Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,424
Kisah Kasih di Lapak Ayam Potong
Romantis

Kisah Kasih di Lapak Ayam Potong


Dunia Lapak yang Ramai:


Pagi merayap di sudut pasar tradisional yang belum sepenuhnya terbangun. Aroma bumbu basah, sayuran segar, dan sedikit bau amis khas pasar berpadu, membentuk melodi bau yang familiar. Namun, di tengah hiruk pikuk yang perlahan memanas, ada satu lapak yang selalu memiliki orkestra tersendiri: Lapak Ayam Potong Pak Budi. Bukan hanya karena riuhnya pisau yang beradu dengan talenan atau tawar-menawar harga yang sesekali meninggi, melainkan karena lapak itu adalah magnet bagi makhluk berbulu halus.

Pak Budi, pemilik lapak dengan senyum tulus dan sorot mata yang teduh, adalah seorang pecinta kucing sejati. Ia percaya, rezeki yang datang kepadanya juga harus dibagi, bahkan dengan kucing-kucing jalanan yang sering mampir. Setiap pagi, sebelum pelanggan pertama datang, Pak Budi sudah menyiapkan baskom kecil berisi sisa tulang ayam atau potongan daging yang terlalu kecil untuk dijual. Sisa-sisa itu bukan sampah baginya, melainkan jamuan.

Beberapa kucing, dengan berbagai corak dan ukuran, seakan punya jadwal tetap untuk berkunjung. Mereka datang dengan langkah anggun atau lari terburu-buru, lalu duduk sabar mengelilingi lapak, menanti jamuan Pak Budi. Tak jarang, setelah kekenyangan, mereka akan mencari tempat nyaman untuk tidur. Dan di sanalah keistimewaan lapak Pak Budi: di bawah meja pemotongannya yang selalu bersih, terhampar selembar karung goni bekas yang telah usang namun hangat. Itu adalah "kasur" gratis bagi setiap kucing yang ingin beristirahat, jauh dari injakan kaki manusia yang lalu-lalang dan panasnya aspal. Bagi Pak Budi, kehadiran mereka adalah berkah, sebuah pengingat akan kesederhanaan dan kebahagiaan. Suasana di lapak ayam potong itu bukan sekadar transaksi jual beli, melainkan sebuah ekosistem kecil yang penuh kehangatan, kebaikan, dan bisikan purr lembut yang tak terucap.



Chiki si Mujair Darat:


Di antara rombongan kucing-kucing yang mampir ke lapak Pak Budi, ada satu sosok yang selalu menarik perhatian, bahkan di tengah keramaian. Namanya Chiki, seekor kucing betina yang cukup dewasa dengan bulunya yang unik. Warnanya perpaduan cokelat keabu-abuan dengan guratan-guratan gelap samar, mirip sekali dengan corak sisik ikan mujair yang basah. Tak heran, para pedagang di pasar, yang suka memberi julukan lucu, memanggilnya Murat, kependekan dari "Mujair Darat". Julukan itu melekat padanya seperti guratan di bulunya.

Chiki selalu tampil tenang, seolah tak terusik oleh keramaian pasar atau gonggongan anjing liar di kejauhan. Ada semacam aura independen yang memancar darinya. Ia sering datang tanpa suara, melompat ringan ke salah satu meja kosong di lapak, duduk bersila dengan anggun, lalu mengamati sekeliling dengan sorot mata yang tajam namun cuek. Ketika jamuan tiba, ia akan makan dengan perlahan, tak terburu-buru seperti kucing lain yang berebut. Setelah kenyang, ia bisa saja membersihkan bulunya dengan teliti, seolah tak ada hal lain yang lebih penting di dunia ini, lalu pergi begitu saja, menghilang di antara kerumunan kaki-kaki manusia, meninggalkan jejak misteri yang tipis.

Kharisma Chiki bukan pada kemewahan atau kelucuannya, melainkan pada kemandiriannya yang mengagumkan. Ia tidak pernah memohon, tidak pernah bermanja-manja, dan tidak pernah terlalu lama berada di satu tempat. Ia datang dan pergi sesuka hati, sebuah manifestasi sejati dari kebebasan kucing jalanan. Namun, di balik sikap cueknya, ada daya tarik yang membuat orang, bahkan kucing lain, sulit mengalihkan pandang. Ia adalah ratu kecil di sudut pasar itu, yang kehadirannya selalu dinanti, meski hanya untuk sesaat.



