Masukan nama pengguna
Orang-orang berlalu-lalang. Malam telah larut, namun bandara tidak pernah tidur. Aku memasukkan banyak udara Kalimantan yang telah lama tak kuhirup ke dalam paru-paruku. Ah, rasanya baru kemarin aku meninggalkan tanah ini.
Setelah memasukkan koper, travel yang kutumpangi melesat laju meninggalkan Bandara Sepinggan, Balikpapan. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 22.45 WITA.
“Hutan Kalimantan sih memang seram, ada banyak cerita di dalamnya. Apalagi kalau sudah malam begini.”
Aku tersenyum menimpali Pak Sobir, supir travel-ku, walaupun dia tidak melihat. “Iya, Pak. Dulu saya sih pernah lama tinggal di sini, namun sejak kuliah dan keluarga lebih memilih untuk kembali ke kampung halaman, jadilah kami tidak pernah tahu perkembangan di sini.”
“Oh ya?” Pak Sobir mendelik tak percaya. Mungkin dia sempat tertipu dengan logat Jawa yang masih cukup kental saat aku berbicara. “Wah, tinggal di mana?”
“Ya, di tempat tujuan kita sekarang, Pak. Sangatta, Kutai Timur,” jawabku ramah, setelah sebelumnya terkikik. Enam jam perjalanan menantiku, tentu aku akan merasa lelah. Untunglah Pak Sobir yang baik mengajakku mengobrol.
“Wah, jauh juga orang-orang merantau.”
Aku hanya tersenyum mengiyakan, karena tiba-tiba saja rasa pusing menyergapku. Ah, kenapa tadi aku tidak menuruti kata mama untuk makan malam dulu sebelum ke bandara? rutukku dalam hati. Aku pun mengambil sebungkus roti yang tadi sempat kubeli, lalu menyantapnya perlahan. Dalam hati aku berharap penelitian skripsiku dapat berjalan lancar, mengingat kondisiku yang seperti ini.
Yang bagaimana? Kamu akan tahu, nanti.
“Kalau begitu, Nak Denis pasti pernah dengar cerita seram dari Kalimantan, kan?” Tiba-tiba nada bicara Pak Sobir menjadi rendah, dengan tatapan fokus melihat jalan di depan.
Aku menelan ludah. Inilah alasan mengapa aku masuk jurusan psikologi, batinku. Untuk menghargai sekaligus mengusir rasa bosan, aku menimpali, “Cukup sering, Pak. Hanya saja tidak semua saya ingat.”
Tentu saja! Dengan kemampuan seperti ini, aku berharap dapat melupakannya—atau setidaknya, menghiraukannya—dengan masuk jurusan psikologi.
Mendadak, rasa dingin hinggap di leherku.
“Di hutan Kalimantan, Mbak, suka terjadi hal yang aneh-aneh. Jelas, katanya hutan ini dulunya kerajaan besar.” Pak Sobir bercerita dengan suara pelan. Meski pandangannya terpaku di hadapan. “Jadi banyak penghuninya. Hati-hati sajalah. Kalau sedang sial, mereka suka menyapa, bahkan mengikuti.” Awalnya kudengarkan saja celotehan sang sopir. Namun entah bagaimana suaranya mulai menggema di kepalaku yang kini bagai diserbu ribuan lebah. Lalu teredam suara ngiiing yang memekakan telinga; semuanya tumpang tindih, bermunculan dalam permukaan pikirku. “Katanya, sering ada kejadian ....”
DEG.
Aku melihatnya. Salah satu dari mereka, sesosok kepala wanita.
TIIIN!
“Awas, Pak!”
Kemudian gelap.
###
“Mbak? Mbak, bangun Mbak!”
Aku mendengar itu. Suara yang kukenal, Pak Sobir. Hei, apakah aku sudah mati? Setelah kejadian semalam rasanya mustahil kami menghindari insiden. Entah mengapa, rasanya aku berharap terbangun di rumah sakit saja ....
Lho?
“Kita sudah sampai, Mbak. Perumahan Panorama, kan?” Ketika kesadaranku muncul seluruhnya, tahulah aku, kami masih baik-baik saja. Begitu terbangun, travel sudah terparkir manis tepat di depan rumah yang kukenal. Langit memang tak begitu kelam, namun dapat kurasakan dinginnya Subuh menyapa kulitku. Sayup-sayup kudengar pengajian dari masjid yang kerap kudatangi dahulu semasa sekolah. Mentari masih malu-malu menampakkan diri, rupanya. “Ini kopernya. Mbak ini penumpang terakhir yang saya antar, lho. Habis dari semalam tidurnya nyenyak sekali, mau saya bangunkan rasanya tidak tega.” Pak Sobir memamerkan deretan giginya yang rapi. Aku berterimakasih, lantas Pak Sobir izin pamit.
