pemerintah yang tersisa di koloni bawah tanah. Mereka marah, menganggapnya sebagai tindakan terorisme. Mereka mengirimkan drone-drone pengintai berteknologi tinggi, dilengkapi senjata ringan, untuk menyelidiki area tersebut. Namun, setiap drone yang mereka kirimkan hancur sebelum bisa mengirimkan data yang jelas. Sensor-sensor mereka hanya menangkap kilasan bayangan, kecepatan yang tak terduga, dan kemudian kehancuran total. Kerugian besar terjadi pada armada drone mereka.

Akhirnya, setelah puluhan drone hilang dan tidak ada kemajuan berarti, para petinggi pemerintah bawah tanah menyadari bahwa mereka menghadapi sesuatu yang di luar pemahaman mereka. Mungkin ada sesuatu yang benar-benar melindungi permukaan. Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan penambangan di Gunung Merah. Mereka menarik semua pasukan dan mesin yang tersisa. Gunung Merah ditinggalkan, dibiarkan seperti adanya, diselimuti oleh kabut dan kenangan. Dan para penjaga... kembali ke tempat mereka berasal, ke dalam bayang-bayang reruntuhan, mengawasi dengan mata keemasan mereka.

Pedro, Guso, dan Opet, kembali menyusuri kota yang tenang, yang kini hanya dihuni oleh komunitas kucing-kucing. Tidak ada lagi suara dentuman mesin tambang. Keheningan yang lama hilang, kembali menyelimuti kehancuran. Tak ada lagi yang perlu mereka lakukan untuk saat ini. Dunia telah menerima peringatan.

Atau... setidaknya, itulah harapan mereka. Harapan yang rapuh di dunia yang telah rusak parah. Mereka tahu, keserakahan manusia bisa kembali kapan saja.

Tapi di suatu malam yang dingin, di antara reruntuhan pohon-pohon yang terbakar dan langit yang kini sedikit lebih cerah, Opet, dengan sifat penasaran alaminya, bertanya kepada Pedro. Mereka duduk di atas reruntuhan menara komunikasi yang patah, memandang ke kejauhan.

"Pedro... kalau manusia kembali lagi, apa yang akan kita lakukan?" suara Opet terdengar kecil di tengah angin yang membawa suara gemerisik ranting-ranting kering. Ia tahu, manusia selalu memiliki kecenderungan untuk mengulangi kesalahan mereka.

Pedro terdiam lama. Angin membawa suara ranting patah di kejauhan, seolah alam itu sendiri sedang merenung. Pedro menatap Opet, lalu beralih menatap langit yang kini mulai menampakkan bintang-bintang.

"Kita akan tetap menjaga, Opet," jawab Pedro, suaranya mantap, memancarkan kebijaksanaan kuno. "Karena meski dunia ini milik semua makhluk hidup, kita adalah penjaganya. Kita adalah perwujudan dari keseimbangan yang telah mereka lupakan. Dan ingat, Opet, cinta... dan keberanian... akan selalu datang dari yang terkecil."

Cinta untuk planet ini, keberanian untuk melindunginya, bahkan dari makhluk yang lebih besar. Mereka adalah penjaga yang tak terlihat, pengingat abadi akan konsekuensi dari keserakahan.

Dan di langit, untuk pertama kalinya dalam 70 tahun, bintang-bintang kembali terlihat dengan jelas, berkilauan di antara sisa-sisa kabut polusi. Sebuah tanda. Harapan. Bahwa mungkin, hanya mungkin, ada masa depan yang lebih cerah untuk bumi, yang dijaga oleh yang terkecil, namun yang paling berani.

Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)