Dodo si Hitam Pemalu:


Jika Chiki adalah manifestasi ketenangan dan kemandirian, maka Dodo adalah antitesisnya. Ia adalah seekor kucing remaja, dengan bulu hitam legam yang pekat, seolah menyerap seluruh cahaya di sekelilingnya. Matanya yang bulat, berwarna kuning keemasan, seringkali memancarkan keraguan dan sedikit kegugupan. Dodo baru beberapa hari belakangan ini sering terlihat di sekitar lapak Pak Budi. Awalnya, ia hanya datang diam-diam, mengendap-endap dari balik tumpukan kardus bekas atau tong sampah, hanya untuk mencari sisa makanan dan kehangatan yang ditawarkan Pak Budi.

Dodo adalah pengamat yang cermat, meski dari kejauhan. Ia akan menunggu hingga lapak agak sepi, atau setidaknya kucing-kucing lain sudah kenyang dan terpecah perhatiannya, baru kemudian ia memberanikan diri mendekat. Setiap gigitan tulang ayam atau jilatan air dari genangan di dekat lapak terasa seperti kemenangan kecil baginya. Lambat laun, kebaikan Pak Budi dan suasana nyaman di bawah meja pemotongan mulai meluluhkan dinding rasa takut Dodo. Ia mulai merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih diterima di dunia yang keras bagi kucing jalanan.

Suatu pagi, saat Dodo sedang asyik menikmati potongan hati ayam yang disisihkan Pak Budi, sebuah bayangan melintas di depannya. Ia mengangkat kepala, dan di sanalah ia melihatnya: Chiki. Dengan bulu mirip mujairnya yang unik, duduk anggun di atas meja lapak yang bersih, mata tajamnya melirik ke sekeliling seolah memindai seluruh alam semesta. Bagi Dodo, yang biasanya hanya sibuk dengan urusan perut dan tempat tidur, pemandangan itu terasa seperti sengatan listrik.

Deg!

Jantung kecil Dodo berdetak tak keruan. Bukan karena takut, bukan karena lapar, melainkan sebuah perasaan aneh yang belum pernah ia kenali sebelumnya. Ada campuran kekaguman, rasa ingin tahu yang kuat, dan sejumput rasa gugup yang menjalar hingga ke ujung kumisnya. Sejak saat itu, dunia Dodo yang tadinya hanya berputar di antara makanan, tidur, dan bertahan hidup, kini memiliki satu titik fokus baru: Chiki. Ia mulai datang ke lapak lebih awal, lebih sering, tidak hanya untuk makan, tetapi untuk sebuah alasan yang jauh lebih misterius.



Pertemuan Tak Disengaja (dan Pengamatan Diam-diam):


Sejak saat jantungnya berdesir aneh itu, hidup Dodo seakan memiliki peta baru. Rutenya ke lapak Pak Budi bukan lagi sekadar jalan menuju makanan, melainkan pilgrimage harian menuju sosok yang kini mendominasi benaknya. Ia sering datang lebih awal, mengamankan posisi tersembunyi di balik tumpukan karung beras kosong atau di bawah gerobak penjual sayur. Dari sana, ia bisa dengan leluasa memperhatikan Chiki.

Dodo tidak berani menyapa, apalagi mendekat. Setiap kali Chiki melintas, Dodo akan menundukkan kepala, pura-pura asyik menjilati cakarnya atau menggaruk telinga yang tidak gatal. Ia tahu betul, keberaniannya belum setara dengan karisma Chiki. Namun, rasa penasaran dan kekagumannya begitu besar sehingga ia tak bisa menahan diri.

Dari kejauhan, Dodo mulai menjadi pengamat yang cermat. Ia memerhatikan hal-hal kecil yang mungkin tak disadari siapa pun. Cara Chiki duduk—selalu tegak, dengan ekor melingkar rapi di sekeliling tubuhnya, seolah sedang bersiap untuk sebuah pemotretan. Cara Chiki menjilat bulunya—setiap sapuan lidah begitu teliti, memastikan tak ada satu pun helai yang salah posisi. Bahkan gaya melengosnya yang anggun ketika seekor kucing jantan lain mencoba mendekat, membuat Dodo gemas bercampur kagum. Gerakan itu penuh dengan penolakan halus namun tegas, seolah Chiki berkata, "Aku terlalu berkelas untukmu."

Kadang, Dodo menyelinap ke bawah meja Pak Budi, tempat istirahat favorit para kucing. Bukan untuk tidur, melainkan hanya untuk melihat Chiki datang. Ia akan bersembunyi di sudut yang gelap, meringkuk kecil, dan menahan napas saat Chiki melompat ke atas meja, atau bahkan ketika Chiki memutuskan untuk ikut berteduh di bawah meja yang sama. Ada sensasi mendebarkan setiap kali Chiki berada dalam jangkauan pandangnya. Dodo akan menghabiskan waktu berjam-jam, hanya menatap punggung Chiki, atau kadang-kadang melirik wajahnya yang tenang saat Chiki tertidur pulas. Baginya, itu sudah cukup. Kehadiran Chiki, meskipun hanya dalam diam, sudah mengisi kekosongan di hati Dodo.




