Cerpen
Disukai
1
Dilihat
11
Buku Kecil
Self Improvement
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku masih ingat jelas bagaimana semuanya bermula.

Sungguh, sampai detik ini pun, kalau aku memejamkan mata, aku bisa kembali ke momen itu—momen kecil yang sederhana, tapi perlahan-lahan menjeratku ke dalam lingkaran yang tidak pernah kusangka akan mengubah hidupku.

Semuanya bermula dari sebuah notifikasi kecil di layar ponselku. Bunyi ting yang biasanya tidak berarti apa-apa, malam itu terasa berbeda. Nama pengirimnya muncul di layar: seseorang yang selama ini hanya kuanggap sebatas kenalan biasa. Tidak ada ikatan, tidak ada kedekatan khusus, hanya wajah yang pernah kutemui di suatu acara kantor, percakapan singkat, atau sekadar basa-basi di media sosial. Aku tidak pernah benar-benar menaruh perhatian lebih padanya. Bagi hidupku yang saat itu sibuk, dia hanyalah satu dari sekian banyak orang yang lewat.

Pesan pertamanya sederhana.

“Lagi apa?”

Aku membaca sambil setengah malas. Kupikir itu hanya percakapan basa-basi yang akan berakhir singkat, seperti kebanyakan obrolan yang datang lalu hilang begitu saja. Tapi aku membalas, sekadar menghargai.

“Baru pulang kerja. Lagi rebahan. Kamu?”

Balasannya cepat. Terlalu cepat untuk seseorang yang baru memulai percakapan.

“Baru juga selesai kerja. Capek ya? Udah makan belum?”

Aku menatap layar sambil tersenyum kecil. Sopan. Ramah. Tapi aku tidak menganggapnya lebih dari itu. Aku hanya membalas sekenanya, tanpa banyak ekspetasi. Toh, aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang datang lalu pergi, meninggalkan jejak singkat lalu menghilang.

Namun malam itu, ia tidak berhenti. Percakapan kami berlanjut. Dari “udah makan belum” berubah menjadi cerita kecil tentang pekerjaannya, tentang hobinya, bahkan tentang hal-hal remeh seperti makanan favorit atau tontonan terbaru. Anehnya, ia bukan hanya mengetik asal. Ia memperhatikan detail. Ia mengingat hal-hal kecil dari jawabanku, lalu menanggapi dengan cara yang membuatku merasa… dihargai.

Aku masih ingat, ada satu kalimatnya yang membuatku berhenti sejenak sebelum membalas.

“Capek ya? Tapi aku yakin kamu kuat. Soalnya dari cara kamu cerita aja, keliatan kamu tipe yang tangguh.”

Aku membaca berulang-ulang. Itu hanya kalimat sederhana, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menempel. Kata “tangguh” itu seperti mengetuk sisi dalam diriku yang selama ini jarang disentuh orang lain. Aku terbiasa dianggap biasa saja, terbiasa tidak dilihat. Tapi malam itu, lewat ponsel, aku merasa seakan-akan ada seseorang yang benar-benar melihatku.

Hari-hari berikutnya, pesan darinya datang semakin sering. Awalnya aku menganggapnya kebetulan, tapi semakin lama, aku sadar: dia sengaja. Ia mencari waktu untuk memulai obrolan, menanyakan kabar, bahkan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting.

“Udah di kantor?”

“Jangan lupa sarapan ya.”

“Lagi sibuk gak? Aku pengen cerita sesuatu.”

Obrolan kami mengalir, seperti sungai kecil yang lama-lama semakin deras. Aku yang awalnya cuek, perlahan-lahan mulai terbiasa. Aku menunggu pesannya tanpa sadar. Bunyi notifikasi yang tadinya netral, kini membuatku berdebar. Ada rasa penasaran setiap kali ponselku berbunyi: apakah itu darinya?

Sampai pada suatu malam, percakapan kami mengambil arah yang berbeda.

“Rindu…”

Hanya satu kata.

Tapi aku terdiam lama sekali menatap layar.

Rindu? Bagaimana mungkin? Kami bahkan belum pernah benar-benar dekat. Belum pernah menghabiskan banyak waktu bersama. Aku tidak tahu apakah ia serius atau hanya bercanda. Tapi kata itu terlalu sederhana untuk sekadar lelucon, dan terlalu berani untuk sekadar basa-basi.

Dadaku berdegup kencang. Jemariku sempat berhenti di atas layar, bingung harus membalas apa. Bagaimana aku bisa menanggapi sesuatu yang tiba-tiba membuatku merasa spesial, sekaligus ragu, sekaligus penasaran?

Aku memilih diam sejenak. Tapi ia mengirimkan pesan lagi.

“Aku suka kamu… gak ada alasan buat suka. Aku suka ya karena Allah. Biar semuanya indah kalau kita jaga dengan cara yang baik.”

