Masukan nama pengguna
Langit senja tampak seperti luka yang belum sembuh terlihat merah, lebam, dan perlahan menghitam. Di sudut atap gedung sekolah, berdirilah seorang remaja perempuan bernama Livia. Seragam putih abu-abunya berkibar tertiup angin. Matanya menatap kosong ke jalanan yang jauh di bawah, sementara tangan mungilnya meremas secarik kertas kusut berisi tulisan terakhir yang belum tentu akan dibaca siapa pun.
“Aku lelah,” bisiknya, entah kepada siapa.
Livia bukan remaja yang dicari-cari guru karena nilai tinggi. Bukan pula yang ditunggu-tunggu teman karena kehadirannya membawa tawa. Dia biasa. Terlalu biasa, hingga keberadaannya seperti angin ada tapi tak pernah benar-benar diperhatikan.
Di rumah, ibunya terlalu sibuk bekerja, ayahnya pergi sejak ia masih kecil, dan adik kecilnya yang sakit-sakitan menyita semua perhatian. Di sekolah, ia sering menjadi bahan tertawaan karena tubuh kurus dan kacamata tebal yang selalu menempel di wajah. Komentar seperti "Kamu tuh kayak nggak niat hidup," atau "Pantas aja nggak punya temen," sering mampir ke telinganya tanpa diminta.
Setiap hari, Livia menyimpan semuanya dalam-dalam. Ia tersenyum ketika ditanya kabar, tertawa kecil jika diajak bercanda, dan berkata "baik-baik saja" padahal seluruh dunia di dalam kepalanya sedang runtuh satu per satu.
Ia pernah mencoba bercerita. Sekali. Kepada wali kelasnya. Tapi tanggapannya datar. "Jangan terlalu sensitif. Semua orang juga punya masalah."
Sejak saat itu, Livia belajar diam. Lebih baik sakit sendirian daripada sakit karena tak dipercaya.
***
Di tangannya, kertas itu terbuka perlahan. Tulisannya bergetar, tinta pena sempat luntur terkena air mata:
"Maaf untuk semuanya. Aku sudah mencoba kuat, tapi dunia ini tidak berpihak padaku. Aku tidak menyalahkan siapa pun, aku hanya ingin berhenti merasa kosong. Jika nanti ada yang ingat padaku, cukup ingat bahwa aku pernah berusaha menjadi baik, meski tak pernah cukup."
Livia menarik napas panjang. Langkahnya maju sedikit ke tepi. Angin bertiup lebih kencang, seolah mencoba menahannya, atau mungkin justru menyambut keputusannya.
Namun, sebelum langkah terakhir itu diambil, terdengar suara panik dari pintu atap yang terbuka keras.
“LIVIA!”
Suara itu membuatnya menoleh. Seorang siswi berambut pendek, bernama Amara adalah teman sekelas yang jarang ia ajak bicara, ia berlari mendekat dengan napas memburu.
“Apa yang kamu lakukan? Turun, ayo,” ujar Amara pelan, matanya berkaca-kaca.
Livia tersenyum miris. “Untuk apa? Tidak ada yang peduli.”
“Aku peduli,” ucap Amara. “Mungkin aku telat menyadarinya. Tapi aku pernah lihat tulisan kamu di buku harian waktu kamu tinggalin di meja. Aku... aku tahu kamu nggak baik-baik saja. Dan aku nyesel banget baru nyamperin sekarang.”
Livia diam. Dunia dalam dirinya terasa seperti gelas retak yang belum sepenuhnya pecah.
Amara berjalan pelan mendekat. “Kalau kamu jatuh sekarang, bukan cuma hidupmu yang selesai. Tapi juga semua kemungkinan. Kamu mungkin belum nemu orang yang tepat. Tapi mereka ada. Aku di sini. Kamu belum terlambat untuk diselamatkan.”
***
Malam itu, Livia tidak jadi mengakhiri hidupnya. Ia duduk di atap, bersama Amara, membicarakan semua yang selama ini ia simpan. Tangisnya pecah, tetapi kali ini bukan dalam kesepian tapi melainkan dalam pelukan seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi.
Dunia memang tidak selalu berpihak, tapi ia belajar bahwa mungkin, sesekali, dunia memberi seseorang untuk bertahan.
***
Catatan Penutup:
Jika kamu merasa seperti Livia, ingatlah bahwa suara hatimu penting. Bicaralah pada seseorang. Tidak apa-apa merasa lelah. Tapi jangan menyerah. Karena kamu
tidak sendirian. ❤️