Perjuangan dan Perasaan:


Perasaan aneh yang tumbuh di hati Dodo kian hari kian membesar, tak terbendung lagi. Mengamati dari jauh saja tak cukup. Ia ingin lebih dekat, ingin Chiki menyadari keberadaannya, bahkan jika hanya dengan sebuah kedipan mata. Dodo mulai memikirkan berbagai cara, meskipun dengan segala kegugupan yang melilitnya.

Ada saatnya ia mencoba lebih berani. Ketika Chiki sedang asyik menjilati bulunya atau menikmati sisa tulang, Dodo akan mencoba mendekat beberapa langkah, mempersempit jarak yang selalu menjadi penghalang. Namun, setiap kali Chiki mengangkat kepalanya sedikit atau bahkan sekadar mengubah posisi duduk, seluruh keberanian Dodo langsung menciut. Kakinya seolah terpaku, lalu dengan cepat ia akan memutar balik dan bersembunyi lagi di balik tiang lapak atau tumpukan kardus. Napasnya terengah-engah, jantungnya berdegup kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena gejolak perasaan yang tak terkendali. "Bodohnya aku," bisiknya dalam hati, meskipun ia tahu Chiki tak akan mendengar.

Dodo bahkan mulai mencari cara untuk menunjukkan "kasih sayang"-nya. Ia ingat bagaimana para pemilik kucing sering memberikan hadiah kepada peliharaan mereka. Maka, ia pun berusaha. Suatu pagi, setelah Pak Budi selesai memotong ayam, ada sepotong kecil tulang paha yang tergeletak di tanah, agak tersembunyi. Dodo dengan hati-hati mengambilnya di antara giginya. Tulang itu mungkin tidak seberapa, hanya sisa, tetapi bagi Dodo, itu adalah permata. Dengan hati-hati, ia membawa "hadiah" itu. Ketika Chiki sedang tidur siang di bawah meja, Dodo menyelinap masuk, meletakkan tulang itu diam-diam di dekat cakar Chiki, lalu segera keluar lagi, bersembunyi sambil mengamati.

Hatinya berdebar harap. Akankah Chiki menyadarinya? Akankah ia mengerti?

Chiki, yang memang sensitif terhadap gerakan kecil, hanya melirik sekilas ke arah tulang itu. Matanya yang tajam memindai tulang itu sejenak, lalu beralih ke Dodo yang bersembunyi. Tidak ada senyum, tidak ada anggukan, bahkan tidak ada purr lembut. Chiki hanya melirik sekilas, lalu kembali cuek, memejamkan mata dan melanjutkan tidurnya. Tulang itu terabaikan.

Hati Dodo terasa sedikit perih, namun ia tidak menyerah. Sikap cuek Chiki justru menjadi tantangan. Ia percaya, suatu hari nanti, usahanya akan membuahkan hasil. Setiap hari, ia akan mencari "hadiah" lain—entah itu potongan tulang, remahan daging kecil, atau bahkan daun kering yang unik—dan menaruhnya diam-diam di dekat Chiki, berharap ada satu momen ketika Chiki akhirnya menyadari dan meresponsnya. Dodo tahu, ini akan menjadi perjuangan panjang, tetapi untuk Chiki, ia rela melakukannya.


Momen Kebersamaan:


Pagi itu, langit seolah menangis. Hujan turun dengan sangat deras, membasahi setiap sudut pasar yang biasanya ramai. Suara rintik air yang menghantam atap seng dan genangan di mana-mana membuat suasana terasa lebih murung dari biasanya. Para pedagang bergegas menutupi dagangan mereka, sementara beberapa kucing mencari tempat berteduh di bawah terpal atau kolong lapak yang lebih aman.

Dodo, yang sudah terbiasa dengan cuaca buruk, sudah lebih dulu berteduh di bawah meja lapak ayam potong Pak Budi. Ia meringkuk di atas karung goni usang yang hangat, sesekali menjulurkan kepalanya untuk melihat guyuran hujan di luar. Angin dingin yang sesekali menerpa membuat bulu hitamnya sedikit mengembang.

Tiba-tiba, sebuah siluet basah muncul dari balik guyuran hujan. Dengan langkah tergesa namun tetap anggun, Chiki datang. Bulunya yang berwarna mujair kini tampak lebih gelap karena basah kuyup, dan beberapa helainya menempel di tubuhnya yang ramping. Chiki tidak mengeong, tidak mengeluh. Tanpa ragu, ia melompat ringan, lalu menyelinap masuk ke bawah meja, tepat di samping Dodo.