Aku menarik napas panjang. Kata-kata itu menembus pertahananku yang selama ini kubangun rapat-rapat. Kalimatnya terdengar begitu tulus, begitu indah. Dan bagian yang paling membuatku goyah adalah ketika ia menyelipkan nama Allah. Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa siapa pun yang menyebut nama Tuhan pasti membawa niat baik. Aku percaya, tak seorang pun akan tega mempermainkan perasaan sambil membawa nama Allah.

Dan malam itu, aku mulai percaya.

Sejak pesan itu, sikapku berubah. Aku mulai menunggu kabarnya. Aku membuka ponsel berkali-kali hanya untuk memastikan apakah ada notifikasi darinya. Kalau ia lama membalas, aku merasa gelisah. Kalau pesannya masuk, aku tersenyum sendiri.

“Aku rindu.”

“Kamu lagi sibuk ya?”

“Jangan lama-lama balasnya, aku nungguin.”

Kalimat-kalimat itu sederhana, tapi aku ketagihan. Seolah aku sedang minum setetes demi setetes candu yang membuatku semakin ingin, semakin butuh. Rasanya ada sesuatu yang hilang kalau sehari saja kami tidak saling berkirim pesan.

Aku mulai bangun lebih pagi dari biasanya, hanya untuk mengecek apakah ada pesannya. Dan benar saja, hampir setiap pagi aku disambut oleh chat manis.

“Udah di kantor?”

“Semangat kerjanya ya. Jangan lupa makan.”

Disertai emotikon hati, doa, dan—tentu saja—kata rindu.

Aku membacanya berulang kali. Senyumku muncul tanpa bisa kutahan, bahkan ketika aku sedang sibuk di kantor sekalipun. Teman-temanku mungkin akan menertawakan kalau tahu aku bisa sebegitu bahagia hanya karena sebuah pesan singkat. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskannya? Kata-katanya membuatku merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai. Itu lebih dari cukup bagiku.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mulai mengusik. Sesekali, ia menghilang tanpa kabar. Pesan-pesanku tidak dibalas selama berjam-jam, bahkan seharian penuh. Aku mencoba mengerti—mungkin ia sibuk, mungkin ada urusan mendadak. Tapi saat ia kembali, semua kecurigaanku luluh hanya dengan satu kata:

“Rindu.”

Kata itu seperti mantra. Segala kesal dan kecewaku lenyap begitu saja. Ia tahu persis cara memegang kendali penuh atas hatiku.

Dan aku… bodohnya, aku membiarkan itu terjadi.

Malam-malamku semakin larut. Aku rela begadang hanya untuk mengobrol dengannya. Obrolan kami meluas: dari hal-hal sepele seperti makanan favorit, sampai hal-hal dalam tentang keyakinan, tentang doa, tentang Allah yang selalu menyaksikan. Kata-katanya terdengar begitu suci, seakan aku sedang berbicara dengan seseorang yang benar-benar tulus menjaga niatnya.

Tapi entah kenapa, ada bisikan kecil di hatiku yang berkata:

“Benarkah?”

Bisikan itu pelan, nyaris tak terdengar, tenggelam oleh derasnya rasa nyaman yang ia ciptakan. Aku memilih mengabaikannya, karena terlalu indah untuk dihancurkan oleh keraguan.

Dan sejak malam itu, aku tahu satu hal: aku sedang berjalan di sebuah jalan yang asing. Jalan yang penuh cahaya hangat, tapi entah menuju ke mana.


Aku masih ingat jelas bagaimana hari itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupku. Setelah berminggu-minggu larut dalam rayuannya, akhirnya datang juga ajakan yang selalu diam-diam kutunggu.

“Ketemu yuk, sepulang kerja,” tulisnya sore itu, dengan tambahan emotikon sederhana yang entah kenapa membuat dadaku berdebar lebih kencang.

Aku membaca pesan itu berulang kali, seolah takut salah mengartikan. Bagian diriku ingin menolak—takut kalau semua rasa nyaman yang selama ini kubangun hanya akan runtuh begitu saja. Tapi bagian lain dari diriku, bagian yang sudah telanjur percaya pada kata-katanya, tidak kuasa menolak.

“Iya, boleh,” jawabku singkat, meski dalam hati ribuan pertanyaan menyerbu.

Kupikir, dia akan menjemputku di kantor. Itu logis, sederhana, dan terasa lebih sopan. Namun ternyata tidak.

“Aku jemput di minimarket aja ya, dekat kantormu. Lebih gampang,” katanya.

Ada sedikit ganjalan dalam hati, tapi aku memilih diam. Aku terlalu takut terlihat ribet, terlalu takut kehilangan momen pertama ini. Maka malam itu, setelah jam kerja usai, aku berjalan keluar kantor dengan hati berdebar, menuju minimarket yang ia maksud.

Mobilnya sudah terparkir di sana. Lampu jalan berpendar, suara kendaraan berlalu-lalang, dan di antara hiruk-pikuk itu, mataku menangkap sosoknya untuk pertama kalinya setelah sekian lama hanya berinteraksi lewat layar ponsel.

