Masukan nama pengguna
Judul: Canda Berujung Petaka di Malam Jumat Kliwon
Penulis : Bang Jay
Di sebuah desa yang masih memeluk erat hijaunya pepohonan dan jauh dari hingar bingar kota, hiduplah Rahman, yang di juluki "Kakek Warung". Seorang pria Paruh Baya yang dikenal dengan kebaikan hatinya dan kesuksesan warung makan serta warung sembakonya. Julukan "Kakek Warung" melekat padanya bukan hanya karena usianya yang matang, tetapi juga karena usahanya yang menjadi denyut nadi perekonomian desa. Rahman berasal dari keluarga petani sederhana, namun berkat kepintaran dan kerja kerasnya, ia berhasil membangun kemakmuran di tanah kelahirannya.
Sahabat karib Rahman sejak masa remaja adalah Jajang. Sebuah persahabatan yang unik, mengingat perbedaan latar belakang mereka. Rahman telah berkeluarga dan menikmati buah kesuksesannya, sementara Jajang adalah seorang Paruh baya seumuran Rahman yang hanya seorang buruh Tani.
Jajang yang sampai sekarang belum menikah selalu di panggil warga dengan sebutan "Bujang Lapuk". Pendidikan Jajang hanya sebatas bangku sekolah dasar, namun keramahan dan kebaikan hatinya membuatnya disayangi oleh seluruh warga desa. Bahkan, Rahman tak pernah melupakan jasa Jajang yang pernah membantunya di masa-masa sulit merintis usaha. Lebih dari sekadar balas budi, Rahman menganggap Jajang sebagai sahabatnya., dan bahkan bagian dari keluarganya sendiri. Semenjak bersahabat dengan Jajang. Jajang sudah mengetahui bahwa Rahman adalah orang yang suka iseng dan jahil.
Setiap malam, selepas isya, Jajang memiliki kebiasaan menonton hiburan di desa tetangga. Ia baru akan kembali ke desanya menjelang tengah malam. Rahman, yang sangat memahami rutinitas sahabatnya itu, seringkali memanfaatkan kesempatan ini untuk menjahili Jajang. Sebuah kain putih yang digantung di atas pohon di ujung jembatan kayu menjadi "kejutan" rutin yang selalu berhasil membuat jantung Jajang berdebar kencang. Sekalipun Jajang adalah seorang paruh baya, tetap saja dia masih memiliki rasa takut akan hal- hal seperti itu.
Meskipun demikian, Jajang tahu betul siapa pelakunya dan tidak pernah menyimpan dendam sedikit pun. Bahkan hingga mereka sama sama tua pun, Rahman masih suka iseng terhadap Jajang. Keisengannya bukan tanpa alasan. Tapi itulah cara mereka terus menjalin hubungan persahabatan yang sangat akrab.. Baginya, keisengan Rahman hanyalah bumbu persahabatan mereka.
Malam itu adalah malam Jumat Kliwon, malam yang dianggap sakral dan penuh misteri oleh sebagian masyarakat Jawa. Rahman beserta seluruh keluarganya sedang berada di kota, mengunjungi sanak saudara. Dalam benak Rahman, tidak terlintas sedikit pun niat untuk menjahili Jajang malam itu.
Namun, takdir berkata lain. Sekitar tengah malam, Jajang berjalan seorang diri menuju jembatan kayu yang menghubungkan desa tetangga dengan desanya. Suara jangkrik bersahutan memecah keheningan malam, dan cahaya bulan yang redup hanya mampu menerangi jalan setapak dengan samar. Jembatan kayu itu sendiri, dengan pohon-pohon besar yang menjulang di kedua sisinya, menciptakan kesan angker dan sunyi.
Seperti malam-malam sebelumnya, Jajang sudah mempersiapkan mentalnya. Ia yakin, keisengan Rahman akan kembali menyapanya dalam bentuk kain putih yang berkibar tertiup angin malam. Kewaspadaan sudah menjadi tamengnya setiap kali melintasi jembatan itu.
Akan tetapi, begitu tiba di ujung jembatan, sebelum kakinya menginjakkan kayu lapuk itu, matanya menangkap pemandangan yang berbeda. Sebuah kain putih berdiri tegak tepat di tengah jembatan. Jajang mengerutkan kening. "Kenapa kain putih itu ada di situ? Biasanya Rahman selalu menggantungnya di pohon," gumamnya dalam hati. Sebuah firasat aneh mulai menyelimuti benaknya. Ini bukan seperti keisengan Rahman biasanya. Ada sesuatu yang janggal.
