Masukan nama pengguna
Pohon Beringin, Saksi Bisu
Di suatu desa yang tenang bernama Mekarjati, waktu seolah berhenti berputar. Rumah-rumah penduduk, dengan atap genting merah dan dinding kayu yang usang, berjejer rapi di sepanjang jalan setapak berkerikil. Aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk adalah wewangian abadi di sana, bercampur dengan sesekali hembusan angin membawa harum masakan rumahan. Namun, di tengah ketenangan itu, ada satu entitas yang tak pernah luput dari perhatian: sebuah pohon beringin tua yang menjulang perkasa di tengah ladang, tidak jauh dari pemukiman. Batang pohonnya yang keriput dan akarnya yang menggantung ke tanah seperti tirai, menyimpan beribu kisah.
Bagi penduduk Mekarjati, pohon beringin itu bukan sekadar pohon. Banyak cerita dan mitos berkembang soal pohon itu. Konon, ada roh penunggu yang menghuni, menjaganya dari tangan jahil. Beberapa percaya, pohon itu adalah penanda waktu, gugurnya daun-daun tertentu atau munculnya buah yang tak biasa, seringkali diikuti oleh kejadian besar di desa. Namun, yang paling sering disebut-sebut adalah bahwa pohon itu jadi saksi bisu kejadian kelam di masa lalu, sebuah tragedi yang tak pernah benar-benar lekang dari ingatan kolektif desa. Anak-anak dilarang bermain di bawahnya saat senja, dan para ibu selalu mengingatkan agar tak berani menatapnya terlalu lama, seolah takut terhisap dalam pusaran kenangan kelamnya.
Arman, seorang pemuda perantau berusia dua puluh delapan tahun, kini kembali ke desa itu. Bertahun-tahun lamanya ia mencari penghidupan di kota besar yang hiruk pikuk, mencoba melarikan diri dari bayangan Mekarjati. Ia telah melihat gemerlap lampu kota, merasakan dinginnya beton apartemen, dan kesendirian di tengah keramaian. Namun, semua itu tak pernah bisa mengisi kehampaan yang ditinggalkan oleh masa lalunya. Ibunya telah tiada, dan rumah kayu peninggalan orang tuanya yang sederhana menjadi satu-satunya alasan baginya untuk pulang. Sebuah warisan fisik, namun lebih dari itu, ada beban psikologis yang belum selesai… sesuatu dari masa kecilnya yang terus menghantui. Sebuah janji yang tak tertunaikan, sebuah memori yang menusuk.
Setiba di desa, Arman disambut bukan dengan riuhnya klakson atau bisingnya kota, melainkan dengan udara dingin yang menusuk tulang dan kabut tipis yang menelusup ke sela-sela pepohonan pinus, menciptakan atmosfer misterius. Ia turun dari ojek langganan desa, yang dikendarai oleh Pak Darto, seorang lelaki paruh baya dengan senyum ramah namun menyimpan banyak cerita. Arman berdiri sejenak, memandangi rumah lamanya yang seolah menyusut dalam ingatannya, kini tampak lebih kecil dan lebih tua dari yang ia ingat. Catnya mengelupas, jendelanya berdebu, dan taman kecil di depannya dipenuhi ilalang.
Namun, mata Arman tak bisa berlama-lama tertuju pada rumah. Pandangannya selalu berakhir pada pohon beringin di seberang ladang, yang kini tampak lebih besar, lebih angker, dan entah mengapa, lebih mendominasi pemandangan.
"Masih berdiri aja dia..." gumam Arman, suaranya tercekat. Suara itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan pahit yang tercampur rasa nostalgia dan kengerian.
Pak Darto, si tukang ojek, seolah bisa membaca pikiran Arman. Sebelum berbalik dan menghilang di tikungan jalan, ia sempat berpesan dengan nada serius, jauh dari keramahan sebelumnya. “Jangan main ke barat sore-sore, Man. Pohon itu... masih marah.” Mata tuanya menatap Arman dengan pandangan memperingatkan.
Arman hanya tersenyum samar. Sebuah senyum lelah yang dipaksakan. Ia pikir, itu hanya mitos turun-temurun, bumbu cerita desa yang tak pernah hilang. Baginya, itu hanyalah takhayul belaka, upaya orang tua menakut-nakuti anak-anak agar tak jauh bermain. Ia mengabaikan peringatan Pak Darto, karena ia merasa cukup dewasa untuk tidak percaya lagi pada dongeng. Ia menarik napas dalam, mencoba menghirup udara masa lalu yang terasa dingin dan berat.
Tapi malam pertama di rumah, semua keyakinan Arman tentang mitos itu berubah.