Ia tersenyum ketika aku membuka pintu mobil. Senyum yang hangat, persis seperti ucapannya selama ini. “Hai,” sapanya singkat.

Aku membalas dengan gugup. “Hai.”

Mobil pun melaju meninggalkan jalanan sekitar kantor. Di sepanjang perjalanan, suasana tidak pernah benar-benar sepi. Kami berbincang tentang banyak hal—tentang pekerjaan, keluarga, bahkan tentang mimpi-mimpi kecil yang belum sempat kami capai. Sesekali ia melontarkan rayuan ringan.

“Aku seneng banget bisa ketemu kamu. Rasanya aneh ya, kita sering banget chat, tapi baru sekarang bisa ngobrol gini.”

Aku hanya tertawa kecil, mencoba menutupi rasa gugup. Tapi di dalam hati, ada bagian diriku yang benar-benar bahagia. Kata-katanya terdengar tulus, membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah membuka hati.

Tanpa sadar, jarum jam menunjuk pukul delapan malam ketika kami sampai di sebuah kafe di daerah Depok Jawa Barat. Lampu-lampu kafe berkelip hangat, suara musik pelan mengalun, dan udara malam terasa pas untuk sebuah pertemuan pertama. Aku sempat berpikir, inilah momen yang kutunggu-tunggu.

Tapi ternyata, kenyataan tidak berjalan sesuai bayanganku.

Sebelum kami sempat melangkah masuk, semuanya berubah. Di parkiran kafe itu, suasana tiba-tiba bergeser. Dia menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan. Ada senyum di wajahnya, tapi juga ada sesuatu yang membuatku gugup.

Lalu, kata-kata yang sama kembali keluar dari bibirnya—kata-kata yang selama ini selalu berhasil membuat pertahananku runtuh.

“Aku rindu… aku suka kamu, gak ada alasan. Aku janji aku serius.”

Hatiku bergetar. Kalimat itu, yang sudah berkali-kali kudengar lewat layar ponsel, kini kudengar langsung. Jarak kami begitu dekat, suaranya begitu jelas, dan matanya seakan menuntutku untuk percaya.

Aku terdiam. Sebagian dari diriku ingin bertanya: seriuskah? Benarkah semua ini bukan sekadar permainan kata? Tapi lidahku kelu. Yang kulakukan hanyalah percaya, lagi dan lagi.

Dan di situlah, di parkiran itu, sesuatu terjadi begitu cepat.

Aku masih bisa merasakan detik-detik itu. Campuran antara gugup, takut, bahagia, sekaligus kosong. Aku pasrah. Aku tidak berkata apa-apa. Aku membiarkan semua mengalir begitu saja, meyakinkan diri bahwa mungkin inilah caranya dia menunjukkan keseriusan.

Tapi begitu semuanya usai, hatiku justru kosong. Bukan bahagia yang kudapat, melainkan rasa bersalah yang perlahan menggerogoti.

Kami tetap masuk ke kafe setelahnya, seolah tidak ada yang terjadi. Dia tertawa, bercanda, bercerita dengan ekspresi yang sama seperti saat kami masih di dalam mobil. Sementara aku duduk menatap cangkir di depanku, dengan tangan gemetar dan hati penuh penyesalan.

Aku merasa bodoh.

Bodoh karena terlalu percaya pada rayuan manis.

Bodoh karena membiarkan kata “rindu” dan “aku suka kamu” menjadi alasan untuk mengorbankan sesuatu yang seharusnya kujaga.

Setelah pertemuan itu, kami pulang. Dia mengantarku hanya sampai Jl Metro Jakarta Selatan, lalu aku melanjutkan perjalanan dengan taksi. Duduk di kursi belakang, aku menatap lampu-lampu kota dari balik jendela. Semua terlihat samar, berkelebat cepat, seolah menertawakanku yang baru saja kehilangan sesuatu.

Tanganku meraih ponsel, berharap ada pesan darinya. Setidaknya, menanyakan apakah aku baik-baik saja.

Tapi layar ponselku kosong. Tidak ada notifikasi. Tidak ada tanda-tanda kalau dia memikirkan aku.

Aku menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Masih sama.

Akhirnya kuberanikan diri mengetik pesan lebih dulu:

“Udah sampe rumah belum?”

Aku tahu, seharusnya dialah yang menanyakan itu padaku. Seharusnya dia yang memastikan aku aman sampai tujuan. Tapi justru aku yang memulai.

Pesanku terbaca, tapi balasannya lama sekali datang. Dan ketika akhirnya dia menjawab, hanya satu dua kata singkat. Datar. Hambar.

Beda sekali dengan caranya menulis sebelumnya—yang penuh dengan “rindu” dan “aku suka kamu”.

Malam itu aku sadar, sesuatu sudah berubah.

Hari-hari berikutnya menjadi ujian. Kalau dulu chat darinya selalu datang tanpa henti, kini mulai jarang. Kalau dulu dia selalu menunggu balasanku dengan sabar, kini ia membalas seadanya, bahkan kadang sehari setelahnya.

