Masukan nama pengguna
*_Judul : Belukar di Ladang Hati_*
Penulis : Bang Jay
Udara pabrik makanan itu, dengan aroma manis bercampur gurih yang khas, telah menjadi saksi bisu bagi pasang surut hatiku. Aku, Rendra, seorang pemuda yang lebih nyaman dalam sunyi dan kesendirian, mendapati diriku tersesat di belukar perasaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sebelum Nina hadir, duniaku adalah garis lurus, fokus pada pekerjaan dan diri sendiri. Namun, ada sesuatu yang istimewa pada janda berambut legam itu, sebuah kilau yang menarik mataku seperti kunang-kunang di malam hari.
Aku bukan tipe pria yang pandai merayu atau menebar janji. Bagiku, cinta seharusnya tumbuh perlahan, seperti akar pohon yang mencari kedalaman tanah. Namun, kehadiran Nina meruntuhkan tembok diamku. Kehangatannya, keramahannya—yang terkadang terasa genit bagi sebagian orang—menjelma menjadi candu yang membuatku ingin terus berada di dekatnya. Mungkin, ada luka yang sama-sama kami bawa dari masa lalu yang membuatku merasa terhubung dengannya. Ia, seorang wanita yang dicampakkan karena ketidakmampuannya memberikan keturunan setelah empat tahun pernikahan yang hampa kasih sayang dan penuh perbandingan menyakitkan.
Setelah perceraiannya, Nina mencari sandaran pada orang-orang yang ia percaya. Aku menjadi salah satu pendengar setia curhatnya, bersama Budi, Sinta, dan Andre. Saat itulah, benih-benih cinta di hatiku mulai tumbuh subur, berharap bisa menjadi pelabuhan terakhir bagi hatinya yang terluka.
Namun, di tengah simpati dan harapan yang kubangun, muncul sosok Budi. Sopir pabrik bertubuh tidak terlalu tinggi dan berkulit gelap itu melihat perceraian Nina sebagai kesempatan emas untuk memuaskan nafsunya. Seorang pria beristri dan beranak yang licik, menebar jaring-jaring kepalsuan di sekitar Nina. Sindiran-sindiran pedas dan fitnah halus seringkali ia lontarkan di sela-sela kesibukan pabrik, menciptakan atmosfer yang tidak nyaman.
Di sisi lain, ada Dian, sahabat karibku sejak hari pertama menginjakkan kaki di pabrik ini. Usianya sedikit lebih tua, seorang pria bijak yang selalu mencari kebenaran sebelum menghakimi. Ia pernah merasakan pahitnya kegagalan cinta sebelum menemukan kebahagiaan dengan keluarganya kini. Nasehat-nasehatnya bagaikan oase di tengah gurun pasir hatiku, selalu memberikan perspektif positif dan solusi di setiap kebimbangan.
Sinta dan Andre, pasangan suami istri paruh baya yang hangat, menjadi garda terdepan pendukung hubunganku dengan Nina. Mereka mengenaliku jauh sebelum Nina bergabung dengan kami di pabrik. Merekalah yang mendorongku untuk mendekatinya, melihat potensi kebahagiaan di antara kami. Mereka muak dengan tingkah laku Budi yang terkenal buruk, seorang kaki tangan wanita dan penjudi ulung. Setiap kali Budi mencoba mendekati Nina dengan niat terselubung, teguran keras dari Sinta dan Andre menjadi tameng pelindung.
Suasana di pabrik makanan itu layaknya miniatur kehidupan. Ada yang sibuk dengan pekerjaan, ada yang bergosip tanpa mencari kebenaran, dan ada pula yang tulus mendukung kebahagiaan sesama. Aku merasakan dukungan dari banyak rekan kerja yang melihat ketulusanku pada Nina. Namun, keraguan mulai menggerogoti hatiku seiring berjalannya waktu.
Sikap genit Nina terhadap lelaki lain, termasuk Budi, menjadi duri dalam daging hubunganku. Berkali-kali aku mencoba menyampaikan kekhawatiranku. "Tolong jaga hubungan kita baik-baik, Nina," ucapku dengan nada pelan namun penuh harap. "Aku minta kamu jaga sikapmu kepada lelaki lain. Jangan sampai ucapan dan tingkah lakumu mengundang hasrat para lelaki. Aku cemburu dan merasa tidak nyaman."
Namun, jawabannya selalu membuat hatiku mencelos. "Ini kan di tempat kerja, Mas. Aku harus profesional," kilahnya, seringkali dengan nada enteng. "Genit atau tidaknya ucapanku dan tingkah lakuku, itu tergantung bagaimana mereka menilainya. Aku hanya bersikap ramah."
