Flash
Disukai
0
Dilihat
12,812
Mimpi yang Tercerai
Drama

Lebih baik aku mati.

Derasnya hujan malam ini sungguh menggambarkan perasaanku sekarang. Tenggelam dalam kelamnya kesenduan. Ribuan manusia ada di sekelilingku, namun rasanya tetap sepi. Payung warna-warni mereka tidak membuatku aman dari guyuran langit. Sebulir air di wajahku kembali menetes, tersamarkan oleh tetesan hujan yang membuatku kuyup.

Andai aku menghilang saat ini juga, tak ada yang menyadarinya, kan?

Yah, andai.

###

“Oh, Haruna?” Sebuah suara membuatku terbangun. “Kamu sudah bangun?”

Kudapati diriku tertidur di sebuah kamar yang familiar. Dan suara tadi adalah suara Miyano.

Aku ingin bangkit, namun Miyano segera menghardik, “Baka![1] Tidak seharusnya kamu mencari penyakit dengan berdiri di tengah perempatan Shibuya saat hujan deras tanpa payung!” Gadis berambut pendek itu meletakkan semangkuk ramen[2] bersama segelas susu di pangkuanku. “Semalaman aku cemas mendapatimu tergeletak di tengah perempatan. Huh, beruntung aku sedang bersama Sakagi, ia yang menggotongmu. Jika tidak, aku terpaksa menyeretmu sepanjang perjalanan.”

Mendengarnya, aku tersenyum simpul. “Arigatou[3], Miyano.”

Harumnya ramen instan mengusik hidungku. Maaf, perkenalanku terasa tidak sopan begini. Namaku Haruna Matsuda, dan gadis tadi adalah teman baikku sejak SMA. Kami berkuliah di tempat yang sama dan tinggal di apartemen yang sama—di salah satu sudut kota megah Shibuya. Bahkan kami memiliki mimpi yang sama: menjadi designer.

“Jadi ....” Miyano buka suara. Ia mengambil tempat di tepi ranjang. “Apa yang terjadi padamu semalam? Saat menelepon, kamu keluar hingga hujan turun. Aku cemas, makanya segera menarik Sakagi untuk mencarimu.”

Aku meneguk kuah ramen sehingga rasa kaldu pedas melekat di lidahku. Ah, seketika rasa hangat memelukku. “Kejadian semalam?” Memori di kepalaku berputar. Benar, ada telepon masuk di ponselku saat itu. Dari kaa-san[4].

Oh, tidak.

“Mereka berpisah.” Hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Entah aku dapat kekuatan dari mana, yang jelas ada getaran di dalamnya.

###

Moshi-moshi?[5]

“Haruna?” Suara kaa-san. Aku menangkap sesenggukan dari sana.

“Oh, Kaa-san? Doushita no[6]?” tanyaku cemas. Begitu keluar dari gedung Seibu Department Store, aku melipir ke pinggir jalan, hampir memasuki lautan manusia.

Di seberang, tangisan kaa-san masih terdengar. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku. Ada apa ini?

“Ayahmu ... keterlaluan!” serunya. “Perselingkuhannya di kantor akhirnya terkuak! Sudah kuduga! Haruna, Kaa-san pernah bercerita tentang perbuatan ayahmu yang mencurigakan, kan?”

Semua hal terjadi begitu cepat dan otakku masih mencernanya. Bodohnya aku mengangguk meski tahu kaa-san tak dapat melihat.

“Kini ia dipecat dan jatuh miskin! Bisa kamu bayangkan bagaimana kehidupan Kaa-san sekarang?! Pernikahan kami adalah kesalahan!” Tangisnya pecah lagi. “Kaa-san benar-benar tak tahu bagaimana caranya menghidupi diri dan adikmu. Haruna, kamu berhenti kuliah saja, ya?”

A-apa?

Retakan di hatiku semakin lebar saja. Tiba-tiba sebuah beban mendarat di pundakku tanpa bisa kucegah. Rasa sesak pun memenuhi dada. Tetesan air mata keluar tanpa diminta. Beruntung hujan segera turun dengan deras.

“Moshi-moshi? Haruna? Kamu masih di sana?”

Tanpa sadar aku memutus panggilan. Entahlah, kini aku tak dapat mendengar apapun. Derasnya hujan yang turun. Bising para pejalan kaki yang hendak menyeberang. Monitor raksasa di setiap sudut Jalan Shibuya yang menampilkan iklan setiap harinya. Deru shinkansen[7] dari kejauhan.

“.... Pernikahan kami adalah kesalahan!” katanya. Lalu bagaimana denganku? Aku buah dari kesalahan?

###

“Dan saat itulah kamu terseret lautan manusia hingga ke tengah jalan, lantas jatuh pingsan. Huh.” Miyano meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Aku hanya menarik kedua sudut bibirku. Sahabatku ini tahu bahwa aku, terkena hujan sedikit saja, bisa langsung demam. Terlebih musim semi hampir berakhir, dan musim panas menunggu untuk menyambut kami. “Nee[8], Miyano,”kataku. “Menurutmu mana yang lebih penting: keluarga atau kehidupanmu?”

Lawan bicaraku mencubit dagu seolah berpikir. “Hee, jangan-jangan kamu berencana bunuh diri?” serunya dengan jenaka, membuatku salah tingkah.

“B-bukan berarti b-begitu .... A-aku hanya ....”

Ba-ka.” Tuk! Jitakan Miyano mendarat di kepalaku. “Makan yang banyak, cepatlah sembuh dan aku akan membawamu ke suatu tempat. Untuk hari ini kamu boleh menumpang di kamarku.” Ia mengacak-acak rambutku, kemudian pergi.

Aku hanya melongo, namun akhirnya tersenyum kuda.

###

Aku menyesal berharap terlalu lebih kepada Miyano. Kenyataannya ia hanya membawaku ke Shibuya 109—pusat belanja Shibuya yang paling tenar—yang sesungguhnya kerap kami kunjungi untuk mencari inspirasi tugas kuliah atau sekedar cuci mata.

Miyano menggamit tanganku menuju sebuah butik dengan etalase yang menampilkan pakaian-pakaian mode terkini dan tampak elegan. “Masa bodoh dengan kuliah,” cetusnya memandang etalase tersebut.

Hening sejenak. Kami membiarkan hiruk-pikuk keramaian—segerombolan gadis SMA yang berisik, atau video iklan di monitor di setiap sudut—mengisi keheningan kami.

“Tanpa kuliah, bukan berarti kamu tak bisa mewujudkan mimpimu. Bahkan mereka yang karyanya dipajang di sini tidak sukses secara instan, kan?” katanya sembari tersenyum miring. “Buktikan pada dunia. Biarkan mimpimu berkobar seperti Shibuya yang tak pernah tidur.”

Perlahan, senyumku merekah. Ah, inilah yang kusuka dari Miyano, gaya tomboy-nya selalu dapat mengisi ruang di hatiku.

Yosh, ganbarimashou![9]

###

[1] Bodoh!

[2]Mie khas Jepang.

[3](Informal) Terima kasih.

[4]Ibu.

[5]Halo?

[6](Informal) Ada apa?

[7]Kereta tercepat di Jepang.

[8]Hei

[9]Baiklah, mari berjuang!

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)