Masukan nama pengguna
Pagi Yang Cerah
Suwanita menggeliat, sinar matahari pagi merangkak masuk melalui celah gorden, membelai wajahnya dengan kehangatan yang familiar. Aroma kopi yang baru diseduh mulai menyeruak dari dapur, beradu dengan wangi roti panggang yang renyah. Pagi ini, 15 Juni 2025, terasa sama seperti pagi-pagi lainnya dalam tiga puluh tahun hidupnya—penuh rutinitas yang menenangkan. Dia bangkit dari ranjang, merapikan selimut, dan melangkah menuju dapur, jubah tidur sutranya berdesir lembut.
Sambil menunggu air mendidih untuk kopi, jemarinya lincah meraih ponsel yang tergeletak di meja makan. Notifikasi berjejer, sebagian besar adalah pesan grup dari teman-teman kantor atau tawaran diskon dari aplikasi belanja. Namun, satu pesan menarik perhatiannya. Dari Dinda, sahabat SMA-nya yang sudah lama tidak ia hubungi.
"Selamat datang, kamu juga sudah tiba."
Suwanita mengerutkan kening. "Dinda?" gumamnya. Pesan itu terasa aneh, hampir seperti lelucon internal yang tidak ia ingat. Mungkin salah kirim? Atau Dinda sedang iseng. Ia mengetik balasan, "Maksudnya apa, Din? Tiba di mana?" sebelum menyadari bahwa ia tidak melihat indikator Dinda sedang online. Aneh. Terakhir kali ia berbicara dengan Dinda adalah dua tahun lalu, saat ulang tahun mereka yang ke-28. Dinda, yang selalu ceria dan penuh kejutan, kini jarang sekali muncul di radarnya. Suwanita ingat betul, Dinda selalu menjadi orang pertama yang memberinya kejutan ulang tahun, bahkan pernah rela datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk menemuinya. Sekarang, jangankan memberi kejutan, kabar pun jarang ia dengar.
Pikiran Suwanita melayang ke daftar belanjaan hari ini: sayuran segar, sedikit daging, dan mungkin beberapa bunga untuk mempercantik sudut ruang tamu. Hari ini hari Sabtu, jadi ia berencana membersihkan apartemen dan mungkin membaca buku yang sudah lama ia tunda. Sebuah pagi yang biasa, yang menjanjikan kedamaian. Ia membayangkan dirinya duduk di balkon dengan secangkir teh hangat, tenggelam dalam halaman-halaman novel favoritnya. Angin sepoi-sepoi, suara burung berkicau, dan aroma bunga yang baru dibeli akan menjadi latar belakang yang sempurna untuk relaksasi akhir pekan.
Ia meletakkan ponselnya, menyesap kopi yang uapnya mengepul lembut, dan mengambil sepotong roti panggang yang sudah ia olesi selai kacang. Semuanya terasa normal, bahkan terlalu normal untuk sebuah pesan misterius seperti itu. Mungkin memang Dinda salah kirim. Suwanita memutuskan untuk mengabaikannya, memilih untuk menikmati ketenangan pagi sebelum hiruk pikuk akhir pekan dimulai. Namun, secuil rasa penasaran tetap mengambang di benaknya, sebuah riak kecil di permukaan ketenangan yang sempurna. Ia merasa ada sesuatu yang janggal, sebuah perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Seolah-olah ada sebuah benang tipis yang putus, menghubungkannya dengan rutinitasnya.
Chat yang Mengganggu
Belum sempat Suwanita menghabiskan sarapannya, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, bukan hanya satu, melainkan serentetan notifikasi. Ia meraihnya dengan malas, mengira mungkin grup kantor mulai ramai atau Dinda membalas pesannya. Namun, apa yang dilihatnya membuat kopi di tangannya hampir tumpah. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk.
Nama-nama yang muncul di layar membuatnya membeku. Om Budi. Bibir Suwanita sedikit bergetar. Om Budi, paman kesayangannya, meninggal lima tahun lalu karena serangan jantung. Ia masih ingat betul saat-saat terakhir bersama Om Budi di rumah sakit. Om Budi selalu menyayanginya seperti anak sendiri, dan kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam di hati Suwanita. Pesan dari Om Budi berbunyi sama persis dengan Dinda: "Selamat datang, kamu juga sudah tiba."
Suwanita menelan ludah. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ini pasti lelucon. Atau mungkin... phishing? Ia mencoba menenangkan diri, akal sehatnya berteriak bahwa ini tidak mungkin. Ia membuka pesan dari Om Budi, tapi tidak ada riwayat percakapan. Hanya pesan tunggal itu. Ia mencoba mencari nomor telepon Om Budi di kontaknya, tapi nomor itu sudah tidak aktif.