Aku mencoba menenangkan diri. “Mungkin dia sibuk,” kataku dalam hati. Atau, “Mungkin cuma perasaanku aja.”

Tapi semakin hari, semakin terasa. Perhatiannya memudar, ucapannya kehilangan hangat. Dan aku, yang sudah terlanjur jatuh, justru semakin mencari-cari alasannya.

Aku mulai merasa diriku seperti orang bodoh—menunggu sesuatu yang jelas-jelas sudah berubah.

Dan meskipun naluri dalam hati berkata bahwa aku sedang dipermainkan, aku tetap menolak percaya. Aku masih ingin bertahan, masih ingin yakin, masih ingin percaya pada janji-janji manis yang dulu membuatku jatuh.

Padahal, jauh di lubuk hati, aku tahu: itu hanyalah janji palsu.

Aku menutup mata malam itu, mencoba tidur dengan perasaan campur aduk. Tapi bisikan itu terus datang, menghantui seperti suara halus di telingaku: Hati-hati. Jangan terlalu percaya. Kamu hanya sedang dijadikan permainan.

Aku menggenggam ponsel erat-erat, menunggu notifikasi yang tak kunjung datang.

Dan di situlah, di antara gelapnya malam dan gelombang pikiranku yang kacau, aku mulai sadar—aku sedang terjebak dalam sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar jatuh cinta.

Sebuah permainan yang belum tahu akan membawaku ke mana.

Dan malam itu, aku baru saja melangkah semakin jauh ke dalamnya.


Hari-hari setelah pertemuan itu terasa seperti mimpi buruk yang berulang. Setiap pagi aku bangun dengan satu kebiasaan yang tak bisa kuhentikan: mengecek ponsel. Rasanya ada dorongan otomatis, seolah jantungku baru bisa berdetak normal setelah melihat notifikasi pesan darinya.

Tapi semakin hari, notifikasi itu makin jarang. Dulu, setiap pagi aku selalu disambut dengan pesan manis:

“Udah di kantor ya?”

“Semangat kerjanya. Jangan lupa sarapan.”

“Rindu…”

Kini, layar ponselku kosong. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada kata manis. Hanya hening.

Kadang aku menunggu berjam-jam, berharap ada suara ting dari notifikasi, tapi yang kudapat hanya rasa kecewa. Dan lebih menyakitkan lagi, ketika aku memberanikan diri untuk mengirim pesan duluan, balasannya singkat, dingin, seakan ia tidak lagi peduli.

“Lagi sibuk.”

“Ok.”

“Hmm.”

Hanya itu. Sesingkat itu.

Sementara aku, di balik layar, masih berharap lebih. Masih menaruh hati di setiap kalimatnya yang bahkan kini tidak lagi menyiratkan perhatian.

Aku tahu, aku seharusnya pergi. Aku seharusnya berhenti berharap pada sesuatu yang jelas-jelas sudah berubah. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku tetap bertahan.

Seperti terkena mantra, aku tidak bisa melepaskan diri. Kata-kata “rindu” dan “aku suka kamu tanpa alasan” yang dulu begitu sering ia ucapkan masih terngiang di kepalaku. Aku masih percaya, atau mungkin lebih tepatnya: aku masih ingin percaya, bahwa semua itu bukan kebohongan.

Aku mulai mencari-cari alasannya sendiri.

“Mungkin dia benar-benar sibuk.”

“Mungkin ada masalah yang tidak dia ceritakan.”

“Mungkin aku terlalu banyak menuntut.”

Padahal, jauh di lubuk hati, aku tahu. Aku hanya sedang menipu diriku sendiri.

Suatu malam, aku memberanikan diri untuk jujur. Dengan tangan bergetar, kuketik pesan itu:

“Aku suka sama kamu.”

Pesan sederhana, tapi bagiku itu seperti mengorbankan seluruh harga diriku. Aku menunggu balasannya dengan jantung berdebar, berharap ada secuil keajaiban bahwa mungkin dia juga merasakan hal yang sama.

Beberapa menit kemudian, notifikasi muncul. Kutatap layar dengan antusias, tapi kata-kata yang kubaca membuat hatiku runtuh.

“Kita fokus kerja aja ya.”

Singkat. Dingin. Tanpa emosi.

Aku terdiam lama. Mataku menatap layar ponsel, seolah berharap kata-kata itu bisa berubah kalau kulihat lebih dalam. Tapi nyatanya tidak. Itu tetap sama: penolakan halus yang terasa jauh lebih menyakitkan daripada diam.

Dadaku sesak. Ada bagian dari diriku yang ingin menangis sejadi-jadinya, tapi yang kulakukan hanyalah tersenyum hambar—pura-pura kuat di hadapan diri sendiri.

Yang lebih gila lagi, meski sudah jelas ditolak, aku tetap bertahan. Aku masih berusaha ada di sekitarnya. Aku masih mengikuti kegiatan yang ia suka, hanya untuk bisa berada di lingkarannya.

Salah satunya: badminton.