Akhirnya, aku kembali.
Bangunan di hadapanku—sebuah rumah berukuran sedang, terdiri dari kayu ulin nan kokoh, setia menyaksikan perjalananku dan sekeluarga di tanah rantauan—masih sama seperti dulu. Tak ada yang berbeda. Jika dahulu pasangan yang tinggal di sini adalah mama dan papaku, maka kali ini adalah Mbak Nisa, kakakku, beserta suaminya, Mas Riko.
Krieeet. Bunyi yang kurindukan; derit pintu depan terbuka. Seorang wanita berambut ikal, masih berpiyama, namun wajahnya memberikan seulas senyum manis penuh kehangatan. “Akhirnya sampai juga.”
Kakiku baru akan melangkah ketika aku melihatnya.
Mereka yang tidak nyata, namun berada di sekitar kita. Memperhatikan dengan tatapan yang mampu membuatmu bergidik, beruntunglah tak kasat mata. Namun aku tidak. Dengan jelas aku melihat sorot mata itu—amarah membara, seperti memendam nafsu membunuh yang tinggi.
Mimpi burukku baru saja dimulai.
###
“Selamat pagi, Tuan Putri.”
Aku tersenyum kuda mendengar panggilan yang kurindukan itu. Mana ada tuan putri yang terbangun dengan celana pendek dan kaus oblong, lengkap dengan wajah kumal sepertiku kali ini. Mulutku yang berbau tak segar pun menguap lebar. Jam di dinding menunjukkan pukul 09.30 WITA.
“Ih! Kamu sama sekali tidak berubah. Sikap malasmu itu jangan dipelihara, dong. Ingat, skripsi sudah di depan mata.” Mbak Nisa menoyor keningku dengan sendok nasi. Dengan kesal aku merebut benda itu, berniat untuk mengambil jatah sarapanku.
“Selama kuliah aku rajin, kok,” ucapku jujur. Setidaknya, aku tidak pernah bangun sesiang ini ketika ada kuliah pagi. Terang saja, setelah shalat Subuh tadi, aku langsung tertidur melepas lelah. Walaupun Pak Sobir mengaku aku tertidur pulas selama perjalanan tadi, tubuhku terasa nyeri dan energiku terkuras.
Lawan bicaraku mencibir. Ia pun berbalik dan sibuk menyiapkan hal lain—aku menyebutnya sindrom ibu muda, karena tentu saja kakakku tidak serajin ini sebelum menikah.
Aku membawa sepiring nasi kuning dan segelas teh hangat ke depan televisi. Rasanya aku ingin bersantai-santai saja dahulu. Penelitian skripsi? Ah, mendengar kata yang berawalan huruf S saja aku malas.
Mungkin karena Mbak Nisa ada di sekitarku? Haha.
“Sudah sepuluh minggu, lho. Sepuluh.” Mbak Nisa mengambil tempat di sampingku dengan segelas susu ibu hamil di tangannya. “Rencananya Mas Riko mau USG kandunganku, melihat perkembangannya.”
Menanggapinya, aku hanya mengangkat alis. Berusaha menikmati sesuap nasi kuning yang tak pernah kurasakan di Yogyakarta. Memang, walaupun kami sekeluarga menetap di kampung setamatnya diriku di SMA, Mbak Nisa justru pindah ke Kalimantan mengikuti suaminya, tepatnya di Sangatta. Tentu saja mereka tidak perlu repot mencari tempat tinggal. Pokoknya, rumah ini sangat bersejarah.
“Hei, ceritakan tentang dirimu, dong.” Mbak Nisa menyenggol bahuku. “Apakah mata batinmu masih terbuka?”
Nyaris saja sesuap nasi kuning meluncur menuju paru-paruku. Terbatuk-batuk, lantas aku mengguyur tenggorokan secepatnya. Betapa menohoknya ucapan kakakku itu!
Memang salah satu tujuanku kuliah jurusan psikologi adalah agar aku dapat mengontrol kemampuanku ini. Kata orang hal ini adalah anugerah, meski bagiku ini adalah musibah.
Aku memasok paru-paruku dengan oksigen sebanyak mungkin. Hening sejenak. “Belum.”