Kemudian, notifikasi lain muncul. Bibi Lastri. Neneknya, yang meninggal setahun lalu. Pesannya sama. Lalu Pak Rudi, tetangga lamanya yang meninggal saat ia masih kecil. Ia bahkan tidak terlalu ingat wajah Pak Rudi, tapi ia ingat ibunya sering bercerita tentang kebaikan Pak Rudi semasa hidup. Dan Tante Mira, teman ibunya yang meninggal mendadak tahun lalu. Tante Mira adalah sosok yang ceria dan energik, dan kematiannya yang mendadak membuat Suwanita sangat terkejut.
Satu per satu, nama-nama dari masa lalunya, orang-orang yang ia yakini sudah tiada, muncul di layar ponselnya. Semua dengan pesan yang sama: "Selamat datang, kamu juga sudah tiba." Ia merasa seperti sedang berada dalam film horor, di mana hantu-hantu dari masa lalu bangkit kembali untuk menghantuinya.
Kepala Suwanita berputar. Ia merasakan dingin menusuk ke tulang. Tangannya gemetar saat mencoba menghubungi Dinda lagi, kali ini melalui panggilan suara. Nada sambung berbunyi panjang, tapi tidak ada jawaban. Ia mencoba menghubungi ibunya, ayahnya, kekasihnya, Rendy. Tidak ada yang mengangkat. Pesan WhatsApp yang ia kirimkan hanya memiliki centang satu, tidak terkirim. Ia merasa terisolasi, terputus dari dunia luar.
Panik mulai merayap naik, mencengkeram dadanya. "Ini tidak mungkin," bisiknya, suaranya tercekat. Ia meraih laptopnya, mencoba mencari tahu apakah ada berita aneh tentang ponsel diretas massal atau semacamnya. Tidak ada. Internet berfungsi normal. Media sosial teman-temannya aktif, mengunggah foto-foto sarapan, rutinitas pagi, dan rencana akhir pekan. Semua orang tampak baik-baik saja. Ia melihat foto Rendy yang sedang sarapan di sebuah kafe, tersenyum cerah. Ia merasa seperti sedang mengintip ke dunia lain, dunia di mana ia tidak ada.
Kecuali dirinya. Kecuali ponselnya, yang terus-menerus bergetar dengan pesan-pesan dari mereka yang seharusnya tidak bisa mengirim pesan lagi. Sebuah firasat buruk mulai menyelimuti, sebuah bisikan dingin yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat, sangat salah. Aroma kopi yang tadi menenangkan kini terasa menyesakkan, dan cahaya matahari yang lembut di pagi hari terasa seperti sorotan tajam yang menelanjangi ketakutannya. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali, di atas jurang yang dalam.
Tanda-Tanda Aneh
Suwanita berdiri di depan cermin besar di kamarnya, napasnya memburu, irama jantungnya menggedor-gedor di telinganya. Ia baru saja berlari ke kamar mandi, mencoba memercikkan air ke wajahnya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Ia mencoba menenangkan diri, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua ini akan baik-baik saja. Namun, saat ia mengangkat kepalanya, apa yang dilihatnya—atau lebih tepatnya, apa yang tidak dilihatnya—membuatnya menjerit. Jeritan itu keluar dari tenggorokannya tanpa bisa ia kendalikan.
Cermin itu kosong. Tidak ada pantulan dirinya. Hanya ubin kamar mandi dan wastafel di belakangnya yang terlihat jelas. Ia menggosok matanya, mencubit lengannya, berulang kali, mencoba memastikan ia tidak berhalusinasi. Rasa sakit kecil itu meyakinkannya bahwa ia tidak sedang bermimpi. Tapi mengapa… mengapa ia tidak terpantul di cermin? Ia merasa seperti sedang menghilang, seperti sedang memudar dari keberadaan.
Panik semakin menjadi-jadi. Ia mencoba meraih cermin itu, dan tangannya menembus permukaan dingin kaca seolah-olah cermin itu tidak ada. Ia menarik tangannya, terkejut. Sebuah sensasi aneh menjalar di lengannya, seperti sentuhan hampa. Ia merasa seperti sedang kehilangan sebagian dari dirinya.
Ia berbalik, matanya menyapu seisi kamar. Semuanya tampak sama. Seprai yang ia rapikan pagi tadi, buku di nakas, lampu tidur. Ia mencoba menyentuh meja nakas. Tangannya melesat menembusnya. Ia mencoba meraih cangkir kopi yang masih mengepul di meja makan. Jemarinya menembus porselen, dan ia tidak merasakan panasnya. Aroma kopi masih tercium, tapi ia tidak bisa merasakan teksturnya, suhunya, keberadaannya. Ia merasa seperti sedang berada di dunia lain, dunia di mana hukum fisika tidak berlaku.