Pertengkaran demi pertengkaran tak terhindarkan. Kami seringkali salah paham, seakan-akan ia benar-benar tidak menyadari dampak dari perilakunya. Aku merasa seperti sedang berbicara dengan tembok yang tidak mau mengerti. Namun, ironisnya, setiap kali pertengkaran mereda, ia selalu menggenggam tanganku, menatap mataku dengan tatapan meyakinkan, dan berbisik, "Aku benar-benar sayang sama kamu, Mas. Aku tidak akan mungkin mengkhianati perasaan kamu." Kata-kata itu selalu memberikan harapan semu, menenangkanku sesaat sebelum badai kecurigaan kembali menerjang.
Kesalahpahaman dengan keluarga juga menjadi beban tersendiri. Orang tuaku, dengan segala pertimbangan dan tradisi yang mereka pegang, tidak sepenuhnya merestui hubunganku dengan seorang janda. Sementara keluarga Nina juga menunjukkan sikap yang kurang hangat, terutama terkait masalah status dan ekonomi.
Suatu siang yang terik di tengah hiruk pikuk pabrik, mataku menangkap pemandangan yang menghantam ulu hatiku seperti palu godam. Kulihat Nina dan Budi sedang bercanda di dekat mesin pengemasan. Tawa Nina terdengar renyah, namun ada sesuatu yang janggal dalam interaksi mereka. Tangan Budi menyentuh pundak Nina, dan dengan gerakan perlahan yang membuat darahku mendidih, tangan itu seolah bergerak menuju bagian tubuh yang lain.
Aku gemetar, seluruh tubuhku menegang. Naluriku berteriak untuk menerjang mereka berdua, melampiaskan amarah yang selama ini kupendam. Namun, tiba-tiba Dian muncul di sampingku, tangannya menepuk pundakku dengan lembut namun tegas. "Tahan, kawan... tahan," bisiknya pelan namun penuh otoritas. "Jangan biarkan emosimu menghancurkan dirimu sendiri. Jangan bertindak gegabah." Kata-kata Dian bagai air dingin yang menyiram bara amarahku, memberiku sedikit ruang untuk berpikir jernih.
Rekan kerja yang mendukungku, yang melihat ketidakberesan dalam sikap Nina, berulang kali menyarankanku untuk meninggalkannya. Mereka melihatnya sebagai wanita yang "murahan," tidak menghargai ketulusanku. Namun, cinta—atau mungkin ilusi cinta—telah membutakanku. Aku menolak nasehat mereka, berharap ada keajaiban yang bisa mengubah Nina. Sementara itu, orang-orang yang tidak menyukai hubungan kami justru menjadikannya tontonan menarik, menunggu drama selanjutnya dalam kisah cinta yang penuh keraguan ini.
Nina, yang entah bagaimana menyadari bahwa aku sedang mengawasinya saat ia bercanda dengan Budi, tiba-tiba berlari ke arahku. Ia memelukku erat, air mata (entah tulus atau tidak) membasahi bajuku. "Maaf, Mas... kamu jangan salah paham," isaknya. "Kami hanya bercanda... tidak ada apa-apa. Aku tidak mungkin menyakitimu." Lagi dan lagi, kata-kata itu meluluhkan pertahananku, membuatku kembali percaya pada kebohongan yang ia ciptakan. Namun, jurang antara perkataan dan perilakunya semakin dalam, membuatku benar-benar meragukan setiap ucapannya.
Untuk mengatasi rasa cemburu yang terus menggerogoti hatiku, aku mencoba bersikap cuek. Apa pun yang Nina lakukan, dengan siapa pun ia bercanda, aku pura-pura tidak melihat. Aku mengunci rapat mulutku, menelan setiap keraguan dan kekecewaan. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa ini mungkin cara Nina menguji kesabaranku, menguji seberapa besar cintaku padanya. Namun, alih-alih berubah, Nina justru semakin berani dalam interaksinya dengan banyak lelaki. Sentuhan-sentuhan fisik yang dulunya samar, kini semakin berani, bahkan hampir menyentuh bagian atas perutnya di depan mataku sendiri.
Saat itulah, aku melihat jalan yang jelas untuk pergi dari kehidupannya. Meskipun ia terus mengulang janji bahwa ia tidak akan mungkin menyakiti atau mengkhianatiku, aku tidak lagi peduli. Kata-katanya telah kehilangan makna, tertelan oleh tindakannya sendiri.
Pada akhirnya, kebenaran pahit terungkap. Semua itu hanyalah permainan Nina, sebuah kepura-puraan cinta yang bertujuan untuk menghancurkan hidupku yang selama ini kujaga baik-baik.
Setelah kami berpisah, sebuah ironi pahit terjadi. Keluarga kami, yang dulunya berseberangan pendapat tentang hubungan ini, kini saling menjauh tanpa ada musyawarah, seolah-olah kisah cintaku yang penuh luka dengan Nina tidak pernah terjadi. Aku ditinggalkan sendiri, memungut kepingan-kepingan hatiku yang hancur, belajar untuk membangun kembali kepercayaanku pada cinta dan kejujuran..