Mungkin kalian tak akan pernah tahu. Rasanya berat diperhatikan oleh mereka yang tak kasat mata. Selama ini aku berusaha untuk tidak mempedulikannya, terlebih kemampuanku tak begitu parah semasa kuliah. Namun kembali ke Kalimantan, tepatnya di Sangatta, rasanya hal ini membuatku cukup terguncang. Kalian tak akan pernah tahu bahwa semua ini memuakkan.
Sama sepertiku yang tak akan pernah tahu, salah satu dari mereka bertindak lebih jauh.
###
“Pergilah.”
Keningnya bekerut tak suka. Kedua pupil matanya merah pertanda marah. Rambut panjang menjuntai berantakan menutup wajah retaknya.
“Pulanglah, atau kau akan mati.”
Sosok itu pun mendekat hendak mencekikku.
“TIDAK!”
Yang kulihat setelahnya adalah langit-langit kamarku. Nafasku berembus berat ketika sebulir keringat mengaliri keningku. Telingaku menangkap detik jam dinding yang kini menunjukkan pukul 02.56 WITA.
Aku menghela nafas panjang. Bagus, sekarang aku tidak bisa tidur. Desau angin di luar seakan ingin mencengkeramku dalam ketakutan.
Tiba-tiba, tenggorokanku terasa kering.
Berusaha masa bodoh, dengan cepat aku bangkit dan melangkahkan kaki menuju dapur. Dinginnya lantai ubin dengan jelas menyergap telapak kakiku. Kulitku meremang disapa lembutnya angin malam.
Glek, glek. Aku melengos lega ketika dinginnya air menyiram tenggorokanku. Sejenak aku membiarkan suara malam mengisi jeda. Desau angin. Detik jam dinding. Celoteh hewan malam. Setelah menelan ludah, aku menutup pintu kulkas dan berniat kembali ke kamar.
Namun ....
“AAH!”
Sosok itu tersenyum. Wanita dengan pakaian panjang berwarna putih. “Boleh aku tidur di kamarmu?”
Kedua bola mataku berputar. Mbak Nisa benar-benar mengagetkanku. Aku mengangguk tanda setuju, lantas kami melangkah menuju kamarku.
“Kalau Mas Riko tidak ada, aku jadi tidak bisa tidur.” Perempuan berusia 26 tahun ini menepuk-nepuk bantal di sampingku. “Tapi kalau ada kamu, Mbak bisa tenang.” Seulas senyum terukir di wajahnya sebelum matanya terpejam. Entah tidur atau hanya berusaha tidur.
Aku menggaruk-garukkan kepalaku yang tidak gatal. Tepat ketika kepalaku menyentuh empuknya bantal, aku mendengar sesuatu yang membuat jantungku berhenti sedetik.
Suara menggelinding.
Apa itu? Tanpa sadar, tanganku mencengkeram erat selimut yang entah mengapa kini tak bisa menangkal dinginnya malam. Aku menelengkan kepala, menghadap Mbak Nisa. “Mbak?” Suaraku serak memanggil. Ada harapan besar di sana. “Sudah ... tidur?”
Tak ada jawaban. Wanita yang terbaring di sampingku ini sudah memasuki alam mimpi, rupanya. Aku menelan ludah menyadari bahwa ... aku sendirian? Tidak. Walaupun mereka tidak menampakkan diri di hadapanku, aku dapat merasakan hadirnya. Aura dingin yang memelukku, menyimpan rasa marah entah dendam.
Aku mengubah posisi dan ... dia ada di sana.
Sosok yang kulihat dalam perjalanan. Dengan tenangnya ia hinggap di atas lemari di sudut ruangan. Rambutnya tergerai panjang dengan pandangan menusuk tepat ke arahku. Segera aku menyembunyikan wajah di balik selimut. Tanganku bergetar, bertekad tak akan melepaskan pertahanan. Walau mataku terpejam dalam, sosok itu tidak hilang dari bayangku. Sebuah kepala wanita berada di kamarku sekarang! Apakah ia mengikutiku sejak perjalanan?
Angin terus berembus di luar sana, membuat ranting pohon ketapang mengetuk-ketuk jendela kamarku. Tak ada suara lagi selain detik jam yang berputar, celoteh hewan malam, atau desau angin yang berhembus tenang. Apakah ia sudah pergi?
Dengan debaran di dada, tanganku perlahan menurunkan selimut dari pandangan. Perlahan ....
DEG. Kini di hadapanku!
“Bukankah sudah kubilang untuk pergi?”