Suara-suara dari luar apartemen—klakson mobil, tawa anak-anak dari taman bermain di seberang—terdengar samar, seolah berasal dari dunia yang berbeda. Ia mencoba membuka pintu, pegangannya terasa dingin di tangannya, namun tangannya menembusnya. Pintu itu tetap tertutup rapat, seolah tak ada yang mencoba membukanya. Ia merasa terperangkap, terkunci di dalam dunianya sendiri.
Air mata mulai mengalir di pipinya. "Apa yang terjadi padaku?" bisiknya, suaranya serak. Ia berlari ke jendela, mencoba membuka kuncinya. Sama. Tangannya menembus bingkai jendela. Dari balik kaca, ia melihat tetangga di seberang sedang menyiram tanaman, seorang ibu mengajak anaknya jalan-jalan. Mereka tampak begitu nyata, begitu hidup. Sementara dirinya… ia merasa seperti hantu. Ia merasa seperti sedang mengintip ke kehidupan orang lain, kehidupan yang tidak akan pernah bisa ia sentuh lagi.
Perasaan aneh ini, sensasi ketiadaan, mulai merayap dari ujung jari kaki hingga ke ubun-ubun. Pesan-pesan aneh di ponselnya, ketidakmampuan berinteraksi dengan benda fisik, dan kini, cermin yang menolak memantulkan bayangannya. Potongan-potongan puzzle yang mengerikan mulai bersatu, membentuk gambaran yang mustahil, yang sangat ia tolak. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tidak ada akhirnya.
Ia adalah seorang yang rasional, seorang akuntan yang terbiasa dengan angka dan fakta. Hal-hal seperti ini tidak ada dalam kamusnya. Namun, kenyataan di depannya terlalu nyata untuk diabaikan. Ia mencoba bernapas dalam-dalam, tapi napasnya terasa dangkal, seolah udara pun menolak untuk masuk ke paru-parunya. Ia merasa seperti sedang tenggelam, perlahan namun pasti.
Ini tidak mungkin. Aku pasti sedang bermimpi.
Tapi ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa ini bukanlah mimpi. Ini adalah awal dari sesuatu yang tak terbayangkan. Sesuatu yang ia tidak tahu bagaimana menghadapinya, atau bahkan apa namanya. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam kegelapan.
***Penolakan dan Kebingungan
Pikiran Suwanita kalut. Tidak mungkin. Ini pasti salah. Sebuah prank yang sangat kejam. Ia harus menemukan seseorang, siapa pun, yang bisa melihatnya, merasakannya, menegaskan keberadaannya. Dengan langkah panik, ia melesat keluar dari apartemen, menembus pintu yang seolah tak berwujud, dan berlari menuruni tangga. Setiap langkahnya terasa ringan, namun juga hampa.
Koridor apartemen sepi. Ia melihat tetangga sebelah, Bu Ratna, sedang keluar rumah dengan kantung sampah. Suwanita mencoba memanggil, "Bu Ratna! Ibu! Lihat saya!" Ia berteriak sekeras-kerasnya, berharap suaranya bisa menembus ketidaktampakan.
Bu Ratna hanya berjalan lurus, melewati Suwanita seolah ia adalah udara. Kantung sampahnya berdesir pelan, dan ia bahkan tidak menoleh. Suwanita mencoba meraih lengannya, tapi tangannya menembus jaket rajutan Bu Ratna. Sensasi dingin dan hampa itu kembali. Ia merasa seperti sedang mencoba meraih hantu, namun ia sendiri yang menjadi hantu.
Ia terus berlari, keluar dari gedung apartemen menuju jalanan yang ramai. Mobil-mobil melaju kencang, orang-orang berjalan tergesa-gesa, suara riuh kota membingungkan indranya. Ia mencoba berdiri di tengah jalan, berharap ada mobil yang menabraknya, membuktikan bahwa ia nyata. Namun, mobil-mobil itu melaju melewatinya, ban-ban berputar melintasi tubuhnya tanpa sentuhan sedikit pun. Ia bisa merasakan angin dari kecepatan mereka, tapi tidak ada benturan, tidak ada rasa sakit. Ia merasa seperti sedang berada di dunia lain, dunia di mana ia tidak memiliki wujud.
"Tolong! Siapa saja! Lihat aku!" teriaknya, suaranya parau, tapi ia tahu tidak ada yang mendengarnya. Kata-katanya hilang ditelan hiruk pikuk kota. Ia merasa seperti sedang berteriak di dalam ruang hampa, tanpa ada yang bisa mendengar.
Tujuannya berikutnya adalah rumah orang tuanya. Mungkin mereka, orang yang paling ia cintai di dunia, bisa melihatnya. Ia menaiki taksi, tetapi lagi-lagi, ia menembus jok kulitnya. Ia hanya bisa duduk di kursi penumpang, seolah taksi itu kosong, bergerak sendiri. Perjalanan terasa begitu lama, setiap detik adalah siksaan penolakan. Ia merasa seperti sedang melakukan perjalanan ke neraka, di mana setiap langkahnya hanya membawa rasa sakit.