Aku tahu dia rutin bermain badminton dengan teman-temannya. Maka aku memutuskan untuk ikut, meski awalnya terasa asing. Aku berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dia bermain dengan wajah penuh tawa. Ia terlihat begitu bahagia, begitu lepas, sementara aku di sudut hanya menjadi penonton yang berharap diperhatikan.

Sesekali matanya menatap ke arahku. Tapi tatapan itu tidak lebih dari sekilas. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan, tidak ada tanda bahwa kehadiranku berarti sesuatu baginya.

Aku merasa seperti bayangan. Seperti orang asing.

Malam itu, aku pulang dengan hati kosong. Shuttlecock yang berterbangan di lapangan seakan mengingatkanku bahwa aku hanyalah penonton dari permainan yang tidak pernah benar-benar kuikuti.

Tapi aku tidak menyerah. Aku mencoba menarik perhatiannya dengan cara lain. Aku mengubah penampilanku. Membeli pakaian baru, merapikan gaya rambutku. Aku ingin terlihat berbeda, ingin menunjukkan bahwa aku bisa menjadi versi terbaik diriku.

Suatu hari, ketika aku mengganti gaya rambutku, akhirnya ada reaksi darinya. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku:

“Ciyeee rambut baru…”

Hanya itu. Singkat. Ringan.

Tapi bodohnya, aku begitu bahagia. Hatiku berdebar, senyumku merekah, seolah satu kalimat sederhana itu mampu menghapus semua dinginnya sikap belakangan ini.

Aku sadar aku sedang mempermalukan diriku sendiri. Aku tahu aku sedang terlalu mudah bahagia hanya karena serpihan kecil darinya. Tapi apa daya? Rasa itu sudah menjeratku terlalu dalam.

Hari-hari berikutnya semakin berat. Chat darinya semakin jarang, bahkan kadang ia membalas sehari setelahnya, itupun dengan kalimat yang tidak nyambung. Tidak ada lagi sapaan manis, tidak ada lagi ucapan rindu, tidak ada lagi doa yang dulu membuatku merasa istimewa.

Aku bangun setiap pagi dengan rasa kosong. Di kantor, aku memaksa diriku untuk tersenyum, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tapi di balik layar komputer, mataku berkali-kali melirik ponsel, berharap ada notifikasi yang muncul.

Malam-malamku semakin panjang. Aku menatap langit-langit kamar, mencoba tidur, tapi pikiranku terus berputar. Mengingat setiap kata manis yang dulu ia ucapkan. Mengingat setiap notifikasi yang dulu membuatku bahagia.

Dan aku bertanya pada diriku sendiri:

Kenapa aku masih bertahan?

Kenapa aku masih berharap?

Kenapa aku begitu bodoh untuk percaya?

Aku mulai menyadari sesuatu yang menyakitkan: aku sedang berjuang sendirian.

Aku yang selalu menunggu, aku yang selalu memulai percakapan, aku yang selalu menaruh harap. Sementara dia? Dia semakin jauh.

Aku mencoba meyakinkan diriku untuk berhenti. Untuk melepaskan. Tapi setiap kali aku berusaha melangkah pergi, bayangan wajahnya muncul. Kata-kata “Aku rindu” dan “Aku suka kamu tanpa alasan” kembali terngiang. Dan aku lagi-lagi gagal.

Aku seperti orang yang terjebak dalam lingkaran setan. Setiap luka justru menjadi candu. Setiap penolakan justru membuatku ingin mencoba lagi.

Suatu malam, aku berdiri di depan cermin. Rambut baru, wajah lelah, mata sembab karena terlalu sering menangis. Aku hampir tidak mengenali sosok yang menatap balik dari cermin itu.

“Kenapa aku begini?” bisikku pada diri sendiri.

Pertanyaan itu bergema di kepalaku, menusuk hatiku lebih dalam daripada kata-kata siapa pun. Aku sadar, yang paling menyakitkan bukanlah perlakuannya, melainkan bagaimana aku memperlakukan diriku sendiri.

Aku membiarkan diriku jatuh terlalu dalam pada seseorang yang bahkan tidak mau menggenggamku dengan sungguh-sungguh.

Sejak malam itu, aku mulai belajar melihat kenyataan dengan cara berbeda. Aku mulai sadar bahwa aku hanya sedang berjuang sendirian. Bahwa aku hanyalah penonton dalam panggung hidupnya. Bahwa aku hanyalah pelampiasan sesaat yang mudah ditinggalkan.

Namun, meski sudah tahu semua itu, ada bagian dari diriku yang masih enggan melepaskan.

Bagian yang masih berharap…

Bagian yang masih menunggu…

Bagian yang masih ingin percaya bahwa mungkin suatu saat, dia akan kembali seperti dulu.

Dan di situlah, aku benar-benar merasa hancur.

Karena aku tahu, aku sedang melawan sesuatu yang tidak bisa kutangani sendiri: hatiku sendiri.