Dengan langkah yang semakin pelan dan hati-hati, Jajang terus melangkah mendekat. Ia melihat kain putih itu berdiri tegak, namun bagian atasnya sedikit membungkuk, layaknya seseorang yang sedang rukuk dalam salat. Rasa penasaran bercampur kecemasan semakin kuat. Ia memberanikan diri melangkah lagi.
Tiba-tiba, kain putih itu bergerak. Ia berdiri tegak sepenuhnya dan dengan gerakan yang kaku namun cepat, melompat ke arah Jajang. Kain putih itu membuka bagian depannya, memperlihatkan wajah pucat pasi dengan mata hitam legam yang menatapnya tajam, dan sebuah seringai mengerikan yang membuat bulu kuduk Jajang berdiri. "Astaga... pocong!" teriak Jajang histeris.
Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan berlari sekencang-kencangnya, berusaha mencari pertolongan warga. Namun, malam sudah terlalu larut. Desa itu sunyi senyap, semua warganya sudah terlelap dalam mimpi masing-masing. Suara teriakan Jajang hanya memecah keheningan malam yang mencekam, berbaur dengan suara angin yang mendesir di antara pepohonan besar dan rumah-rumah yang masih jarang dan berjauhan. Suasana desa yang asri namun sunyi itu kini terasa begitu menakutkan.
Jajang menoleh ke belakang, ke arah jembatan. Sosok pocong itu masih berdiri di sana, kemudian melompat-lompat mendekatinya dengan gerakan yang aneh dan mengerikan. Ketakutan yang luar biasa melumpuhkan tubuh Jajang. Pandangannya berkunang-kunang, dan sebelum ia sempat melakukan apa pun, kesadarannya menghilang. Ia pingsan di tengah jalan setapak yang dingin.
Keesokan harinya, ketika warga desa mulai beraktivitas, seorang petani yang hendak pergi ke ladang menemukan Jajang tergeletak pingsan di pinggir jalan, tidak jauh dari jembatan. Warga segera berkerumun dan membawa Jajang kembali ke rumahnya. Setelah sadar dan menceritakan dengan suara gemetar apa yang telah menimpanya di malam itu, ketakutan menyebar di antara warga desa. Mereka merasa bulu kuduk berdiri membayangkan kengerian yang dialami Jajang. Karena selama ini kedua desa yang terpisah oleh sungai itu tidak pernah mengalami gangguan makhluk halus.. Mereka yakin mungkin ini karena ulah Rahman yang suka iseng menjahili Jajang. Meskipun begitu,, warga tidak sepenuhnya menyalahkan Rahman..
Beberapa warga kemudian berinisiatif menuju rumah Rahman untuk mencari tahu apakah ia melihat sesuatu yang aneh sebelum pergi ke kota. Namun, mereka mendapati rumah Kakek Warung kosong. Rahman dan keluarganya masih berada di kota.
Jajang, yang yakin bahwa ia benar-benar berhadapan dengan makhluk gaib, mengalami trauma yang mendalam. Ia tidak lagi berani pergi ke desa sebelah untuk menonton hiburan larut malam. Bahkan, untuk pergi ke warung membeli rokok pun, ia selalu meminta ditemani oleh warga lain. Ia berharap Rahman (kakek warung) segera pulang dari kota. Karena dia sudah tak sabar untuk menceritakan apa yang menimpanya malam jum'at kliwon itu..
Beberapa hari kemudian, setelah Kakek Warung dan keluarganya kembali ke desa, Jajang beserta beberapa warga yang bersamanya mengunjungi rumah Rahman. Jajang memberanikan diri menceritakan semua kejadian mengerikan di malam Jumat Kliwon itu. Rahman terkejut bukan main. Ia merasa bersalah dan menyesal. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi.
Ternyata, perbuatan iseng yang selama ini ia anggap sebagai candaan biasa, bahkan sering ia lakukan, justru mengundang makhluk gaib untuk menunjukkan eksistensinya di desa mereka yang tenang. Malam Jumat Kliwon itu telah mengubah segalanya, meninggalkan bekas ketakutan yang mendalam di hati Jajang dan menyadarkan Rahman akan bahaya dari "candaan" yang salah sasaran.
Akhirnya warga desa yang ada di desa tempat Rahman tinggal dan warga yang ada di desa tempat Jajang tinggal bekerja sama untuk membangun pos kecil di dekat jembatan untuk berjaga setiap malam secara bergantian. Mereka berharap kejadian yang menimpa Jajang tidak di alami oleh orang lain. dan mereka membuat aturan untuk tidak pergi kemana-mana pada malam hari seorang diri. Apalagi sampai pulang larut malam.