Ketika akhirnya tiba di depan rumah masa kecilnya, hatinya berdebar tak karuan. Pintu rumah terbuka sedikit. Ia bisa mendengar suara ibu dan ayahnya dari dalam. "Ibu! Ayah!" pekiknya, menerobos masuk. Ia berharap, kali ini, harapannya tidak akan sia-sia.
Mereka duduk di ruang tamu, ibu merajut, ayah membaca koran. Sebuah suasana yang hangat dan familiar, namun terasa begitu jauh. Ia berdiri di depan mereka, wajahnya basah oleh air mata. "Ayah, Ibu, ini aku, Suwanita. Lihat aku!" Ia mencoba meraih tangan mereka, namun tangannya hanya menembus udara.
Ayahnya membalik halaman koran, ibunya menghela napas, "Kasihan ya, Wan. Rendy pasti terpukul sekali."
Rendy? Terpukul?
"Apa yang kalian bicarakan?" Suwanita menggigit bibirnya, kepanikan yang lebih dalam mencengkeramnya. Ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi buruk yang tidak ada akhirnya.
Flashback melintas di benaknya.
Suwanita baru saja selesai rapat di kantornya. Sore itu, ia merasa sedikit pusing, tapi ia abaikan. "Mungkin cuma kurang tidur," pikirnya. Ia ingat, ia terlalu fokus pada pekerjaannya, mengabaikan sinyal-sinyal yang diberikan tubuhnya. Rendy, kekasihnya, sudah menunggu di bawah untuk makan malam. Ia bergegas menuruni tangga, sedikit terburu-buru. Jalanan licin karena hujan gerimis baru saja berhenti. Sebuah truk melintas kencang di tikungan. Ia sempat mendengar suara klakson yang memekakkan telinga…
Kilas balik itu terputus tiba-tiba, meninggalkan Suwanita dengan rasa mual dan pening. Tidak, itu tidak mungkin. Ia tidak mengingat apa pun setelah itu. Ia bangun di ranjangnya sendiri, pagi ini, seperti biasa. Ia merasa seperti sedang kehilangan sebagian dari ingatannya.
Tapi sekarang, melihat orang tuanya membicarakan dirinya, dengan nada sedih, dengan ekspresi duka… sebuah ketakutan mengerikan mulai menyergap. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam labirin, di mana setiap jalan hanya membawa rasa sakit.
Ia melihat sekeliling rumah. Ada karangan bunga di sudut ruangan. Beberapa tetangga datang berkunjung, membawa makanan. Semua orang berbicara dengan nada pelan, kepala tertunduk. Ada sebuah foto besar dirinya di meja, dibingkai pita hitam. Wajahnya tersenyum dalam foto itu, tapi matanya di foto itu tampak kosong, tidak seperti dirinya yang sekarang. Ia merasa seperti sedang melihat foto hantu.
Sebuah kenyataan pahit, tak terelakkan, mulai menyusup ke setiap sel tubuhnya, memadamkan api penolakan yang membara. Ini bukan mimpi. Ini bukan prank. Ini adalah… sesuatu yang lain. Sesuatu yang ia belum berani menyebut namanya. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam kegelapan.
Pertemuan dengan Penuntun
Suwanita jatuh terduduk di lantai, menembus karpet lembut ruang tamu orang tuanya. Suara-suara duka di sekelilingnya, bisikan simpati, dan foto dirinya yang berbingkai hitam, semuanya adalah palu godam yang menghantam benteng penolakannya. Ia mencengkeram kepalanya, air mata mengalir deras, namun tidak ada yang bisa ia rasakan kecuali kehampaan yang dingin. Ia merasa seperti sedang kehilangan semua rasa.
"Tidak! Ini tidak mungkin! Aku tidak mati!" teriaknya, suaranya parau. Namun, teriakannya hanya gaung di dalam kepalanya sendiri, tak terdengar oleh siapa pun. Ia merasa seperti sedang berteriak di dalam ruang hampa, tanpa ada yang bisa mendengar.
Saat itulah, sebuah cahaya redup muncul di sudut ruangan, di balik kerumunan para pelayat. Cahaya itu berangsur-angsur memadat, membentuk siluet seorang wanita tua yang mengenakan pakaian tradisional Jawa, rambutnya disanggul rapi, matanya teduh namun penuh kebijaksanaan. Wajahnya dipenuhi keriput, seperti peta kehidupan yang panjang. Ia memancarkan aura tenang yang kontras dengan badai emosi yang berkecamuk di diri Suwanita. Ia merasa seperti sedang melihat malaikat, namun bukan malaikat yang menakutkan, melainkan malaikat yang menenangkan.