Malam itu, jam menunjukkan sekitar pukul 11.00 malam. Desa sudah sepenuhnya terlelap, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan yang memecah kesunyian. Arman berbaring di tempat tidurnya yang dulu, selimut tipis tak mampu mengusir hawa dingin yang menusuk. Pikirannya melayang pada kenangan lama, pada tawa Lila, pada hari tragis itu. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa mengusir bayangan-bayangan itu.
Tiba-tiba, suara ranting patah yang kering terdengar dari luar jendela, seperti langkah kaki raksasa yang menginjak dedaunan kering. Suara itu jelas, bukan ilusi. Kemudian diikuti suara langkah kaki... pelan tapi pasti, menyeret, seolah mendekat ke arah rumahnya. Jantung Arman berpacu kencang. Ia mengintip lewat celah kecil gorden. Tidak ada siapa pun. Hanya gelapnya malam dan siluet pepohonan. Tapi ada yang aneh. Pohon beringin itu... tampak lebih dekat dari seharusnya, seolah ia telah bergerak mendekati rumah.
Kabut malam yang semula tipis, kini turun sangat tebal, menyelimuti ladang, menelan rumah-rumah penduduk dan membuat pandangan Arman terbatas hanya beberapa meter di depannya. Atmosfer di luar terasa mencekam, dinginnya kabut seolah membawa hawa lain yang bukan dari udara.
Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba terdengar suara lirih, seperti bisikan yang terbawa angin dingin:
> “Man... Ar... man…”
>
Suara itu sangat akrab, namun menusuk ke relung hati Arman. Itu bukan suara dari dalam rumah, bukan bisikan angin biasa. Suara itu datang dari arah pohon beringin. Sebuah panggilan yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun.
Arman, didorong oleh campuran ketakutan dan rasa penasaran yang tak tertahankan, memutuskan untuk keluar. Hanya bersenjatakan senter kecil yang hampir habis baterai dan keberanian yang entah datang dari mana. Ia melangkah keluar ke beranda, lalu menuruni anak tangga, menuju kegelapan yang diselimuti kabut. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya menembus lumpur tak terlihat.
Ketika kakinya menyentuh tanah basah di bawah pohon beringin, ia melihatnya. Seekor kucing hitam pekat duduk dengan tenang di antara akar-akar pohon, menatapnya dengan sorot mata yang aneh—sorot mata yang bukan seperti mata kucing biasa, melainkan penuh pemahaman, seolah kucing itu mengerti segala sesuatu tentang dirinya. Dan yang paling ganjil, bayangannya menghadap ke arah sebaliknya dari arah datangnya senter Arman, seolah bayangan itu memiliki sumber cahaya sendiri, atau tidak terikat pada hukum fisika.
Dari balik kabut tebal yang menyelimuti segala arah, tiba-tiba terdengar suara tangisan perempuan yang lirih, namun penuh kepedihan dan tuduhan:
> "Bukan aku yang salah... bukan aku... yang salah..."
>
Suara itu semakin keras, berputar-putar di kepalanya, menuduh, menyalahkan. Tangan Arman bergetar hebat. Dan saat itu juga, senter Arman padam. Gelap gulita total menyergap, menelan semua cahaya, semua harapan. Arman merasakan dinginnya kabut yang lebih pekat, seolah-olah ia telah memasuki dimensi lain.
Saat ia mencoba menoleh, mencari arah, mencari titik terang, rumahnya tak lagi terlihat. Ladang yang luas itu telah berubah menjadi labirin kabut yang menyesatkan. Ia tersesat, bukan hanya di dalam ladang, tapi juga di dalam pusaran masa lalunya sendiri.
Di tengah labirin kabut itu, yang kini terasa lebih dingin dan lebih pebal, Arman mulai merasakan detak jantungnya berpacu lebih kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena sebuah firasat aneh yang bercampur kerinduan. Ia tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanyalah ilusi dari pikirannya sendiri. Suara-suara tangisan dan bisikan tadi kini mereda, digantikan oleh suara yang lebih membuai.
Tiba-tiba, dari balik gumpalan kabut, Arman melihat bayangan anak-anak bermain. Siluet mereka bergerak lincah, berkejaran, melompat-lompat. Suara tawa riang mereka… suara tawa yang sangat ia kenal, suara yang telah menghantuinya dalam mimpi terburuknya, namun juga kerinduan yang paling dalam. Suara tawa yang dulunya mengisi hari-hari ceria di desa itu.