Rasanya gengsi. Itu hal pertama yang membelenggu pikiranku. Setiap kali aku melihat layar ponsel, mengetikkan kalimat itu lalu menghapusnya lagi, hatiku dipenuhi keraguan. Perempuan seharusnya tidak mengungkapkan perasaan duluan. Begitu kata banyak orang. Begitu kata harga diri. Begitu kata semua nasihat yang pernah kudengar.

Tapi malam itu, gengsi kalah.

Bukan karena aku terlalu berani. Justru karena aku terlalu takut. Takut kehilangan dia. Takut jika aku tidak segera mengatakannya, dia benar-benar akan pergi.

Aku memandangi layar ponselku, jemariku bergetar. Kutulis kalimat sederhana—singkat, jujur, tapi terasa begitu berat.

“Aku suka sama kamu.”

Aku ingat detik-detik setelah menekan tombol kirim. Nafasku tercekat, jantungku berdetak seperti genderang perang. Dunia seakan berhenti, hanya menyisakan aku dan layar ponsel yang kosong, menunggu balasan.

Aku menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Rasanya seperti berjam-jam.

Lalu balasannya muncul.

“Kita fokus kerja aja ya.”

Hanya itu. Dingin, singkat, tanpa emosi.

Seolah-olah kalimat yang kuserahkan dengan seluruh keberanian dan harga diriku tidak lebih dari percakapan biasa yang bisa diabaikan.

Aku menatap layar lama sekali, berharap huruf-huruf itu berubah. Berharap ada kalimat tambahan setelahnya—penjelasan, alasan, atau setidaknya sedikit kehangatan. Tapi tidak. Itu saja. Sesederhana itu.

Dan di titik itu, hatiku runtuh.

Aku merasa seperti menabrak dinding besar. Semua bayangan indah tentang kemungkinan dia akan membalas dengan hal manis hancur berantakan. Tidak ada “aku juga suka kamu.” Tidak ada “kita coba jalani.” Tidak ada.

Hanya dingin.

Lucunya, aku tidak pergi setelah itu. Aku tidak menjauh, tidak menghapus nomor, tidak memutuskan hubungan.

Kenapa? Karena aku masih terikat.

Sejak malam di parkiran kafe itu, ada sesuatu dalam diriku yang sudah hilang. Sesuatu yang tidak bisa kuambil kembali, yang sudah kuberikan padanya dengan keyakinan bahwa dia akan serius. Aku menenangkan diri dengan pikiran bodoh: dia pasti punya alasan, dia hanya butuh waktu.

Tapi dalam diam, aku tahu: aku bertahan karena aku sudah menyerahkan diriku. Karena aku merasa tidak lagi punya pilihan.

Aku menipu diriku sendiri, berpura-pura bahwa penolakannya hanyalah cara dia melindungi kami. Padahal jauh di lubuk hati, aku sadar: aku hanya sedang bersembunyi dari kenyataan pahit.

Hari-hari setelah pengakuan itu berubah. Chat yang dulu begitu manis kini menjadi dingin. Balasannya semakin jarang, semakin singkat, semakin tidak peduli.

Kalau dulu setiap menit aku bisa membaca “rindu” darinya, sekarang aku harus menunggu berjam-jam bahkan seharian untuk sekadar mendapat satu balasan yang sering kali tidak nyambung.

“Udah makan belum?” tanyaku.

“Lagi sibuk,” jawabnya.

Sesederhana itu. Tidak ada lagi hangat. Tidak ada lagi manis.

Tapi aku tetap tinggal.

Aku tetap mencari caranya untuk dekat. Salah satunya dengan mengikuti kebiasaan yang dia sukai: badminton. Aku rela datang, berdiri di pinggir lapangan, hanya untuk menyaksikannya tertawa bersama teman-temannya.

Kupikir, dengan begitu aku bisa mendapat perhatiannya lagi. Setidaknya secuil.

Tapi ternyata, di sana aku belajar arti kata asing.

Dia berjalan melewatiku tanpa menoleh. Dia bercanda dengan yang lain, tapi tidak dengan aku. Bahkan sekadar menyapaku pun tidak.

Aku berdiri di pinggir lapangan, mencoba tersenyum, mencoba terlihat biasa saja. Padahal hatiku perih. Rasanya seperti aku hanya bayangan, tidak terlihat, tidak dianggap.

Aku pernah berharap ada obrolan singkat, tatapan mata, atau sekadar senyum kecil. Tapi yang kudapat hanya udara malam yang dingin.

Dan yang lebih menyakitkan: dia bisa begitu hangat pada orang lain, tapi begitu beku padaku.

Aku pulang malam itu dengan hati kosong. Jalanan terasa panjang, lampu-lampu kota terasa buram. Aku duduk di dalam taksi, menatap bayangan diriku di jendela.

“Kenapa aku begini?” bisikku pelan.

Air mata jatuh tanpa bisa kutahan.

Aku merasa kotor. Merasa rendah. Merasa bodoh. Semua harga diriku terasa hilang, diganti oleh rasa sakit yang terus menggerogoti.

Tapi meski begitu, ada sesuatu yang aneh dalam diriku: aku tetap ingin dia.

