Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,914
Sungguhan Teman?
Slice of Life

Mama hanya bisa melongo ketika melihatku terduduk di dekat tangga dengan cengiran lebar. Suara gedebuk seperti tadi seharusnya tidak lagi membuat mama heran.

“Mama nggak heran, kok,” ujar mama suatu hari, saat obrolan kami mulai menyimpang ke arah kegiatanku akhir-akhir ini—ekskul tari. “Mama hanya tidak suka kamu terburu-buru seperti itu, sampai jatuh dari tangga setiap pagi,” lanjutnya lagi.

Terburu-buru? Tapi aku benar-benar terlambat waktu itu! Yah, sekarang juga, sih.

###

“Pagi, Lif! Lesu banget, hampir terlambat pula.” Sapaan Fakhri diikuti pukulannya di pundakku.

Halo, namaku Aliffa Khalilah. Biasa dipanggil Liffa, tapi aku biasa dipanggil Alif oleh sahabat-sahabatku, termasuk Fakhri. Karena dandananku mirip laki-laki—tomboi.

“Pagi,” balasku malas. “Biar saja deh, asal tidak pucat.”

Kami terus berjalan menuju kelas, sedangkan Fakhri yang tidak mau kalah mencibir, “Jangan-jangan, kamu belum mengerjakan PR Fisika, lagi?”

“Hah?”

“Yee, baru saja dikasih kemarin. Halaman 81, yang 50 soal itu, lho.”

Aku menelan ludah. Melihat wajahku yang mendadak panik, Fakhri hanya menghela nafas.

“Duh, benar deh aku lupa Ri. Kemarin latihan sampai sore capek banget, mana pulangnya macet jadi baru bisa sampai di rumah jam 7.”

Melihat sinyalku yang benar-benar memohon, Fakhri hanya menatapku ‘aku-nggak-mau-membantumu’. Tapi aku termasuk orang yang pantang menyerah, jadi aku segera menunjukkan ekspresi super-duper-ultra-mega-imut untuk membujuk Fakhri. Lalu, setelah menghela nafas berkali-kali, akhirnya ia menyerahkan buku Fisika miliknya untuk kusalin. Wooho!

“Ini yang terakhir. Please, jangan diulangi lagi, Lif,” pesannya.

Entah itu pesan keberapa yang dia ucapkan padaku.

###

“Ibu mohon, ya, Lifffa, jangan tertidur saat pelajaran Ibu.”

Samara-samar terdengar kikikkan di kelas ini. Sedangkan aku hanya nyengir kuda pada Bu Meta yang menerangkan tentang peristiwa sebelum proklamasi di depan kelas.

“Hei.” Fakhri yang duduk di depanku sedikit menoleh ke belakang dan berbisik, “Terlalu lelah, atau terlalu bosan?”

Aku terkikik pelan. “Sangat lelah. Setelah latihan, Afra meneleponku dan menagih kliping tugas kelompok PKn.”

“Tugas itu kan sudah dari seminggu yang lalu.”

“Ya, aku tahu. Tapi, benar deh, Ri, ekskul tari itu kan hampir setiap hari.”

Fakhri tersenyum miring. “Ekskul itu benar-benar menyita waktu dan tenagamu, ya Lif,” katanya, “dan kamu benar-benar sudah berubah.”

Mendengarnya, alisku mengangkat. “Kamu mirip mamaku.”

“Itu tandanya, hampir semua orang merasakan perubahanmu, termasuk aku. Semenjak keluar dari teater dan ikut tari, kamu terlihat keteteran, tugas-tugas sekolah terabaikan.”

“Dan semenjak aku ikut ekskul tari, aku jadi lebih dekat dengan Veran dan gengnya,” balasku tidak mau kalah. Yah, masuk ke dalam geng Veran yang keren dan populer itu memang tujuan utamaku dalam ekskul tari. Tidak ada yang lain.

Fakhri menghela nafas, cukup panjang. “Sebelumnya di teater, kamu bisa mengatur waktumu. Kita juga masih sempat belajar bersama setiap hari Minggu, seperti biasanya. Dan lagi, bakatmu terasah dengan baik di teater.”

“Hei, Fakhri. Apa kamu tidak senang melihat sahabatmu yang berjenis kelamin perempuan ini ‘kembali ke jalan yang benar’? Atau kamu lebih senang melihatku memakai kaus dan celana pendek yang kebesaran dan bergabung dalam tim sepak bola kompleks kita? Dengar, minggu depan aku, Veran dan gengnya berencana belanja banyak aksesoris lucu di mall. Bukankah itu kabar baik?”

Tiba-tiba, nada bicara Fakhri meninggi, “Kabar baik katamu?!”

“Ehem.” Deheman Bu Meta membuat kami berdua menengok. “Fakhri, Liffa … ada masalah apa?”

“O-oh, ngg.” Mendadak kami gelagapan. Fakhri kembali duduk menghadap depan, kemudian berucap, “Maaf Bu, tidak ada apa-apa.”