Dodo yang sedang melamun, terkejut setengah mati. Jantungnya langsung berpacu kencang, lebih cepat dari detak pisau Pak Budi saat memotong ayam. Ia tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Chiki, yang selalu menjaga jarak dan cuek, kini hanya berjarak beberapa senti darinya. Dodo menahan napas, takut setiap gerakan kecilnya akan mengganggu ketenangan Chiki dan membuatnya pergi lagi.

Chiki, tampaknya tak menyadari gejolak dalam hati Dodo, hanya menggoyangkan sedikit tubuhnya untuk mengusir air yang menempel, lalu meringkuk di atas karung goni, di sisi yang berlawanan dengan Dodo. Ia memejamkan mata, seolah menyerahkan diri pada kehangatan tempat itu. Suara purr lembut mulai terdengar, menandakan Chiki merasa nyaman.

Mereka berbagi ruang kecil di bawah meja itu. Suara hujan di luar menjadi latar belakang yang syahdu, memisahkan mereka dari dunia luar yang dingin dan basah. Kehangatan tubuh mereka yang saling berbagi, meskipun tak bersentuhan, terasa begitu nyata. Dodo hanya bisa tersenyum kecil. Senyum yang malu-malu, nyaris tak terlihat, namun penuh kebahagiaan. Ia menatap Chiki dari ujung, mengagumi setiap inci bulunya yang kini basah, setiap tarikan napasnya yang teratur. Untuk pertama kalinya, Dodo merasa begitu dekat dengan Chiki, tanpa harus berusaha keras atau melakukan hal-hal konyol. Kehadiran Chiki di sisinya sudah lebih dari cukup.

Itu adalah momen sederhana, tanpa kata-kata, namun begitu berarti bagi Dodo. Momen kebersamaan yang tulus, di mana rasa gugup Dodo sedikit demi sedikit tergantikan oleh kelegaan dan kehangatan yang menjalar. Mungkin Chiki tidak menyadari perasaan Dodo, tetapi bagi Dodo, berbagi tempat berteduh di bawah meja Pak Budi, di tengah hujan deras, adalah hadiah paling indah yang pernah ia dapatkan.




Penutup Manis:



Sejak pagi yang diguyur hujan deras itu, ada perubahan halus namun signifikan dalam dinamika di lapak ayam potong Pak Budi. Seolah-olah hujan telah membasuh sebagian dari sifat cuek Chiki, atau mungkin, kehangatan yang Dodo berikan dalam keheningan telah menembus pertahanannya.

Dari hari itu, Chiki mulai lebih sering mampir. Bukan hanya untuk mencari makan, melainkan juga untuk berada di sana. Dan yang paling penting bagi Dodo, Chiki seringkali memilih untuk duduk atau berbaring di dekatnya. Mungkin bukan di samping persis, tapi cukup dekat sehingga Dodo bisa merasakan kehadirannya, dan kadang-kadang, bahkan merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuh Chiki.

Chiki masih menjadi Chiki yang cuek, tenang, dan mandiri. Ia masih datang dan pergi sesuka hati, tidak pernah terlalu terikat. Namun, kini ada pola baru: seringkali ia akan menemukan Dodo terlebih dahulu, lantas memilih tempat di dekatnya. Jika Dodo sedang tidur di bawah meja, Chiki mungkin akan meringkuk di sisi lain karung goni yang sama, atau bahkan melompat ke atas meja di atas kepala Dodo, seolah menjadi penjaga senyap.

Hubungan mereka tak perlu banyak kata, atau lebih tepatnya, tak perlu banyak meongan. Komunikasi mereka terjadi melalui hal-hal kecil: satu tatapan hangat dari Dodo yang penuh kekaguman, yang kadang dibalas dengan satu kedipan malu-malu dari Chiki—sebuah respons langka yang membuat hati Dodo melonjak kegirangan. Ada kalanya, ketika Chiki membersihkan bulunya, ia akan menjilat sedikit bulu Dodo yang terjangkau, sebuah sentuhan lembut yang tak pernah Dodo bayangkan akan ia rasakan.

Lapak ayam potong Pak Budi, yang tadinya hanya sekadar tempat berlindung dan mencari makan, kini menjadi saksi bisu dari sebuah kisah kasih yang unik. Sebuah kisah di mana seekor kucing hitam pemalu menemukan keberanian dalam kekagumannya, dan seekor kucing bermotif mujair yang cuek akhirnya menemukan kenyamanan dalam sebuah kehadiran yang setia.

Mereka berbagi satu tempat aman di bawah meja pemotongan, di mana suara pisau dan aroma pasar berbaur dengan bisikan hati yang tak terucap. Mereka adalah Dodo dan Chiki, dua jiwa yang berbeda, namun menemukan ikatan tak terduganya di tengah hiruk pikuk dunia, membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di lapak ayam potong.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)