Meski tahu dia menolakku, meski tahu dia memperlakukanku seperti orang asing, meski tahu aku hanyalah pelampiasan—aku tetap berharap.

Seperti orang yang terkena racun tapi tetap meminumnya lagi dan lagi, aku tidak bisa berhenti.

Setiap malam aku menatap layar ponsel, menunggu notifikasi darinya. Kalau ada, meski hanya satu kata singkat, aku merasa hidup. Kalau tidak ada, aku merasa hancur.

Aku tahu ini tidak sehat. Aku tahu aku sedang mempermalukan diriku sendiri. Tapi aku tidak bisa berhenti.

Aku terikat olehnya. Terikat oleh malam itu. Terikat oleh rasa suka yang tidak lagi punya logika.

Waktu berjalan, tapi luka itu tetap ada.

Aku mulai sadar, aku bukan lagi gadis yang sama. Aku bukan lagi seseorang yang bisa tertawa bebas tanpa beban. Kini aku adalah seseorang yang setiap langkahnya dihantui penyesalan, setiap senyumnya dipaksa, setiap harinya diwarnai rasa hampa.

Dia membuatku merasa asing, bahkan terhadap diriku sendiri.

Aku berdiri di depan cermin, menatap wajahku yang lelah. Rambutku yang dulu kubanggakan kini hanya tampak kusut. Mataku sembab, bibirku pucat. Aku hampir tidak mengenali sosok di hadapanku.

“Apa aku masih layak dicintai?” tanyaku lirih.

Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.

Dan malam itu, aku kembali mengingat chat terakhir darinya. Kata-kata yang sederhana tapi menusuk:

“Kita fokus kerja aja ya.”

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku. Seperti palu besar yang menghantam dadaku lagi dan lagi.

Dulu, aku membaca kalimat itu dengan air mata. Kini aku membacanya dengan kemarahan.

Karena aku tahu, itu bukan sekadar ajakan untuk profesional. Itu adalah penolakan. Itu adalah garis tegas bahwa aku tidak pernah berarti baginya.

Tapi aku masih bertahan.

Aku masih berada di lingkaran itu, meski aku tahu aku sedang melukai diriku sendiri.

Dan pada akhirnya, aku sadar: mungkin aku memang sedang berperang sendirian.

Perang antara logika yang memintaku pergi dan hati yang memintaku bertahan. Perang antara luka yang membuatku hancur dan harapan bodoh yang membuatku tetap menggenggam.

Perang yang hanya ada di dalam diriku.

Sementara dia… dia bahkan tidak ikut. Dia bahkan tidak peduli.

Aku menutup mata malam itu, menarik selimut, mencoba tidur. Tapi kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan.

Kenapa aku masih bertahan?

Kenapa aku masih berharap?

Kenapa aku tidak bisa berhenti?

Dan yang paling menyakitkan:

Apakah aku hanya sebuah nama yang mudah dilupakan setelah semua ini?

Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa menahan semua ini.

Tapi satu hal yang pasti: aku masih ada di lingkaran itu.

Entah karena cinta, entah karena bodoh.

Dan aku tahu, luka yang sebenarnya baru saja dimulai.

Ada satu kalimat yang dulu sempat membuatku terpuruk begitu dalam—“Kita fokus kerja aja ya.”

Kalimat sederhana, dingin, dan singkat itu bagai pedang tajam yang menembus jantungku. Saat pertama kali kubaca, aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya seperti seluruh keberanian yang sudah kukumpulkan untuk jujur dipatahkan begitu saja.

Aku ingat, malam itu aku menangis sampai mataku bengkak. Aku memeluk diriku sendiri di sudut kamar, merutuki kebodohan karena sudah terlalu percaya. Kalimat itu membuatku merasa tidak berharga, seolah seluruh keberadaanku hanya salah paham belaka.

Tapi waktu terus berjalan.

Dan perlahan, aku mulai melihat kalimat itu dari sisi lain. Bukan lagi sebagai palu godam yang menghancurkan hatiku, melainkan sebagai pengingat keras: aku memang harus fokus pada hidupku sendiri.

Hari-hari pertama setelah semua itu berlalu terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Setiap langkah melukai, setiap ingatan menghadirkan perih. Aku bangun pagi dengan mata sembab, menghela napas panjang sebelum berangkat kerja. Rasanya hidupku kosong.

Aku sering bercermin, dan yang kulihat bukan lagi aku yang dulu. Wajahku tampak lelah, mataku redup, senyumku hambar. Ada bayangan kelam yang menempel di sana, bayangan tentang diriku yang telah ternodai oleh seseorang yang bahkan tidak pernah berniat menetap.

“Aku ini apa?” bisikku lirih di depan cermin.

Pertanyaan itu tak pernah terjawab.

Rasa kotor itu begitu melekat, menempel pada kulitku, meresap ke dalam tulangku. Setiap kali aku mengingat malam itu di parkiran kafe, aku ingin menjerit. Aku ingin kembali ke waktu sebelum semua terjadi. Aku ingin menampar diriku yang terlalu percaya.