Bu Meta tersenyum sabar, “Ya sudah, lain kali jangan berteriak saat guru menerangkan di depan kelas, ya.”

###

Hari ini tepat 7 hari setelah tragedi Fakhri berteriak saat pelajaran IPS, dan semenjak itu kami berdua tidak pernah saling bicara lagi. Aku terlalu takut untuk memulai. Fakhri itu temperamen, dia termasuk pendiam tapi emosinya mudah sekali berubah. Anehnya ia bisa bersahabat denganku yang tidak bisa diam dan selalu cerewet. Apalagi rumah kami bersebelahan dan kami sama-sama tertarik dalam dunia teater.

Oh, ya. Hari ini juga adalah hari pertamaku pergi shopping bersama Veran dan gengnya ke sebuah mall. Apakah itu tandanya aku diterima dalam geng mereka? Entahlah, aku sibuk memilih baju yang pantas sekarang. Baju spesial untuk hari spesial!

Mendadak, jantungku berdegup kencang saat mendengar ponselku berbunyi. Ada yang menelepon. Dan itu dari Veran.

“Halo?”

“Lif!” Suara Veran terlihat sangat panik, bahkan hampir menangis. “Ce-cepat buka pintu rumahmu! Aku ada di depan sekarang. Ta-tadi Shani kecelakaan saat perjalanan ke rumahku … di-dia harus ke rumah sakit sekarang. Ta-tapi orangtuaku sedang ada di luar kota, dan aku tidak punya uang ….”

Mendadak aku ikut panik. Segera aku berlari keluar kamar menuruni tangga. “Benarkah?! Bagaimana keadaan Shani? Lukanya cukup parah?”

“I-iya … parah. Bisakah kami meminjam uangmu dulu? Shani benar-benar harus ke rumah sakit sekarang, dia kehilangan banyak darah.”

Kontan, aku memutar arah dan segera berlari kembali ke kamar. “Se-sebentar, aku ambil dompetku dulu ya.”

Aku mengambil dompet dengan perasaan tegang. Sungguh, Shani termasuk gengnya Veran dan dia kecelakaan! Di dalam otakku, radar ‘cepat-bantu-apapun-yang-kamu-bisa’ menyala-nyala. Syukurlah aku menemukan dompetku dan segera berlari ke pintu depan, tidak menghiraukan teguran mama yang sedang mengobrol dengan tamunya di ruang tamu.

Pintu kubuka. Benar saja, Veran berdiri di hadapanku, menutup wajahnya. Menangis. Reflek aku memeluknya.

“Shani butuh pertolongan secepatnya, Lif. A-aku akan mengantarnya ya.” Ia melepas pelukannya, sembari tersenyum tipis.

“Sendiri? Tidak mau aku antar? Rumah sakit cukup jauh dari sini.”

“Jangan! Eh ma-maksudku, tidak usah Lif. Aku tidak mau merepotkanmu. Berli dan Lydia sudah menungguku. Bye ….

Berli dan Lydia adalah anggota geng lainnya. Karena itu aku melepaskan Veran. Berharap Shani tidak apa-apa. Sungguh, entah mengapa Veran dan gengnya sangat berharga untukku. Jadi, reflek aku segera melakukan apapun untuk Veran dan gengnya. Apapun.

“Aliffa, mau sampai kapan berdiri di sana?”

Suara mama memecahkan lamunanku. Aku segera menutup pintu dan menengok pada mama yang sedang bersama tamunya.

“Fakhri?” Mendadak aku gelagapan saat tahu tamu yang mengobrol bersama mama daritadi adalah Fakhri. “Ng … a-ada apa kamu ke sini?”

“Membicarakanmu.” Ucapannya dingin, membuatku semakin gugup. Apa dia marah besar? Dan lagi, apa yang dia bicarakan bersama mama? “Veran. Dia ada apa ke sini?”

“Di-dia hanya meminjam uang. Shani kecelakaan dan ....”

“Kecelakaan?” Fakhri memotong ucapanku dengan nada tinggi. “Ya ampun, Alif!” Kemudian ia tertawa, membuatku keheranan.

“I-iya … ke-kenapa?”

Fakhri masih tertawa saat aku bertanya seperti itu. Ia meredakan tawanya lalu bertanya, “Ahaha, sebentar deh Lif .... Berapa jumlah uang yang ada di dompetmu?”

“Seratus lima puluh ribu …,” jawabku pelan. Aku hanya melongo. Benar, deh, aku tidak mengerti!

“Wah. Kamu akan berjuang lebih keras untuk menabung uang sebanyak itu dari awal,” kata Fakhri lagi.

“Dari awal? Maksudmu apa?”

“Tadi, saat aku berjalan menuju rumahmu, aku melihat Veran dan gengnya ada di dalam mobil milik orangtuanya yang terparkir tidak jauh dari sini. Di dalam mobil mereka tampak sedang membicarakan sesuatu. Kukira mereka datang menjemputmu.”

Mendadak lututku lemas. Aku terduduk.

….

Sungguh, aku tidak ingin kejadian bodoh ini terulang lagi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)