Ia berjalan mendekat, langkahnya tertatih, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Semakin dekat, semakin jelas bayangan itu membentuk wujud. Beberapa anak laki-laki dan perempuan sedang bermain petak umpet, seperti yang sering mereka lakukan di masa kecil. Dan kemudian, salah satu anak perempuan itu berhenti bermain. Dia menoleh, menatap Arman dengan mata yang jernih, namun menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Arman... kamu ingat aku?" Suara itu terdengar lembut, namun menggetarkan relung jiwa Arman.
Arman tercekat. Napasnya tertahan di tenggorokan. Gadis kecil itu… adalah Lila. Sahabat masa kecilnya. Gadis yang dulunya ceria, suka sekali menanam bunga di halaman rumahnya yang kecil, dan sering bertengkar kecil dengan Arman soal siapa yang lebih jago bermain kelereng di sore hari. Lila yang selalu menjadi pendengar setia setiap kali Arman punya cerita aneh atau mimpi-mimpi liar. Lila yang memiliki binar mata paling terang di antara teman-teman sebaya mereka.
Tapi Arman juga tahu, Lila telah lama tiada. Kematiannya adalah luka menganga di hati desa, dan di hati Arman sendiri.
Ia teringat dengan jelas hari itu. Belasan tahun silam. Hujan baru saja reda, dan tanah masih licin. Mereka bermain petak umpet di sekitar pohon beringin yang masih muda. Lila, yang selalu penuh semangat, bersembunyi di suatu tempat yang tak terduga. Tiba-tiba, jeritan pilu terdengar. Lila terperosok ke dalam lubang yang tertutup semak belukar di dekat pohon beringin, sebuah lubang yang mungkin dulunya bekas galian atau rongga akar pohon yang sudah lapuk. Mereka semua panik. Arman dan teman-teman lainnya… mereka takut. Mereka masih terlalu kecil, terlalu polos untuk menghadapi kematian. Dalam ketakutan dan kebingungan, mereka kabur. Meninggalkan Lila tertinggal di dalam lubang itu, sendirian, di tengah hujan rintik yang kembali turun.
Jenazah Lila ditemukan tiga hari kemudian oleh warga desa yang melakukan pencarian besar-besaran. Tubuhnya pucat, dingin, dan kaku. Orang tuanya syok berat. Ayahnya jatuh sakit tak lama setelah itu, dan ibunya menyusul karena sakit yang disebabkan stres berat dan kesedihan yang tak tertahankan. Tragedi itu menghantam Mekarjati seperti badai, dan pohon beringin itu, dari hari itu, mulai dicap sebagai tempat berhantu.
Arman masih sangat kecil saat itu, baru berumur delapan tahun. Tapi rasa bersalahnya, seperti benih yang tertanam, tumbuh bersama tubuhnya. Setiap kali ia melihat pohon beringin, setiap kali mendengar nama Lila, rasa bersalah itu menggerogoti. Ia mencoba lari dari bayang-bayang itu dengan merantau, mencari kesibukan di kota yang bising, mencari pelarian dalam pekerjaan dan pergaulan yang hampa. Tapi ke mana pun ia pergi, bayangan Lila selalu mengikutinya, bisikan-bisikan tuduhan dari hati kecilnya sendiri.
Kini, di tengah kabut yang memisahkannya dari dunia nyata, ia berhadapan langsung dengan masa lalunya, dengan hantu yang paling ia takuti: dirinya sendiri dan penyesalannya.
"Aku nggak marah, Man... Tapi aku sedih," kata Lila, suaranya kini terdengar lebih dekat, seolah ia berdiri tepat di hadapan Arman, meski wujudnya masih samar dalam kabut. Matanya yang jernih, seperti di masa lalu, menatap lurus ke dalam jiwa Arman.
Arman tak mampu berkata-kata. Lidahnya kelu. Air matanya, yang telah ia tahan bertahun-tahun, kini tumpah ruah, membasahi pipinya. Ia jatuh berlutut di tanah yang dingin.
"Kamu nggak salah sendirian, Man," lanjut Lila, "kita semua anak-anak yang ketakutan. Tapi kamu nggak pernah kembali. Kamu tinggalkan semua ini. Aku... sendirian di sini. Sendirian dengan pohon ini."
Tiba-tiba, wujud Lila mulai berubah. Tubuhnya mengecil, rambutnya memudar, dan perlahan-lahan, ia berubah menjadi seekor kucing hitam kecil, sama persis seperti yang Arman lihat di bawah pohon beringin tadi. Bulu kucing itu tampak berkilau, dan matanya masih memancarkan kesedihan yang sama.