Tapi aku tidak bisa. Waktu hanya berjalan maju.

Ada malam-malam ketika aku terbangun dengan mata basah. Air mata itu datang begitu saja, tanpa alasan jelas, hanya karena kenangan itu kembali menghantui. Aku sering membekap mulut dengan bantal, agar tangisku tidak terdengar siapa pun.

Rasanya seperti aku terjebak di antara ingin melupakan tapi tidak bisa, ingin membenci tapi terlalu lelah, ingin melepaskan tapi masih terikat.

Aku berkali-kali menyalahkan diriku sendiri.

“Kenapa aku begitu bodoh?”

“Kenapa aku terlalu percaya?”

“Kenapa aku tidak menolak sejak awal?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk, membuatku merasa semakin kecil.

Tapi seiring waktu, aku mulai menyadari sesuatu.

Kalau aku terus menyalahkan diriku sendiri, aku hanya akan membiarkan dia menang. Aku akan memberi ruang dalam hidupku untuk seseorang yang bahkan tidak peduli aku ada atau tidak.

Orang yang mempermainkan perasaan tidak layak untuk membuatku berhenti hidup.

Aku harus melanjutkan langkahku, meski dengan hati yang compang-camping.

Sekarang, setiap kali kami berpapasan di kantor, aku memilih untuk menunduk. Bukan karena aku takut, tapi karena aku tidak mau lagi membuang energi hanya untuk menatap wajah yang dulu kucintai dengan buta.

Aku fokus pada layar komputer, pada tumpukan pekerjaan, pada rekan-rekan yang menghargai aku apa adanya. Aku belajar bahwa diam bisa menjadi perlawanan paling lantang. Dengan tidak menoleh, aku sedang menunjukkan bahwa aku tidak lagi memerlukan keberadaannya.

Meski begitu, bukan berarti perasaan itu hilang begitu saja. Ada saat-saat aku masih merasa hancur, masih merasa jijik pada diriku sendiri. Ada malam-malam ketika kenangan itu kembali menghantui, membuatku terisak tanpa suara di balik bantal.

Tapi justru dari luka itulah, aku belajar arti kekuatan.

Aku mulai menulis semua rasa sakitku di sebuah buku kecil. Awalnya hanya beberapa kalimat singkat: “Aku sakit hari ini. Aku lelah. Aku ingin lupa.” Tapi lama-kelamaan, aku menulis lebih banyak. Menuliskan setiap kenangan, setiap luka, setiap penyesalan.

Bukan untuk dibaca orang lain, tapi untuk mengingatkan diriku sendiri: aku pernah ada di titik paling gelap, dan aku berhasil melewatinya.

Menulis menjadi caraku berdamai dengan luka.

Aku juga mulai mencari hal-hal kecil yang membuatku merasa hidup lagi. Sibuk dengan pekerjaan, menghabiskan waktu sendirian di kafe, menonton film yang dulu kusuka, bahkan sekadar berjalan kaki tanpa tujuan.

Hal-hal sederhana itu menjadi titik-titik cahaya yang perlahan menuntunku keluar dari kegelapan.

Aku mulai belajar mencintai diriku sendiri lagi.

Hidup tidak berhenti hanya karena seseorang yang salah datang. Luka ini adalah bagian dari perjalanan, bagian dari cerita hidupku yang kelam. Dan meski aku membencinya, aku juga harus mengakui: dari sinilah aku belajar lebih keras tentang diriku sendiri.

Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri jauh lebih penting daripada memohon dicintai orang lain.

Mungkin, untuk saat ini, aku masih belum benar-benar pulih. Mungkin rasa sakit ini masih akan menemaniku untuk waktu yang lama. Tapi aku percaya, setiap luka akan menemukan caranya sendiri untuk sembuh.

Aku bukan korban.

Aku bukan perempuan bodoh.

Aku hanyalah manusia yang pernah jatuh, tapi memilih untuk bangkit.

Dan meski langkah ini masih goyah, aku tahu satu hal yang pasti: aku akan terus berjalan ke depan. Tidak lagi menoleh ke belakang, tidak lagi menunggu balasan pesan dari seseorang yang hanya datang demi memuaskan dirinya sendiri.

Mungkin kisah ini akan selalu menjadi bagian dari hidupku—sebuah bab kelam yang tak akan pernah hilang. Tapi justru karena itu, aku akan menjadikannya pelajaran.

Pelajaran bahwa tidak semua orang yang datang dengan kata manis layak dipercaya.

Pelajaran bahwa rasa sayang tanpa logika bisa berakhir dengan luka.

Pelajaran bahwa aku berhak bahagia, meski tidak bersamanya.

Dan pada akhirnya, aku tersenyum kecil, meski masih dengan mata yang basah.

Karena aku tahu, meski kisahku pahit, aku berhasil menemukan arti dari sebuah kehilangan: bahwa dari reruntuhan hati, aku bisa membangun diriku kembali.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)