Wanita itu melangkah mendekat, perlahan dan tanpa suara, seolah-olah kakinya tidak menyentuh lantai. Suwanita mundur, ketakutan bercampur rasa ingin tahu. "Siapa kau?" bisiknya. Ia merasa seperti sedang berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
"Namaku Arini," jawab wanita itu, suaranya lembut seperti desiran angin senja. "Dan kau, Suwanita, kau sudah tiba."
Kata-kata itu, sama persis dengan pesan-pesan aneh di ponselnya, menghantamnya telak. "Tiba di mana? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan! Aku… aku masih hidup!" Suwanita mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa seperti jeli, menembus lantai. Ia merasa seperti sedang kehilangan kendali atas tubuhnya.
Arini menghela napas pelan. "Kau memang hidup, dalam artian yang berbeda. Ragamu telah tiada, Suwanita. Kau telah melewati ambang batas."
"Tidak! Aku tidak mati!" Suwanita meraung. "Aku bangun pagi ini, aku minum kopi, aku... aku di sini! Aku bisa berpikir, aku bisa merasa!" Ia menunjuk orang tuanya yang sedang menangis, "Mereka saja yang tidak bisa melihatku!" Ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi buruk yang tidak ada akhirnya.
"Mereka berduka untuk ragamu, Suwanita. Mereka merasakan kehilanganmu," jelas Arini. "Apa yang kau rasakan sekarang adalah sisa-sisa kesadaranmu, ikatanmu yang kuat pada dunia ini."
Arini menunjuk ke arah ponsel Suwanita, yang tergeletak di lantai. "Pesan-pesan itu… mereka adalah sapaan dari mereka yang sudah lebih dulu tiba. Mereka menyambutmu ke alam yang sama."
Rasionalitas Suwanita, yang selalu menjadi pegangan hidupnya, kini runtuh berkeping-keping. Ia mencoba mencari celah, alasan, apa pun untuk menolak kebenaran ini. "Aku tidak sakit. Aku tidak kecelakaan. Aku hanya merasa sedikit pusing kemarin sore, lalu aku tidur dan bangun seperti biasa." Ia merasa seperti sedang kehilangan akal sehatnya.
"Kematian tidak selalu datang dengan peringatan, Suwanita," kata Arini dengan nada iba. "Terkadang, ia menyelinap diam-diam. Ragamu mengalami kejadian traumatis, dan jiwamu, dalam kebingungan, mencoba kembali ke rutinitas yang familier. Itu sebabnya kau terbangun di ranjangmu, melakukan hal-hal yang biasa."
Suwanita terhuyung, perasaannya campur aduk antara kemarahan, kesedihan, dan kebingungan yang luar biasa. "Aku tidak bisa mati. Aku punya rencana! Aku punya Rendy! Aku punya pekerjaan! Aku tidak siap!" Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya.
Arini memandang Suwanita dengan tatapan penuh pengertian. "Tidak ada yang pernah siap, Nak. Tapi penolakan hanya akan memperpanjang penderitaanmu. Kau harus melihat sendiri, Suwanita, harus menyaksikan kenyataan ini dengan matamu sendiri, agar jiwamu bisa berdamai."
Kata-kata Arini menusuk relung jiwanya. Perih. Lebih perih daripada benturan fisik apa pun yang mungkin ia rasakan. Kenyataan bahwa ia tidak bisa berinteraksi, tidak bisa menyentuh orang tuanya, adalah bukti yang menyakitkan. Arini adalah satu-satunya yang bisa melihatnya, berbicara dengannya. Sebuah jembatan rapuh ke dunia lain. Meskipun menakutkan, ia merasa ada sedikit harapan untuk memahami apa yang sedang terjadi. Ia merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan, dan Arini adalah satu-satunya yang bisa menunjukkan jalan yang benar.
"Tunjukkan padaku," kata Suwanita, suaranya pelan dan bergetar, menyerah pada keputusasaan. "Tunjukkan padaku buktinya. Buktikan kalau aku sudah... tiba." Ia merasa seperti sedang menyerahkan dirinya pada takdir.
Pencarian Kebenaran
Mengikuti Arini, Suwanita melayang tanpa bobot, melewati dinding dan kerumunan orang yang tak menyadari keberadaannya. Arini tidak menariknya, hanya membimbingnya dengan isyarat lembut, seolah-olah Suwanita adalah anak burung yang baru belajar terbang. Setiap sentimeter perjalanan terasa seperti langkah besar menuju jurang kebenaran yang mengerikan. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali, di atas jurang yang dalam.
"Kita akan pergi ke tempat di mana kau bisa melihat segalanya dengan jelas," kata Arini, suaranya mengalir seperti air. Ia merasa seperti sedang mendengarkan suara malaikat.
