Cerpen
Disukai
1
Dilihat
37
Cerita Pemanis Kopi
Self Improvement
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Fahrana berjalan dengan santai melewati sebuah kedai yang melayani orang-orang untuk sarapan pagi. Tujuannya, ke sebuah warung yang menyediakan bahan-bahan yang akan dimasak, untuk keluarga tercinta, yang berada tepat di seberang jalan. 


Empat tahun terakhir ini, setelah ditinggal mati oleh sang suaminya, semua kendali bertumpu padanya, agar anak-anak mereka bisa hidup dengan layak. Tidak ada yang aneh dari wanita muda itu, walaupun kesedihan yang dalam menimpanya, dia nampak tegar dan sabar, diantara pancaran mata, yang lelah lahir dan batin, karena semuanya ditangani oleh hanya dirinya sendiri. Dia wanita yang berpendidikan, memiliki profesi yang baik, seperti wanita karir pada umumnya. Yang aneh adalah tatapan mata, sebagian dari para laki-laki, yang tersimpan penyakit hati, yang hobi mengolok-olok, karena statusnya sebagai seorang janda.


Gestur tubuhnya pun penampakkan dia wanita yang terhormat, dan berwibawa, yang jauh dari kesan genit, untuk mencari perhatian. Tapi, yang namanya hidup, biasanya permasalahan, kalau bukan datang dari kita sendiri, tentu dari orang lain. Ya. Orang lain yang dalam hatinya, menyimpan daging busuk, dan siap meluncurkan kata-kata, kotor cabul, dangkal, ada saja jalan baginya untuk menciptakan lelucon yang menjengkelkan, walaupun Fahrana tergambar kalem dan tegas. 


Orang-orang di sekitar kampung itu, yang mengenalnya, menyapa Seperti biasa, diantara ramai pengunjung di warung itu, yang senantiasa laris manis, dan selalu habis di kala matahari sudah lewat sepenggalahan. 


Di kedai sarapan pagi yang bernama “Warung Kopi Bunda Upi” itu terlihat sangat ramai. Meja dan kursi penuh di padati pelanggan, yang biasanya terdiri dari kaum pekerja, terutama pegawai negeri, swasta, masyarakat, dan buruh, yang akan mengisi perutnya agar mampu bekerja sampai siang nanti.


Salah satu meja yang menghadap ke jalan, memperhatikan Fahrana dengan seksama. Dimeja itu terdiri dari Mia, Luse, Intan, Randy, David, Hendri, dan yang paling senior, Dedi. Kedai yang berada di persimpangan itu, selalu menjadi langganan mereka. Dedi sengaja mengajak para wanita, agar mereka bisa ditraktir, untuk sarapan pagi hari ini. Jadi selamatlah sarapan pagi mereka. Maklumlah kini tanggal tua. Walaupun mereka tidak begitu akrab sebenarnya, tapi satu sama lain saling menjaga keharmonisan dan kekompakan dalam kantor. 

“Ded, lihat itu, ada janda, masih bahenol, sepertinya butuh diselamatkan.” Ujar Randy, yang sengaja mengalihkan pembicaraan ketika melihat Fahrana lewat.

“Berapa umurnya, masih cantik, ayo Ded,” timpal Hendri menyemangati david.

“Apaan sih, jaga tu pandangan mata, ingat istri dan anak. kalian.” Timpal Mia yang terlihat kesal.

“Masalahnya juga kalau kami mempunyai cita-cita ingin menyelamatkan para janda,” pungkas Hendri.

“Menyelamatkan? Yakin?” Serang luse yang juga terlihat kesal ulah teman sekantornya.

“Menyelamatkan janda itu pahalanya besar,” sahut david dengan wajah serius.


Melihat semangat bapak-bapak itu Mia menoleh pada Luse. Mereka saling heran, kemudian saling pandang, lalu cekikikkan.

“Menyelamatkan katanya? Cicilan nya aja banyak.” Entah siapa yang ngomong, tapi membuat wajah bapak-bapak yang semeja dengannya itu sedikit merah.

“Mau numpang hidup atau menyelamatkan?” Mia menyerang.

“Apa sih Mi, ini cuma pemanis minum kopi pagi tau?” serangang balik datang dari Randy.

“Iya sih, kalau nggak suka kenapa nggak diam aja,” bela David kepada temannya. 

“Tapi ini udah pelecehan namanya, kalau dia tahu jadi bahan omongan gimana coba?” Tukas Mia.

“Ya janganlah sampai kalian kasih tahu, kita cuma bercanda kok,” jawab david lagi.

“Bercanda? Jalan hidup orang lu jadiin bahan candaan? Ingat kalian juga punya anak gadis.” Mia tidak bisa lagi menahan amarah.


Hanya Intan yang diam, tanpa mengeluarkan kata sepatah pun. Pembicaraan yang didengarnya, bukan hal yang pertama kali. Baik yang keluar dari teman-teman mereka maupun di luar kantor. Semua pembicaraan tidak bertukar dari penyelamatan wanita yang telah ditinggal oleh suaminya. 