Kucing itu melompat ke pelukan Arman, bersembunyi di lekuk lehernya. Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Arman merasakan kehangatan yang nyata, bukan dinginnya rasa bersalah atau kehampaan kota. Kehangatan itu merambat dari kucing itu, menembus hatinya yang membeku.
"Kamu bisa istirahat sekarang, Lila," bisik Arman, suaranya bergetar menahan tangis. "Maaf... karena aku lari. Maaf... karena aku meninggalkanmu." Kata-kata itu, yang telah tertahan selama bertahun-tahun, akhirnya terucap, membawa serta seluruh beban yang ia pikul.
Saat kata-kata itu terucap, pohon beringin itu tiba-tiba bersinar samar, sebuah cahaya kebiruan lembut memancar dari batangnya yang tua, seolah memancarkan aura ketenangan dan pengampunan. Kabut yang tebal itu pun mulai menghilang pelan-pelan, seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Dalam hitungan detik, pandangan Arman kembali jelas. Rumahnya terlihat kembali di kejauhan, lampu-lampu desa mulai terlihat samar, dan siluet gunung menjulang di garis cakrawala.
Arman terbangun dengan mata basah dan napas terengah-engah. Jam menunjukkan pukul 4 pagi. Masih gelap di luar, namun fajar mulai menjingga di ufuk timur, mewarnai langit dengan gradasi oranye dan merah muda. Jantungnya masih berdegup kencang, namun ada rasa lega yang aneh merayap di dadanya. Apakah itu mimpi? Atau sebuah pertemuan di antara alam?
Ia berjalan keluar rumah. Udara pagi masih dingin, tapi tidak lagi mencekam seperti malam sebelumnya. Ia menatap pohon beringin di tengah ladang. Pohon itu masih berdiri kokoh, sama seperti biasanya, namun kini terasa berbeda di mata Arman. Ada aura damai yang menyelubunginya.
Di bawah pohon itu, seekor kucing hitam duduk dengan tenang, menatap Arman dengan sorot mata lembut, seolah mengucapkan selamat tinggal. Kucing itu tidak memiliki bayangan aneh seperti semalam, ia tampak seperti kucing biasa.
Kucing itu kemudian berbalik, berjalan pelan menjauh ke arah hutan di belakang ladang, dan menghilang ke balik pepohonan, membawa serta beban yang telah lama dipikul Arman. Kali ini, Arman tak lagi merasa sendirian atau dihantui. Sebuah babak baru telah dimulai.
Rangkuman Cerita:
Arman, seorang pemuda perantau, kembali ke kampung halamannya, Mekarjati, bukan hanya untuk menempati rumah warisan ibunya, tetapi juga untuk menghadapi trauma masa lalu yang tak pernah ia selesaikan. Bertahun-tahun dihantui rasa bersalah karena meninggalkan sahabat kecilnya, Lila, yang meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis saat bermain di dekat pohon beringin tua, akhirnya membawanya ke dalam pengalaman spiritual yang sangat nyata.
Pada malam pertamanya di desa, Arman terjebak dalam pusaran antara dunia nyata dan kenangan yang menghantui. Di tengah kabut tebal, ia bertemu kembali dengan arwah Lila dalam wujud bayangan anak-anak dan kemudian berubah menjadi kucing hitam—sebuah simbol penyesalan dan kenangan masa kecil yang tak pernah pergi. Melalui pertemuan yang mendalam itu, Arman menemukan keberanian untuk meminta maaf dan mengakui ketakutannya di masa lalu, sekaligus menerima kenyataan pahit yang telah ia hindari. Dan mungkin… Lila juga telah memaafkannya, melepaskan beban yang sama-sama mereka pikul.
Setelah pertemuan itu, Arman terbangun dengan perasaan yang berbeda. Kucing hitam itu, simbol dari Lila yang kini damai, pergi, membawa serta sisa-sisa penyesalan Arman.
Cerpen ini adalah pengingat bahwa penyesalan bisa tinggal lama di hati manusia, menghantui setiap langkah. Namun, dengan keberanian untuk menghadapi masa lalu dan menerima pengampunan—meski hanya lewat pengalaman spiritual yang samar—bisa menjadi jalan untuk melepaskan beban dan berdamai dengan diri sendiri.
Pohon beringin itu akan tetap berdiri di Mekarjati. Tapi kini, bukan lagi sebagai saksi bisu dari tragedi masa lalu yang kelam, melainkan sebagai lambang bahwa luka yang terdalam pun bisa sembuh… bila kita berani menghadapinya, berani meminta maaf, dan berani melepaskan. Arman kini siap melangkah, membawa serta pelajaran pahit namun berharga dari sang Pohon Beringin, Saksi Bisu.