Tujuan pertama mereka adalah kantor Suwanita. Gedung pencakar langit yang dulu menjadi benteng profesionalnya kini terasa asing. Mereka menembus dinding kaca dan melayang di antara bilik-bilik kerja. Suasananya hening, tak ada tawa atau obrolan seperti biasanya. Meja Suwanita rapi, namun kosong. Di atasnya, ada vas bunga lily putih layu dan sebuah kartu belasungkawa. Beberapa rekan kerjanya duduk di meja mereka, wajah mereka muram, sesekali menghela napas. Ia merasa seperti sedang mengintip ke dunia yang telah ia tinggalkan.
Suwanita melihat Rian, teman baiknya di kantor, sedang memandang layar komputernya dengan tatapan kosong. Di layarnya, terpampang foto Suwanita. Rian mengusap air mata yang tiba-tiba menetes. "Suwanita, kenapa secepat ini?" bisiknya, suaranya tercekat. Ia merasa seperti sedang melihat hantu, hantu dari masa lalunya sendiri.
Hati Suwanita mencelos. Rasa perih yang tak tertahankan menusuk ulu hatinya. Itu bukan perih fisik, melainkan perih emosional yang jauh lebih dalam. Ia merasa seperti sedang kehilangan sebagian dari dirinya.
"Kau lihat, Suwanita? Mereka merindukanmu," kata Arini lembut. Ia merasa seperti sedang mendengarkan suara malaikat.
Mereka kemudian melayang ke apartemen Rendy, kekasihnya. Pintu apartemen itu tertutup rapat, dan suasana di dalamnya terasa begitu berat. Suwanita menembus pintu, dan apa yang dilihatnya membuat napasnya tertahan—atau setidaknya, apa yang dulunya adalah napas. Rendy duduk di sofa, memegang foto mereka berdua, wajahnya bengkak dan matanya merah. Botol-botol minuman keras berserakan di meja kopi. Ia merasa seperti sedang mengintip ke dalam neraka.
"Wanita… kenapa kamu ninggalin aku?" isak Rendy, suaranya pecah. "Aku nggak tahu harus gimana tanpamu…"
Suwanita merasakan desakan tak tertahankan untuk memeluknya, untuk mengatakan bahwa ia ada di sana, bahwa ia baik-baik saja. Tapi tangannya menembus udara di antara mereka. Ia hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan rasa sakit Rendy, yang terpantul dalam rasa sakitnya sendiri. Ia merasa seperti sedang melihat bayangannya sendiri, bayangan dari rasa sakit yang tak terhingga.
"Pencarianmu belum berakhir," kata Arini. "Ada satu tempat lagi yang harus kau kunjungi. Tempat di mana semua akan terungkap."
Mereka bergerak lagi, kali ini menuju sebuah tempat yang tampak seperti taman pemakaman. Aroma tanah basah dan bunga melati yang kental menyeruak, bahkan bagi indranya yang kini terasa tumpul. Kerumunan orang berpakaian hitam berkumpul di sebuah lubang yang baru digali. Di tepi lubang itu, sebuah nisan baru berdiri kokoh. Ia merasa seperti sedang berjalan menuju kematiannya sendiri.
Suwanita mendekat, dengan langkah goyah, menembus orang-orang yang berdiri diam. Ia melihat orang tuanya, wajah mereka pucat dan basah oleh air mata, dipeluk oleh sanak keluarga. Rendy berdiri di samping mereka, bahunya terguncang hebat. Ia merasa seperti sedang melihat bayangan dari rasa sakit yang tak terhingga.
Pandangan Suwanita beralih ke nisan. Pada batu pualam itu, terukir jelas:
Suwanita Paramita
1995 – 2025
Meninggal dengan tenang
Di bawah nama itu, ada sebuah gambar dirinya, wajahnya tersenyum lembut, seolah takdir belum menjemputnya. Ia merasa seperti sedang melihat hantu, hantu dari dirinya sendiri.
Dunia Suwanita runtuh.
Ia melihat peti mati diturunkan perlahan ke dalam tanah. Ia melihat bunga-bunga ditaburkan. Ia melihat tanah diuruk kembali, menutupi peti itu, menutupi dirinya. Ia merasa seperti sedang dikubur hidup-hidup.
Ini adalah pemakamannya. Pemakamannya sendiri.
Dada Suwanita terasa sesak, seolah ribuan tangan tak terlihat mencekiknya. Air mata mengalir deras dari matanya, namun tak ada isakan yang keluar. Ia merasakan kehampaan yang luar biasa, dinginnya kematian merasuk hingga ke inti jiwanya. Semua penolakan, semua keraguan, semua kemarahan yang ia pendam, kini hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya.
Ia memang sudah tiba.
***Pemberontakan
Kenyataan memukul Suwanita telak, lebih keras dari benturan apapun yang pernah ia rasakan saat hidup. Melihat pemakamannya sendiri adalah pukulan final yang meruntuhkan benteng penolakannya. Namun, kehancuran itu tidak serta merta membawa penerimaan. Sebaliknya, ia memicu badai emosi yang lebih dahsyat: kemarahan, keputusasaan, dan penyesalan yang membakar. Ia merasa seperti sedang terbakar hidup-hidup.