Dalam diamnya intan mengamati Fahrana yang sedang asyik memilah sayuran dan keperluan lain yang akan dimakan oleh mereka. Nampaknya Fahrana sangat sederhana, sopan, cerdas, tegas, tentu saja masih cantik, karena wanita yang berumur empat puluh tahun itu juga pandai merawat diri. Walaupun berpakaian serba tertutup, auranya kecantikan terlihat jelas di wajahnya. Tapi mengapa pandangan orang-orang di warung itu bahkan rekan kerjanya juga ikut mengolok-oloknya.


“Se, coba perhatikan gestur kakak itu, dia nggak genit kok, nampak shalehah juga,” kata Intan pada Luse.

“Ya iya lah, dia itu dosen di UIN, aktif juga di kajian-kajian. Cuma bapak-bapak ini aja yang baper.


Seolah tidak mengindahkan, perasaan wanita-wanita yang duduk satu meja dengannya.  Para lelaki itu terus, saja berguyon, dan berkelakar, tentang indahnya poligami. Agama membolehkan. itu menjadi dasar mereka, makin lama pembicaraan tentang poligami, tujuan menyelamatkan janda, makin lama menjadi semakin bersemangat. Seolah ingin melaksanakan sunnah rasul. Ditambah lagi mereka tahu, kalau Fahrana yang berpendidikan dan memiliki profesi, semangat mereka, semakin menggebu-gebu.


Perdebatan antara pria dan wanita di meja itu tidak dapat dielakkan lagi, sedikit agak riuh, dan menjadi pusat perhatian pengunjung yang ingin sarapan pagi di kedai itu. Sesekali, pengunjung lain pun menimpali, debat panas mereka. Tidak ada yang mau mengalah. Semuanya ada dasarnya. 

“Agama membolehkan, apa lagi, siapa yang bisa melarang.” Kata Hendri dengan panas.

“Iya, bahkan, boleh kok sampai empat, kalau mampu.” disambut oleh pengunjung lain.

“Kalau tidak percaya lihat surat An-Nisa yang artinya nikahilah olehmu satu, dua, tiga atau empat wanita. Tu, salahnya dimana?” Ujar Randy.

“Sambungannya apa Ran? kalau takut tidak bisa berlaku adil maka nikahilah seorang saja.” Kali ini Intan ikut juga berdebat.


Dasar bapak-bapak, yang disampaikan oleh Intan, tidak di gubrisnya, dan dia menganggap Intan berkilah, dan mencari alasan kalau poligami itu dilarang. Dari pada berdebat pada hal yang tidak jelas, Intan lagi-lagi memilih diam. dan lanjut makan, bahkan untuk menghilangkan kesalnya dia memesan chappuchino blender, dan menyeruputnya dengan perlahan. Tak sampai disitu, Intan juga memakan hampir semua jenis jajanan yang disediakan di meja itu. Dia tidak peduli, siapa yang akan membayar semua yang ada di atas meja itu.


Debat kusir tentang poligami terus berlanjut, tapi sudah agak dingin hawanya karena mereka semua kehabisan bahan. Seorang wanita yang mengenal Intan, dari meja lain  berceloteh.

“Intan menurutmu bagaimana poligami yang kan dilakukan teman-teman mu ini?” Dia bertanya pada Intan, dengan nada sedikit kesal.

“Kalau mau mendengarkan poligami, cukup dengar saja penjelasan para Fuqaha saja kak. Ahli fiqh, jangan juga didengar dari ustadz yang belum sampai ilmunya, atau orang-orang lain seperti yang kakak lihat ini, yang berbicara seolah olah sudah hebat saja. Yang benar-benar paham akan fiqh, penjelasan yang diuraikannya, akan lebih mudah dipahami, lebih senang didengar,  karena berdasarkan hasil kajian, dalil Al-Quran dan hadist. Bahkan kita akan diberikan pemahaman dalam empat mazhab, dan dijelaskan satu persatu. Menurut mazhab, Syafi’i bagaimana, Maliki bagaimana, atau Hanafi atau Hambali. begitu kak. Aku tu, diam aja dari tadi, bahkan semua cemilan hampir habis, karena merasa nggak ada yang perlu aku dengarkan, makanya aku makan.” Jelas Intan.

Penjelasan Intan, yang  panjang lebar kepada kenalannya itu, cukup membuat seisi warung terdiam. Yang jelas, kata-kata Intan, sedikit menusuk bagi bagi Randy dan Hendri yang dikenal sebagai yang paling alim di kantor. Bahkan mereka sudah dinobatkan sebagai penasehat spiritual bapak direktur.

Intan paham kalau mereka tersinggung, tapi mau bagaimana lagi, kadang-kadang kelakar tentang poligami, menyelamatkan janda, di mulai dari mereka. Entah dari mana mereka, dapat ide, untuk menghidupkan suasana. orang yang sudah ditinggalkan junjungan, pegangan hidup dijadikan bahan olok-olok, seolah janda boleh menjadi bahan ejekan dan objek pelecehan seksual saja. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)