"Tidak! Aku tidak akan pergi!" Suwanita meraung, suaranya pecah, namun hanya terdengar oleh Arini. Ia menembus kerumunan pelayat, kembali ke nisan yang kini tertutup bunga dan tanah. "Aku tidak mau ini! Ini bukan akhirku!" Ia merasa seperti sedang memberontak melawan takdir.
Ia mencoba mencengkeram tanah, berharap bisa menarik dirinya keluar, kembali ke raganya. Namun, tangannya menembus bumi yang dingin. Ia memukul-mukul nisan, berharap bisa meruntuhkannya, menghapus bukti yang begitu menyakitkan itu. Tapi tinjunya hanya melesat, hampa. Ia merasa seperti sedang berperang melawan hantu, hantu dari dirinya sendiri.
"Ini tidak adil!" teriaknya. "Aku belum menikah! Aku belum punya anak! Aku belum melihat dunia! Aku belum minta maaf pada Ayah tentang pertengkaran kami minggu lalu! Aku belum sempat bilang ke Rendy bahwa aku mencintainya lebih dari apa pun!" Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya.
Emosi meledak-ledak. Ia menangis, menjerit, meronta-ronta di tengah pemakaman, tak peduli pada Arini yang berdiri di sampingnya dengan tatapan iba. Rasa marah pada takdir, pada kematian yang begitu mendadak dan tak terduga, membakar jiwanya. Ia merasa seperti sedang terbakar hidup-hidup.
"Aku akan tinggal di sini! Aku akan mencari cara! Aku tidak akan pergi ke mana pun!" Suwanita bertekad, meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia mencoba berinteraksi dengan dunia fisik lagi. Ia mencoba mengambil setangkai bunga mawar yang jatuh dari karangan bunga. Tangannya menembusnya. Ia mencoba memeluk ibunya, yang masih terisak di samping pusara. Tubuhnya hanya menembus tubuh rapuh ibunya, dan ibunya tidak merasakan apa-apa. Ia merasa seperti sedang mencoba meraih hantu, namun ia sendiri yang menjadi hantu.
Setiap kegagalan adalah tusukan yang memperparah rasa sakitnya. Setiap penolakan dari dunia fisik adalah pengingat betapa ia kini hanyalah bayangan, tak berdaya, terperangkap di antara dua alam. Ia merasa seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk yang tidak ada akhirnya.
"Suwanita, Nak, dengarkan aku," Arini berkata, suaranya tegas namun penuh empati. "Semakin lama kau menolak, semakin kuat ikatanmu pada dunia ini. Ikatan itu akan menjadi rantai, mengikatmu dalam penderitaan. Jiwamu tidak akan tenang. Kau akan menjadi roh gelisah, terperangkap dalam penyesalan dan kemarahan tanpa akhir." Ia merasa seperti sedang mendengarkan suara malaikat.
Peringatan Arini terasa seperti cambuk. Suwanita memang merasakan gejolak dalam dirinya, sebuah energi gelap yang menariknya, mengikatnya. Ia merasa sesak, bukan karena ia tidak bisa bernapas, tetapi karena beban emosional yang teramat berat. Ia merasa seperti sedang terikat oleh rantai yang tak terlihat.
"Apa yang harus kulakukan?" bisiknya, suaranya kini lebih berupa rintihan. Kemarahan mulai memudar, digantikan oleh keputusasaan yang mendalam. "Aku tidak tahu bagaimana caranya… pergi." Ia merasa seperti sedang tersesat di dalam kegelapan.
"Kau harus menemukan kedamaian, Suwanita," kata Arini. "Kau harus memahami mengapa ini terjadi, dan memaafkan dirimu, dan takdir." Ia merasa seperti sedang mendengarkan suara malaikat.
Suwanita memejamkan mata, wajahnya basah oleh air mata tak berujung. Menemukan kedamaian? Bagaimana bisa ia menemukan kedamaian ketika seluruh dunianya hancur? Bagaimana bisa ia memaafkan takdir yang begitu kejam ini? Namun, peringatan Arini tentang rantai penderitaan bergaung di telinganya. Ia tidak ingin menjadi roh gelisah. Ia tidak ingin terperangkap selamanya dalam kemarahan dan penyesalan. Ia ingin… tenang. Ia merasa seperti sedang mencari cahaya di dalam kegelapan.
Ia membuka matanya. Pandangannya kosong, menembus nisan di depannya. Di sana, di balik kesedihan yang membuncah, tersimpan sebuah rahasia. Rahasia tentang bagaimana ia mati. Dan mengapa ia tidak menyadarinya. Ia merasa seperti sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang tak terjawab.
Kilas Balik Penyebab Kematian
Arini menuntun Suwanita menjauh dari keramaian pemakaman, ke sebuah tempat yang terasa lebih hening, namun tetap berada di antara keramaian kota. Sebuah taman kecil yang rindang, tempat Suwanita sering menghabiskan waktu makan siang saat bekerja. Udara terasa lebih ringan di sini, seolah bebannya sedikit terangkat. Ia merasa seperti sedang berjalan menuju kebenaran.
"Sekarang saatnya kau melihat kebenaran penuh, Suwanita," kata Arini, suaranya menenangkan. "Jiwa seringkali menolak memori traumatis. Itu mekanisme pertahanan diri. Tapi untuk bisa melangkah, kau harus menghadapi apa yang terjadi." Ia merasa seperti sedang mendengarkan suara malaikat.
Arini mengangkat tangannya, dan sekitarnya mulai berputar. Warna-warna memudar dan kembali lagi, membentuk sebuah adegan yang familiar namun terasa asing. Suwanita melihat dirinya sendiri, bukan sebagai bayangan hantu, melainkan dirinya yang hidup, mengenakan pakaian kantornya, tersenyum lebar. Ia merasa seperti sedang melihat masa lalunya.
Itu adalah sore hari kemarin. Ia ingat perasaan pusing itu, yang ia anggap remeh. Ia melihat dirinya bergegas menuruni tangga kantor, terburu-buru untuk menemui Rendy. Suasana kantor saat itu begitu hidup, penuh tawa dan obrolan. Ia merasa seperti sedang melihat hantu, hantu dari dirinya sendiri.
Ia melihat dirinya melangkah keluar gedung. Gerimis baru saja berhenti, menyisakan genangan air di aspal dan bau tanah basah yang khas. Udara terasa lembap, dan ia sempat menghirupnya dalam-dalam. "Segar," gumamnya saat itu. Ia merasa seperti sedang menghirup kehidupan.
Ia melihat dirinya berjalan cepat di trotoar, membalas pesan Rendy yang sudah menunggu. Ia sedikit terburu-buru. Ia menyeberang jalan, di titik yang biasanya ia lewati. Sebuah truk pengangkut barang, entah dari mana, melaju kencang dari tikungan yang agak tersembunyi. Klakson yang memekakkan telinga berbunyi. Suwanita sempat menoleh, matanya membelalak kaget. Ia mencoba menghindar, melompat mundur…
Tapi terlambat.
Suara benturan keras menggelegar. Kemudian, kegelapan. Dan keheningan yang absolut.
Suwanita melihat tubuhnya sendiri tergeletak di jalanan yang basah, tak bergerak. Darah merembes di aspal, membentuk genangan merah gelap. Orang-orang mulai berkerumun, teriakan panik terdengar di sana-sini. Seseorang menelepon ambulans. Wajah-wajah panik, tangan-tangan yang menutupi mulut karena terkejut. Ia merasa seperti sedang melihat neraka.
Ia melihat seorang wanita paruh baya mendekati tubuhnya, wajahnya pucat. Wanita itu adalah Bu Siti, pemilik warung makan langganan di dekat kantornya. Bu Siti menangis terisak, "Ya Tuhan, Suwanita! Astaghfirullah…" Ia merasa seperti sedang melihat bayangan dari rasa sakit yang tak terhingga.
Ambulans tiba. Petugas medis memeriksa denyut nadinya. Kepala mereka menggeleng pelan. Sebuah selimut putih ditarik perlahan, menutupi tubuhnya.
Kilas balik itu berakhir. Suwanita terhuyung, air mata mengalir tak terkendali. Ia kini mengingat semuanya. Rasa pusing itu bukan sekadar kurang tidur. Itu adalah awal. Dan kecepatan, klakson, serta kegelapan itu… bukan sekadar mimpi buruk. Itu adalah akhirnya. Ia merasa seperti sedang terbangun dari mimpi buruk yang mengerikan.
Ia meninggal seketika, tanpa sempat merasakan sakit yang berkepanjangan, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Itulah mengapa ia tidak menyadarinya, mengapa jiwanya begitu terkejut dan menolak kenyataan. Ia tidak memiliki waktu untuk memprosesnya, untuk merasakan transisi. Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya.
"Aku… aku kecelakaan?" bisik Suwanita, suaranya parau. "Dan aku meninggal… begitu saja?"
Arini mengangguk. "Ya, Nak. Jiwamu terkejut, terjebak di antara alam. Tapi sekarang, kau sudah melihatnya. Kau sudah tahu." Ia merasa seperti sedang mendengarkan suara malaikat.
Rasa sakit yang baru menyergap Suwanita. Bukan sakit fisik, melainkan sakit karena penyesalan yang mendalam. Ia teringat pertengkarannya dengan Ayah minggu lalu tentang hal sepele. Ia teringat janji makan malam dengan Rendy yang tak pernah terwujud. Ia teringat rencana-rencana yang kini tak akan pernah terlaksana. Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya